Jumat, 04 Mei 2012

Pengantar Hukum Indonesia (Bab VIII)


BAB VIII
 DASAR-DASAR HUKUM AGRARIA

1.       Hukum Agraria Sebelum UUPA
Sebelum lahirnya Undang-undang pokok Agraria, Indonesia menggunakan hukum agraria yang beraneka ragam, yaitu agraria yang berdasarkan hukum Adat dan Hukum Barat (kolonial). Berlakunya hukum agraria kolonial yang berbeda  dalam satu tempat dan waktu yang sama membuat terjadinya dualisme hukum agraria, sehingga mengakibatkan tidak terciptanya kepastian hukum. Karena disatu pihak menggunakan hukum Adat dilain pihak menggunakan hukum Barat. Bagi golongan Indonesia asli (pribumi) berlaku hukum Adat, sedangkan hukum adat antara satu daerah dengan daerah lainnya selalu berlainan. Untuk golongan Timur Asing dan Tionghoa berlaku hukum Barat. Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Barat pula tetapi hanya mengenai hukum kekayaan dan waris.
Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda  mengeluarkan peraturan Regering Reglement Tahun 1854, kemudian disusul “Agrairsche Wet” yang diundangkan pada Tahun 1870 No. 55 dengan peraturan pelaksanaannya yang disebut “Agrarisch Besluit”. Pasal 1 Agrarisch Besluit mengatur tentang atau dikenal dengan pasal “Domeinverklaring” yang menyatakan bahwa “semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu milik (eigendom) nya, maka tanah itu adalah tanah milik negara”.  Lahirnya Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit ini bertujuan untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia dengan menyewa tanah seluas-luasnya dalam waktu yang lama. Karena pada tahun 1830 para  pengusaha  besar asing (orang Belanda/Eropa) kesulitan  mendapatkan tanah guna perkebunan besar, untuk keperluan tersebut diberlakukan aturan  “Tanam Paksa” (Cultur Stelsel).
Tiga tahun setelah Indonesia merdeka yaitu tahun 1948 Pemerintah Indonesia sudah memulai membuat rancangan penyusunan Hukum Agraria nasional. Pada tahun itu terbentuklah Panitia Perancang Hukum Agraria yang diberi nama “Panitia Agraria Yogya”, karena pada waktu itu ibukota negara Indonesia di Yogyakarta. Panitia Yogya ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden tangggal 12 Mei 1948 yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.
Pada tahun 1951 Panitia Yogya dianggap tidak sesuai dengan bentuk negara kesatuan maka kepanitian tersebut dibubarkan diganti dengan “Panitia Agraria Jakarta” tetap diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, yang kemudian digantikan oleh Singgih Praptodihardjo. Pembentukan Panitia Agraria Jakarta berdasarkan Keputusan Presiden No. 36 tanggal 19 Maret 1951. Panitia Jakarta ini juga tidak bisa menyelesaikan Rancangan Agraria secara singkat, akhirnya keluarlah Keppres No. 55 tanggal 29 Maret 1955 yang isinya dibentuklah Kementerian Agraria, dan dengan Keppres RI No. 1 tahun 1956 dibubarkanlah Panitia Agraria Jakarta dan dibentuklah Kepanitiaan baru yang diberi nama “Panitia Negara Urusan Agraria” yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo. Satu tahun kemudian tepatnya tahun 1957 kepanitiaan ini bisa menyelesaikan tugasnya.

1.             Ruang Lingkup dan Pengertian
Ruang lingkup hukum agraria sangat luas yang meliputi bumi (tanah), air, ruang angkasa (kekayaan alam yang tekandung di dalamnya). Apabila ruang lingkup hukum agraria tersebut diudangkan, maka hukum agraria dapat mencakup yaitu, hukum pertanahan, hukum pertambangan, hukum perikanan, hukum perkebunan dan pertanian, hukum perikanan (laut, sungai dan daratan), dan hukum  yang mengatur tentang pnguasaan dan penggunaan  ruang angkasa.
Hukum Agraria meliputi  bumi atau permukaan bumi (tanah), air dan ruang angkasa. Termasuk klasifikasi air di sini adalah termasuk laut, sungai, danau dan lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan bumi (tanah) adalah daratan. Sedangkan yang dimaksud dengan ruang angkasa adalah ruang di atas bumi dan perairan.
Perairan (laut) merupakan bagian dari hukum agraria, yang bisa diambil manfaatnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hasil dari perairan Indonesia cukup dominan karena kualitas dan kuantitasnya. Dari hasil alam yang banyak ini agar bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat harus diatur dengan ketentuan perundang-undangan.
Bumi yang terdiri dari daratan adalah merupakan obyek dari hukum agraria yang paling dominan bila dibandingkan dengan perairan dan ruang angkasa. Hukum Agraria harus mengatur cara penggunaan bumi demi kemakmuran bangsa.
Dari ruang lingkup hukum agraria tersebut dapat disimpulkan, bahwa pengertian hukum agraria adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang perseorangan yang bekenaan dengan penguasaan dan  penggunaan atas bumi (tanah), air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.
Pengertian hukum agraria tersebut kemungkinan sangat luas, dan kalau dipersempit adalah “segala peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antar orang perseorangan yang berkenaan dengan penguasaan hak atas tanah dan penggunaannya.
Di dalam Kamus Hukum yang ditulis oleh R. Subekti dan Tjitrosudibyo (1969 : 46 dan 9), mengartikan Hukum Agraria (Agrarisch recht) adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata, maupun hukum tatanegara (staatsrecht) maupun pula Hukum Tata Usaha Negara (administratief recht) yang mengatur hubungan antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut. Sedangkan pengertian “agraria” adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.
 Gouw Giok Siong (Sudargo Gautama) mengartikan “Hukum Agraria” lebih luas daripada “Hukum tanah”[1].
Utrecht, mendefinisikan “Hukum Agraria” (hukum tanah) sebagai bagian dari hukum tata usaha negara, yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus sal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka.[2]
Menurut W.L. G. Lemaire, bahwa hukum agraria mengandung bagian-bagian daripada hukum privat, maupun  hukum tata negara dan hukum administratif, juga dibicarakan sebagai suatu kelompok hukum yang bulat.
Pendapat Lemaire sama dengan Utrecht, bahwa hukum agraria adalah hukum tanah administratif saja, bukan hukum tanah yang tunduk pada hukum adat.[3]
Dalam Kamus Hukum  “ Fockema Andreae” disebutkan bahwa hukum agraria (agrarisch recht) adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian. Di Belanda Hukum Agraria terbagi dalam beberapa bidang hukum (hukum pedata dan  hukum tata usaha negara).
J. Valkhoff dalam kamus hukum ENSIE (hal.483) hukum agraria adalah peratuan-peraturan hukum yang mengatur lembaga-lembaga hukum  yang mengenai penguasaan tanah.[4]

2.             Tujuan  Undang-Undang Pokok Agraria
Tujuan pokok UUPA sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum adalah sebagai berikut :
a.              meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadaan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b.             meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c.              meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
                   
3.             Asas-Asas Dalam UUPA
Dalam UUPA dimuat adanya beberapa asas hukum agraria nasional sebagai dasar yang menjiwai pelaksanaan UUPA. Asas-asas UUPA tersebut adalah :
a.              Asas Kenasionalan, artinya bahwa seluruh wilayah Indonesia terdiri dari bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah merupakan kekayaan nasional milik bangsa Indonesia yang harus dipergunakan atau dimanfaatkan untuk  kepentingan dan kemakmuran atau kesejahteraan  rakyat Indonesia (Pasal 1 ayat (1, 2, 3) UUPA).
b.             Asas kekuasaan (dikuasai) oleh Negara, artinya Negara bukan sebagai pemilik, tetapi sebagai organisasi kekuasaan tertinggi  yang berwenang  : (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa (Pasal 2 UUPA).
c.              Asas kepentingan nasional, artinya walaupun hak ulayat diakui keberadaanya, dan UUPA berdasarkan hukum adat tetapi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional; juga semua hak atas bumi, air, dan ruang angkasa ditujukan untuk kepentingan bangsa dan  rakyat Indonesia (Pasal 3 dan 5 UUPA).
d.             Asas semua hak atas tanah berfungsi sosial, atinya  semua hak-hak atas tanah tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya, tetapi juga harus meperhatikan kepentingan  masyarakat.
e.              Asas kebangsaan, hanya Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik  atas tanah (Pasal 9 ayat (1) UUPA.
f.              Asas Persamaan hak setiap Warga Negara Indonesia, artinya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kepemilikan hak atas tanah. (Pasal 9 ayat (2) UUPA.
g.             Asas mengusahakan secara aktif tanah pertanian oleh pemiliknya sendiri (Pasal 10 UUPA).
h.             Asas pembatasan kepemilikan hak atas tanah (Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA).
i.               Asas tata guna tanah atau penggunaan tanah secara berencana (Pasal 13, 14, dan 15 UUPA);
j.               Asas hukum adat, artinya semua hak atas tanah dalam UUPA berdasarkan hukum adat (Pasal 5 UUPA).
4.             Sumber Hukum Agraria
Semua Undang-undang yang dibuat harus ada dasar hukumnya, begitu juga hukum agraria. Hukum agraria yang dimaksud adalah Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960).
Dasar hukum agraria Indonesia ada 2 macam yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dasar hukum tidak tertulis adalah hukum adat (Pasal 5 UUPA), sedangkan dasar hukum tertulis antara lain yaitu :
1.             Pasal 33 UUD 1945
2.             UU Pokok Agraria (  No. 5 Tahun 1960)
3.             UU Pertambangan (UU No. 11 Tahun 1967)
4.             UU Sumber Daya Air (UU No. 7 Tahun 2004)
5.             UU Perkebunan (UU No. 18 Tahun 2004)
6.             UU  Kehutanan (UU No.19 Tahun 2004)
7.             UU Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007)
8.             UU Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004)
9.             UU Wakaf (UU No.41 Tahun 2004)
10.         Peraturan-peraturan lainnya yang berkenaan dengan UU Pokok Agraria.
Dalam pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa, Bumi dan air dan ruang angkasa serta  kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu dalam Pasal 1 ayat (1)  UUPA ditentukan bahwa, seluruh  wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah, air dan seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa, seluruh bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah RI sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

5.             Hak-Hak Atas Tanah
Hak atas tanah yang diatur dalam  pasal 16 UUPA ada beberapa macam yaitu:
a.              Hak Milik
b.             Hak Guna Usaha
c.              Hak Guna Bangunan
d.             Hak Pakai
e.              Hak Sewa
f.              Hak Membuka Tanah
g.             Hak memungut hasil hutan
h.             Hak-hak lain yang berifat sementara yang diatur dalam pasal 53 yakni hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. (pasal 16 ayat (1). Selain hak-hak atas tanah masih ada hak-hak atas air dan ruang angkasa (pasal 16 ayat 2 UUPA) yakni (a). hak guna air, (b).hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan (c). hak guna ruang angkasa.
Hak atas tanah yang bersifat sementara, dimaksudkan dalam waktu   tertentu atau tidak lama lagi hak-hak ini harus hapus atau lenyap dari hukum pertanahan nasional karena hak atas tanah yang bersifat sementara sangat merugikan petani ekonomi lemah (petani gurem). Dalam pengusahaan tanah pertanian tidak boleh terjadi adanya penindasan dan pemerasan yang merugikan para petani pemilik tanah(petani  ekonomi lemah/ petani gurem).

Hak Milik
Hak Milik atas Tanah diatur dalam pasal 20 s/d. pasal 27 UUPA. Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 (berfungsi sosial). Hak milik dapat beralih dan dialihkan (Pasal 20).
Yang dapat mempunyai tanah hak milik  yaitu :
a.              Warga Negara Indonesia (perorangan);
b.             Badan Hukum Indonesia yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963. (yakni : Bank-bank yang didirikan oleh negara, Koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan UU.No. 79 Tahun 1958, Badan-badan keagamaan, dan Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional setelah mendengar dari Menteri yang berkepentingan) (Pasal 21).
Terjadinya hak milik karena :
a.              Peralihan hak (dialihkan), dan beralih karena pewarisan (Pasal 20 ayat 2);
b.             Menurut hukum adat (berdasarkan Peraturan Pemerintah);
c.              Penetapan pemerintah;
d.             Ketentuan Undang-undang yakni berdasarkan ketentuan konversi (Pasal 22).

Hapusnya Hak Milik dikarenakan oleh :
a.             Pencabutan hak oleh negara berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961;
b.            Penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya;
c.             Diterlantarkan;
d.            Tanahnya musnah;
e.             Pemiliknya kehilangan kwarga negaraan Indonesia (Pasal 27 UUPA).

Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha diatur dalam pasal 28 s/d. pasal 34 UUPA jo. pasal 2 s/d. pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.
 Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu yang ditentukan guna untuk perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Luasnya tanah yang bisa diberikan hak guna usaha paling sedikit 5 hektar, dan jika luasnya 25 hektar atau lebih pemegang hak guna usaha harus mempunyai investasi penanaman modal.
Lamanya pemegang hak guna usaha paling lama 25 tahun, dan untuk perusahaan yang membutuhkan waktu lama dapat diberikan jangka waktu 35 tahun, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang 25 tahun.
Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah :
a.             Warga Negara Indonesia
b.            Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (Pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 P.P. No. 40 Tahun 1996).


Terjadinya Hak Guna Usaha karena :
a.             Beralih  dan dialihkan  kepada pihak lain. Peralihan Hak Guna Usaha terjadi dengan cara : jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan (Pasal  28 ayat 3 jo. Pasal 16 P.P.No.40 Tahun 1996);
b.            Penetapan Pemerintah (Pasal 31 UUPA).

Hapusnya Hak Guna Usaha karena :
a.             Berakhir jangka waktunya;
b.            Diberhentikan/dibatalkan  oleh  pejabat yang berwenang sebelum waktunya;
c.             Dilepas secara sukarela oleh pemegangnya sebelum waktunya berakhir;
d.            Dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961;
e.             Diterlantarkan
f.             Tanahnya musnah
g.            Kehilangan syarat sebagai pemegang hak guna usaha (Pasal 34 UUPA jo. Pasal 17 P.P. No. 40 Tahun 1996).

Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan diatur dalam pasal 35 s/d. pasal 40 UUPA jo. pasal 19 s/d. pasal 38 P.P. No. 40 Tahun 1996.
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dalam jangka waktu paling lama 30 tahun, dan dapat diperpanjang 20 tahun (Pasal 35 UUPA).
Yang dapat mempunyai hak guna bangunan:
a.             Warga negara Indonesia
b.            Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36 UUPA jo. Pasal 19 P.P.No. 40 Tahun 1996).

Terjadinya Hak Guna Bangunan karena :
a.             Beralih dan dialihkan; Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena : jual beli, tukar menuka, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan (Pasal 35 ayat 2 jo. Pasal 34 P.P. No. 40 Tahun 1996);
b.            Penatapan Pemerintah (Keputusan Menteri atau pejabat yang berwenang bagi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 37 a UUPA jo. Pasal 22 ayat 1 P.P.No. 40 Tahun 1996);
c.             Perjanjian yang berbentuk otentik (bagi tanah hak milik), antara pemilik tanah dengan pihak yang memperoleh hak guna bangunan;
d.            Dengan Keputusan Menteri atau pejabat yang berwenang untuk tanah Hak Pengelolaan (Pasal 22 ayat 2  P.P.No. 40 Tahun 1996).
Hak Guna Bangunan hapus karena :
a.             Jangka waktunya berakhir;
b.            Dihentikan/dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum waktunya;
c.             Dilepaskan oleh pemegangnya sebelum waktunya berakhir;
d.            Dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan UU. No. 20 Tahun 1961;
e.             Diterlantarkan;
f.             Tanahnya musnah;
g.            Kehilangan sebagai pemegang hak guna bangunan (Pasal  40 UUPA jo. Pasal 20 ayat 2 P.P. No. 40 Tahun 1996).

Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain dengan jangka waktu tidak tertentu (Pasal 41 UUPA).
Menurut Pasal 45  Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, hak pakai dapat diberikan paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya masih dipergunakan. Hak pakai atas tanah ha milik diberikan paling lama 20 tahun (Pasal 49 PP. No. 40 Tahun 1996).
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :
a.             Warga negara Indonesia
b.            Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
c.             Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
d.            Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia (pasal 42 UUPA). Oleh pasal 39 P.P. No. 4 Tahun 1996 disebutkan tentang subyek hak pakai antara lain :
e.             Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen dan Pemerintah Daerah;
f.             Badan-badan keagamaan dan sosial;
g.            Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

Peralihan Hak Pakai  menurut Pasal 43 UUPA jo. Pasal 54 P.P. No. 40 Tahun 1996  ditentukan sebagai berikut :
a.             Hak Pakai atas tanah Hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain;
b.            Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik;
c.             Peralihan Hak Pakai terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan.
Hapusnya Hak Pakai diatur dalam pasal 55 P.P.No. 40 Tahun 1996, antara lain karena :
a.             Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian hak pakai, atau dalam perjanjiannya;
b.            Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, atau oleh pemiliknya bagi tanah hak milik;
c.             Dilepaskan secara sukarela oleh pemegangnya;
d.            Dicabut berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 1961;
e.             Diterlantarkan;
f.             Tanahnya musnah;
g.            Pemegang Hak Pakai tidak  memenuhi syarat sebagai subyek (pemegang) hak pakai (Pasal 40 ayat 2 P.P. No. 40 Tahun 1996).

Hak Sewa
 Hak Sewa adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar sewa kepada pemiliknya (Pasal 44 UUPA).
Yang dapat mempunyai hak sewa adalah :
a.             Warga negara Indonesia
b.            Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
c.             Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
d.            Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia (Pasal 45 UUPA).

Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan adalah berasal dari Hukum Adat sehubungan dengan adanya hak ulayat. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 46 UUPA). Hak-hak tersebut diatur oleh Undang-undang tersendiri. Untuk ketentuan pemungutan hasil hutan diatur oleh UU. No. 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan, sedangkan hak membuka tanah diatur dengan Undang-undang yang lain.

Hak-hak Yang Bersifat Sementara
Hak-hak yang bersifat sementara adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 53 UUPA, Hak atas tanah yang bersifat sementara ini sangat merugikan pemilik tanah gadai dan penggarap tanah. Hak atas tanah yang bersifat sementara ini antara lain:
a.              Hak Gadai;
b.             Hak Usaha Bagi Hasil;
c.              Hak Menumpang Karang;
d.             Hak Sewa Tanah Pertanian.
Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara ini, hanya bersifat sementara karena dalam waktu yang tidak lama diharapkan atau harus dihapuskan atau dilenyapkan dari hukum pertanahan atau hukum agraria nasional, sebab hak-hak ini sangat merugikan para petani ekonomi lemah, dan dikuatirkan terjadi penindasan atau pemerasan antara pemilik tanah dan penggarap atau penyewa tanah.

Ad.a.   Hak Gadai
Hak gadai yang dimaksud adalah hak gadai tanah pertanian merupakan pengertian “jual gadai” tanah yang berasal dari Hukum Adat
Jual gadai  adalah penyerahan sebidang tanah oleh pemiliknya kepada pihak lain dengan membayar uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa tanah akan dikembalikan kepada pemiliknya apabila pemilik mengembalikan uang yang diterimanya kepada pemegang tanah gadai.
Maksud dan tujuan orang menggadaikan tanah adalah meminjam uang dengan jaminan sebidang tanah oleh pemiliknya. Tanah akan dikembalikan kepada pemiliknya apabila pemilik tanah sudah mengembalikan sejumlah uang pokok beserta bunganya kepada pemegang tanah gadai. Jika pemilik tanah belum  megembalikan uang yang dipinjam kepada pemegang tanah gadai, maka selamanya tanah gadai tetap berada dalam kekuasaan pemegang gadai.
Oleh karena itu “hak gadai atas tanah” oleh UUPA disebut sebagai hak atas tanah yang bersitat sementara artinya dalam waktu yang tidak lama hak gadai atas tanah harus tidak ada atau dinyatakan tidak berlaku di Indonesia, karena sangat merugikan pemilik tanah (petani ekonomi lemah) yang tidak mampu mengembalikan uang pinjamannya (menebusnya) kepada pemegang gadai.
Pasal  7 ayat (1) Undang-undang No. 56 Prp. Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, menyatakan “barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan Hak Gadai sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemilinya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran tebusan.
Dengan adanya ketentuan tersebut, berarti hak gadai tanah pertanian menjadi tidak berlaku (hapus) setelah 7 (tujuh) tahun atau lebih, bahkan pemilik tanah tidak wajib membayar uang tebusan.

Ad.b.   Hak Usaha Bagi Hasil
Hak Usaha Bagi hasil sama halnya dengan Hak Gadai Tanah, berasal dari Hukum Adat. Hak Usaha Bagi Hasil dalam hukum adat  disebut dengan istilah “maro”-  “mertelu”- “nyeperempat” (Jawa) atau “memperduai” (Minang), “tigo” (minahasa), “Nengah” atau “Jejuron” (sunda) hak menggarap tanah, artinya hak menggarap (mengusahakan) tanah pertanian milik orang lain (pemilik tanah)  oleh seseorang, dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak (penggarap dan pemilik tanah).
Perjanjian Bagi Hasil sebelum berlakunya UUPA, telah diatur dalam Undang-Undang No. 2  Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil. Undang-undang ini mengatur bahwa perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian harus dilakukan secara tertulis dihadapan Kepala Desa dan dilaksanakan dengan “adil” tidak merugikan kedua belah pihak terutama pihak penggarap.

Ad.c. Hak Menumpang
Hak menumpang juga berasal dari Hukum Adat, artinya hak yang mengijinkan seseorang untuk mendirikan bangunan dan menempati tanah pekarangan orang lain, dengan tidak membayar sejumlah uang kepada pemilik pekarangan.
Hak menumpang ini sebenarnya adalah bentuk lain dari hak pakai atas tanah, hanya  sifatnya sangat lemah dan dapat merugikan kedua belah pihak. Sewaktu-waktu pihak pemilik tanah dapat mengambil tanahnya; atau pihak penumpang tanah pekarangan tetap menempati tanah pekarangan untuk selamanya, dan mau pindah atau meninggalkan tanah pekarangan dengan meminta imbalan ganti rugi yang sangat tinggi dari pemilik pekarangan.
 Dalam prakteknya hak menumpang ini tidak dilakukan dengan perjanjian tertulis karena tujuannya menolong atau membantu seseorang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat untuk bekerja, sehingga mengijinkan tanah pekarangannya ditempati untuk sementara.

Ad.d.               Hak Sewa Tanah Pertanian
Hak Sewa Tanah Pertanian ini juga hak yang bersifat sementara (Pasal 16 ayat (1) UUPA), yang diharapkan dalam waktu yang tidak lama akan hapus dengan sendirinya karena sangat merugikan petani yang belum mempunyai tanah pertanian.
Hak Sewa atas tanah pertanian oleh UUPA dibedakan dengan Hak Sewa atas tanah untuk mendirikan bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UUPA.
Hak sewa atas tanah pertanian sebagai hak yang bersifat sementara juga sehubungan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA  menyebutkan bahwa, setiap orang atau Badan Hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Maksud yang terkandung dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA bahwa, siapapun yang memiliki atau menguasai tanah pertanian harus mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif untuk menghindari terjadinya pemerasan terhadap penggarap. Jika pemilik tanah tidak mampu mengusahakan secara aktif, maka tanah pertanian hendaknya dialihkan kepada pihak lain (petani) yang memerlukan, atau dilepaskan secara sukarela kepada negara untuk didistribusikan kepada petani yang tidak mempunyai tanah pertanian.

6.             Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA. Pasal 19 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa, untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), dan Pasal  38 ayat (1) UUPA jo. Pasal 43 PP.No. 40 Tahun 1996 bahwa, terjadinya dan hapusnya hak milik, hak guna usaha, hak bangunan dan hak pakai harus didaftarkan sebagaimana ditentukan oleh pasal 19 UUPA.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA adalah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah.
Obyek pendaftaran tanah menurut Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yakni : (a) bidang tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai; (b) tanah hak pengelolaan; (c) tanah wakaf; (d) hak milik atas rumah susun; (e) hak tanggungan; dan (f) tanah Negara.
Tujuan utama Pendaftaran Tanah yaitu untuk :
a.              memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah;
b.             menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah  mengenai data suatu bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
c.              terselenggaranya tertib administrasi pertanahan (Pasal 3 PP. No. 24 Tahun 1977).


[1] Boedi Harsono. 1971. Sejarah Undang-undang Pokok Agraria. Jambatan. Jakarta. hlm. 18-19.
[2] Ibid. hlm. 19.
[3] Ibid. hlm. 21.
[4] Ibid. hlm. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar