BAB VIII
DASAR-DASAR HUKUM AGRARIA
1. Hukum Agraria
Sebelum UUPA
Sebelum lahirnya Undang-undang pokok Agraria , Indonesia
menggunakan hukum agraria yang beraneka ragam, yaitu agraria yang berdasarkan
hukum Adat dan Hukum Barat (kolonial). Berlakunya hukum agraria kolonial yang
berbeda dalam satu tempat dan waktu yang
sama membuat terjadinya dualisme hukum agraria, sehingga mengakibatkan tidak
terciptanya kepastian hukum. Karena disatu pihak menggunakan hukum Adat dilain
pihak menggunakan hukum Barat. Bagi golongan Indonesia asli (pribumi) berlaku
hukum Adat, sedangkan hukum adat antara satu daerah dengan daerah lainnya
selalu berlainan. Untuk golongan Timur Asing dan Tionghoa berlaku hukum Barat.
Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Barat pula tetapi hanya
mengenai hukum kekayaan dan waris.
Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan Regering Reglement
Tahun 1854, kemudian disusul “Agrairsche
Wet” yang diundangkan pada Tahun 1870 No. 55 dengan peraturan
pelaksanaannya yang disebut “Agrarisch
Besluit”. Pasal 1 Agrarisch Besluit mengatur tentang atau dikenal dengan
pasal “Domeinverklaring” yang
menyatakan bahwa “semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa
tanah itu milik (eigendom) nya, maka tanah itu adalah tanah milik
negara”. Lahirnya Agrarische Wet
dan Agrarisch Besluit ini bertujuan untuk memberi kemungkinan dan
jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia dengan menyewa tanah seluas-luasnya
dalam waktu yang lama. Karena pada tahun 1830 para pengusaha
besar asing (orang Belanda/Eropa) kesulitan mendapatkan tanah guna perkebunan besar,
untuk keperluan tersebut diberlakukan aturan
“Tanam Paksa” (Cultur Stelsel).
Tiga tahun setelah Indonesia
merdeka yaitu tahun 1948 Pemerintah Indonesia sudah memulai membuat
rancangan penyusunan Hukum Agraria nasional. Pada tahun itu terbentuklah
Panitia Perancang Hukum Agraria yang diberi nama “Panitia Agraria Yogya”,
karena pada waktu itu ibukota negara Indonesia di Yogyakarta. Panitia Yogya ini
dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden tangggal 12 Mei 1948 yang diketuai oleh
Sarimin Reksodihardjo.
Pada tahun 1951 Panitia Yogya dianggap tidak
sesuai dengan bentuk negara kesatuan maka kepanitian tersebut dibubarkan
diganti dengan “Panitia Agraria Jakarta” tetap diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, yang kemudian digantikan oleh Singgih Praptodihardjo.
Pembentukan Panitia Agraria Jakarta berdasarkan Keputusan Presiden No. 36 tanggal
19 Maret 1951. Panitia Jakarta ini juga tidak bisa menyelesaikan Rancangan Agraria
secara singkat, akhirnya keluarlah Keppres No. 55 tanggal 29 Maret 1955 yang
isinya dibentuklah Kementerian Agraria, dan dengan Keppres RI No. 1 tahun 1956
dibubarkanlah Panitia Agraria Jakarta dan dibentuklah Kepanitiaan baru yang
diberi nama “Panitia Negara Urusan
Agraria” yang diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo. Satu tahun kemudian
tepatnya tahun 1957 kepanitiaan ini bisa menyelesaikan tugasnya.
1.
Ruang Lingkup dan Pengertian
Ruang lingkup hukum agraria sangat luas yang
meliputi bumi (tanah), air, ruang angkasa (kekayaan alam yang tekandung di
dalamnya). Apabila ruang lingkup hukum agraria tersebut diudangkan, maka hukum
agraria dapat mencakup yaitu, hukum pertanahan, hukum pertambangan, hukum
perikanan, hukum perkebunan dan pertanian, hukum perikanan (laut, sungai dan
daratan), dan hukum yang mengatur
tentang pnguasaan dan penggunaan ruang
angkasa.
Hukum Agraria meliputi bumi atau permukaan bumi (tanah), air dan
ruang angkasa. Termasuk klasifikasi air di sini adalah termasuk laut, sungai,
danau dan lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan bumi (tanah) adalah daratan.
Sedangkan yang dimaksud dengan ruang angkasa adalah ruang di atas bumi dan
perairan.
Perairan (laut) merupakan bagian dari hukum
agraria, yang bisa diambil manfaatnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia . Hasil dari perairan Indonesia
cukup dominan karena kualitas dan kuantitasnya. Dari hasil alam yang banyak ini
agar bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat harus diatur dengan ketentuan
perundang-undangan.
Bumi yang terdiri dari daratan adalah merupakan
obyek dari hukum agraria yang paling dominan bila dibandingkan dengan perairan
dan ruang angkasa. Hukum Agraria harus mengatur cara penggunaan bumi demi
kemakmuran bangsa.
Dari ruang lingkup hukum agraria tersebut dapat
disimpulkan, bahwa pengertian hukum agraria adalah “keseluruhan peraturan dan
keputusan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang perseorangan yang
bekenaan dengan penguasaan dan
penggunaan atas bumi (tanah), air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”.
Pengertian hukum agraria tersebut kemungkinan
sangat luas, dan kalau dipersempit adalah “segala peraturan atau norma hukum yang
mengatur hubungan hukum antar orang perseorangan yang berkenaan dengan
penguasaan hak atas tanah dan penggunaannya.
Di dalam Kamus Hukum yang ditulis oleh R.
Subekti dan Tjitrosudibyo (1969 : 46 dan 9), mengartikan Hukum Agraria (Agrarisch
recht) adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata,
maupun hukum tatanegara (staatsrecht) maupun pula Hukum Tata Usaha
Negara (administratief recht) yang mengatur hubungan antara orang,
termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah
Negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada
hubungan-hubungan tersebut. Sedangkan pengertian “agraria” adalah urusan tanah
dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.
Gouw
Giok Siong (Sudargo Gautama) mengartikan “Hukum Agraria” lebih luas daripada
“Hukum tanah”[1].
Menurut W.L. G. Lemaire, bahwa hukum agraria
mengandung bagian-bagian daripada hukum privat, maupun hukum tata negara dan hukum administratif,
juga dibicarakan sebagai suatu kelompok hukum yang bulat.
Pendapat Lemaire sama dengan Utrecht , bahwa hukum agraria adalah hukum
tanah administratif saja, bukan hukum tanah yang tunduk pada hukum adat.[3]
Dalam Kamus Hukum “ Fockema Andreae” disebutkan bahwa hukum
agraria (agrarisch recht) adalah
keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian. Di
Belanda Hukum Agraria terbagi dalam beberapa bidang hukum (hukum pedata
dan hukum tata usaha negara).
J. Valkhoff dalam kamus hukum ENSIE (hal.483)
hukum agraria adalah peratuan-peraturan hukum yang mengatur lembaga-lembaga
hukum yang mengenai penguasaan tanah.[4]
2.
Tujuan Undang-Undang
Pokok Agraria
Tujuan pokok UUPA sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan umum adalah sebagai berikut :
a.
meletakkan dasar-dasar
bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk
membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadaan bagi Negara dan rakyat, terutama
rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b.
meletakkan dasar-dasar
untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c.
meletakkan dasar-dasar
untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
3.
Asas-Asas Dalam UUPA
Dalam UUPA dimuat adanya beberapa asas hukum
agraria nasional sebagai dasar yang menjiwai pelaksanaan UUPA. Asas-asas UUPA
tersebut adalah :
a.
Asas Kenasionalan,
artinya bahwa seluruh wilayah Indonesia terdiri dari bumi, air, dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah merupakan
kekayaan nasional milik bangsa Indonesia yang harus dipergunakan atau
dimanfaatkan untuk kepentingan dan
kemakmuran atau kesejahteraan rakyat
Indonesia (Pasal 1 ayat (1, 2, 3) UUPA).
b.
Asas kekuasaan
(dikuasai) oleh Negara, artinya Negara bukan sebagai pemilik, tetapi sebagai
organisasi kekuasaan tertinggi yang
berwenang : (a) mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
(b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air,
dan ruang angkasa (Pasal 2 UUPA).
c.
Asas kepentingan
nasional, artinya walaupun hak ulayat diakui keberadaanya, dan UUPA berdasarkan
hukum adat tetapi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional; juga
semua hak atas bumi, air, dan ruang angkasa ditujukan untuk kepentingan bangsa
dan rakyat Indonesia (Pasal 3 dan 5
UUPA).
d.
Asas semua hak atas
tanah berfungsi sosial, atinya semua
hak-hak atas tanah tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi
pemiliknya, tetapi juga harus meperhatikan kepentingan masyarakat.
e.
Asas kebangsaan, hanya
Warga Negara Indonesia
yang mempunyai hak milik atas tanah
(Pasal 9 ayat (1) UUPA.
f.
Asas Persamaan hak
setiap Warga Negara Indonesia ,
artinya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kepemilikan
hak atas tanah. (Pasal 9 ayat (2) UUPA.
g.
Asas mengusahakan
secara aktif tanah pertanian oleh pemiliknya sendiri (Pasal 10 UUPA).
h.
Asas pembatasan
kepemilikan hak atas tanah (Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA).
i.
Asas tata guna tanah
atau penggunaan tanah secara berencana (Pasal 13, 14, dan 15 UUPA);
j.
Asas hukum adat,
artinya semua hak atas tanah dalam UUPA berdasarkan hukum adat (Pasal 5 UUPA).
4.
Sumber Hukum Agraria
Semua Undang-undang yang dibuat harus ada dasar
hukumnya, begitu juga hukum agraria. Hukum agraria yang dimaksud adalah
Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960).
Dasar hukum agraria Indonesia ada 2 macam yaitu hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis. Dasar hukum tidak tertulis adalah hukum adat
(Pasal 5 UUPA), sedangkan dasar hukum tertulis antara lain yaitu :
1.
Pasal 33 UUD 1945
2.
UU Pokok Agraria
( No. 5 Tahun 1960)
3.
UU Pertambangan (UU
No. 11 Tahun 1967)
4.
UU Sumber Daya Air (UU
No. 7 Tahun 2004)
5.
UU Perkebunan (UU No.
18 Tahun 2004)
6.
UU Kehutanan (UU No.19 Tahun 2004)
7.
UU Penataan Ruang (UU
No. 26 Tahun 2007)
8.
UU Perikanan (UU No.
31 Tahun 2004)
9.
UU Wakaf (UU No.41
Tahun 2004)
10.
Peraturan-peraturan
lainnya yang berkenaan dengan UU Pokok Agraria.
Dalam pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa, Bumi
dan air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA ditentukan
bahwa, seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah, air dan seluruh
rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia .
Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa, seluruh bumi air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah RI
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia
dan merupakan kekayaan nasional.
5.
Hak-Hak Atas Tanah
Hak atas tanah yang diatur dalam pasal 16 UUPA ada beberapa macam yaitu:
a.
Hak Milik
b.
Hak Guna Usaha
c.
Hak Guna Bangunan
d.
Hak Pakai
e.
Hak Sewa
f.
Hak Membuka Tanah
g.
Hak memungut hasil
hutan
h.
Hak-hak lain yang
berifat sementara yang diatur dalam pasal 53 yakni hak gadai, hak usaha bagi
hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. (pasal 16 ayat (1). Selain
hak-hak atas tanah masih ada hak-hak atas air dan ruang angkasa (pasal 16 ayat
2 UUPA) yakni (a). hak guna air, (b).hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan
(c). hak guna ruang angkasa.
Hak atas tanah yang bersifat sementara,
dimaksudkan dalam waktu tertentu atau
tidak lama lagi hak-hak ini harus hapus atau lenyap dari hukum pertanahan
nasional karena hak atas tanah yang bersifat sementara sangat merugikan petani
ekonomi lemah (petani gurem). Dalam pengusahaan tanah pertanian tidak boleh
terjadi adanya penindasan dan pemerasan yang merugikan para petani pemilik
tanah(petani ekonomi lemah/ petani
gurem).
Hak Milik
Hak Milik atas Tanah diatur dalam pasal 20 s/d.
pasal 27 UUPA. Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 (berfungsi
sosial). Hak milik dapat beralih dan dialihkan (Pasal 20).
Yang dapat mempunyai tanah hak milik yaitu :
a.
Warga Negara Indonesia
(perorangan);
b.
Badan Hukum Indonesia
yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963. (yakni :
Bank-bank yang didirikan oleh negara, Koperasi pertanian yang didirikan
berdasarkan UU.No. 79 Tahun 1958, Badan-badan keagamaan, dan Badan-badan sosial
yang ditunjuk oleh Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional setelah mendengar
dari Menteri yang berkepentingan) (Pasal 21).
Terjadinya hak milik karena :
a.
Peralihan hak
(dialihkan), dan beralih karena pewarisan (Pasal 20 ayat 2);
b.
Menurut hukum adat
(berdasarkan Peraturan Pemerintah);
c.
Penetapan pemerintah;
d.
Ketentuan
Undang-undang yakni berdasarkan ketentuan konversi (Pasal 22).
Hapusnya Hak Milik dikarenakan oleh :
a.
Pencabutan hak oleh
negara berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961;
b.
Penyerahan secara
sukarela oleh pemiliknya;
c.
Diterlantarkan;
d.
Tanahnya musnah;
e.
Pemiliknya kehilangan
kwarga negaraan Indonesia
(Pasal 27 UUPA).
Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha diatur dalam pasal 28 s/d. pasal
34 UUPA jo. pasal 2 s/d. pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.
Hak Guna
Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara
dalam jangka waktu yang ditentukan guna untuk perusahaan pertanian, perikanan
dan peternakan. Luasnya tanah yang bisa diberikan hak guna usaha paling sedikit
5 hektar, dan jika luasnya 25 hektar atau lebih pemegang hak guna usaha harus
mempunyai investasi penanaman modal.
Lamanya pemegang hak guna usaha paling lama 25
tahun, dan untuk perusahaan yang membutuhkan waktu lama dapat diberikan jangka
waktu 35 tahun, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang 25 tahun.
Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah :
a.
Warga Negara Indonesia
b.
Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia .
(Pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 P.P. No. 40 Tahun 1996).
Terjadinya Hak Guna Usaha karena :
a.
Beralih dan dialihkan
kepada pihak lain. Peralihan Hak Guna Usaha terjadi dengan cara : jual
beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan (Pasal 28 ayat 3 jo. Pasal 16 P.P.No.40 Tahun 1996);
b.
Penetapan Pemerintah
(Pasal 31 UUPA).
Hapusnya Hak Guna Usaha karena :
a.
Berakhir jangka
waktunya;
b.
Diberhentikan/dibatalkan oleh
pejabat yang berwenang sebelum waktunya;
c.
Dilepas secara
sukarela oleh pemegangnya sebelum waktunya berakhir;
d.
Dicabut untuk
kepentingan umum berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961;
e.
Diterlantarkan
f.
Tanahnya musnah
g.
Kehilangan syarat
sebagai pemegang hak guna usaha (Pasal 34 UUPA jo. Pasal 17 P.P. No. 40 Tahun
1996).
Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan diatur dalam pasal 35 s/d.
pasal 40 UUPA jo. pasal 19 s/d. pasal 38 P.P. No. 40 Tahun 1996.
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dalam jangka waktu
paling lama 30 tahun, dan dapat diperpanjang 20 tahun (Pasal 35 UUPA).
Yang dapat mempunyai hak guna bangunan:
a.
Warga negara Indonesia
b.
Badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
(Pasal 36 UUPA jo. Pasal 19 P.P.No. 40 Tahun 1996).
Terjadinya Hak Guna Bangunan karena :
a.
Beralih dan dialihkan;
Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena : jual beli, tukar menuka,
penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan (Pasal 35 ayat 2 jo. Pasal 34 P.P.
No. 40 Tahun 1996);
b.
Penatapan Pemerintah
(Keputusan Menteri atau pejabat yang berwenang bagi tanah yang dikuasai
langsung oleh negara (Pasal 37 a UUPA jo. Pasal 22 ayat 1 P.P.No. 40 Tahun
1996);
c.
Perjanjian yang berbentuk
otentik (bagi tanah hak milik), antara pemilik tanah dengan pihak yang
memperoleh hak guna bangunan;
d.
Dengan Keputusan
Menteri atau pejabat yang berwenang untuk tanah Hak Pengelolaan (Pasal 22 ayat
2 P.P.No. 40 Tahun 1996).
Hak Guna Bangunan hapus karena :
a.
Jangka waktunya
berakhir;
b.
Dihentikan/dibatalkan
oleh pejabat yang berwenang sebelum waktunya;
c.
Dilepaskan oleh
pemegangnya sebelum waktunya berakhir;
d.
Dicabut untuk
kepentingan umum berdasarkan UU. No. 20 Tahun 1961;
e.
Diterlantarkan;
f.
Tanahnya musnah;
g.
Kehilangan sebagai
pemegang hak guna bangunan (Pasal 40
UUPA jo. Pasal 20 ayat 2 P.P. No. 40 Tahun 1996).
Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/
atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik
orang lain dengan jangka waktu tidak tertentu (Pasal 41 UUPA).
Menurut Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, hak
pakai dapat diberikan paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 25 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan selama tanahnya masih dipergunakan. Hak pakai atas tanah ha milik
diberikan paling lama 20 tahun (Pasal 49 PP. No. 40 Tahun 1996).
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :
a.
Warga negara Indonesia
b.
Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia
c.
Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia
d.
Badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia
(pasal 42 UUPA). Oleh pasal 39 P.P. No. 4 Tahun 1996 disebutkan tentang subyek
hak pakai antara lain :
e.
Departemen, Lembaga
Pemerintah non Departemen dan Pemerintah Daerah;
f.
Badan-badan keagamaan
dan sosial;
g.
Perwakilan negara
asing dan perwakilan badan Internasional.
Peralihan Hak Pakai menurut Pasal 43 UUPA jo. Pasal 54 P.P. No.
40 Tahun 1996 ditentukan sebagai berikut
:
a.
Hak Pakai atas tanah
Hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain;
b.
Hak Pakai atas tanah
Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila dimungkinkan dalam perjanjian pemberian
hak pakai atas tanah hak milik;
c.
Peralihan Hak Pakai
terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan
pewarisan.
Hapusnya Hak Pakai diatur dalam pasal 55 P.P.No. 40 Tahun
1996, antara lain karena :
a.
Berakhirnya jangka
waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian hak pakai, atau dalam
perjanjiannya;
b.
Dibatalkan oleh
pejabat yang berwenang, atau oleh pemiliknya bagi tanah hak milik;
c.
Dilepaskan secara
sukarela oleh pemegangnya;
d.
Dicabut berdasarkan
Undang-undang No. 20 Tahun 1961;
e.
Diterlantarkan;
f.
Tanahnya musnah;
g.
Pemegang Hak Pakai
tidak memenuhi syarat sebagai subyek
(pemegang) hak pakai (Pasal 40 ayat 2 P.P. No. 40 Tahun 1996).
Hak Sewa
Hak Sewa
adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan
dengan membayar sewa kepada pemiliknya (Pasal 44 UUPA).
Yang dapat mempunyai hak sewa adalah :
a.
Warga negara Indonesia
b.
Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia
c.
Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia
d.
Badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia
(Pasal 45 UUPA).
Hak Membuka Tanah
dan Memungut Hasil Hutan
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
adalah berasal dari Hukum Adat sehubungan dengan adanya hak ulayat. Hak membuka
tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia
dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 46 UUPA). Hak-hak tersebut diatur
oleh Undang-undang tersendiri. Untuk ketentuan pemungutan hasil hutan diatur oleh
UU. No. 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan, sedangkan hak membuka tanah diatur
dengan Undang-undang yang lain.
Hak-hak Yang
Bersifat Sementara
Hak-hak yang bersifat sementara adalah hak-hak atas
tanah yang diatur dalam Pasal 53 UUPA, Hak atas tanah yang bersifat sementara
ini sangat merugikan pemilik tanah gadai dan penggarap tanah. Hak atas tanah
yang bersifat sementara ini antara lain:
a.
Hak Gadai;
b.
Hak Usaha Bagi Hasil;
c.
Hak Menumpang Karang;
d.
Hak Sewa Tanah
Pertanian.
Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara ini,
hanya bersifat sementara karena dalam waktu yang tidak lama diharapkan atau
harus dihapuskan atau dilenyapkan dari hukum pertanahan atau hukum agraria
nasional, sebab hak-hak ini sangat merugikan para petani ekonomi lemah, dan
dikuatirkan terjadi penindasan atau pemerasan antara pemilik tanah dan
penggarap atau penyewa tanah.
Ad.a. Hak Gadai
Hak gadai yang dimaksud
adalah hak gadai tanah pertanian merupakan pengertian “jual gadai” tanah yang
berasal dari Hukum Adat
Jual gadai adalah penyerahan sebidang tanah oleh
pemiliknya kepada pihak lain dengan membayar uang kepada pemilik tanah dengan
perjanjian bahwa tanah akan dikembalikan kepada pemiliknya apabila pemilik
mengembalikan uang yang diterimanya kepada pemegang tanah gadai.
Maksud dan
tujuan orang menggadaikan tanah adalah meminjam uang dengan jaminan sebidang
tanah oleh pemiliknya. Tanah akan dikembalikan kepada pemiliknya apabila
pemilik tanah sudah mengembalikan sejumlah uang pokok beserta bunganya kepada
pemegang tanah gadai. Jika pemilik tanah belum
megembalikan uang yang dipinjam kepada pemegang tanah gadai, maka
selamanya tanah gadai tetap berada dalam kekuasaan pemegang gadai.
Oleh karena itu “hak gadai
atas tanah” oleh UUPA disebut sebagai hak atas tanah yang bersitat sementara
artinya dalam waktu yang tidak lama hak gadai atas tanah harus tidak ada atau
dinyatakan tidak berlaku di Indonesia ,
karena sangat merugikan pemilik tanah (petani ekonomi lemah) yang tidak mampu
mengembalikan uang pinjamannya (menebusnya) kepada pemegang gadai.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 56 Prp. Tahun
1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, menyatakan “barangsiapa menguasai
tanah pertanian dengan Hak Gadai sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun atau lebih
wajib mengembalikan tanah itu kepada pemilinya dalam waktu sebulan setelah
tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran tebusan.
Dengan adanya ketentuan
tersebut, berarti hak gadai tanah pertanian menjadi tidak berlaku (hapus)
setelah 7 (tujuh) tahun atau lebih, bahkan pemilik tanah tidak wajib membayar
uang tebusan.
Ad.b. Hak Usaha Bagi Hasil
Hak Usaha Bagi hasil sama
halnya dengan Hak Gadai Tanah, berasal dari Hukum Adat. Hak Usaha Bagi Hasil
dalam hukum adat disebut dengan istilah
“maro”- “mertelu”- “nyeperempat” (Jawa)
atau “memperduai” (Minang), “tigo” (minahasa), “Nengah” atau “Jejuron” (sunda)
hak menggarap tanah, artinya hak menggarap (mengusahakan) tanah pertanian milik
orang lain (pemilik tanah) oleh
seseorang, dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah
pihak (penggarap dan pemilik tanah).
Perjanjian Bagi Hasil sebelum
berlakunya UUPA, telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Undang-undang ini mengatur bahwa perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian
harus dilakukan secara tertulis dihadapan Kepala Desa dan dilaksanakan dengan
“adil” tidak merugikan kedua belah pihak terutama pihak penggarap.
Ad.c. Hak Menumpang
Hak menumpang juga berasal
dari Hukum Adat, artinya hak yang mengijinkan seseorang untuk mendirikan
bangunan dan menempati tanah pekarangan orang lain, dengan tidak membayar
sejumlah uang kepada pemilik pekarangan.
Hak menumpang ini sebenarnya
adalah bentuk lain dari hak pakai atas tanah, hanya sifatnya sangat lemah dan dapat merugikan
kedua belah pihak. Sewaktu-waktu pihak pemilik tanah dapat mengambil tanahnya;
atau pihak penumpang tanah pekarangan tetap menempati tanah pekarangan untuk
selamanya, dan mau pindah atau meninggalkan tanah pekarangan dengan meminta
imbalan ganti rugi yang sangat tinggi dari pemilik pekarangan.
Dalam prakteknya hak menumpang ini tidak
dilakukan dengan perjanjian tertulis karena tujuannya menolong atau membantu
seseorang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat untuk bekerja, sehingga
mengijinkan tanah pekarangannya ditempati untuk sementara.
Ad.d. Hak Sewa Tanah Pertanian
Hak Sewa Tanah Pertanian ini
juga hak yang bersifat sementara (Pasal 16 ayat (1) UUPA), yang diharapkan
dalam waktu yang tidak lama akan hapus dengan sendirinya karena sangat
merugikan petani yang belum mempunyai tanah pertanian.
Hak Sewa atas tanah pertanian
oleh UUPA dibedakan dengan Hak Sewa atas tanah untuk mendirikan bangunan
sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UUPA.
Hak sewa atas tanah pertanian
sebagai hak yang bersifat sementara juga sehubungan dengan ketentuan Pasal 10
ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa, setiap
orang atau Badan Hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah
cara-cara pemerasan.
Maksud yang terkandung dalam
Pasal 10 ayat (1) UUPA bahwa, siapapun yang memiliki atau menguasai tanah
pertanian harus mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif untuk
menghindari terjadinya pemerasan terhadap penggarap. Jika pemilik tanah tidak
mampu mengusahakan secara aktif, maka tanah pertanian hendaknya dialihkan
kepada pihak lain (petani) yang memerlukan, atau dilepaskan secara sukarela
kepada negara untuk didistribusikan kepada petani yang tidak mempunyai tanah pertanian.
6.
Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA.
Pasal 19 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa, untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 32
ayat (1), dan Pasal 38 ayat (1) UUPA jo.
Pasal 43 PP.No. 40 Tahun 1996 bahwa, terjadinya dan hapusnya hak milik, hak
guna usaha, hak bangunan dan hak pakai harus didaftarkan sebagaimana ditentukan
oleh pasal 19 UUPA.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud oleh Pasal
19 ayat (1) UUPA adalah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 sebagai
pengganti Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah.
Obyek pendaftaran tanah menurut Pasal 9 ayat
(1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yakni : (a) bidang tanah hak milik,
hak guna usa ha,
hak guna bangunan, hak pakai; (b) tanah hak pengelolaan; (c) tanah wakaf; (d)
hak milik atas rumah susun; (e) hak tanggungan; dan (f) tanah Negara.
Tujuan utama Pendaftaran Tanah yaitu untuk :
a.
memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah;
b.
menyediakan informasi
kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah mengenai data suatu bidang tanah dan satuan
rumah susun yang sudah terdaftar;
c.
terselenggaranya
tertib administrasi pertanahan (Pasal 3 PP. No. 24 Tahun 1977).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar