BAB XIV
DASAR-DASAR HUKUM
PAJAK
1.
Pengertian Pajak
Menurut Adriani, pajak adalah iuran kepada
Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk, dan gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
penyelenggaraan pemerintahan.[1]
N.J. Feldmann dalam bukunya “De
overheidsmiddelen van Indonesia ”
(1949), pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada
penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya
kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum.[2]
M.J.H. Smeet mendefinisikan pajak, sebagai
prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan yang
dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang
individual, tujuannya untuk membiayai pengeluaran pemerintah.[3]
Menurut Soeparman Soemahamidjaya, pajak adalah
iuran berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan
norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa
kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.[4]
Rochmat Soemitro dalam bukunya “Dasar-Dasar
Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan”, pajak
adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan dipergunakan untuk membayar pengeluaran umum.[5]
Dari definisi tersebut dapat diketahui, bahwa
pajak adalah iuran wajib dari rakyat kepada pemerintah yang dipaksakan
berdasarkan undang-undang, tanpa kontraprestasi secara langsung kepada
individual, untuk pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan guna kepentingan umum.
Dari definisi
pajak tersebut terdapat unsur-unsur pngertian pajak, antara lain :
1.
Adanya iuran wajib
dari rakyat kepada pemerintah (Negara);
2.
Dipungut (dipaksakan)
berdasarkan undang-undang;
3.
Tanpa adanya kontraprestasi langsung secara
individual;
4.
Untuk pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan guna kepentingan umum.
Pajak berbeda dengan retribusi dan sumbangan.
Kalau retribusi pada umumnya berkaitan kembalinya prestasi secara langsung
kepada individual pemberi iuran wajib. Pembayaran iuran pada retribusi
bertujuan untuk memperoleh prestasi secara langsung dari pemerintah (daerah). Prestasi
yang dimaksud berwujud jasa atau pemberian ijin tertentu yang bersifat khusus,
misalnya : retribusi jasa umum
(retribusi parkir di jalan raya/tempat umum, retribusi biaya KTP/Akta
kelahiran), retribusi jasa usaha (masuk tempat-tempat rekreasi, masuk
bandara/pelabuhan laut yang dikelola oleh pemerintah daerah dsb). Dengan
demikian “retribusi” adalah pungutan
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah (daerah) untuk kepentingan
individu (orang pribadi) atau badan.
Adapun sumbangan adalah pembayaran secara
sukarela dari rakyat tertentu (tidak seluruhnya) yang mempunyai kemampuan untuk
kegiatan tertentu yang diselenggarakan
oleh pemerintah (daerah), misalnya sumbangan untuk Palang Merah
Indonesia, donor darah yang dikelola oleh PMI/Rumah Sakit milik Pemerintah atau
swasta.
2.
Fungsi Pajak
a.
Fungsi Penerimaan (budgetair), yaitu pajak berfungsi sebagai sumber pendanaan untuk
pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah guna kepentingan umum;
b.
Fungsi mengatur (regulerer), yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur/melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Misalnya,
dikenakan pajak yang tinggi untuk
minuman keras, agar dapat menekan konsumsi yang tinggi terhadap pemakai minuman
keras.
3.
Hukum Pajak.
Hukum pajak
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur kewenangan
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang
guna kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan umum (rakyat).
Hukum pajak mengatur hubungan hukum antara
pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak.
Menurut fungsinya ada dua macam hukum pajak, yakni hukum pajak
material dan hukum pajak formal.
a.
Hukum Pajak material,
mengatur keadaan, perbuatan hukum yang dikenakan pajak (obyek pajak),
siapa-siapa yang dikenakan pajak (subyek pajak), berapa besar pajak yang
dikenakan, segala sesuatu tentang timbul (terjadinya) dan hapusnya pajak, dan
hubungan hukum antara pemerintah dengan wajib pajak. Contoh: Undang-undang
pajak penghasilan, undang-undang pajak pertambahan nilai dan barang mewah,
undang-undang pajak bumi dan bangunan.
b.
Hukum Pajak formal,
yang mengatur cara mempertahankan dan melakanakan hukum pajak material. Hukum
Pajak formal ini memuat : (1) tatacara penetapan pajak terhutang; (2) hak-hak
fiskus untuk mengawasi Wajib Pajak pengenai keadaan perbuatan atau peristiwa
yang dapat menimbulkan utang pajak; (3) kewajiban wajib pajak, misalnya
penyelenggaraan pembukuan/pencatatan, dan hak-ak wajib pajak, misalnya cara
mengajukan keberatan dan banding.
2.
Kedudukan Hukum Pajak
Hukum pajak merupakan bagian hukum privat dan
hukum publik.
Sebagai bagian hukum privat, hukum pajak
mengatur hubungan antara individu dengan individu lainnya. Dalam hal subyek
pajak dapat berwujud orang-perorangan maupun badan pribadi/badan hukum yang
disebut dengan “wajib pajak” terhutang. Istilah terhutang hanya ada dalam hukum
privat.
Hukum pajak sebagai bagian hukum publik, karena
hukum pajak mengatur hubungan hukum antara rakyat sebagai perseorangan
(individu) dengan Negara (pemerintah) sebagai penyelenggara urusan/kepentingan
umum (public). Hukum Publik, selain hukum pajak antara lain: Hukum Pidana,
Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara/Hukum Tata Usaha Ngara/Hukum Tata
Pemerintahan, Hukum Internasional (Publik).
Kedudukan Hukum pajak cenderung lebih banyak
sebagai bagian atau hukum publik, karena lebih mengutamakan kepentingan umum
daripada kepentingan individu.
Hukum pajak merupakan hukum imperatif artinya
brsifat memaksa kepada pihak wajib pajak atau pihak terutang pajak.
3.
Klasifikasi Pajak
a.
Menurut
Pembebanannya
1)
Pajak langsung,
artinya pajak yang harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dbebankan atau dilimpahkan kepada pihak lain. Contohnya : Pajak Penghasilan;
2)
Pajak tidak langsung,
artinya pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain.Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa.
b.
Menurut Sifatnya
1)
Pajak subyektif, yaitu
pajak yang didasarkan pada subyeknya yang kemudian dicari syarat obyektifnya,
artinya memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contohnya : Pajak Penghasilan.
2)
Pajak obyektif, yaitu
yang didasarkan pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
c.
Menurut Pemungutnya
1)
Pajak Pusat (Negara),
adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai
anggaran penyelenggaraan pemerintahan Negara baik di pusat maupun di daerah.
Pajak Pusat (Negara) disebut juga sebagai “pajak umum” karena dipergunakan
untuk pembiayaan atau pengeluaran-pengeluaran guna kepentingan masyarakat luas
(umum). Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan
Pajak Penjualan Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan, Bea Meterai.
2)
Pajak Daerah, adalah
pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, dan digunakan untuk membiayai
anggaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Contoh : Pajak Kendaraan
Bermotor, Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan jalan, Pajak Hotel,
Pajak Restoran.
d.
Jenis obyeknya
1)
Pajak Penghasilan,
adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas “penghasilan” yang
diterima dan diperoleh dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan/ PPh di
Indonesia terdiri dari ( PPh 21, PPh 22,
PPh 23, PPh 24, PPh 25, PPh 26).
2)
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak
Penjualan Barang Mewah, terdiri dari :
a)
Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa (PPN); dan
b)
Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPn BM). Obyek Pajak PPn dan PPN BM (Barang Kena Pajak/BKP :
benda bergerak dan benda tidak bergerak, benda berwujud dan tidak berwujud yang
ditentukan UUPPN; Jasa Kena Pajak/JKP : Jasa Pelayanan berdasarkan suatu
perikatan/perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas/ kemudahan atau hak untuk dipakai,
termasuk jasa yang menghasilkan barang yang ditentukan UUPPN; dan Pengusaha
Kena Pajak/PKP yang menghasilkan barang dan yang melakukan penyerahan barang
menurut UUPPN).
3)
Pajak Bumi dan Bangunan.
Obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Pengelompokan bumi dan/atau bangunan
menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman penghitungan pajak.
Bumi/permukaan bumi (tanah) ditentukan
berdasarkan: letaknya, peruntukannya, pemanfaatannya, dan kondisi lingkungan
dll.
Bangunan ditentukan berdasarkan: bahan yang
digunakan, rekayasa, letak, dan kondisi lingkungan dll.
4)
Bea Meterai. Bea
Meterai adalah pajak atas dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan
yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan bagi seseorang dan/atau
pihak-pihak yang berkepentingan.
Obyek Pajak/Bea Meterai adalah Dokumen (Surat
Perjanjian, Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat Pernyataan yang dapat dijadikan
alat bukti di Pengadilan maupun surat – surat yang bersifat perdata,
surat-surat tentang perbuatan, kenyataan
atau keadaan tertentu; akta notaris dan salinannya, akta PPAT dan
salinannya/rangkapnya; surat yang memuat jumlah uang lebih dari satu juta
rupiah; surat-surat berharga seperti cek, wesel, promes, aksep, efek yang
nilainya lebih dari satu juta rupiah (UU No. 13 Tahun 1985 jo PP.No. 7 Tahun
1995 dan PP. No. 24 Tahun 2000).
5)
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah Pajak yang dikenakan atas Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan Hak atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan,
meliputi (pemindahan hak, dan pemberian hak baru). Pepindahan hak atas tanah
dan atau bangunan mencakup perbuatan hukum:
a)
jual beli,
b)
tukar menukar,
c)
hibah,
d)
hibah wasiat,
e)
waris,
f)
pemasukan dalam
perseroan/badan hukum,
g)
pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan,
h)
penunjukan pembeli
dalam lelang,
i)
pelaksanaan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
j)
penggabungan usaha,
k)
peleburan usaha,
l)
pemekaran usaha,
m)
hadiah.
Pemberian hak baru mencakup (kelanjutan
pelepasan hak, dan di luar pelepasan hak). Hak-hak atas tanah tersebut
meliputi: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak atas
Satuan Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan.
4.
Tata Cara Pemungutan Pajak
a.
Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dilakukan
brdasarkan 3 (tiga) stelsel sebagai berikut :
1)
Stelsel nyata (riel stelsel), artinya pengenaan pajak didasarkan pada obyek (penghasilan
nyata), sehingga pemungutannya dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu
setelah pnghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kebaikan stelsel ini, pajak
yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya, pajak baru dapat dikenakan pada
akhir periode setelah penghasilan riel diketahui.
2)
Stelsel anggapan (fictive stelsel), pengenaan pajak
didasarkan pada suatu anggapan yang diatur dalam undang-undang. Misalnya,
penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun berikutnya, sehingga pada
awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan stetsel ini adalah pajak dapat dibayar
selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya
adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3)
Stetsel campuran,
stetsel ini merupakan kombinasi antara stetsel nyata dan stetsel anggapan. Pada
awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada
akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila
besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan,
maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya
dapat diminta kembali.
b.
Sistem Pemungutan
Pajak
1)
Official Assesment System, adalah system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-ciri official
assessment system adalah:
a)
wewenang untuk
menentukan besarnya pajak ada pada fiskus (pemerintah);
b)
wajib pajak bersifat
pasif;
c)
utang pajak timbul
setlah diklarkan surat
ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah).
2)
Self Assesment System, adalah pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak
yang harus dibayar.
3)
With holding System, adalah pemungutan pajak yang
member wewenang kepada “pihak ketiga” untuk memotong atau memungut besarnya
pajak yang terutang oleh wajib pajak.
c.
Asas Personal
Wajib Pajak
1)
Asas tempat tinggal (domisili)
Negara berhak memungut pajak atas seluruh
penghasilan wajib pajak berdasarkan tempat tinggal (domisili) wajib pajak.
2)
Asas Kewarganegaraan
Pengenaan pajak ditentukan berdasarkan
kewarganegaraan seseorang. Asas ini diberlakukan terhadap orang asing yang
berada di Indonesia
untuk membayar pajak.
3)
Asas Sumber Pajak
Negara berhak berhak memungut pajak atas
penghasilan yang bersumber dari suatu Negara yang memungut pajak.
Seseorang/badan yang mempunyai penghasilan di Indonsia dikenakan pajak, tanpa
memperhatikan domisilinya atau kewargangaraan wajib pajak.
5.
Asas dan Teori Pemungutan Pajak
a.
Asas filsafat
Hukum
Artinya bahwa pemungutan pajak harus berasaskan
“keadilan”. Dengan demikian “keadilan” ini merupakan asas pemungutan pajak.
Untuk menyatakan “keadilan” dalam pemungutan pajak dikenal adanya beberapa
teori, yakni :
1)
Teori Asuransi,
artinya Negara berkewajiban melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan
hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat diharuskan membayar pajak (sebagai
premi asuransi) untuk memperoleh jaminan perlindungan dari ngara/pemerintah.
2)
Teori Kepentingan,
artinya pemungutan pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan
orang-perseorangan masing-masing, termasuk perlindungan atas jiwa orang-orang
dan harta bendanya. Oleh karena itu sangat layak bahwa biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh Negara untuk melaksanakan kewajibannya, dibebankan kepada
mereka (wajib pajak). Dengan demikian makin tinggi kepentingan seseorang
terhadap perlindungan oleh Negara, makin tinggi pula pajak yang harus dibayar
kepada Negara.
3)
Teori Daya Pikul,
bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa yang diberikan
oleh negara kepada rakyatnya (wajib pajak), yaitu perlindungan atas jiwa dan
harta bendanya. Untuk keperluan itu diperlukan biaya-biaya yang dipikul oleh
semua orang yang menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak. Inti
teori ini adalah asas keadilan, artinya pengenaan pajak harus sama beratnya
(seimbang) untuk setiap orang.
4)
Teori Bakti (Kewajiban
Pajak Mutlak), artinya dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan
rakyat dengan negaranya. Sebagai rakyat yang berbakti kepada negaranya, harus
membuktikan tanda baktinya dengan membayar pajak kepada negara.
5)
Teori Daya Beli,
artinya dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
memungut pajak berarti menarik daya beli dari masyarakat untuk kepentingan
Negara. Selanjutnya Negara mengembalikan kepada masyarakat dalam bentuk
pemeliharaan sarana dan prasarana untuk kepentingan/kesejahteraan masyarakat
luas.
b.
Asas Yuridis, artinya hukum pajak harus mampu memberikan jaminan hukum
yang “berkeadilan” untuk melindungi kepentingan Negara dan warganya.
c.
Asas Ekonomis, artinya pemungutan pajak tidak boleh menghambat
kelancaran perekonomian Negara yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupam
ekonomi rakyat. Pemungutan pajak harus mampu meningkatkan ekonomi/taraf hidup
rakyat dan mensejahterakan rakyat.
6.
Tarif Pajak
Dalam penghitungan pajak yang terutang dikenal
ada 4 (empat) macam tarif:
a.
Tarif Pajak
Proporsional (seimbang).
Tarif Pajak Proporsional adalah tarif berupa
persentase tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak.
Contoh dikenakan pajak pertambahan nilai 10%
atas penyerahan barang kena pajak.
b.
Tarif Pajak Progresif
Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang
persentasenya menjadi lebih besar apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan
pajak semakin besar. Misalna Tarif Pajak Penghasilan menurut pasal 17 UU PPh
1995, penghasilan kena pajak :
-
sampai dengan Rp.
25.000.000,00 tarifnya10 %;
-
di atas Rp.
25.000.000,00 s/d. Rp. 50.000.000,00 tarifnya 15 %;
-
di atas Rp.
50.000.000,00 tarifnya 30 %.
1.
Tarif Progresif Progresif, dalam hal ini kenaikan persentase pajaknya semakin besar;
2.
Tarif Progresif Tetap,
artinya kenaikan persentasenya tetap;
3.
Tarif Progresif Degresif,
artinya kenaikan persentasenya semakin kecil.
c.
Tarif Pajak Tetap
Tarif Pajak Tetap adalah tarif berupa jumlah
yang tetap (sama besarnya) terhadap berapapun yang menjadi dasar pengenaan
pajak,sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
d.
Tarif Degresif
Tarif Degresif adalah persentase tarif pajak
semakin menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi
semakin besar.
7.
Hambatan Pemungutan Pajak
a.
Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif, artinya masyarakat enggan membayar pajak disebabkan
oleh :
1)
perkembangan
intelektual dan moral masyarakat;
2)
sistem perpajakan
kemungkinan sulit dipahami oleh masyarakat;
3)
sistem
control/pengawasan tidak berjalan dengan layak.
b.
Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi segala cara atau
usaha an perbutan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus (pemerintah)
dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuk perlawanan aktif antara lain :
1)
Tax ovoidance, yaitu
usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
2)
Tax evasion, yaitu
usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
8.
Hapusnya Pajak
Hapusnya Pajak disebabkan oleh :
Pertama,
pembayaran, artinya utang pajak wajib pajak dapat hapus karena pembayaran ke
Kas Negara.
Kedua,
kompensasi. Konpensasi terjadi apabila wajib pajak mempunyai tagihan
berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang
diterima wajib pajak sebelumnya dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya yang
terutang.
Ketiga, Daluwarsa, diartikan daluwarsa penagihan. Hak untuk melakukan
penagihan pajak berlaku setelah lampaunya waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan.
Keempat, pembebasan, artinya utang pajak
tidak berakhir sebagaimana seharusnya, tetapi karena ditiadakan atau
dibebaskan. Pada umumnya pembebasan tidak diberikan terhadap utang pokok pajak,
melainkan terhadap sanksi administratifnya.
Kelima, penghapusan.
Penghapusan utang pajak diberikan karena
kondisi keuangan wajib pajak tidak memungkinkan untuk membayar utang pajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar