BAB XIX
DASAR-DASAR HUKUM
ACARA PIDANA
1.
Pengertian
Hukum Acara Pidana merupakan bagian dari Hukum
Pidana dalam arti luas yang terdiri dari hukum pidana material dan hukum pidana
formal. Hukum pidana material mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan diharuskan, siapa yang
melanggar larangan atau keharusan diancam dengan hukuman atau pemidanaan.
Hukum Acara Pidana juga disebut sebagai Hukum
Pidana Formal, adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata
cara aparatur Negara yang berwenang (kepolisian, kejaksaan, pengadilan)
melaksanakan dan mepertahankan hukum pinada material yang dilanggar.
2.
Fungsi Hukum Acara Pidana
Fungsi hukum acara pidana menurut van Bemmelen, antara lain :
Pertama, mencari dan menemukan kebenaran karena adanya persangkaan
atau dugaan dilanggarnya undang-undang hukum pidana.
Kedua, diusahakan diusutnya pelaku tindak pidana (dilakukan
penyidikan).
Ketiga, diupayakan tindakan agar pelaku tindak pidana ditangkap
dan ditahan.
Keempat, mengumpulkan barang-barang bukti dari hasil penyidikan
untuk mendukung kebenaran dan tuntutan terhadap terdakwa dalam pemeriksaan di
pengadilan.
Kelima, menyerahkan pelaku kepada pengadilan untuk diperiksa dan
dijatuhkan putusan pidana.
Keenam, menentukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan.
Ketujuh, melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi). Apabila disimpulkan, maka fungsi hukum acara pidana ada
3 (tiga) yakni : (1) mencari dan menemukan kebenaran; (2) mengadili dan
menjatuhkan putusan kepada terdakwa, dan (3)
melaksanakan putusan (eksekusi)
pengadilan terhadap terdakwa.
3.
Sumber Hukum
a.
Undang-Undang Dasar
R.I. Tahun 1945
b.
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
c.
Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP);
d.
Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara;
e.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Perubahan
dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, serta
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman);
f.
Undang-Undang No. 3
Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun
2004, dan Undang-undang No 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung);
g.
Undang-Undang No. 49
Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum (Perubahan dari Undang-undang No. 8 tahun
2004, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum);
h.
Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan;
i.
Jurisprudensi;
j.
Doktrin atau pendapat
para ahli hukum.
4.
Asas-Asas Hukum
Asas-Asas Hukum Acara Pidana adalah sebagai
berikut :
a.
asas peradilan
berdasarkan undang-undang (asas legalitas) ;
b.
asas setiap orang
diperlakukan sama di muka hukum (asas
equality before the law);
c.
asas praduga tidak
bersalah (asas presumption of innoncence);
d.
asas
tersangka/terdakwa sebagai subyek pemeriksaan (asas accusatoir) ;
e.
asas peradilan
bersifat sederhana, cepat dan biaya ringan;
f.
asas tersangka atau
terdakwa berhak mendapat bantuan hukum;
g.
asas pemeriksaan
pengadilan terbuka untuk umum;
h.
asas pengadilan
memeriksa perkara dengan hadirnya terdakwa (tidak mengenal asas in absentia);
i.
asas pemeriksaan
perkara oleh hakim majelis;
j.
asas beracara secara
lisan (terdakwa dan saksi berbicara langsung dengan hakim);
k.
asas putusan
pengadilan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum; l. asas putusan disertai
alasan-alasan yang sah menurut hukum;
l.
asas pengawasan
pelaksanaan putusan oleh pengadilan;
m.
asas jaksa sebagai
eksekutor putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
5.
Sifat Hukum Acara Pidana
Karena tujuan hukum pidana (material)
melindungi kepentingan umum, maka Negara melalui aparatur penegak/pelaksana
hukum pidana (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) berkewajiban untuk
melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana material yang dilanggar oleh
siapapun. Apabila ada pelanggaran terhadap hukum pidana (material), maka aparat
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan/kehakiman tanpa diminta oleh korban
kejahatan, harus sanggup melaksanakan tugas kewajibannya untuk melakukan
penyelidikan dan/atau penyidikan, penuntutan,
mengadili dan mengeksekusi pelaku
kejahatan. Dengan demikian berarti hukum acara pidana adalah bersifat memaksa (dwangenrecht).
6.
Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa
Tersangka
dan Terdakwa mempunyai hak-hak sebagai berikut :
a.
hak segera diperiksa
dan diadili (Pasal 50 KUHAP);
b.
hak untuk mengetahui
dengan jelas tentang yang disangkakan atau didakwakan (Pasal 51 KUHAP);
c.
hak untuk memberikan
keterangan secara bebas (Pasal 52 KUHAP);
d.
hak mendapat juru
bahasa (Pasal 53 ayat (1) KUHAP);
e.
hak mendapat bantuan
hukum pada setiap tingkatan pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP);
f.
hak untuk mendapat
nasehat hukum dari penasehat hukum secara cuma-cuma bagi terdakwa hukuman mati
(Pasal 56 KUHAP);
g.
hak untuk menghubungi
dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2) KUHAP);
h.
hak untuk menghubungi
dokter bagi tersangka/terdakwa yang ditahan (Pasal 58 KUHAP);
i.
hak untuk diberitahukan
kepada keluarganya atau oran g
lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa (Pasal 59-61 KUHAP);
j.
hak untuk dikunjungi sana k keluarganya guna
kepentingan pekerjaan/keluarga (Pasal 61 KUHAP);
k.
hak untuk berhubungan surat menyurat (Pasal 62
KUHAP);
l.
hak untuk menghubungi
dan dikunjungi rokhaniawan (Pasal 63 KUHAP);
m.
hak mengajukan saksi
ahli/saksi a decharge (Pasal 65 KUHAP);
n.
hak tidak dibebani
pembuktian (Pasal 66 KUHAP);
o.
hak mengajukan upaya
hukum (Pasal 67 KUHAP);
p.
hak menuntut ganti
rugi/rehabilitasi (Pasal 68 KUHAP);
q.
hak untuk mendapat
salinan berita acara pemeriksaan (Pasal 72 KUHAP);
7.
Sistem Pemeriksaan
Pertama, “sistem inquisitoir”.
Sistem inquisitoir menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan oleh aparat
penegak hukum (penyidik, penuntut umum). Dalam sistem inquisitoir, pemeriksaan
dilakukan dengan keras untuk memperoleh pengakuan bersalah dari tersangka atau
terdakwa yang akan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Pada pemeriksaan
sistem inquisitoir, tersangka tidak boleh didampingi oleh pembela atau
penasehat hukum.
Pemeriksaan sistem inquisitoir dimulai sejak abad 13 dan
diakhiri awal abad 19, dan sekarang sudah ditinggalkan.
Kedua, “sistem accusatoir”,
tersangka atau terdakwa diperlakukan sebagai subyek yang memperoleh hak untuk
berdebat dan berpendapat dengan pihak penyidik dan/atau penuntut umum, atau
hakim pemeriksa perkara di persidangan sehingga masing-masing pihak mempunyai
hak dan kedudukan yang sama di dalam pemeriksaan untuk mencari kebenaran material. Dalam sistem
accusatoir, hakim bertindak sebagai wasit yang tidak memihak. Hakim berperan
aktif apabila para pihak (Jaksa Penuntut Umum, terdakwa, dan/atau penasehat
hukum) saling beragumentasi untuk memperkuat fakta-fakta dengan alat-alat bukti
yang diajukan oleh para pihak. Menurut KUHAP pemeriksaan terhadap tersangka
atau terdakwa menggunakan pemeriksaan dengan sistem“ accusatoir”.
8.
Subyek-subyek dalam Hukum Acara Pidana
Subyek-subyek hukum dalam hukum acara pidan
antara lain :
a.
Penyelidik dan
penyidik (kepolisian);
b.
Penuntut umum
(kejaksaan);
c.
Hakim (pengadilan);
d.
Tersangka/terdakwa
yang diperiksa;
e.
Penasehat
hukum/pembela;
f.
Panitera sidang;
g.
Eksekutor putusan
Pengadilan (kejaksaan).
9.
Tahapan beracara pidana
Berdasarkan kewenangan aparat penegak hukum
pidana, ada beberapa tahapan antara lain :
a.
penyelidikan dan
penyidikan oleh Kepolisian Negara RI;
b.
penuntutan oleh Jaksa
Penuntut umum;
c.
pemeriksaan terdakwa
oleh hakim persidangan;
d.
pelaksanaan (eksekusi) putusan hakim oleh Jaksa
Penuntut Umum.
10.
Alat-alat bukti
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
terdakwa, kecuali didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah
(Pasal 183 KUHAP). Ada pun macam-macam alat bukti
menurut pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut : (a) keterangan saksi; (b)
keterangan ahli; (c) surat ;
(d) petunjuk, dan (e) keterangan terdakwa. Hal-hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan.
[1] Achmad
S. Soema Dipradja. 1987.Pokok-pokok Hukum
Acara Pidana di Indonesia.Alumni.Bandung.hlm.3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar