Jumat, 04 Mei 2012

Pengantar Hukum Indonesia (Bab XIV)


BAB XIV
DASAR-DASAR HUKUM PAJAK


1.             Pengertian Pajak
Menurut Adriani, pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk penyelenggaraan pemerintahan.[1]
N.J. Feldmann dalam bukunya “De overheidsmiddelen van Indonesia” (1949), pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.[2]
M.J.H. Smeet mendefinisikan pajak, sebagai prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan yang dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, tujuannya untuk membiayai pengeluaran pemerintah.[3]
Menurut Soeparman Soemahamidjaya, pajak adalah iuran berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.[4]
Rochmat Soemitro dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan”,  pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan dipergunakan untuk membayar pengeluaran umum.[5]
Dari definisi tersebut dapat diketahui, bahwa pajak adalah iuran wajib dari rakyat kepada pemerintah yang dipaksakan berdasarkan undang-undang, tanpa kontraprestasi secara langsung kepada individual, untuk pembiayaan  penyelenggaraan pemerintahan guna kepentingan umum.
Dari definisi  pajak tersebut terdapat unsur-unsur pngertian pajak, antara lain :
1.             Adanya iuran wajib dari rakyat kepada pemerintah (Negara);
2.             Dipungut (dipaksakan) berdasarkan undang-undang;
3.             Tanpa  adanya kontraprestasi langsung secara individual;
4.             Untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan guna kepentingan umum.
Pajak berbeda dengan retribusi dan sumbangan. Kalau retribusi pada umumnya berkaitan kembalinya prestasi secara langsung kepada individual pemberi iuran wajib. Pembayaran iuran pada retribusi bertujuan untuk memperoleh prestasi secara langsung dari pemerintah (daerah). Prestasi yang dimaksud berwujud jasa atau pemberian ijin tertentu yang bersifat khusus, misalnya :  retribusi jasa umum (retribusi parkir di jalan raya/tempat umum, retribusi biaya KTP/Akta kelahiran), retribusi jasa usaha (masuk tempat-tempat rekreasi, masuk bandara/pelabuhan laut yang dikelola oleh pemerintah daerah dsb). Dengan demikian “retribusi” adalah pungutan  sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah (daerah) untuk kepentingan individu (orang pribadi) atau badan.
Adapun sumbangan adalah pembayaran secara sukarela dari rakyat tertentu (tidak seluruhnya) yang mempunyai kemampuan untuk kegiatan tertentu yang diselenggarakan  oleh pemerintah (daerah), misalnya sumbangan untuk Palang Merah Indonesia, donor darah yang dikelola oleh PMI/Rumah Sakit milik Pemerintah atau swasta.

2.             Fungsi Pajak
Ada dua macam fungsi pajak, yaitu :
a.              Fungsi Penerimaan (budgetair), yaitu pajak berfungsi sebagai sumber pendanaan untuk pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah guna  kepentingan umum;
b.             Fungsi mengatur (regulerer), yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur/melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Misalnya, dikenakan  pajak yang tinggi untuk minuman keras, agar dapat menekan konsumsi yang tinggi terhadap pemakai minuman keras.

3.             Hukum Pajak.
Hukum pajak  adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang  guna kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan  kepentingan umum (rakyat).
Hukum pajak mengatur hubungan hukum antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak.
Menurut fungsinya  ada dua macam hukum pajak, yakni hukum pajak material dan hukum pajak formal.
a.              Hukum Pajak material, mengatur keadaan, perbuatan hukum yang dikenakan pajak (obyek pajak), siapa-siapa yang dikenakan pajak (subyek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul (terjadinya) dan hapusnya pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dengan wajib pajak. Contoh: Undang-undang pajak penghasilan, undang-undang pajak pertambahan nilai dan barang mewah, undang-undang pajak bumi dan bangunan.
b.             Hukum Pajak formal, yang mengatur cara mempertahankan dan melakanakan hukum pajak material. Hukum Pajak formal ini memuat : (1) tatacara penetapan pajak terhutang; (2) hak-hak fiskus untuk mengawasi Wajib Pajak pengenai keadaan perbuatan atau peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak; (3) kewajiban wajib pajak, misalnya penyelenggaraan pembukuan/pencatatan, dan hak-ak wajib pajak, misalnya cara mengajukan keberatan dan banding.

2.             Kedudukan Hukum Pajak
Hukum pajak merupakan bagian hukum privat dan hukum publik.
Sebagai bagian hukum privat, hukum pajak mengatur hubungan antara individu dengan individu lainnya. Dalam hal subyek pajak dapat berwujud orang-perorangan maupun badan pribadi/badan hukum yang disebut dengan “wajib pajak” terhutang. Istilah terhutang hanya ada dalam hukum privat.
Hukum pajak sebagai bagian hukum publik, karena hukum pajak mengatur hubungan hukum antara rakyat sebagai perseorangan (individu) dengan Negara (pemerintah) sebagai penyelenggara urusan/kepentingan umum (public). Hukum Publik, selain hukum pajak antara lain: Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara/Hukum Tata Usaha Ngara/Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Internasional (Publik).
Kedudukan Hukum pajak cenderung lebih banyak sebagai bagian atau hukum publik, karena lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individu. 
Hukum pajak merupakan hukum imperatif artinya brsifat memaksa kepada pihak wajib pajak atau pihak terutang pajak.

3.             Klasifikasi Pajak
a.             Menurut Pembebanannya
1)             Pajak langsung, artinya pajak yang harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dbebankan atau dilimpahkan kepada pihak lain. Contohnya : Pajak Penghasilan;
2)             Pajak tidak langsung, artinya pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa.
b.             Menurut Sifatnya
1)             Pajak subyektif, yaitu pajak yang didasarkan pada subyeknya yang kemudian dicari syarat obyektifnya, artinya memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contohnya : Pajak Penghasilan.
2)             Pajak obyektif, yaitu yang didasarkan pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
c.              Menurut Pemungutnya
1)             Pajak Pusat (Negara), adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai anggaran penyelenggaraan pemerintahan Negara baik di pusat maupun di daerah. Pajak Pusat (Negara) disebut  juga  sebagai “pajak umum” karena dipergunakan untuk pembiayaan atau pengeluaran-pengeluaran guna kepentingan masyarakat luas (umum). Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bea Meterai.
2)             Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, dan digunakan untuk membiayai anggaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan jalan, Pajak Hotel, Pajak Restoran.
d.             Jenis obyeknya
1)             Pajak Penghasilan, adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas “penghasilan” yang diterima dan diperoleh dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan/ PPh di Indonesia  terdiri dari ( PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 24, PPh 25, PPh 26).
2)             Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Barang Mewah, terdiri dari  :
a)             Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN); dan
b)            Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM). Obyek Pajak PPn dan PPN BM (Barang Kena Pajak/BKP : benda bergerak dan benda tidak bergerak, benda berwujud dan tidak berwujud yang ditentukan UUPPN; Jasa Kena Pajak/JKP : Jasa Pelayanan berdasarkan suatu perikatan/perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau  fasilitas/ kemudahan atau hak untuk dipakai, termasuk jasa yang menghasilkan barang yang ditentukan UUPPN; dan Pengusaha Kena Pajak/PKP yang menghasilkan barang dan yang melakukan penyerahan barang menurut UUPPN).
3)             Pajak Bumi dan Bangunan. Obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Pengelompokan bumi dan/atau bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman penghitungan pajak.
Bumi/permukaan bumi (tanah) ditentukan berdasarkan: letaknya, peruntukannya, pemanfaatannya, dan kondisi lingkungan dll.
Bangunan ditentukan berdasarkan: bahan yang digunakan, rekayasa, letak, dan kondisi lingkungan dll.
4)             Bea Meterai. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan.
Obyek Pajak/Bea Meterai adalah Dokumen (Surat Perjanjian, Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat Pernyataan yang dapat dijadikan alat bukti di Pengadilan maupun surat – surat yang bersifat perdata, surat-surat  tentang perbuatan, kenyataan atau keadaan tertentu; akta notaris dan salinannya, akta PPAT dan salinannya/rangkapnya; surat yang memuat jumlah uang lebih dari satu juta rupiah; surat-surat berharga seperti cek, wesel, promes, aksep, efek yang nilainya lebih dari satu juta rupiah (UU No. 13 Tahun 1985 jo PP.No. 7 Tahun 1995 dan PP. No. 24 Tahun 2000).
5)             Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak yang dikenakan atas Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan Hak atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi (pemindahan hak, dan pemberian hak baru). Pepindahan hak atas tanah dan atau bangunan mencakup perbuatan hukum:
a)             jual beli,
b)            tukar menukar,
c)             hibah,
d)            hibah wasiat,
e)             waris,
f)             pemasukan dalam perseroan/badan hukum,
g)            pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,
h)            penunjukan pembeli dalam lelang,
i)              pelaksanaan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
j)              penggabungan usaha,
k)            peleburan usaha,
l)              pemekaran usaha,
m)          hadiah.
Pemberian hak baru mencakup (kelanjutan pelepasan hak, dan di luar pelepasan hak). Hak-hak atas tanah tersebut meliputi: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan.

4.             Tata Cara Pemungutan Pajak
a.             Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dilakukan brdasarkan 3 (tiga) stelsel sebagai berikut :
1)             Stelsel nyata (riel stelsel), artinya pengenaan pajak didasarkan pada obyek (penghasilan nyata), sehingga pemungutannya dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah pnghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kebaikan stelsel ini, pajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya, pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode setelah penghasilan riel diketahui.
2)             Stelsel anggapan (fictive stelsel), pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur dalam undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun berikutnya, sehingga pada awal tahun  pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan stetsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3)             Stetsel campuran, stetsel ini merupakan kombinasi antara stetsel nyata dan stetsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.

b.             Sistem Pemungutan Pajak      
1)             Official Assesment System, adalah system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-ciri official assessment system adalah:
a)             wewenang untuk menentukan besarnya pajak ada pada fiskus (pemerintah);
b)            wajib pajak bersifat pasif;
c)             utang pajak timbul setlah diklarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah).
2)             Self Assesment System, adalah pemungutan pajak yang memberi wewenang kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
3)             With holding System, adalah pemungutan pajak yang member wewenang kepada “pihak ketiga” untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

c.              Asas Personal Wajib Pajak
Ada tiga asas personal wajib pajak, yakni :
1)             Asas tempat tinggal (domisili)
Negara berhak memungut pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak berdasarkan tempat tinggal (domisili) wajib pajak.
2)             Asas Kewarganegaraan
Pengenaan pajak ditentukan berdasarkan kewarganegaraan seseorang. Asas ini diberlakukan terhadap orang asing yang berada di Indonesia untuk membayar pajak.
3)             Asas Sumber Pajak         
Negara berhak berhak memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari suatu Negara yang memungut pajak. Seseorang/badan yang mempunyai penghasilan di Indonsia dikenakan pajak, tanpa memperhatikan domisilinya atau kewargangaraan wajib pajak.

5.             Asas dan Teori Pemungutan Pajak
a.              Asas filsafat Hukum
Artinya bahwa pemungutan pajak harus berasaskan “keadilan”. Dengan demikian “keadilan” ini merupakan asas pemungutan pajak. Untuk menyatakan “keadilan” dalam pemungutan pajak dikenal adanya beberapa teori, yakni :
1)             Teori Asuransi, artinya Negara berkewajiban melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat diharuskan membayar pajak (sebagai premi asuransi) untuk memperoleh jaminan perlindungan dari ngara/pemerintah.
2)             Teori Kepentingan, artinya pemungutan pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan orang-perseorangan masing-masing, termasuk perlindungan atas jiwa orang-orang dan harta bendanya. Oleh karena itu sangat layak bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Negara untuk melaksanakan kewajibannya, dibebankan kepada mereka (wajib pajak). Dengan demikian makin tinggi kepentingan seseorang terhadap perlindungan oleh Negara, makin tinggi pula pajak yang harus dibayar kepada Negara.
3)             Teori Daya Pikul, bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya (wajib pajak), yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan itu diperlukan biaya-biaya yang dipikul oleh semua orang yang menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak. Inti teori ini adalah asas keadilan, artinya pengenaan pajak harus sama beratnya (seimbang) untuk setiap orang.
4)             Teori Bakti (Kewajiban Pajak Mutlak), artinya dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai rakyat yang berbakti kepada negaranya, harus membuktikan tanda baktinya dengan membayar pajak kepada negara.
5)             Teori Daya Beli, artinya dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari masyarakat untuk kepentingan Negara. Selanjutnya Negara mengembalikan kepada masyarakat dalam bentuk pemeliharaan sarana dan prasarana untuk kepentingan/kesejahteraan masyarakat luas.
b.             Asas Yuridis, artinya hukum pajak harus mampu memberikan jaminan hukum yang “berkeadilan” untuk melindungi kepentingan Negara dan warganya.
c.              Asas Ekonomis, artinya pemungutan pajak tidak boleh menghambat kelancaran perekonomian Negara yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupam ekonomi rakyat. Pemungutan pajak harus mampu meningkatkan ekonomi/taraf hidup rakyat dan mensejahterakan rakyat.

6.             Tarif Pajak
Dalam penghitungan pajak yang terutang dikenal ada 4 (empat) macam tarif:
a.              Tarif Pajak Proporsional (seimbang).
Tarif Pajak Proporsional adalah tarif berupa persentase tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contoh dikenakan pajak pertambahan nilai 10%  atas penyerahan barang kena pajak.
b.             Tarif  Pajak Progresif
Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar. Misalna Tarif Pajak Penghasilan menurut pasal 17 UU PPh 1995,  penghasilan kena pajak :
-                sampai dengan Rp. 25.000.000,00 tarifnya10 %;
-                di atas Rp. 25.000.000,00 s/d. Rp. 50.000.000,00 tarifnya 15 %;
-                di atas Rp. 50.000.000,00 tarifnya 30 %.
Ada 3(tiga) macam Tarif Pajak Progresif, yaitu :
1.             Tarif Progresif Progresif, dalam hal ini kenaikan persentase pajaknya semakin besar;
2.             Tarif Progresif Tetap, artinya kenaikan persentasenya tetap;
3.             Tarif Progresif Degresif, artinya kenaikan persentasenya semakin kecil.
c.              Tarif Pajak Tetap
Tarif Pajak Tetap adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama besarnya) terhadap berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak,sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
d.             Tarif Degresif
Tarif Degresif adalah persentase tarif pajak semakin menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar.

7.             Hambatan Pemungutan Pajak
Ada dua macam hambatan terhadap pemungutan pajak, yakni :
a.              Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif, artinya  masyarakat enggan membayar pajak disebabkan oleh :
1)              perkembangan intelektual dan moral masyarakat;
2)              sistem perpajakan kemungkinan sulit dipahami oleh masyarakat;
3)              sistem control/pengawasan tidak berjalan dengan layak.
b.             Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi segala cara atau usaha an perbutan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus (pemerintah) dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuk perlawanan aktif antara lain :
1)             Tax ovoidance, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
2)             Tax evasion, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.

8.             Hapusnya Pajak
Hapusnya Pajak disebabkan oleh :
 Pertama, pembayaran, artinya utang pajak wajib pajak dapat hapus karena pembayaran ke Kas Negara.
 Kedua,  kompensasi. Konpensasi terjadi apabila wajib pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang diterima wajib pajak sebelumnya dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya yang terutang.
Ketiga, Daluwarsa, diartikan daluwarsa penagihan. Hak untuk melakukan penagihan pajak berlaku setelah lampaunya waktu 10 (sepuluh) tahun  terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan.
 Keempat, pembebasan, artinya utang pajak tidak berakhir sebagaimana seharusnya, tetapi karena ditiadakan atau dibebaskan. Pada umumnya pembebasan tidak diberikan terhadap utang pokok pajak, melainkan terhadap sanksi administratifnya.
Kelima,  penghapusan. Penghapusan utang pajak  diberikan karena kondisi keuangan wajib pajak tidak memungkinkan untuk membayar  utang pajak.


[1] Santoso Brotodihardjo. 1987. Pengantar Hukum Pajak. Eresco. Bandung. hlm. 2.
[2] Ibid. hlm. 4.
[3] Ibid.
[4] Ibid. hlm. 5.
[5] Rochmat Soemitro. 1982. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Eresco. Bandung. hlm. 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar