Jumat, 04 Mei 2012

Pengantar Hukum Indonesia (Bab VI)


BAB VI
DASAR-DASAR HUKUM ADAT


1.             Pengertian Hukum Adat
Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa, yang merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa yang cukup lama bahkan berabad-abad. Setiap bangsa tentunya mempunyai adat atau kebiasaan sendiri-sendiri satu dengan yang lain tidak sama. Ketidaksamaan ini  memperlihatkan bahwa adat dan atau kebiasaan merupakan unsur yang penting dalam pergaulan hidup kemasyarakatan. Adat-istiadat dan kebiasaan yang sudah mentradisi inilah yang mejadi sumber terbentuknya hukum adat dan hukum kebiasaan.
 Hukum Indonesia yang bersumber dari adat istiadat inilah yang kemudian disebut hukum adat, sedangkan yang bersumber dari kebiasaan disebut hukum kebiasaan.
Adat istiadat adalah  tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadatkan ( dibiasakan untuk dilakukan) karena merupakan perbuatan baik guna menjaga ketenteraman dan keseimbangan hidup di antara sesama anggota masyarakat. Adat-istiadat yang berlangsung lama dan diikuti atau dilakukan setiap anggota masyarakat berarti telah membiasa sebagai kebiasaan (tradisi). Dengan demikian adat istiadat sama dengan kebiasaan.
Kebiasaan-kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata-kehidupan dalam masyarakat, disebut kebiasaan. Ada yang menganggap bahwa, adat istiadat itu sebagai peraturan sopan santun yang turun temurun. Bedanya, adat istiadat bersifat lebih sakral (sesuatu yang suci) dan mentradisi, kalau kebiasaan tidak mengandung makna sakral, tapi sengaja ditradisikan dibiasakan untuk dilakukan.
Perbedaan antara  kebiasaan dan adat adalah perbedaan asal. Adat bersifat  agak sakral berhubungan dengan  (bersumber) dari tradisi rakyat Indonesia yang telah turun temurun. Kebiasaan - berasal (bersumber) dari negara lain (asing) dan/atau  berlakunya  wilayah  kota. Kebiasaan  belum/tidak merupakan tradisi rakyat - sebagian besar hasil akulterasi antara budaya “Timur” dengan “Barat” yang belum diresapi sebagai tradisi.
Soepomo, di dalam “Beberapa catatan mengenai Kedudukan Hukum Adat” mengartikan hukum adat sebagai sinonim dari “hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (non statutory law); hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya); hukum yang timbul karena putusan-putusan Hakim (Judge made law); hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa (Customary law); semua ini merupakan Adat atau Hukum yang tidak tertulis yang disebut oleh Pasal 32 UUDS Tahun 1950”.[1]
Di dalam bukunya “Bab-Bab Tentang Hukum Adat” Soepomo menyatakan, bahwa hukum adat adalah hukum non-statutory yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.[2]
Dari uraian tersebut, Soepomo mengartikan hukum adat sebagai hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan yang tidak tertulis.
Sukanto di dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia” mengemukakan bahwa, hukum adat adalah hukum yang tidak dibukukan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan (dwang) mempunyai akibat hukum atau “rechtsgevolg”.[3]
Dalam hal ini  Sukanto mengartikan hukum adat sebagai keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat yang bersifat memaksa dan  mempunyai akibat hukum.
 Kusumadi Pudjosewojo di dalam bukunya “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia” membedakan antara “adat istiadat”, adat nan tar adat”, “adat” dan  “adat yang hukum”.
Adat istiadat, yaitu adat pusaka dari leluhur, yang semenjak purbakala berlaku sebagai adat; adat itu menjadi dasar; perubahan dalam adat itu hampir tidak diadakan.[4]
Adat nan tar adat, yakni adat yang dijadikan adat. Ini bukan adat yang sama sekali baru diadakan, melainkan adat untuk menambahi dan melengkapi; menjalankannya menurut tempat-tempat.[5]
Selanjutnya,  “Adat” adalah aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat sebagaimana dimaksudkan tadi, adalah aturan-aturan adat.[6]
 Dalam uraiannya, Kusumadi tidak menyebutkan secara definitip tentang pengertian “hukum adat”. Beliau menyatakan sebagai berikut “Penetapan-penetapan yang dipernyatakan dari para petugas hukum demikian itu dapat dijadikan tanda ciri untuk menunjuk batas antara yang adat dan yang hukum. Ini tidak berarti bahwa sebelum penetapan, aturan itu belum besifat hukum. Tetapi baru pada saat penetapanlah aturan tingkah laku adat itu tegas berwujud hukum yang positip. Dengan sekaligus dalam suatu penetapan, suatu tingkah laku diadatkan seraya pula dihukumkan”. Jika  hukum  ini tidak tertulis, maka itu disebut “hukum adat”. Tetapi pula perwujudan dari proses menjadinya hukum itu menurut cara-cara tertentu, dalam bentuk tertulis, yang disebut “hukum tertulis” yang sekarang disebut “perundang-undangan”.[7]
 Selanjutnya beliau menjelaskan arti “Adat” dan arti “Hukum” dan “Hukum Adat” sebagai berikut : Adat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadatkan. Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan-aturan Adat. Akan tetapi dari aturan-aturan tingkah laku itu ada pula aturan-aturan tingkah laku yang merupakan “Aturan Hukum”.[8]
Menurut Ter Haar (dalam pidato Dies pada tahun 1930), hukum adat adalah  hukum yang lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal pertentangan kepentingan - keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau tidak ditoleransikan olehnya. Selanjutnya dalam orasi pada tahun 1937, Ter Haar memberikan pengertian hukum adat adalah “keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht, authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati”.[9]
Pendapat Ter Haar tentang pengertian hukum adat yang lahir dari sebuah keputusan tersebut, oleh para ahli hukum dikenal dengan  “Teori Keputusan” (beslissingenleer).
Snouck Hurgronje, mempergunakan istilah hukum adat sebagai sebutan untuk hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi.[10]
R. Van Dijk  mengemukakan bahwa, hukum adat adalah hukum yang tidak dikodifikasi di kalangan bangsa Indonesia dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dsb).[11]
Dari pendapat Snouck Hurgronje dan Van Dijk tersebut, bahwa  hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang berlaku bagi rakyat Indonesia dan Timur Asing.
Bellefroid dalam bukunya “Inleiding tot de rechtswetenschap in Nederland” memberikan pengertian hukum adat adalah peratuan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh Penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.[12]
M.M. Djojodigoeno dalam bukumnya “Asas-asas Hukum Adat” mendefinisikan hukum adat sebagai hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.[13]
Menurut Van Vollenhoven, bahwa hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut  “hukum”) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan, karena  itu disebut “adat”.[14] Selanjutnya dikatakan oleh van Vollenhoven bahwa, tidak semua kaidah adat istiadat merupakan hukum, yaitu hukum positif.  Ada perbedaan antara hukum adat dan adat. Di samping adat yang yang bersanksi, ada juga adat yang tidak bersanksi. Hukum adat adalah adat yang bersanksi, sanksinya adalah reaksi masyarakat terhadap perbuatan salah satu anggotanya.[15] Kemudian van Vollenhoven menyatakan bahwa, hukum adat tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Hukum adat ialah bagian tatahukum Indonesia yang berasal dari adat istiadat. Adat istiadat ialah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada, telah merupakan tradisi dalam masyarakat Bumi Putera, dan yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat Bumi Putera itu.[16]
Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, hukum adat hanya dapat diketahui dari dan hanya dapat dipertahankan dalam keputusan-keputusan para peguasa Adat.[17]
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa hukum adat adalah keseluruhan kaidah-kaidah atau norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang berasal dari adat istiadat atau kebiasaan masyarakat Indonesia untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, terhadap yang melanggarnya dapat dijatuhi sanksi.
 Bagian terbesar dari hukum adat masih tidak tertulis. hukum adat hanya dapat diketahui dari dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan para tetua-tetua atau penguasa adat.
Banyak keputusan-keputusan tersebut oleh para ahli ilmu hukum adat dikumpulkan dalam himpunan-himpunan yurisprudensi adat atau ditulis dalam literatur adat. Buku-buku tentang hukum adat yang terkenal hingga kini tetap dipakai sebagai rujukan antara lain :
1.             Prof Mr.C.Van Vollenhoven  “Het Adatrecht van Ned. Indie” (Hukum Adat Indonesia) 3 jilid;
2.             Mr. B. Ter Haar Bzn.  “Beginselen en stelsel van het  adatrecht” (Asas-asas dan Susunan Hukum Adat);
3.             Prof. Dr. Soepomo “Het adat privaatrecht van West Java” (Hukum Adat Perdata Jawa Barat);
4.             Prof. M.M. Djojodiguno dan Tirtawinata “Het Adatrecht van Middel Java” (Hukum Adat Perdata Jawa Tengah);
5.             Dr. V.E. Korn “Het Adatrecht van Bali” (Hukum Adat Bali);
6.             Dr. J. Mallinckrodt “Het Adatrecht van Borneo” (Hukum Adat Borneo) dan lain-lain.
Pengarang yang pertama menulis tentang filsafat hukum adat adalah M. Nasroen, di dalam bukunya “Dasar Filsafah Hukum Adat Minangkabau” (1957).
Sebagian besar hukum adat  bentuknya tidak tertulis,  hanya sebagian kecil yang tertulis, diantaranya ialah :
a.              Bermacam-macam piagam raja (surat pengesahan raja atau kepala adat);
b.             Kitab-kitab hukum misalnya yang dibuat oleh Kasunanan, Mangkunegara dan Pakualam dahulu antara lain :
Angger - aru-biru” (tahun 1782);
Nawolo - Pradoto” (tahun 1771, 1818);
Peraturan Bekel” (tahun 1884);
c.              Peraturan persekutuan hukum adat yang dituliskan seperti :
“Pranatan desa” - “agama desa” - “awig-awig” ( peraturan subak di Bali).

2.             Bentuk Hukum Adat
Dari uraian di muka dapat diketahui bahwa, bentuk atau wujud Hukum Adat yaitu :
a.              Tidak tertulis, bahwa hukum adat sebagian besar tidak tetulis;
b.             Tertulis, bahwa sebagian kecil hukum adat tertulis dalam buku-buku kuno (klasik) yang dikeluarkan oleh para raja/sultan jaman  kerajaan dahulu (Kerajaan Kadiri, Kerajaan Singosari, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram Islam).

3.             Unsur-unsur Hukum Adat
Unsur-unsur hukum adat ada 3 (tiga), yaitu  :
a.       adat-istiadat bangsa Indonesia (bentuk : tidak tertulis dan  tertulis);
b.       hukum agama;
c.       kebiasaan (unsur asing).
Ada 3 (tiga) persyaratan  agar adat/kebiasaan dapat menjadi hukum adat/ hukum kebiasaan, yakni :
a.              Syarat Material, adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap (ajeg) di ulang-ulang, artinya suatu rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung untuk beberapa waktu lamanya. Harus dapat ditunjukkan adanya perbuatan yang berlangsung lama, harus ada yang dinamakan longa et inveterate consuetude;
b.             Syarat Intelektual (opinio necessitatis), artinya kebiasaan/adat itu harus menimbulkan keyakinan pendapat umum demikanlah seharusnya (opinio necessitatis), bahwa perbuatan itu merupakan kewajiban hukum. Kebiasaan itu harus dilakukan karena keyakinan, bahwa hal itu patut secara obyektip dilakukan, bahwa dengan melakukan itu berkeyakinan telah melakukan kewajiban hukum;
c.              Adanya akibat hukum atau menimbulkan akibat hukum apabila adat/kebiasaan itu dilanggar.[18]

4.             Sistem  dan Sifat Hukum Adat
Sistem hukum adat berlainan dengan hukum Barat. Perbedaan ini disebabkan karena filsafat (pandangan hidup yang berbeda) dan sifat atau karakter masyarakatnya. Sifat atau karakter suatu masyarakat juga mempengaruhi terhadap sistem dan sifat hukum yang  berlaku atas suatu bangsa atau masyarakat.
Masyarakat Eropa (Hukum Barat) bersifat liberalis-individualistis dan rationalistis, berbeda dengan cara berpikir masyarakat Timur (Asia) termasuk Indonesia yang bercorak tradisional, bersifat kosmis, tidak ada perbedaan antara dunia nyata dengan dunia gaib, hidup yang serba ketergantungan dengan yang lain, hidup serba kegotongroyongan (kehidupan kolektip/komunal).
Hukum Adat mempunyai sifat sebagai berikut :
a.              kebersamaan (komunal/kolektip), artinya orang Indonesia  suka hidup bersama dalam keterikatan kemasyarakatan  yang sangat  erat. Rasa kebersamaan (komunal) dari masyarakat Indonesia ini sangat mempengaruhi materi hukum adatnya.
b.             Bersifat religio-magis, masyarakat Indonesia masih mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap hal-hal gaib, misalnya terhadap adanya mahluk halus atau roh-roh  yang menunggu alam sekitarnya (penghuni gunung, sungai, lautan, pepohonan besar/tempat-tempat angker), kekuatan gaib, kesaktian. Hal ini menunjukkan bahwa manusia itu bagian dari alam raya dan berkewajiban untuk menjaga keseimbangan antara rohani dan jasmani, antara manusia dan lingkungannya.
c.              Sifat konkrit atau nyata, artinya sifat berpikir bangsa Indonesia serba nyata (konkrit) tidak abstrak. Cara berpikir konkrit ini juga berpengaruh pada hukum adat, misal : uang panjar sebagai uang muka pembelian, peningset/ penyancang sebagai tanda pertunangan atau akan melakukan perkawinan; tetenger untuk menandai suatu barang (pohon, batas tanah garapan) bahwa barang yang diberi tetenger (tanda) itu dalam pengelolaannya (haknya);
d.             Bersifat kontan atau tunai, artinya bahwa suatu perbuatan simbolis atau dengan pengucapan bahwa tindakan yang dilakukan selesai, atau terjadi seketika itu juga dalam waktu yang bersamaan antara ucapan dan perbuatan. Misalnya  jual beli secara tunai, maka pada saat diucapkan jual-beli, maka  harus ada uang dan barang yang diserahkan kepada penjual dan pembeli.



Berbeda dengan sifat dan sistem Hukum Eropa (Hukum Barat), Perbedaannya antara lain :
a)             Hukum Barat mengenal perbedaan “zakelijk rechten” (hak kebendaan yang bersifat mutlak) dan “persoonlijke rechten” (hak perorangan yang timbul karena perikatan yang bersifat nisbi/relatip);
b)             Hukum Adat tidak mengenal perbedaan antara hak kebendaan dengan hak perorangan seperti pada Hukum Barat.
c)             Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum rivat. Dalam Hukum Adat tidak dikenal adanya hukum publik dan hukum privat;
d)            Hukum Adat tidak mengenal perbedaan antara pelanggaran pidana diperiksa oleh hakim (pengadilan) pidana, dan pelanggaran perdata diadili/diperiksa oleh hakim (pengadilan) perdata, sebagaimana yang dikenal dalam Hukum Barat;
e)             Hukum Adat tidak mengenal adanya benda bergerak dan benda tidak bergerak, sebagaimana yang terdapat dalam Hukum Barat.

Beberapa lembaga yang  terdapat dalam hukum adat adalah:
1.             Lembaga hukum adat yang disebut lindung, indung, magersari (Jawa), numpang.
“A memiliki tanah halaman (kosong). A mengizinkan B menumpang dengan tidak membayar sewa tetapi berkewajiban membantu A jika diperlukan”.
2.             Lembaga hukum adat yang disebut maro, mertelu (Jawa), nengah, jejuron (Sunda), memperduai (Minang), tigo (Minahasa), tesang (Sulawesi Selatan).
Contoh :   A memiliki sebidang sawah; A karena tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya mengadakan perjanjian dengan B, supaya B mengerjakan tanahnya dengan ketentuan akan menyerahkan sebagian hasilnya kepada A. Malahan dalam perjanjian itu ditetapkan juga pihak  yang harus menyediakan bibit dan lembu atau kerbau.
Hukum adat yang berasal dari  unsur agama (Islam) yang telah diterima dalam hukum adat ialah lembaga hukum wakaf dan  hukum perkawinan.
5.             Lingkungan Hukum Adat
Van Vollenhoven dalam bukunya “Adatrecht I “ membagi wilayah adat Indonesia dalam 19  lingkungan hukum (rechtskring), yakni:
1.             Aceh (Aceh Besar, Aceh Barat, Singkel, Simeulue);
2.             Tanah Gayo, Alas dan Batak serta pulau Nias dan Batu (Tanah Batak adalah Tapanuli Utara dan Selatan);
3.             Daerah Minangkabau dan Mentawai;
4.             Sumatera Selatan dan  Enggano;
5.             Daerah Melayu ( Sumatera Timur, Jambi-Riau, dan Indragiri);
6.             Bangka dan Belitung;
7.             Kalimantan (Tanah Dayak);
8.             Minahasa;
9.             Gorontalo;
10.         Daerah Toraja;
11.         Sulawesi Selatan;
12.         Kepulauan Ternate;
13.         Kepulauan Ambon dan Maluku;
14.         Irian;
15.         Kepulauan Timor;
16.         Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat);
17.         Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura;
18.         Daerah-daerah Swaparadja Istimewa (Yogyakarta dan Surakarta);
19.         Jawa Barat.
Pembagian/pembedaan hukum adat ke dalam 19 lingkungan hukum tersebut bukan merupakan yang asasi, melainkan  bersifat kedaerahan atau lokalistik.
Pada zaman modern ini, pembedaan hukum adat ke dalam 19 lingkungan hukum,  berangsur-angsur akan lenyap. Hal ini disebabkan oleh :
a.              pergaulan antara 19 lingkungan hukum adat tersebut makin lama-makin erat;
b.             pengaruh kota-kota besar dan modernisasi serta makin meresapnya jiwa dan semangat kewarganegaraan sebagai satu kesatuan negara nasional;
c.              keinginan untuk mengadakan unifikasi hukum nasional.
6.             Persekutuan Hukum
Persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) adalah perikatan atau perkumpulan    antar manusia yang mempunyai anggota-anggota yang merasa dirinya terikat satu-sama lainnya dalam satu kesatuan yang penuh solidaritas, dimana dalam anggota-anggota tertentu berkuasa untuk bertindak atas nama /mewakili  kesatuan itu dalam mencapai kepetingan atau tujuan bersama.
Persekutuan Hukum mempunyai susunan (struktur), alat-alat perlengkapan dan tugas. Untuk mengetahui susunan (struktur) persekutuan hukum, ada faktor-faktor yang mengakibatkan keberadaan persekutuan hukum.
Faktor-faktor tersebut adalah :
a.              Faktor Genealogi (persekutuan hukum genealogi), yaitu faktor mengikat anggota persekutuan didasarkan pada pertalian darah atau suatu keturunan bersama, atau dari nenek moyang yang sama;
b.             Faktor Teritorial (persekutuan hukum teritorial/daerah), faktor mengikat anggota persekutuan didasarkan pada daerah (tempat tinggal bersama), dan tempat mencari penghidupan yang sama.
Berdasarkan kedua faktor tersebut, maka susunan (sturuktur) persekutuan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.             Persekutuan Hukum Genealogi (berdasarkan pertalian keturunan), terdiri dari 3 (tiga) macam pertalian, yakni :
a.               Tata Susunan berdasarkan hukum Ayah (Patrilineal), yaitu pertalian darah menurut garis Bapak, seperti pada suku Batak, Nias, Sumba;
b.              Tata Susunan berdasarkan hukum Ibu (Matrilineal), yaitu pertalian darah menurut garis Ibu, seperti suku Minangkabau “aturan bermamak-kemanakan”;
c.               Tata Susunan hukum orang tua (Parental), yaitu pertalian darah menurut garis Bapak dan Ibu, seperti pada suku Jawa, Madura, Sunda, Aceh, Dayak.
2.             Persekutuan Hukum Teritorial, ada 3 (tiga) macam, yaitu :
a.               Pesekutuan Desa yakni, apabila setiap kelompok orang terikat pada daerah tertentu sebagai tempat kediaman bersama, juga apabila di dalamnya terdapat dukuh-dukuh terpencil yang  tidak berdiri sendiri (tidak bebas); sedangkan kepala atau para pejabat persekutuan semuanya bertempat tinggal di tempat kediaman pusat (misal : desa di Jawa dan Bali);
b.              Persekutuan Daerah, apabila di dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang masing-masing mempunyai tata-susunan dan pemerintahan sendiri yang dikepalai oleh pejabat-pejabat yang memegang kedudukan sejenis, berdiri sendiri tetapi semuanya merupakan bagian dari daerah, memiliki kekayaan (harta benda sendiri), mempunyai batas-batas wilayah hutan dan rimba serta hak atas tanah yang dipertuan (hak wilayah) untuk ditanami atau dikelola sendiri. (misal : Kuria di Angkola dan Mandailing yang mempunyai hutan-hutan di daerahnya; Marga di Sumatera Selatan dengan dusun-dusun di daerahnya;
c.               Perserikatan Desa (persekutuan beberapa desa), apabila persekutuan-persekutuan desa masing-masing lengkap dengan pemerintahan sendiri dan daerah sendiri dan tempatnya berdekatan mengadakan perjanjian untuk memelihara kepentingan bersama atau mengadakan hubungan kerjasama secara tradisional di bidang pemerintahan, kerjasama ini tidak mempunyai kewenangan yang lebih tinggi di antara kedudukan satu dengan yang lain.(misalnya  persekutuan huta-huta pada suku Batak).

7.             Hukum Perkawinan
Ter Haar dalam bukunyaBeginselen en Stelsel van het Adatrecht” (diterjemahkan ”Asas-asas dan Susunan Hukum Adat” mengemukakan berbagai macam bentuk perkawinan menurut adat di Indonesia, yakni :
a.              Perkawinan Meminang atau melamar, yaitu perkawinan yang didahului oleh pinangan atau lamaran yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Apabila pinangan diterima, maka diikuti dengan tunangan dengan disertai pemberian “peningset” atau “panyancang” atau “jujur” atau “mas kawin” dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan;
Dengan  pertunangan ini, berarti telah terjadi perjanjian antara pihak keluarga laki-laki dengan perempuan, bahwa pada saatnya nanti akan dilanjutkan acara perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-isteri.
b.             Kawin Lari atau merat (misalnya di Bali), laki-laki  dan perempuan lari bersama-sama atas kemauan sendiri, karena keluarganya atau orang tuanya tidak menyetujui perkawinan mereka berdua;.
c.              Perkawinan Bawa lari seorang perempuan, artinya si perempuan dengan paksa di bawa lari oleh seorang lelaki. Perkawinan bawa lari dilakukan dengan alasan, perempuan yang dicintainya telah ditunangkan dengan lelaki lain; atau dengan sengaja dibawa lari dengan paksa oleh pihak lelaki;
d.             Perkawinan Jujur, tukon, mas kawin, artinya perkawinan dimana pihak laki-laki memberi sesuatu yang berharga kepada pihak perempuan, untuk melepaskan perempuan dari clannya dan memasukkan kedalam clan pihak laki-laki;
e.              Kawin Mandinding, nunggonin, kawin jasa, artinya perkawinan dimana pihak laki-laki harus memberikan jasanya (bekerja) lebih dahulu dalam beberapa waktu tertentu pada keluarga (orang tua) si perempuan. Jasa ini dimaksudkan sebagai mas kawin;
f.              Kawin Tongkat atau karang wulu, artinya seorang lelaki kawin dengan adik perempuan dari isterinya yang telah meninggal;
g.             Perkawinan Mengganti (ganti tikar, kawin anggau, kawin cemalang, pareakhon), artinya seorang perempuan kawin dengan adik lelaki dari suaminya yang telah meninggal. Perkawinan ini kebalikan dari perkawinan tongkat atau karang wulu.

8.             Sistem Hukum Perkawinan
Ada 3 (tiga) sistem perkawinan dalam hukum adat, yaitu sistem endogami, sistem exogami dan sistem eleutherogami.
1)             Sistem endogami, yaitu seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri (misal di masyarakat Toraja). Sekarang perkawinan endogami sudah jarang terjadi atau hampir punah.
2)             Sistem exogami, artinya seseorang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya sendiri (misal pada masyarakat: Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram);
3)             Sistem eleutherogami, sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan seperti dalam sistem perkawinan endogami maupun exogami. (misalnya: di Aceh, Sumatera Timur, Bangka-Biliton, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Timor, Bali, Lombok, seluruh Jawa dan Madura).

9.             Alasan Perceraian
Alasan perceraian yang dibenarkan menurut hukum adat adalah :
a.              Isteri berzinah;
b.             Isteri Mandul (isteri tidak dapat mempunyai anak/keturunan);
c.              Suami impotent (suami tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami) sehingga tidak dapat mempunyai anak/keturunan;
d.             Suami meninggalkan isterinya dalam waktu lama, atau isteri bertindak tidak sopan kepada suaminya;
e.              Adanya keinginan bersama antara suami dan isteri untuk bercerai atas persetujuan/kemauan bersama.

10.         Hukum Adat Waris
1.             Pengertian Hukum Adat Waris
Menurut  Soepomo, dalam bukunya “Bab-Bab Tentang Hukum Adat” bahwa hukum adat waris bersendi atas prinsip-prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran kommnunal dan konkrit Bangsa Indonesia. Selanjutnya  Soepomo merumuskan pengertian  hukum adat waris sebagai berikut :
“Hukum Adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.”[19]
Ter Haar mendefinisikan hukum adat waris adalah meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan material, dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.[20]
Menurut Wirjono Prodjodikoro, warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[21]
2.             Asas Hukum Adat Waris
Ada tiga asas hukum adat waris, yaitu :
a.               Bila seorang meninggal dunia, maka yang berhak mewaris adalah anak-anaknya, dan mereka yang dalam garis keturunan menurun. Bila tidak ada anak, maka yang mewaris adalah orang tuanya atau saudara-saudaranya (garis keturunan naik atau menyamping);
b.              Tidak ada ketentuan tentang hak tiap-tiap pewaris atas bagian-bagian yang mutlak telah ditentukan besarnya. Di sini berlaku asas ”kerukunan dan keadilan”, sehingga tiap-tiap yang berhak akan mendapat bagiannya masing-masing secara layak;
c.               Tidak semua harta peninggalan dapat dibagi-bagi; tanah atau barang pusaka lainnya tetap merupakan harta famili bersama.

3.             Sifat Hukum Adat Waris
Hukum Adat waris di Indonesia mempunyai sifat tersendiri. Hukum Adat waris mempunyai sifat sebagai berikut :
a.               Tidak mengenal “legitieme portie”, hukum adat waris menetapkan dasar persamaan hak; hak sama ini mengandung hak untuk diberlakukan sama oleh orang tuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga;
b.              Meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian harta waris dengan memperhatikan keadaan istimewa setiap pewaris;
c.               Harta waris tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli waris;
d.              Harta peninggalan dapat bersifat tidak dibagi lebih dahulu, atau pelaksanaannya dapat ditangguhkan atau sebagian saja yang dibagi;
e.               Memberikan kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan orang tua angkatnya;
f.               Dikenal sistem penggantian waris;
g.              Anak perempuan, khususnya di Jawa, apabila tidak ada anak laki-laki dapat menutup hak mendapat bagian harta peninggalan kakek-neneknya dan saudara orang tuanya;
h.              Harta peninggalan bukan merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan wajib diperhatikan sifat/macam asal-usul dan kedudukan hukum dari barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan.
4.             Sistem Hukum Adat Waris
Ada 3 (tiga) sistem Hukum Adat Waris sebagai berikut:
a.               Sistem Kewarisan Individual, artinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris (misal: pada masyarakat bilateral Jawa);
b.              Sistem Kewarisan Kolektif, artinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan  ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum dimana harta tersebut yang disebut “harta pusaka” tidak boleh dibagi-bagikan kepemilikannya diantara para ahli waris, dan hanya boleh dibagi-bagikan penggunaannya saja kepada mereka yang mempunyai hak memakai. (misal: dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau);
c.               Sistem Kewarisan Mayorat, artinya harta peninggalan diwaris keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari satu keluarga) oleh seorang anak saja. (misalnya: di Bali hak mayorat anak laki-laki, di Tanah Semendo Sumatera Selatan terdapat hak mayorat anak perempuan tertua). 


[1] Iman Sudiyat. 1978. Asas-asas Hukum Adat (Bekal Pengantar). Liberty. Yogyakarta. hlm. 8.
[2] R. Soepomo. 1977. Bab-bab tentang Hukum Adat. Pradnya Paramita. Jakarta. (selanjutnya disebut R. Soepomo II). hlm. 7.
[3] Iman Sudiyat, op.cit. hlm. 9.
[4] Kusumadi Pudjosewojo, op.cit. hlm. 45.
[5] Ibid. hlm.45-46.
[6] Ibid. hlm. 46.
[7] Ibid. hlm. 47
[8] Ibid.hlm.47-48.
[9] Iman Sudiyat, op.cit. hlm. 6-7.
[10] R. Van Dijk. 1964. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Sumur. Bandung. hlm. 5.
[11] Ibid.
[12] Soerojo Wignjodipuro. 1973. Pengantar dan asas-asas Hukum Adat. Alumni. Bandung (selanjutnya disebut Soerojo Wingnjodipuro II). hlm. 2-3.
[13] Ibid. hlm. 3.
[14] Iman Sudiyat, op.cit. hlm. 5.
[15] E. Utrecht I. op.cit. hlm.100.
[16] Ibid. hlm. 99.
[17] Ibid. hlm.100-101.
[18] Sudikno Mertokusumo, op.cit. hlm. 87.
[19] R. Soepomo II, op.cit. hlm. 81-82
[20] Ter Haar Bzn. 1973. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Pradnya Paramita. Jakarta. hlm. 197.
[21] Soerojo Wignjodipuro II, op.cit. hlm. 191-192.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar