BAB XVI
DASAR-DASAR
HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL
1.
Pengertian Hukum Perdata Internasional
Untuk mengenal lebih jelas mengenai pengertian,
ruang lingkup, subyek dan obyek Hukum Perdata Internasional (HPI), maka perlu
diperhatikan beberapa definisi HPI menurut beberapa ahli hukum dibawah ini.
Istilah Hukum Perdata Internasional, dalam
bahasa Belanda disebut “Internationaal
Privaatrecht” dan dalam bahasa Inggris adalah “Private Internatonal Law”
atau “Conflict of Law”.
Menurut Graveson dalam bukunya “Conflict of Laws - Private
Internatonal Law”, Conflict of Law atau Hukum Perdata Internasonal adalah
bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung
fakta relevan yang berhubungan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena
aspek teritorialitas atau personalitas, dan karena itu, dapat menimbulkan
masalah pemberlakuan hukum sendiri atau hukum lain (biasanya hukum asing) untuk
memutuskan perkara, atau menimbulkan masalah pelaksanaan yurisdiksi pengadilan
sendiri atau pengadilan asing.[1]
Van Brakel mendefinisikan Internationaal
Privaatrecht (HPI) sebagai “hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk
hubungan-hubungan internasional”.[2]
HPI adalah hukum yang mengatur
hubungan-hubungan perdata antara subyek hukum dari berbagai negara.[3]
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, HPI ialah
keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan hukum perdata yang
melintasi batas negara. Dengan perkataan lain hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara para pelaku hukum yang ,masing-masing tunduk pada hukum
perdata (nasional) yang berlainan.[4]
Sudargo
Gautama (Gouw Giok Siong) menyebut HPI sebagai Hukum Antar Tata Hukum Ekstern.
HPI bukanlah Hukum Internasional, tetapi hukum nasional.[5]
Selanjutnya dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internasional, mendefinisikan
HPI adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan setesel
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antar warga (-warga) negara pada
suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan setelsel dan
kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan
kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal”.[6]
Schnitzer berpendapat bahwa, HPI bukan sumber
hukumnya yang internasional, tetapi materinya yaitu hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwanya
yang merupakan obyeknya-lah yang internasional.[7]
Menurut Sunaryati Hartono, HPI mengatur setiap
peritiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik peristiwa itu
termasuk bidang hukum publik (seperti hukum tata usaha negara, hukum pajak,
hukum pidana), maupun termasuk bidang hukum privat (seperti hukum perkawinan,
hukum waris, dan hukum dagang).[8]
HPI (Hukum Pergaulan Internasional) adalah
seperangkat kaidah-kaidah hukum nasional yang mengatur peristiwa atau hubungan
hukum yang mengandung unsur transnasional (unsur-unsur
ekstra-teritorial).[9]
Dari pendapat beberapa ahli hukum perdata
internasional tersebut, dapat disimpulkan bahwa, “HPI adalah segala peraturan
atau norma hukum atau asas-asas hukum yang mengatur hubungan hukum antara kepentingan perseorangan atau badan pribadi
yang subyek/ obyek hukumnya atau sistem hukumnya mengandung unsur asing”.
2.
Sumber Hukum Perdata Internasional
Sumber-sumber Hukum Perdata
Internasional antara lain :
a.
Undang-undang;
b.
Traktat (Perjanjian);
c.
Asas-Asas Hukum Umum;
d.
Hukum Kebiasan;
e.
Yurisprudensi Nasional
maupun Internasional;
f.
Doktrin Hukum (ajaran
hukum umum).
3.
Materi Hukum Perdata Internasional
Muatan atau materi yang
diatur dalam HPI adalah :
a.
HPI material
(substantive), memuat :
1)
Hukum Pribadi;
2)
Hukum Harta Kekayaan;
3)
Hukum Keluarga;
4)
Hukum Waris.
b.
HPI Formal (ajektip)
yang mengatur tentang :
1)
Klasifikasi;
2)
Persoalan preliminer,
persoalan pendahuluan;
3)
Penyelundupan hukum;
4)
Pengakuan hak-hak yang
telah diperoleh;
5)
Ketertiban Umum;
6)
Asas timbal balik;
7)
Penyesuaian;
8)
Pemakaian hukum asing;
9)
Renvoi;
10)
Pelaksanaan keputusan
Hakim asing.
4.
Masalah-Masalah Pokok HPI
Masalah-masalah pokok HPI adalah :
a)
Hakim atau badan
peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang
mengandung unsur asing. Dalam hal ini menurut Graveson, bahwa asas-asas HPI
berusaha membentuk aturan-aturan yang digunakan antara lain untuk membenarkan
pengadilan secara internasional memiliki yurisdiksi untuk mengadili
perkara-perkara tertentu apapun (chois of
yuridiction).
b)
Hukum manakah yang
harus diberlakukan untuk mengatur dan atau menyelesaikan persoalan-persoalan
yuridis yang mengandung unsur asing. Menurut Graveson, bahwa HPI tidak berusaha
menentukan kaidah-kaidah hukum intern mana dari suatu sistem hukum yang akan
digunakan hakim untuk memutus suatu perkara, melainkan hanya membantu
menentukan sistem hukum yang seharusnya diberlakukan (the appropriate sistem).
c)
Bilamanakah suatu
pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan-putusan hakim asing dan
atau mengakui hak-hak/kewajiban-kewajiban hukum yang terbit berdasakan hukum
atau putusan hakim asing.
Masalah ini berkaitan erat dengan persoalan
apakah suatu forum asing memiliki kewenangan yurisdiksional dalam memutus suatu
perkara. Tidak perlu dipermasalahkan juga, apakah forum asing ini telah
menerapkan sistem hukum atau aturan hukum yang tepat. Dalam hal ini,
masalah-masalah pokok yang dijawab oleh HPI banyak berkaitan dengan dasar-dasar
bagi pengadilan untuk mengakui atau menolak hukum asing/hak-hak asing di dalam
yurisdiksinya.[10]
5.
Asas-asas Umum HPI Material
1.1
Hukum Pribadi (law of persons)
1.
Status Personal (personal status)
Status personal adalah keadaan
suatu pribadi dalam hukum yang diberikan dan /diakui oleh Negara untuk
melindungi masyarakat dan lembaga-lembaganya. Status personel meliputi hak dan
kewajiban, kemampuan dan ketidak mampuan berbuat dalam bidang hukum. Status
personel ini tidak dapat diubah oleh pemiliknya.
Status personel menentukan
“hukum mana” di antara berbagai sistem hukum yang relevan mengenai status
kewenangan (status personal) subyek-subyek hukum harus diatur.
a.
Asas
personalitas/kewarganegaraan (lex patriae),
artinya untuk menentukan status personal suatu pribadi hukum adalah berdasarkan
“hukum nasionalnya” (lex patriae).
Asas ini diikuti oleh Negara-negara Eropa kontinental yang bersistem hukum
sipil (civil law system);
b.
Asas
territorial/Domisili (lex domicili),
artinya status personal suatu pribadi (seseorang) berdasarkan “hukum” di negara
mana ia berdomisili. Asas ini berlaku di negara-negara Anglo Saxon (Common law system).
2.
Kewarganegaraan (nationality)
Untuk menentukan
kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh asas-asas umum hukum internasional
(convensi, kebiasaan, dan asas-asas umum) mengenai kewarganegaraan seseorang.
a.
Asas tempat kelahiran
(ius soli), yaitu kewarganegaraan
seseoang ditentukan berdasakan tempat
kelahirannya;
b.
Asas keturunan (ius sanguinis), yaitu kewarganegaraan
seseorang ditentukan berdasarkan keturunannya.
3.
Domicilie.
Domisili adalah tempat
seseorang menetap secara permanen yang menurut hukum dianggap sebagai pusat
kehidupan seseorang (center of his life).
Berdasarkan asas domisili, status dan kewenangan personal seseorang berdasarkan
hukum domisili (hukum tempat kediaman tetap) orang yang besangkutan.
1)
Domicile of origin,
yaitu tempat kediaman tetap seseorang berdasarkan tempat kelahirannya. Bagi
anak sah, “domiscile of origin”
adalah Negara dimana ayahnya berdomisili saat si anak lahir. Bagi anak tidak
sah, domisili ibunya yang menjadi “domicile
of origin” si anak.
2)
Domicile of dependence (by operation of the law), yaitu tempat kediaman tetap seseorang tergantung pada
domisili orang lain. Anak yang belum dewasa mengikuti domisili ayahnya.
Domisili isteri mengikuti domisili suaminya.
3)
Domicile of choice,
yaitu tempat kediaman seseorang berdasarkan pilihannya atau atas kemauanya.
Dalam sistem hukum Inggris,
untuk memperoleh “domisile of choice”, harus dipenuhi 3 (tiga) syarat yaitu:
a.
mempunyai kemampuan
bersikap atau bertindak dalam hukum (capacity);
b.
harus mempunyai tempat
kediaman (residence) tertentu dalam kehidupan
sehari-hari (habitual residence);
c.
mempunyai hasrat atau
itikad (intention) untuk terus
menetap di tempat yang baru.
4.
Badan Hukum (Corporations)
Pribadi hukum (corporations), adalah suatu badan yang
mempunyai kekayaan yang terpisah dari anggotanya, dianggap sebagai subyek hukum
karena mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai hak dan
kewajiban atau tanggung jawab seperti halnya orang. Pribadi hukum (badan hukum)
ini mempunyai pengurus dapat mengelola kekayaannya dan melakukan perbuatan
hukum (perjanjian).
1)
Asas
kewarganegaraan/domisili pemegang saham (lex
patriae atau lex domicile);
2)
Asas centre of administration/(business) yang beranggapan bahwa status dan kewenangan yuridik
suatu badan hukum mengikuti hukum dari tempat kegiatan administrasi/manajemen
bisnis badan hukum tersebut;
3)
Asas place of incorporation, beranggapan bahwa status dan kewenangan badan hukum
ditetapkan berdasarkan hukum dari tempat badan hukum secara resmi
didirikan/dibentuk;
4)
Asas centre of exploitation atau centre of operations, artinya bahwa status dan kedudukan badan hukum diatur
berdasarkan hukum dari tempat badan hukum itu memusatkan kegiatan operasional,
eksploitasi, atau memproduksi barang.
1.2
Hukum Harta Kekayaan (law of property)
Hukum harta kekayaan (law of property), terdiri dari: pertama,
kekayaan materiel, meliputi : (a) benda-benda tetap/benda tidak bergerak (immovables property), (b) benda-benda
lepas/bergerak (movables property), kedua, kekayaan imaterial, dan ketiga, perikatan (obligations).
1.
Kekayaan Materiel
Ad.a. Status benda tetap/benda tidak bergerak
(immovables property)
Bahwa status benda tetap/tidak bergerak
ditetapkan berdasarkan ”asas lex rei sitae/lex situs” atau hukum dari tempat
letaknya benda tetap berada.
Ad.b. Status benda lepas/bergerak (movables)
Untuk menentukan status hukum benda bergerak
/lepas (movables) ditetapkan berdasarkan sebagai berikut:
a.
hukum dari tempat pemegang
hak atas benda lepas/bergerak (bezitter/eigenaar) berkewarganegaraan (asas nasionalitas);
b.
hukum dari tempat
pemegang hak atas benda berdomisili (asas
domicile);
c.
hukum dari tempat
benda diletakkan (lex situs/lex rae
sitae).
Untuk
benda bergerak, sebelumnya berlaku asas “mobilia
personam sequntuur” (benda mengikuti status orang yang menguasainya).
2.
Kekayaan Immateriel
2.a. Status benda
tidak berwujud
Status benda-benda tidak
berwujud (surat-surat piutang (surat-surat berharga), HAKI (merk, paten, hak cipta dsb) ditentukan
berdasarkan:
a.
hukum dari tempat
kreditur atau pemegang hak atas benda berkewarganegaraan atau berdomisili (asas lex patriae/atau lex domicili);
b.
hukum dari tempat
benda-benda itu diakan gugatan (lex
fori);
c.
hukum dari tempat
pembuatan perjanjian hutang piutang (lex
loci contractus);
d.
hukum yang sistem
hukumnya dipilih oleh para pihak dalam perjanjian yang menyangkut benda-benda
tidak berwujud (choisce of law);
e.
yang memiliki kaitan
yang paling nyata dan substansial terhadap transaksi yang menyangkut benda
tersebut (the most substatantial
connection);
f.
pihak yang prestasinya
dalam perjanjian tentang benda yang bersangkutan tampak paling khas dan karakteristik (the most characteristic connection).
2.b. Hukum jaminan
Untuk hukum jaminan, status hukum yang berlaku
adalah, sebagai berikut:
a.
hukum dari tempat si
pemegang jaminan (kreditur) menjadi warganegara atau domisili (lex patriae atau lex domicile);
b.
hukum dari tempat yang
memiliki kaitan yang paling substantial dengan perjanjian induknya, atau
c.
hukum yang dipilih
oleh para pihak sebagai the applicable
law dalam perjanjian induk, atau hal yang tidak ada pilihan hukum, hukum
yang merupakan “the proper law of
contract” dari perjanjian induk.
3.
Hukum Perikatan (obligation)
Hukum perikatan (obligation) meliputi : (a)
Perjanjian (contracts); (b) Perbuatan melanggar hukum (torts).
3.a. Perjanjian (contracts)
Perjanjian HPI adalah suatu
persetujuan antara dua orang atau lebih berisi janji-janji secara timbal balik
yang diakui oleh hukum, atau pelakanaannya diakui sebagai kewajiban hukum dan
mempunyai unsur asing.
Unsur asing yang dimaksud
adalah subyeknya atau obyek yang diperjanjikan, atau sistem hukumnya.
Dalam Perjanjian (kontrak)
perdata Internasional, kedua belah pihak berhak menentukan atau memilih sistem
hukum tertentu yang menguasai atau sebagai dasar suatu perjanjian.
Pilihan hukum harus dinyatakan secara tegas di dalam
perjanjian, termasuk klausula apabila terjadi sengketa di antara para pihak
diselesaikan melalui lembaga peradilan ataukah lembaga arbitrase.
Pilihan hukum yang dimaksud
tidak boleh bertentangan atau mengganggu ketertiban/kepentingan umum.
Apabila belum dilakukan
pilihan hukum pada saat membuat perjanjian (kontrak), maka dapat menggunakan
asas-asas yang berlaku dalam perjanjian HPI.
Asas-asas dan teori tentang
penentuan hukum “the proper law contract,
adalah sebagai berikut :
1.
Asas dai teori lex
loci contactus. Ini merupakan teori klasik
yang berlandaskan “asas locus regit actum, Berdasarkan asas ini “the proper law
of contract”, hukum yang berlaku
adalah hukum Negara/tempat; kontrak/perjanjian dibuat.
2.
Asas lex loci solutionis,
yaitu menggunakan hukum dari tempat/negara dilaksanakannya/ pelaksanaan suatu
perjanjian;
3.
Asas kebebasan para pihak (party autonomy), artinya para pihak mengadakan kesepkatan untuk
menentukan sistem hukum mana yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Asas ini merupakan asas pilihan hukum dan berlaku adanya pembatasan-pembatasan,
misalnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan asas-asas hukum
umum perjanjian.
Selain berdasarkan asas-asas
tersebut, ada teori-teori untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada ketiga
asas-asas tersebut. Teori yang dimaksud adalah :
1)
Teori Pengiriman (theory of expedition/mail box theory/post box
theory). Dalam perjanjian HPI pada umumnya para pihak yang melakukan
perjanjian tidak saling bertemu, perjanjian dilakukan dalam jarak jauh (melalui
sarana electronic), dalam hal ini hukum
yang berlaku terhadap perjanjian demikian adalah “hukum dari Negara si penerima
tawaran yang mengirimkan/ menyampaikan pernyataan penerimaannya”;
2)
Teori pernyataan (theory
of declaration/theory of arrival). Menurut teori ini hukum yang berlaku
adalah dari Negara/tempat”pernyataan penawaran diterima” (hukum dari Negara/tempat
yang menawarkan).
3.b. Perbuatan Melanggar Hukum
(tort)
a)
Hukum dari tempat
terjadi perbuatan melanggar hukum (lex
loci delicti commissi);
b)
Hukum dari tempat
dimana perbuatan melanggar hukum diadili (lex
fori);
c)
Dipakai teori “the
proper law of the tort” (lex propria
delicti), yaitu digunakan sistem hukum yang memiliki kaitan yang paling
signifikan dengan rangkaian peristiwa/perbuatan dan situasi kasus yang
dihadapi.
Asas atau teori “the proper law of the tort (Inggris) di Amerika Serikat dikenal
dengan “The most significant relationship
theory”.
1.3
Hukum Keluarga
1.
Perkawinan
Hukum yang dipergunakan untuk perkawinan HPI
(yang ada unsur asing) adalah:
a.
hukum dari
Negara/tempat dilangsungkannya perkawinan (lex
loci celebrations);
b.
hukum masing-masing
pihak berwarga negara;
c.
hukum masing-masing
pihak berdomisili.
Dari ketiga asas tersebut yang paling valid adalah “lex loci celebrationis” yakni hukum dari
tempat pekawinan dilangsungkan.
2.
Hubungan orang tua dengan anak
1)
Anak sah, adalah anak
yang lahir dari pekawinan kedua orang tuanya;
2)
Anak tidak sah,
terdiri dari:
(a) anak lahir dari hubungan incest;
(b) anak yang lahir dari perzinahan;
(c) anak yang lahir di luar nikah.
Anak incest dan anak
zinah tidak dapat disahkan.
Anak luar nikah, dapat
disahkan (tanpa perkawinan) asal diakui oleh ayahnya dengan memakai hukum si ayah (asas lex
patriae atau asas lex domicili si ayah). Dapat juga disyahkan dengan
perkawinan kedua orang tuanya.
Hubungan hukum antara anak dengan ibu
dipergunakan hukum si ibu bekewarganegaraan atau berdomisili (lex patriae atau lex domicile)
Hubungan antara anak dengan orang tuanya, hukum
yang dipergunakan adalah:
a.
hukum domisili orang
tua, waktu perkawinan dilangsungkan (common
law);
b.
hukum nasional ayah
pada saat perkawinan atau pengakuan (civil
law);
c.
hukum nasional atau
domisili anak (lex patriae atau lex
domicile);
d.
hukum tempat diajukan
pengesahan/pengakuan terhadap anak (lex
fori).
3.
Adopsi
Untuk mengadopsi anak dari Negara asing, hukum
yang dipakai adalah hukum kewarganegaraan si anak (adoptant) atau hukum sang hakim (lex fori) dimana
diajukannya adopsi.
4.
Perceraian dan akibat perceraian
Beberapa asas HPI, bahwa berakhirnya perkawinan
karena perceraian dan akibat-akibat perceraian harus diselesaikan berdasarkan
sistem hukum dari tempat:
a)
lex loci
celebrationis;
b)
joint nationality (tepat suami-isteri menjadi warganegara);
c)
joint recident/lex
domicile (tempat suami-isteri
berkediaman/berdomisili setelah perkawinan);
d)
lex fori (tempat diajukannya gugatan).
1.4
Hukum Waris
(successions)
Untuk menentukan hukum waris dalam HPI, ada
beberapa asas yang digunakan antara lain adalah :
a)
lex situs, yaitu hukum
dari Negara tempat benda tetap berada (terletak);
b)
berdasarkan
kewarganegaraan si pewaris (asas lex
patriae);
c)
hukum domisili si
pewaris (lex domicile).
Dalam hal warisan dengan testamen (wasiat),
untuk menentukan kecakapan pewaris (legal
capacity) pembuat testamen dipergunakan asas:
a)
hukum tempat pewaris
berdomisili (lex domicile), atau
menjadi warganegara (lex patriae) saa
testamen dibuat;
b)
hukum dari tempat
pewaris berdomisili atau menjadi warga Negara saat meninggal dunia;
c)
hukum dari tempat pembuatan
testamen (lex loci actus).
Persyaratan formal untuk menentukan sahnya
testamen yang esensi validitasnya (essential
validity) adalah berdasarkan hukum kewarganegaraan atau domisili pewaris
saat testamen dibuat (lex patriae atau
lex domicili), atau hukum dari tempat pembuatan testamen (asas lex loci actus).
2.
HPI Formal (Ajektif)
HPI Formal (Ajektif) meliputi :
a)
Kualifikasi
Kualifikasi adalah tindakan “penerjemahan” fakta-fakta atau
menata sekumpulan fakta yang dihadapi dan mendefinisikannya serta menempatkannya
dalam kategori tertentu.
Macam-macam kualifikasi dalam HPI, yaitu :
(a) kualifikasi hukum (classification of law), yaitu
penggolongan seluruh norma hukum ke dalam bagian-bagian hukum tertentu yang
sebelumnya telah ditetapkan; (b) kualifikasi fakta (classification of facts), yaitu kualifikasi yang dilakukan terhadap
fakta-fakta hukum untuk ditetapkan dan disimpulkan ke dalam satu atau lebih
permasalahan hukum berdasarkan norma atau sistem hukum yang berlaku.
a.
kualifikasi lex fori,
artinya kualifikasi yang didasarkan pada hukum sang hakim/ hukum dari
pengadilan pemeriksa perkara (lex fori).
Kualifikasi lex fori
ada dua macam, yakni:
1)
kualifikasi primer,
yaitu kualifikasi untuk menentukan hukum mana yang harus diberlakukan. Untuk
menentukan hukum (asing) yang harus diberlakukan, dipergunakan kualifikasi
menurut norma-norma hukum HPI lex fori;
2)
kualifikasi sekunder, yaitu bila sudah diketahui
hukum asing yang harus diberlakukan, hukum inilah yang digunakan untuk
melakukan klasifikasi selanjutnya dalam menyelesaikan kasus tersebut.
b.
kualifikasi lex causae,
adalah hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan HPI adalah
kesluruhan sistem hukum yang besangkutan dengan kasus;
c.
kualifikasi secara bertahap, artinya kualifikasi yang dilakukan dengan bantuan
titik-titik taut dan secara bertahap berdasarkan lex fori lebih dahulu kemudian
lex cause dan sebaliknya;
d.
kualifikasi analitis (otonom), artinya dengan menggunakan metoda perbandingan dan
analytical jurisprudence, yaitu kualifikasi didasarkan pada pengertian umum
HPI;
e.
kualifikasi HPI, yaitu
bahwa setiap kaidah HPI harus dianggap
memiliki tujuan yang hendak dicapai, tujuan yang hendak dicapai harus
didasarkan pada kepentingan HPI yang mencakup ( keadilan, kepastian hukum, ketertiban dan kelancaran) dalam pergaulan internasional.
b)
Persoalan
Pendahuluan (Preleminer/incident question)
Bila dalam suatu persoalan pokok (main issue) yang diajukan kepada hakim
telah dipastikan hukum yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan
pokok, dan ternyata hukum asing, maka perlu diselidiki lebih dahulu mengenai
sah tidaknya atau mengenai isi dari hubungan hukum lain (subsidiary question)
yang erat dengan persoalan pokok tersebut.[11]
Persoalan preliminer (pendahuluan) baru muncul
apabila dipenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu:
1)
dalam peristiwa HPI
yang bersangkutan harus dipergunakan
hukum asing;
2)
pemakaian HPI asing
tersebut menghasilkan keputusan yang berbeda daripada norma-norma HPI sang
hakim;
Hukum yang dipergunaan untuk persoalan
pendahulan (preliminer) adalah (lex fori, lex cause atau campuran), hal ini
tergantung dari setiap kasus.
c)
Penyelundupan
hukum (fraus legis/fraudulent creation of point of contant)
Penyelundupan hukum terjadi bilamana ada seseorang
atau pihak-pihak yang mempergunakan berlakunya hukum asing dengan cara-cara
yang tidak benar, dengan maksud untuk menghindari berlakunya hukum nasional.
Akibat penyelundupan hukum asing, adalah batal demi hukum.[13]
d)
Pengakuan hak yang
telah diperoleh, pelanjutan keadaan hukum ( vested right/ acquired right)
Artinya bahwa suatu hak yang telah diperoleh
menurut ketentuan hukum asing, akan diakui dan dilaksanakan seperlunya dalam
suatu Negara, sepanjang hak-hak itu tidak bertentangan dengan konsep “ketertiban
umum” Negara yang bersangkutan. Dengan demikian perubahan fakta-fakta tidak
akan mempengaruhi berlakunya suatu norma yang
semula telah dipakai.
e)
Ketertiban umum
(Public Policy)
Ketertiban umum (Public policy) berfungsi
sebaga pembatas atau pencegah berlakunya hukum asing yang menurut norma HPI
Negara yang bersangkutan seharusnya dipergunakan. Bila pemakaian hukum asing
ini berakibat akan dilanggarnya sendi-sendi asas hukum nasional, maka hakim
dapat mengesampingkan pemakaian hukum asing.
f)
Asas timbal balik
(reciprocity)
Asas timbal balik (reciprositas) merupakan pencerminan dari asas persamaan hak,
persamaan penilaian, dan persamaan perlakuan yang berlaku dalam pergaulan
internasional.
Asas timbal balik menjadi dasar suatu tindakan
mengesampingkan berlakunya hukum asing yang menurut norma HPI si hakim sendiri
seharusnya dipergunakan. Di kesampingkannya hukum asing tersebut, adalah akibat sikap Negara asing
yang mengesampingkan hukum nasional sang hakim yang seharusnya dipergunakan.
Penggunaan asas resiprositas dalam HPI boleh
dilakukan karena hal tersebut merupakan keharusan. Asas ini boleh dilakukan
kalau sikap Negara asing tersebut sangat merugikan Negara sang hakim sendiri.
Sikap Negara asing yang merugikan Negara sang
hakim dapat bersifat melanggar hukum maupun tidak melanggar hukum.
Tindakan timbal balik balik digolongkan ada dua
macam, yaitu timbal balik formal dan material.
Timbal balik formal adalah apabila orang asing
di suatu Negara sendiri mendapat
perlakuan yang sama dengan warganegara sendiri apabila di Negara orang asing tersebut, warga Negara sendiri
diperlakukan sama dengan warga Negara dari Negara asing tersebut.
Timbal balik material, adalah apabila dalam
peraturan perundang-undangan yang menentukan hak-hak yang diberikan kepada orang
asing dalam suatu Negara, sama dengan hak-hak yang diperoleh warganegaranya
Negara yang bersangkutan. Ini merupakan tindak lanjut dari kebijaksanaan suatu
Negara yang berupa “national treatment”.
g)
Penyesuaian
(Adaptation/Adjustment)
Penyesuain adalah suatu kegiatan meliputi suatu
pengertian hukum asing ke dalam pengertian hukum//terminology hukum sendiri.
Penyesuaian itu meliputi (transposition,
substitution, adaptation, dan berdasarkan suatu ketentuan/peraturan).
Transposition, adalah pemindahan (transfer)
dari hubungan-hubungan hukum, perbuatan-perbuatan hukum atau pernyataan
kehendak menurut suatu sistem hukum tertentu ke dalam pengertian-pengertian
hukum lain.
Substitution, adalah pengertian hukum sendiri
(intern) digantikan dengan pengertian
hukum asing yang sama nilainya. Dalam hal ini dilakukan perbandingan hukum.
Adaptation, adalah penghalusan hukum dengan
mengkombinasikan pengertian-pengertian hukum yang saling berkaitan.
Penyesuaian harus dilakukan berdasarkan suatu ketentuan atau peraturan.
h)
Pemakaian Hukum
Asing
Yang dimaksud pemakaian hukum asing tidak hanya
hukum asing yang tertulis (perundang-undangan) saja, melainkan juga hukum tidak
tertulis, yaitu hukum (kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin /pendapat para
ahli hukum) dari Negara yang bersangkutan.
Pemakaian hukum asing pada HPI, dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1.
hukum asing dianggap
sebagai hukum (regulation);
2.
hukum asing dianggap
sebagai fakta (regularity);
3.
hukum asing dianggap
sebagai bagian hukum nasional (treaty/convention).
i)
Renvoi
Renvoi adalah penunjukkan hukum asing oleh
hukum nasional (sendiri). Bila sistem HPI suatu Negara, menunjuk berlakunya
suatu hukum asing, hal tersebut data diartikan bahwa yang dimaksud sebagai
hukum asing adalah : (a) ketentuan hukum intern Negara yang bersangkutan yaitu
“sachnormen” atau (b) seluruh sistem
hukum Negara tersebut, termasuk norma HPI atau kollision normennya.
Di Jerman, penunjuk pertama disebut “sachnorm verweissung”, penunjukan kedua
disebut “gesamt verweissung”.
j)
Pelaksanaan putusan
Hakim asing
Bila seorang hakim nasional mengadili perkara
suatu kasus (tantra/pidana/perdata) internasional, maka ia menyelenggarakan
peradilan internasional (de doublement
functionell) dan putusannya merupakan Hukum Internasional (konkrit),
walaupun ia bukan Hakim Internasional dan lembaganya tetap Pengadilan Nasional.[14]
Permasalahannya, apakah hakim Negara lain
mengakui dan melaksanakan putusan hakim asing yang bersifat (Hukum) Internasional?
Pengakuan, berarti bahwa pengadilan suatu
Negara menyatakan menerima suatu putusan hakim asing tetapi tidak
melaksanakannya.
Pelaksanaan, berarti bahwa pengadilan suatu
Negara memberlakukan putusan hakim asing dan menyediakan segenap kemampuannya
agar putusan tersebut mempunyai daya laku.[15]
Beberapa asas dasar pengakuan putusan hakim
asing, yakni :
1.
Prinsip penghargaan.
Hal ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan asas timbal balik (reciprocity), juga perwujudan saling
pengertian dan persahabatan antar Negara untuk menghormati sistem hukum Negara
lain dan hak-hak yang timbul daripadanya.
2.
Pengakuan terhadap
hak-hak yang telah diperoleh. Hal ini berdasarkan pemikiran hak para pihak yang diperoleh atau diakui
oleh putusan hakim asing yang selayaknya dipertahankan pelaksanaannya di Negara
lain.
3.
Teori kewajiban, bahwa
putusan hakim asing wajib ditaati oleh para pihak, dan harus dilaksanakan dimanapun
para pihak berada.
Putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan
apabila :
1.
putusan diperoleh
melalui kecurangan;
2.
putusan hakim asing
bertentangan dengan ketertiban umum;
3.
putusan hakim asing
bertentangan dengan prinsip keadilan;
4.
pengadilan asing tidak
memiliki yurisdiksi terhadap kasus yang diperiksa.
[1]
Bayu Seto. 1992. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Citra Aditya
Bakti. Bandung .
hlm. 5.
[2] Ibid.
[3] Lemaire,
op. cit. hlm. 16.
[4] Mochtar
Kusumaatmadja, op. cit. hlm. 1.
[5]
Sudargo Gautama. 1977. Pengantar Hukum Perdata Internasional. Binacipta.
Bandung . hlm.
19.
[6] Ibid.
hlm. 21.
[7]
Sunaryati Hartono, op.cit. hlm. 8.
[8] Ibid.
hlm. 13.
[9] Bayu
Seto, op.cit. hlm. 8.
[10] Bayu
Seto, ibit. hlm. 10-11.
[11]
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo. 1989. Sendi-sendi hukum perdata
Internasional. Rajawali Pers.
Jakarta. hlm. 60.
[12] Ibid.
hlm. 61.
[13] Ibid.
hlm. 63.
[14] Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, op. cit. hlm
[15] Purnadi
Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, op. cit. hlm. 79.
sangat membantu terimakasih...
BalasHapussangat membantu makasih pak
BalasHapus