Jumat, 04 Mei 2012

Pengantar Hukum Indonesia (Bab XIX)


                                                    BAB XIX
                            DASAR-DASAR HUKUM ACARA PIDANA

1.             Pengertian
Hukum Acara Pidana merupakan bagian dari Hukum Pidana dalam arti luas yang terdiri dari hukum pidana material dan hukum pidana formal. Hukum pidana material mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan, siapa  yang melanggar larangan atau keharusan diancam dengan hukuman atau pemidanaan.
Hukum Acara Pidana juga disebut sebagai Hukum Pidana Formal, adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara aparatur Negara yang berwenang (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) melaksanakan dan mepertahankan hukum pinada material yang dilanggar.
Menurut van Bemmelen, ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan yang diadakan oleh negara dalam hal adanya persangkaan dilanggarnya hukum pidana. (Achmad S. Soema Dipradja,1977 : 3).[1]

2.             Fungsi Hukum Acara Pidana
Fungsi hukum acara pidana menurut van Bemmelen,  antara lain :
Pertama, mencari dan menemukan kebenaran karena adanya persangkaan atau dugaan dilanggarnya undang-undang hukum pidana.
Kedua, diusahakan diusutnya pelaku tindak pidana (dilakukan penyidikan).
Ketiga, diupayakan tindakan agar pelaku tindak pidana ditangkap dan ditahan.
Keempat, mengumpulkan barang-barang bukti dari hasil penyidikan untuk mendukung kebenaran dan tuntutan terhadap terdakwa dalam pemeriksaan di pengadilan.
Kelima, menyerahkan pelaku kepada pengadilan untuk diperiksa dan dijatuhkan putusan pidana.
Keenam, menentukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan.
Ketujuh, melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi). Apabila disimpulkan, maka fungsi hukum acara pidana ada 3 (tiga) yakni : (1) mencari dan menemukan kebenaran; (2) mengadili dan menjatuhkan putusan kepada terdakwa, dan (3)  melaksanakan putusan (eksekusi) pengadilan terhadap terdakwa.

3.             Sumber Hukum
a.              Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945
b.             Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (KUHP)
c.              Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
d.             Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara;
e.              Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Perubahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman);
f.              Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, dan Undang-undang No 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung);
g.             Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum (Perubahan dari Undang-undang No. 8 tahun 2004, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum);
h.             Undang-Undang No. 16 Tahun  2004 Tentang Kejaksaan;
i.               Jurisprudensi;
j.               Doktrin atau pendapat para ahli hukum.

4.             Asas-Asas Hukum
Asas-Asas Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut :
a.              asas peradilan berdasarkan undang-undang (asas legalitas) ;
b.             asas setiap orang diperlakukan sama di muka hukum (asas equality before the law);
c.              asas praduga tidak bersalah (asas presumption of innoncence);
d.             asas tersangka/terdakwa sebagai subyek pemeriksaan (asas accusatoir) ;
e.              asas peradilan bersifat sederhana, cepat dan biaya ringan;
f.              asas tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum;
g.             asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum;
h.             asas pengadilan memeriksa perkara dengan hadirnya terdakwa (tidak mengenal asas in absentia);
i.               asas pemeriksaan perkara oleh hakim majelis;
j.               asas beracara secara lisan (terdakwa dan saksi berbicara langsung dengan hakim);
k.             asas putusan pengadilan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum; l. asas putusan disertai alasan-alasan yang sah menurut hukum;
l.               asas pengawasan pelaksanaan putusan  oleh pengadilan;
m.           asas jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

5.             Sifat Hukum Acara Pidana
Karena tujuan hukum pidana (material) melindungi kepentingan umum, maka Negara melalui aparatur penegak/pelaksana hukum pidana (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) berkewajiban untuk melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana material yang dilanggar oleh siapapun. Apabila ada pelanggaran terhadap hukum pidana (material), maka aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan/kehakiman tanpa diminta oleh korban kejahatan, harus sanggup melaksanakan tugas kewajibannya untuk melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan, penuntutan,  mengadili dan  mengeksekusi pelaku kejahatan. Dengan demikian berarti hukum acara pidana adalah bersifat memaksa (dwangenrecht).

6.             Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa
Tersangka  dan Terdakwa mempunyai hak-hak sebagai berikut :
a.              hak segera diperiksa dan diadili (Pasal 50 KUHAP);
b.             hak untuk mengetahui dengan jelas tentang yang disangkakan atau didakwakan (Pasal 51 KUHAP);
c.              hak untuk memberikan keterangan secara bebas (Pasal 52 KUHAP);
d.             hak mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) KUHAP);
e.              hak mendapat bantuan hukum pada setiap tingkatan pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP);
f.              hak untuk mendapat nasehat hukum dari penasehat hukum secara cuma-cuma bagi terdakwa hukuman mati (Pasal 56 KUHAP);
g.             hak untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2) KUHAP);
h.             hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka/terdakwa yang ditahan (Pasal 58 KUHAP);
i.               hak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa (Pasal 59-61 KUHAP);
j.               hak untuk dikunjungi sanak keluarganya guna kepentingan pekerjaan/keluarga (Pasal 61 KUHAP);
k.             hak untuk berhubungan surat menyurat (Pasal 62 KUHAP);
l.               hak untuk menghubungi dan dikunjungi rokhaniawan (Pasal 63 KUHAP);
m.           hak mengajukan saksi ahli/saksi a decharge (Pasal 65 KUHAP);
n.             hak tidak dibebani pembuktian (Pasal 66 KUHAP);
o.             hak mengajukan upaya hukum (Pasal 67 KUHAP);
p.             hak menuntut ganti rugi/rehabilitasi (Pasal 68 KUHAP);
q.             hak untuk mendapat salinan berita acara pemeriksaan (Pasal 72 KUHAP);

7.             Sistem Pemeriksaan
Ada dua macam sistem pemeriksaan dalam ilmu hukum acara pidana, yaitu :
Pertama, “sistem inquisitoir”. Sistem inquisitoir menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan oleh aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum). Dalam sistem inquisitoir, pemeriksaan dilakukan dengan keras untuk memperoleh pengakuan bersalah dari tersangka atau terdakwa yang akan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Pada pemeriksaan sistem inquisitoir, tersangka tidak boleh didampingi oleh pembela atau penasehat hukum.
Pemeriksaan sistem inquisitoir dimulai sejak abad 13 dan diakhiri awal abad 19, dan sekarang sudah ditinggalkan.
Kedua,sistem accusatoir”, tersangka atau terdakwa diperlakukan sebagai subyek yang memperoleh hak untuk berdebat dan berpendapat dengan pihak penyidik dan/atau penuntut umum, atau hakim pemeriksa perkara di persidangan sehingga masing-masing pihak mempunyai hak dan kedudukan yang sama di dalam pemeriksaan untuk  mencari kebenaran material. Dalam sistem accusatoir, hakim bertindak sebagai wasit yang tidak memihak. Hakim berperan aktif apabila para pihak (Jaksa Penuntut Umum, terdakwa, dan/atau penasehat hukum) saling beragumentasi untuk memperkuat fakta-fakta dengan alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Menurut KUHAP pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa menggunakan pemeriksaan dengan sistem“ accusatoir”.

8.             Subyek-subyek dalam Hukum Acara Pidana
Subyek-subyek hukum dalam hukum acara pidan antara lain :
a.              Penyelidik dan penyidik (kepolisian);
b.             Penuntut umum (kejaksaan);
c.              Hakim (pengadilan);
d.             Tersangka/terdakwa yang diperiksa;
e.              Penasehat hukum/pembela;
f.              Panitera sidang;
g.             Eksekutor putusan Pengadilan (kejaksaan).

9.             Tahapan beracara pidana
Berdasarkan kewenangan aparat penegak hukum pidana, ada beberapa tahapan antara lain :
a.              penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian Negara RI;
b.             penuntutan oleh Jaksa Penuntut umum;
c.              pemeriksaan terdakwa oleh hakim persidangan;
d.             pelaksanaan (eksekusi) putusan hakim oleh Jaksa Penuntut Umum.


10.         Alat-alat bukti
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Adapun macam-macam alat bukti menurut pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut : (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk, dan (e) keterangan terdakwa. Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.


[1] Achmad S. Soema Dipradja. 1987.Pokok-pokok Hukum Acara Pidana di Indonesia.Alumni.Bandung.hlm.3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar