Jumat, 04 Mei 2012

Kata Pengantar P H I


KATA PENGANTAR


Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayahnya, maka buku Pengantar Hukum Indonesia dapat diselesaikan dengan baik.
Pengantar Hukum Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah PHI  merupakan materi kuliah wajib nasional dengan jumlah 4 SKS untuk mahasiswa  Fakultas Hukum di Indonesia. Oleh karena PHI sebagai materi kuliah dasar keahlian hukum bagi mahasiswa fakultas hukum, maka harus dipelajari lebih dahulu sebelum mahasiswa yang bersangkutan  menempuh atau   mempelajari materi kuliah keahlian hukum.
Buku ini disusun berdasarkan kurikulum Fakultas Hukum di Indonesia yang diharuskan  oleh Konsorsium Ilmu Hukum dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, serta sudah disesuaikan dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku   pasca reformasi tahun 1998.
Materi Pengantar Hukum Indonesia ini  telah  disampaikan penulis kepada mahasiswa selama 25 (dua puluh lima) tahun, yang berfungsi sebagai  pengantar bagi mahasiswa fakultas hukum untuk mengenal dan mempelajari dasar-dasar hukum yang berlaku di Indonesia.
Kami menyadari bahwa isi buku  ini masih sangat sedehana dan    jauh dari sempurna, oleh karena itu kepada para pembaca kami harapkan kritik dan sarannya guna  kesempurnaan buku ini.
Semoga buku  ini bermanfaat bagi kita semua .

Malang, 22 Maret 2009


                                                                                                                                  Penulis.

Pengantar Hukum Indonesia (Bab XXI)


BAB XXI
DASAR-DASAR HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

1.             Pengertian
Hukum Acara Peradilan Agama merupakan  Hukum  Perdata Islam Formal yang dikhususkan untuk orang-orang yang beragama Islam. Hukum Acara Peradilan Agama  berfungsi untuk melaksanakan dan mempertahankan Hukum Perdata Islam Material apabila dilanggar. Hukum Acara Peradilan Agama adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara orang-orang atau badan pribadi  yang beragama Islam memperatankan dan melaksanakan hak-haknya di Peradilan Agama. Dengan kata lain bahwa, hukum acara peradilan agama adalah hukum yang mengatur bagaimana cara orang atau badan pribadi yang beragama Islam bersengketa di Peradilan Agama.

2.      Sumber Hukum
a.              Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945;
b.             Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Perubahan dari Undang-Undang No. 4 tahun 2004, dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman);
c.              Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung);
d.             Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama (perubahan dari Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama);
e.              HIR/RIB; dan  Rbg;
f.              Kompilasi Hukum Islam dan Kebiasaan praktek peradilan;
g.             Yurisprudensi;
h.             Doktrin atau pendapat para ahli hukum Islam.


3.             Asas-Asas Hukum
Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama, hampir sama dengan asas-asas hukum acara perdata, yaitu :
a.              asas personalitas keislaman (Pasal 2 jo Pasal 49 UU Peradilan Agama);
b.             asas hukum yang berlaku adalah hukum Islam ( Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 49  UU PAg.);
c.              asas sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) UUKK jo  Pasal 57 ayat (3) UU. No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama);
d.             asas equality before the law  atau asas persamaan hak di muka hukum ( Pasal 5 ayat (1) UUKK jo Pasal 58 ayat (1) UU PAg);
e.              asas beracara dikenakan biaya (Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR jo Pasal 145 ayat (4), 192, 193, 194  Rbg.);
f.              asas hakim bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan gugatan dan menjawab gugatan diserahkan sepenuhnya kepada penggugat dan tergugat atau pihak-pihak yang berkepentingan;
g.             asas hakim bersifat aktif, artinya sejak awal sampai akhir persidangan, hakim  membantu pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2) UUKK jo Pasal 58 ayat (2) UUPAg.);
h.             asas persidangan bersifat terbuka untuk umum (Pasal 18, 19 UUKK jo. Pasal 59 ayat (1) UU PAg.);
i.               asas tidak wajib diwakilkan, artinya para pihak yang berperkara tidak diharuskan mewakilkan kepada penasehat hukum atau advokat;
j.               asas audi et alteram partem artinya hakim mendengar dari kedua belah pihak (Pasal 121 ayat (2), 132 a HIR jo. Pasal 142, dan 145 Rbg.);
k.             asas beracara boleh diwakilkan  (Pasal 123 HIR jo. Pasal 142 ayat (2) dan 147 Rbg.);
l.               asas hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa (Pasal  130 HIR jo Pasal 16 ayat (2) UUKK jo Pasal 56 ayat (2) UUPAg.);
m.           asas putusan hakim harus disertai alasan - alasan atau dasar hukum (Pasal  19 ayat (4) UUKK, Pasal 62 UUPAg, Pasal 184 ayat (1), 319 ayat (2) HIR);
n.             asas putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 20 UUKK,   Pasal 60 UUPAg).

4.             Tujuan Hukum Acara Peradilan Agama
Tujuan Hukum Acara Peradilan Agama adalah untuk melaksanakan dan mempertahankan hukum Perdata Islam  material apabila dilanggar. Selain itu juga untuk menegakkan hukum Perdata Islam di lingkungan masyarakat yang beragama Islam.
Materi atau obyek Hukum Perdata Islam yang dilaksanakan dan  dipertahankan adalah   di bidang : (a) perkawinan, (b) waris, (c) wasiat, (d) hibah, (e) wakaf, (f) zakat, (g) infaq, (h) shodaqoh, dan (i) ekonomi syariah (Pasal 49 ayat (1) UUPAg.).

5.           Proses Beracara di Peradilan Agama
Peradilan Agama terdiri dari Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan berpuncak di Mahkamah Agung sebagai Pengadilan tertinggi untuk upaya kasasi dan peninjauan kembali serta melakukan hak uji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Adapun proses beracara di Peradilan Agama (dimulai dari Pengadilan Agama) adalah sebagai berikut :
Pertama, Pengajuan Gugatan.
Surat gugatan/permohonan yang telah dibuat dan ditanda tangani penggugat atau pemohon disampaikan ke Panitera Pengadilan Agama setempat yang berwenang memeriksa perkara gugatan (harus sesuai dengan Pasal 118 HIR, 142 Rbg jo  Pasal 55 jo pasal 66 UUPAg.).
Gugatan untuk perkawinan dan perceraian diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai berikut :
a.              apabila menyangkut pembatalan perkawinan, permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilaksanakan, atau tempat tinggal suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25, Pasal 63 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 38 ayat (1) P.P. 9 Tahun 1975).
b.             gugatan perceraian diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama tempat kediaman  tergugat. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak  diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) P.P. No. 9 Tahun 1975).
c.              gugatan perceraian karena tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama  tempat kediaman penggugat (Pasal 20 ayat (3) P.P. No. 9 Tahun 1975).
d.             gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah, diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 21 ayat (1) P.P. No. 9 Tahun 1975).
e.              gugatan perceraian karena alasan suami-isteri terus menerus berselisih dan bertengkar, diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama tempat kediaman tergugat (Pasal 22 ayat (1) P.P. No. 9 Tahun 1975).
f.              gugatan perceraian karena salah seorang dari suami atau isteri dihukum penjara 5 (lima) tahun atau lebih berat, maka untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutus perkara pidana disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 23 P.P. No. 9 Tahun 1975).
Gugatan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, dengan permintaan supaya : (1) menentukan hari persidangan; (2) memanggil penggugat/pemohon dan tergugat/termohon, (3) memeriksa perkara yang diajukan penggugat kepada tergugat.
Kedua, Membayar Biaya Perkara.
Di dalam Pasal 121 ayat (4) HIR/Pasal 145 ayat (4) Rbg menyebutkan bahwa, salah satu syarat agar permohonan/gugatan dapat diterima dan didaftar dalam register perkara bilamana penggugat/pemohon telah membayar uang muka atau uang panjar  biaya perkara. Dalam hal ini calon penggugat/pemohon  harus membayar biaya perkara di kasir dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan surat kuasa untuk membayar (SKUM). Biaya perkara/uang muka yang dibayarkan harus sesuai yang tertulis dalam SKUM.
Ketiga, Pendaftaran Perkara (Gugatan/Permohonan).
Pendaftaran perkara (gugatan/permohonan) diajukan oleh  calon penggugat/  pemohon kepada petugas pendaftaran di meja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan SKUM yang telah dibayar di kasir untuk didaftar dan diberi nomor perkara dalam buku register perkara.
Keempat, Penetapan Majelis Hakim.
Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah Ketua Pengadilan Agama menerima surat gugatan/pemohonan dari penggugat/pemohon melalui Panitera, Ketua Pengadilan menunjuk/ menetapkan  Majelis untuk memeriksa/mengadili perkara dalam sebuah “penetapan” Majelis Hakim (Pasal 121 HIR jo Pasal 94 UUPAg.). Dalam hal ini Ketua Pengadilan memberikan semua berkas perkara dan surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diperiksa dipersidangan (Pasal 93 UUPAg.).
Kelima, Penunjukan Panitera Sidang.
Untuk membantu Majelis Hakim di persidangan dalam memeriksa perkara, ditunjuk seorang Panitera untuk  mencatat jalannya persidangan. Selain itu panitera juga bertugas melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan (Pasal 17 ayat (3) jo Pasal 96, 97, 98 UUPAg.).


Keenam, Penetapan Hari Sidang.
Setelah menerima berkas perkara dari Ketua Pengadilan, Ketua Majelis Hakim bersama-sana hakim anggota mempelajari berkas perkara. Ketua Majelis kemudian menetapkan hari, tanggal dan jam persidangan pertama, serta   memerintahkan panitera agar memanggil para pihak untuk hadir pada hari,  tanggal dan jam  persidangan yang telah ditetapkan.
Ketujuh, Pemanggilan Para Pihak.
Berdasarkan perintah Ketua Majelis Hakim dalam penetapan hari sidang, panitera/panitera pengganti melakukan pemanggilan kepada para pihak supaya hadir di persidangan pada hari, tanggal dan jam yang telah ditetapkan dalam surat panggilan sidang sebagaimana tersebut dalam penetapan hari sidang (PHS) di tempat persidangan yang telah ditetapkan (Pasal 122 HIR).
Kedelapan, Pemeriksaan di Persidangan.
Pada sidang pertama yang telah ditetapkan oleh Pengadilan (Majelis Hakim), para pihak penggugat/pemohon dan tergugat/termohon dipanggil agar hadir dalam persidangan. Pada sidang pertama ini akan ditemukan beberapa kemungkinan, yaitu :
1)             penggugat dan tergugat tidak hadir. Dalam hal penggugat dan tergugat tidak hadir di persidangan, hakim dapat melakukan penundaan sidang dan memerintahkan panitera untuk memanggil para pihak agar hadir dalam sidang berikutnya, atau hakim memutuskan gugatan gugur dan perkara tidak diperiksa;
2)             penggugat tidak hadir, tetapi tergugat hadir dalam sidang. Apabila penggugat atau kuasanya tidak hadir, maka berdasarkan Pasal 126 HIR/  Pasal 150 Rv. hakim memberikan waktu agar penggugat dipanggil sekali lagi. Apabila telah dipanggil dengan patut penggugat tidak hadir, tetapi tergugat hadir di persidangan, maka untuk kepentingan tergugat, gugatan penggugat dinyatakan gugur serta dihukum untuk membayar biaya perkara; tetapi penggugat masih diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan lagi dengan membayar biaya perkara lagi (Pasal 124 HIR/Pasal 148 Rbg.);
3)             tergugat tidak hadir, tetapi penggugat hadir. Apabila tergugat tidak hadir sedangkan penggugat hadir dalam persidangan, maka sidang dapat ditunda dan tergugat dipanggil lagi agar hadir dalam sidang berikutnya. Apabila pada sidang berikutnya tergugat tidak hadir meskipun sudah dipanggil dengan patut, maka gugatan dikabulkan dengan putusan di luar hadirnya tergugat (verstek), keculai kalau gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.
Putusan vestek (di luar hadirnya tergugat) dapat dijatuhkan pada hari sidang pertama tergugat tidak hadir tetapi penggugat hadir (Pasal 125 HIR/Pasal 149 Rbg.). Ada yang berpendapat putusan verstek dijatuhkan pada sidang berikutnya apabila tergugat tidak hadir dalam dua kali sidang berturut-turut (Pasal 126 HIR/150 Rbg.). Apabila  pada sidang pertama tergugat hadir, sedangkan pada sidang berikutnya tidak hadir, maka perkaranya diperiksa secara contradictoir (di luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara), demikian pula kalau sidang berikutnya tergugat hadir dan penggugat tidak hadir.
 Pada putusan vestek dapat diajukan perlawanan (verzet). Perlawanan diajukan  dalam waktu 14 (empat belas)  hari setelah pemberitahuan putusan verstek kepada terggugat (Pasal 125 ayat (3) HIR jo 129 HIR/149 ayat (3) Rbg. Jo Pasal 153 Rbg.). Jika dalam acara perlawanan (verzet) penggugat tidak hadir, maka perkara diperiksa secara “contradictoir”. Apabila dalam acara perlawanan (verzet) tergugat tidak hadir lagi, maka perkara diputus “verstek”, dengan demikian tuntutan perlawanan (verzet) tidak diterima (Pasal 129 ayat (5) HIR/Pasal 153 ayat (6) Rbg.);
4)              penggugat dan tergugat hadir dalam sidang. Apabila penggugat dan tergugat hadir dalam persidangan, sebelum pemeriksaan dimulai, hakim berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/ Pasal 154 Rbg.). Apabila usaha perdamaian berhasil maka dibuatlah akta perdamaian (acta van vergelijk) yang isinya menghukum para pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang dibuat oleh kedua pihak. Putusan perdamaian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan biasa yang dapat dilaksanakan (eksekusi) seperti putusan hakim lainnya.
Putusan perdamaian (acta van vergelijk) tidak dapat diajukan perlawanan banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Dengan adanya akta perdamaian, berarti gugatan tidak dapat diteruskan atau tidak dapat diajukan gugatan baru. Usaha perdamaian terbuka selama pemeriksaan persidangan berlangsung. Dengan adanya akta perdamaian ini hakim berperan aktif dalam hukum acara peradilan Agama.
Apabila antara kedua pihak yang berperkara tidak dapat didamaikan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan tahapan sebagai berikut :
Pertama, pembacaan gugatan. Pada tahap ini terdapat beberapa  kemungkinan, yakni : (a) penggugat mencabut gugatan; (b)  penggugat mengubah gugatan; atau (c) penggugat mempertahankan atau melanjutkan gugatan. Apabila penggugat mempertahankan  gugatan berarti sidang dilanjutkan.
Kedua, jawaban tergugat. Pada tahap ini tergugat diberi kesempatan untuk membela diri atau mempertahankan haknya terhadap gugatan penggugat. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan tangkisan (eksepsi), mengakui/menerima gugatan sepenuhnya atau sebagian, atau membantah/menolak gugatan secara sepenuhnya, atau mengaku dengan syarat (clausula).
 Ketiga, replik penggugat. Setelah tergugat menyampaikan jawaban, kemudian hakim memberikan kesempatan kepada penggugat untuk menanggapi jawaban tergugat. Dalam hal ini penggugat dapat mempertahankan gugatannya atau menambah keterangan yang dianggap perlu dengan memperjelas  dalil-dalil/ alasan hukum, atau penggugat berubah sikap membenarkan sebagian atau keseluruhan jawaban/bantahan tergugat.
 Keempat, duplik tergugat. Dalam duplik tergugat, tergugat dapat menolak atau menerima sebagian atau keseluruhan dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat dalam repliknya. Acara jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat (replik-duplik) dapat dilakukan berulang-ulang (rereplik dan reduplik) sampai ada kesepakatan antara kedua pihak, atau telah dianggap cukup oleh Majelis Hakim. Jika dalam acara replik-duplik atau rereplik dan reduplik  masih ada hal-hal yang tidak disepakati, maka kedua pihak perlu memperkuat dan mendukung dalil-dalilnya dengan alat-alat bukti pada tahap pembuktian.
Kelima, pembuktian. Pada tahap pembuktian para pihak (penggugat dan tergugat) diberi kesempatan untuk memperkuat/mendukung dalil-dalilnya dengan mengajukan alat-alat bukti secara bergantian kepada Majelis Hakim di dalam persidangan. Alat-alat bukti yang dimaksud diatur dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg/Pasal 1866 B.W. jo Pasal 54 UUPAg. sebagai berikut : (a)  bukti tertulis atau surat; (b) bukti saksi; (c) persangkaan; (d) pengakuan, dan (e)  sumpah.
Keenam, kesimpulan. Masing-masing pihak penggugat dan tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan pendapat akhir secara tertulis atau lisan mengenai hasil pemeriksaan perkara yang disengketakan selama persidangan berlangsung.
Ketujuh, putusan hakim, dalam hal ini hakim menyampaikan pendapatnya dalam putusan mengenai perkara yang diperiksa selama persidangan yang disertai alasan dan dasar hukumnya. Putusan hakim hanya sah apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 20 UUKK jo. Pasal 60 UUPAg.).
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi agama oleh pihak yang bersengketa, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 21 ayat (1) UUKK jo. Pasal 61 UUPAg.). Terhadap putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 22 UUKK jo. Pasal 63 UUPAg. dan Pasal 28 ayat (1) UUMA).
Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu, atau ada kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum, atau ada bukti baru (novum), dan hal lain  yang ditentukan dalam undang-undang (Pasal 23 ayat (1) UUKK jo. Pasal 23 ayat (1) UUMA). Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali (Pasal 23 ayat (2) UUKK). Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 66 ayat (1) UUMA).

DAFTAR  PUSTAKA

Abdul hakim Garuda Nusantara. 1985. Politik Hukum Nasional (Makalah Karya Latihan hukum). YLBHI. Surabaya.
Abdulkadir Muhammad. 1982. Hukum Perikatan. Alumni. Bandung.
Abu Daud Busroh. 1989.  Sistem Pemerintahan R.I. Bina Aksara. Jakarta.
Achmad Hanafi. 1975. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Bulan Bintang. Jakarta.
Achmad Sanusi. 1984. Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengatar Tata Hukum Indonesia. Tarsito. Bandung.
Ahmad Azhar Basyir, MA. 1987. Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah. PT. Al-Ma’arif. Bandung.
Achmad S. Soema Dipradja. 1977. Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana di Indonesia. Alumni. Bandung.
Algra, N.E. et al. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. Binacipta. Bandung.
Andi Hamzah. 1994.  Asas-Asas Hukum Pdana. Aneka Cipta. Jakarta.
Anwar Haryono, DR. 1968. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Bulan Bintang. Jakarta.
Anwar Haryono, DR. 1997. Perjalanan Politik Bangsa. Gema Insani Press. Jakarta.
Apeldoorn, L.J. Van. 1972.  Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Oetarid Sadino. Pradnya Paramita, Jakarta.
Asis Safioedin. 1989. Beberapa hal tentang Burgerlijk Wetboek. Alumni. Bandung.
Bayu Seto. 1992. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Bintan Saragih.1987. Lembaga Perwakilan dan Pemilu Indonesia. Gaya Media Pratama.Jakarta.
Boedi Harsono. 1971. Sejarah Undang-Undang Pokok Agraria. Jambatan. Jakarta.  
Bruggink. J.J.H. 1996. Refleksi Tentang Hukum. Terjemahan Arief  Sidharta. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Dijk, R.Van. 1964. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Sumur. Bandung.
Djenal Hoesen Koesoemahatmadja. 1983. Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara. Jilid I. PT. Alumni. Bandung.
Hans Kelsen, Soemardi,cs. 1995. Teori Hukum Umum. Rimdi Perss. Bandung.
Hasbi Ashiddiqi. 1975. Pengantar Hukum Islam.Bulan Bintang. Jakarta.
Iman Sudiyat. 1978. Asas-Asas Hukum Adat (Bekal Pengantar).Liberty. Yogyakarta.
Jimly Asshiddiqie. 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kontitusi R.I. Jakarta Pusat.
----------------------.2006. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Konstitusi Press. 2006.
Kan, van dan J.H. Beekhuis.1972. Pengantar Ilmu Hukum. Pembangunan.Jakarta.
Kelsen, Hans. 1973. General Theory of Law and State. Russel. New York.
Koentjoro Purbopranoto. 1975. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Alumni. Bandung.
Kranenburg, Mr. R. 1955. Ilmu Negara Umum (Terjemahan). YB. Wolters. Jakarta.
----------------- dan Vegting, W.G. Prof. Mr. 1962. Inleiding in het Nederlands Administratiefrecht. YBP. Gajah Mada. Yogyakarta.
Kusumadi Pudjosewojo. 1976. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Aksara Baru. Jakarta.
Lemaire, W.L.G. 1968. Nederlands Internationaal Privaatrecht. Hoofdlijnen. A.W. Sijthoff. Leiden. 
Mahmud Junus, 1964. Hukum Perkawinan Dalam Islam. PT. Mahmudiah. Jakarta.
Maria Farida Indrati Soeprapto. 1998. Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Kanisius. Yogyakarta.
Mariam Darus Badrulzaman. 1983. KUH Perdata - Buku III Tentang Perikatan. Alumni. Bandung.
Maulana Muhammad Ali. 1980. The Religion of Islam (Penerjaemah R. Kalang dan HM. Bachrun). PT. Ichtiar Baru. Jakarta.
Mochtar Kusumaatmadja. 1982. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta. Bandung
.---------------------------------- dan B. Arief Sidharta. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. Alumni. Bandung.
Moelyatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Aneka Cipta. Jakarta.
Mohamad Isnaini. 1971. Hakim dan Undang-undang. Cet.II. IKAHI Cabang Semarang. Semarang.
Padmo Wahyono. 1986. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Paton.G.W.  1969. A Text Book of Jurisprudence. Oxford University Press.
Philipus M. Hadjon, et al. 1994. Pengantar Hukum Administrasi. Gajah Mada University Press.
Prajudi Atmosudirdjo. 1988. Hukum Administrasi Negara. CV.Rajawali. Jakarta.
Prins, W.F. (terj. R. Kosim Adisapoetra). 1978. Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara. Pradnya Paramita. Jakarta.
Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto.1986. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Alumni. Bandung.
----------------.1979. Perundang-Undangan dan Yurisprudensi. Alumni, Bandung.
------------------------- dan Agus Brotosusilo. 1989. Sendi-sendi Hukum Perdata Inernasional. Rajawali Pers. Jakarta.
Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum.Citra Aditya Bakti. Bandung.
Rochmat Soemitro. 1977. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Eresco. Bandung.
Santoso Brotodihardjo, 1987. Pengantar Hukum Pajak. Eresco. Bandung.
Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung.
Sayid Sabiq, 1971. Fiqih Sunnah. PT. Al-Ma’arif. Bandung
Simorangkir, J.C.T. dan Woerjono Sastropranoto.1962. Pelajaran Hukum Indonesia. Gunung Agung. Jakarta.
Soedarto, 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Soedjono Dirdjosisworo.1983. Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali Pers. Jakarta.
Soemardi, et.al., 1995. Teori Hukum Murni. Rimdi Press. Bandung
Soepomo. R. 1983. Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II.  Pradnya Paramita. Jakarta.
----------------. 1977. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Pradnya Paramita. Jakarta.
Soerjono Soekanto.1981. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Alumni. Bandung.
------------------------ dan Otje Salman. 1985 Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial. Rajawali Pers. Jakarta.
Soerojo Wignjodipuro.1973. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Alumni. Bandung.
--------------------------------. 1982. Pengantar Ilmu Hukum. Gunung Agung. Jakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto.2002. Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya.  Huma. Jakarta.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1975. Hukum Perdata : Hukum Benda. Liberty.Yogakarta.
Sri Sumantri,M. 1982. Hak Uji Materiil di Indonesia. Alumni. Bandung.
Subekti, R. 1977.  Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa. Jakarta.
Sudargo Gautama. 1977.  Pengantar Hukum Perdata Internasional. Binacipta Bandung.
Sudikno Mertokusumo.1986. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty. Yogyakarta.
Sudiman Kartohadiprodjo. 1965. Pengantar Tata Hukum Di Indonesia. Pembangunan. Jakarta.
Sunaryati Hartono.C.F.G. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni. Bandung.
Sunaryati Hartono.C.F.G. 1986. Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional. Bina cipta. Bandung.
Suparman, Usman. 2006. Hukum Perwakafan Indonesia. Darul Ulum Press. Jakarta.
Ter Haar Bzn. 1973. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Pradnya Paramita. Jakarta.
Tobing, M.L., 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Umar Said Sugiharto, 1993. Efektifitas Pendaftaran tanah di Kota Malang setelah berlakunya PP No. 28 tahun 1977. (Thesis) .
Utrecht. E. 1964. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Ichtiar. Jakarta.
-------------. 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro. 1979.  Asas-Asas Hukum Perdata. Sumur. Bandung.
--------------------------. 1983. Asas-Asas Hukum Tata Negara Indonesia. Dian Rakyat. Jakarta.
Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang TIPIKOR
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

Pengantar Hukum Indonesia (Bab XX)


BAB XX
DASAR-DASAR HUKUM ACARA PERDATA

1.             Pengertian
Hukum Acara perdata merupakan bagian dari hukum perdata dalam arti luas yang terdiri dari  hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material lebih dikenal dengan sebutan “hukum perdata” adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antar perorangan yang satu dengan perorangan yang lain, atau hubungan hukum yang mengatur kepentingan pribadi atau individu.
Hukum Acara Perdata juga dinamakan Hukum Perdata Formal yang berfungsi mempertahankan dan melaksanakan hukum perdata material apabila dilanggar. Hukum Acara Perdata adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara seseorang atau badan pribadi  mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya di peradilan perdata. Dengan kata lain hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tata cara bersengketa di peradilan perdata.

2.             Sumber Hukum
a.              Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945;
b.             Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
c.              Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung;
d.             Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum;
e.              Het Herziene Indonesische Reglement (HIR/RIB) untuk Jawa dan Madura;
f.              Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg. atau Reglement) untuk luar Jawa dan   Madura;
g.             Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering (Rv. Reglement/Hukum   Acara Perdata) untuk golongan Eropa;
h.             Jurisprudensi;
i.               Praktek hukum sehari-hari sebagai hukum kebiasaan;
j.               Doktrin atau pendapat para ahli hukum.

3.             Asas-Asas Hukum.
Asas-Asas Hukum Acara Perdata, antara lain  :
a.              hakim bersifat menunggu, artinya dalam proses hukum acara perdata  kehendak atau inisiatif gugatan diserahkan kepada para pihak yang berkepentingan (berperkara). Apabila tidak ada gugatan ke pengadilan, hakim tidak berwenang mengadili. Istilahnya tidak ada gugatan tidak ada hakim (wo kein klager ist, ist kein richter/nemo judex sine actore);
b.             hakim aktif,  artinya sejak awal sampai akhir persidangan hakim harus aktif memberi nasehat dan bantuan kepada para pihak yang berperkara tentang cara memasukkan gugatan (Pasal 119, 195 HIR/Pasal143 Rbg); hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR); hakim wajib memberi nasehat kepada para pihak untuk melakukan upaya hukum dan memberikan  keterangan yang diperbolehkan (Pasal 132 HIR). Hakim tetap terikat pada kasus yang diajukan para pihak (secundum allegata iudicare). Beracara menurut Rechtsvordering (Rv), hakim bersifat pasif;
c.              sidang bersifat terbuka, artinya pemeriksaan perkara di pengadilan bersifat  terbuka untuk umum (openbaar), setiap orang boleh hadir dalam pemeriksaan perkara di persidangan (Pasal 179 ayat (1) HIR);
d.             persamaan hak di muka hukum (equality before the law), artinya semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum, hakim harus bertindak adil, karena itu tidak boleh memihak salah satu pihak yang bersengketa;
e.              tidak harus diwakilkan, artinya berperkara di pengadilan tidak harus diwakilkan/dikuasakan. Akan  tetapi para pihak dapat juga diwakili oleh kuasanya kalau dikehendaki (Pasal 123 HIR/Pasal 147 Rbg.);
f.              beracara dengan lisan (mondelinge procedure), artinya pemeriksaan perkara di persidangan dilakukan dengan tanya jawab antara hakim dengan para pihak maupun dengan saksi. Selain itu para pihak diperbolehkan menyampaikan dengan surat-surat atau tulisan (Pasal 121 ayat (2) HIR/RIB);
g.             beracara secara langsung, artinya pemeriksaan perkara di persidangan dilakukan secara langsung (onmiddellijk heid van procedure), hakim berhadapan, berbicara, mendengar keterangan  dari para pihak yang berperkara maupun dengan saksi di persidangan. Asas ini  dikenal dengan asas “audi et alteram partem” atau kedua pihak harus didengar;
h.             beracara dikenai biaya, artinya  berperkara di pengadilan harus membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR/Pasal 145 ayat (4), 192-194 Rbg. jo Pasal 5 ayat (2) UUKK);
i.               hakim harus berusaha mendamaikan, artinya  sebelum acara pemeriksaan perkara dimulai, hakim lebih dahulu harus berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/ Pasal 154 Rbg. jo Pasal 16 ayat (2) UUKK).
j.               putusan hakim harus disertai alasan-alasan hukum, artinya setiap putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan hukum sebagai dasar putusan mengadili (Pasal 184 ayat (1) HIR, Pasal 195 ayat (1) Rbg. jo Pasal 19 ayat (4) UUKK);
k.             hakim terikat pada alat bukti, artinya hanya boleh mengambil keputusan hukum berdasarkan alat-alat bukti yang sah atau yang ditentukan dalam undang-undang.

4.             Proses Gugatan
Proses  berperkara perdata di peradilan umum, meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan terakhir berpuncak di Mahkamah Agung untuk upaya kasasi dan peninjauan kembali, serta hak uji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Proses gugatan perkara perdata diajukan ke Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri yang berwenang, dengan  tahapan  sebagai berikut :
Pertama, pengajuan gugatan. Surat gugatan/permohonan yang telah dibuat dan ditanda tangani penggugat/pemohon disampaikan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat yang berkompetensi memeriksa perkara gugatan. Pengadilan Negeri yang berwenang sebagaimana dimaksud  diatur dalam pasal 118 HIR/ Pasal 142 Rbg. jo. Pasal 20 s/d. 23  P.P. No. 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut:  
a)             gugatan diajukan kepada Ketua  Pengadilan Negeri tempat kediaman tergugat (Pasal 118 ayat (1) HIR).
b)             apabila tergugat terdiri lebih dari seorang yang tempat tinggalnya berbeda, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat yang diketahui secara jelas, demikian pula apabila yang digugat orang yang berutang, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahi tempat tinggal tergugat yang berutang (Pasal 118 ayat (2) HIR).
c)             apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, atau yang digugat tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri  yang mewilayahi tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat, apabila yang digugat adalah barang tetap (tidak bergerak) maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri  yang mewilayahi tempat barang tetap berada (Pasal 118 ayat (3) HIR).
d)            apabila ada tempat tinggal yang dipilih/ditunjuk dengan akta, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri yang ditunjuk oleh akta yang bersangkutan (Pasal 118 ayat (4) HIR).
Untuk gugatan perkawinan dan perceraian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 maka gugatan ditentukan sebagai berikut :
a)             apabila menyangkut pembatalan perkawinan, permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (bagi yang tidak beragama Islam), atau Ketua Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilaksanakan, atau di tempat tinggal suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25 jo Pasal 63 ayat (1) UUP jo Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) P.P. No. 9 Tahun 1975).
b)             gugatan perceraian di ajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama di tempat kediaman tergugat.  Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) P.P. No. 9 Tahun 1975).
c)             apabila yang digugat berada di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada  Ketua Pengadilan Negeri tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan gugatan kepada tergugat melalui perwakilan Negara R.I. (Pasal 20 ayat (3) P.P. No. 9 Tahun 1975).
d)            terhadap gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 21 ayat (1) P.P.No. 9 Tahun 1975).
e)             gugatan perceraian karena alasan suami-isteri terus menerus berselisih dan bertengkar, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman tergugat (Pasal 22 ayat (1) P.P.No. 9 Tahun 1975).
f)              gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami atau isteri dihukum penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti di persidangan penggugat cukup menyampaikan salinan putusan dari pengadilan yang memutus perkara pidana, disertai keterangan bahwa putusan  telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 23 P.P. No. 9 Tahun 1975).
Kedua, membayar biaya perkara. Pasal 121 ayat (4)/Pasal 145 ayat (4) Rbg menentukan bahwa, syarat agar gugatan/permohonan dapat diterima dan  didaftar dalam register perkara, bilamana penggugat/pemohon telah  membayar uang muka atau “panjar” biaya perkara. Dalam hal ini calon penggugat/pemohon membayar biaya perkara di kasir dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan.
Ketiga, pendaftaran perkara gugatan/permohonan. Setelah membayar biaya perkara di kasir, penggugat/pemohon mendaftarkan gugatan/permohonan ke petugas pendaftaran di kepaniteraan pengadilan yang bersangkutan  dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan untuk diberi nomor perkara dan didaftar dalam buku register perkara.
Keempat, Penetapan Majelis Hakim. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah Ketua Pengadilan menerima surat gugatan/permohonan dari penggugat/pemohon melalui panitera, Ketua Pengadilan menunjuk/menetapkan Majelis Hakim untuk memeriksa perkara di persidangan (Pasal 121 HIR). Dalam hal ini Ketua Pengadilan memberikan semua berkas perkara kepada Majelis Hakim untuk diperiksa di persidangan.
Kelima, penunjukan panitera sidang. Untuk membantu Majelis Hakim di persidangan, ditunjuk seorang panitera/panitera pengganti sebagai panitera sidang yang bertugas mencatat jalannya persidangan.
Keenam, penetapan hari sidang. Setelah menerima berkas perkara dari Ketua Pengadilan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari, tanggal dan jam pemeriksaan perkara atau persidangan. Dalam hal ini Ketua Majelis Hakim memerintahkan panitera untuk memanggil para pihak yang berperkara agar hadir pada hari, tanggal dan jam persidangan yang telah ditetapkan.
Ketujuh, pemanggilan para pihak. Berdasarkan perintah Ketua Majelis Hakim, panitera/panitera pengganti melakukan pemanggilan kepada para pihak yang berperkara agar hadir dipersidangan pada hari, tanggal dan jam yang telah ditetapkan (Pasal122 HIR).

5.             Pemeriksaan Di Persidangan.
Pada hari sidang pertama yang telah ditetapkan oleh pengadilan,  para pihak penggugat/pemohon, dan tergugat/termohon dipanggil agar hadir di persidangan. Dalam sidang pertama ini akan diketemukan beberapa kemungkinan, yaitu :
a)             Penggugat/pemohon dan tergugat/termohon tidak hadir dalam sidang. Apabila kedua pihak tidak hadir dalam persidangan, majelis hakim dapat melakukan penundaan sidang dan memerintahkan panitera agar memanggil kedua pihak hadir dalam persidangan berikutnya, atau hakim menjatuhkan putusan gugur dan perkara tidak diperiksa;
b)             Penggugat tidak hadir, tetapi tergugat hadir. Bilamana penggugat atau wakilnya. tidak hadir, sedang tergugat hadir, maka hakim memerintahkan supaya penggugat yang tidak datang dipanggil sekali lagi (Pasal 126 HIR/Pasal 150 Rv.). Apabila penggugat  telah dipanggil dengan patut tidak hadir lagi, sedangkan tergugat hadir, maka gugatan penggugat  dinyatakan gugur dan penggugat dihukum membayar biaya perkara. Penggugat masih diberi kesempatan mengajukan gugatannya sekali lagi setelah membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148 Rbg.);
c)             Tergugat tidak hadir, tetapi penggugat hadir. Dalam hal tergugat tidak hadir, sedangkan penggugat hadir, maka hakim dapat menunda persidangan, dan tergugat dipanggil sekali lagi agar hadir pada sidang berikutnya (Pasal 126 HIR/Pasal 150 Rbg). Apabila pada sidang berikutnya, tergugat tidak hadir lagi, maka gugatan penggugat dikabulkan dengan putusan di luar hadirnya tergugat (verstek), kecuali apabila gugatan mengenai perbuatan melawan hukum atau tidak beralasan. Putusan verstek dapat dijatuhkan pada sidang pertama ketika tergugat tidak hadir (Pasal 125 HIR/149 Rbg.).
Apabila pada sidang pertama tergugat hadir, sedangkan pada sidang berikutnya tidak hadir, maka perkaranya diperiksa secara “contradictoir” (di luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara). Demikian pula jika pada sidang berikutnya tergugat hadir, tetapi penggugat tidak hadir, maka perkaranya diperiksa di luar  hadirnya salah satu pihak yang berperkara (contradictoir).
Terhadap putusan verstek dapat diajukan tuntutan perlawanan (verzet). Perlawanan (verzet) dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan putusan verstek kepada tergugat (Pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129 HIR/ Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153 Rbg.). Apabila dalam acara perlawanan (verzet), penggugat tidak hadir, maka perkara diperiksa secara “contradictoir”. Kalau tergugat tidak hadir  dalam acara perlawanan (verzet), maka hakim memutus “verstek”, yang mana tuntutan perlawanan (verzet) tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard - Pasal 129 ayat (5) HIR/ Pasal 153 ayat (6) Rbg.).
d)            Penggugat dan tergugat hadir di persidangan. Apabila kedua pihak  (penggugat/tergugat) hadir dipersidangan, maka sebelum pemeriksaan perkara dimulai, hakim harus berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg. jo. Pasal 16 ayat (2) U.U No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Apabila perdamaian berhasil disepakati para pihak, maka dibuatlah akta perdamaian (acta van vergelijk) yang isinya menghukum para pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Putusan perdamaian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan-putusan biasa yang dapat dilakukan “eksekusi” seperti putusan hakim lainnya. Putusan akta perdamaian (acta van vergelijk) ini tidak dapat diajukan perlawanan (banding, kasasi maupun peninjauan kembali). Dengan adanya putusan akta perdamaian (acta van vergelijk) berarti gugatan tidak dapat diteruskan atau tidak dapat diajukan gugatan baru. Putusan akta perdamaian yang dapat dieksekusi adalah yang berkenaan dengan sengketa kebendaan saja. Usaha perdamaian terbuka selama pemeriksaan perkara berlangsung. Dengan adanya usaha perdamaian, ini menunjukkan bahwa hakim berperan aktif dalam hukum acara perdata.
Apabila antara kedua pihak yang berperkara tidak dapat didamaikan oleh hakim, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan acara  :
Pertama, pembacaan gugatan. Pada tahap pembacaan gugatan, terdapat beberapa kemungkinan antara lain : (a) penggugat mencabut gugatan; (b)  penggugat mengubah gugatan; (c) penggugat mempertahankan gugatan.
Apabila penggugat mempertahankan gugatannya, maka sidang dilanjutkan dengan “jawaban tergugat”.
Kedua, jawaban tergugat. Pada tahap ini tergugat diberi kesempatan untuk membela diri mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya/kepentingannya terhadap gugatan penggugat. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan “eksepsi” atau tangkisan, mengakui atau menerima gugatan sepenuhnya atau sebagian, mengaku dengan persyaratan (clausula) tertentu, atau membantah sepenuhnya, menjawab dengan berbagai cara (referte) sehingga pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan, dan/atau menjawab dengan gugatan balik (reconvensi).
Ketiga, replik penggugat. Setelah tergugat menyampaikan jawaban, kemudian hakim memberikan kesempatan kepada penggugat untuk menanggapi jawaban tergugat yang sesuai dengan pendapatnya. Dalam replik, penggugat dapat mempertahankan haknya atau gugatannya dan menambah kekurangan yang dianggap perlu dengan memperjelas alasan-alasan hukum dan dalil-dalilnya, atau penggugat berubah sikap membenarkan sebagian atau keseluruhan jawaban/bantahan tergugat.
Keempat, duplik tergugat. Setelah penggugat menyampaikan jawabannya (replik), kemudian tergugat oleh hakim diberi kesempatan untuk menanggapi replik penggugat. Dalam acara duplik ini, tergugat dapat menolak atau menerima sebagian atau keseluruhan jawaban atau replik yang dikemukakan oleh tergugat . Dalam acara jawab menjawab antara penggugat dan tergugat (replik-duplik) dapat dilakukan secara berulang-ulang (rereplik-reduplik) sampai ada kesepakatan di antara para pihak, dan/atau sampai dianggap cukup oleh hakim.
Jika dalam acara replik-duplik atau rereplik-reduplik masih ada hal-hal yang belum disepakati oleh kedua  pihak, maka kedua pihak perlu memperkuat  dalil-dalilnya dengan alat-alat bukti yang sah dalam tahap pembuktian.
Kelima, pembuktian. Pada tahap pembuktian, pihak penggugat/pemohon dan pihak tergugat/termohon diberi kesempatan memperkuat atau mendukung dalil-dalilnya dengan menyampaikan alat-alat bukti secara bergantian kepada majelis hakim dipersidangan.
Macam-macam alat bukti yang berlaku dalam hukum acara perdata diatur  dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg/Pasal 1866 B.W. yaitu : (a) bukti tertulis atau surat; (b) bukti saksi; (c) bukti persangkaan; (d) bukti pengakuan; (e) bukti sumpah.
Keenam, tahap kesimpulan. Pada tahap ini masing-masing pihak yaitu penggugat dan tergugat diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat akhir  secara tertulis atau lisan sebagai kesimpulan tentang hasil pemeriksaan selama persidangan.
Ketujuh,  putusan hakim. Pada tahap ini  Majelis Hakim menyampaikan pendapatnya atau pandangan hukum tentang perkara yang diperiksa selama   persidangan disertai alasan-alasan atau dasar-dasar hukum, dan diakhiri dengan putusan hakim/pengadilan. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 1917 B.W./Pasal  20  UUKK).
Dalam hukum acara perdata putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau mengikat  disebut “gezag van gewijsde” atau “kracht van gewijsde” apabila tidak ada upaya hukum biasa, yaitu verzet, banding atau kasasi. Siapapun tidak dapat mengubah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, termasuk oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum luar biasa atau khusus, yaitu peninjauan kembali (request civil)) dan perlawanan oleh pihak ketiga (derdenverzet) (Pasal 1917 B.W /Pasal 378-379 Rv).
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang berperkara, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 21 ayat (1) UUKK). Permohonan banding disampaikan oleh pemohon dengan surat/tertulis atau dengan lisan  kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam batas waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan diberitahukan kepada pihak yang berkepentingan atau pemohon (Pasal 7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947/Pasal 199 Rbg.).
Terhadap putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi) dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berperkara, kecuali undang-undang menentukan lain  (Pasal 22 UUKK jo.Pasal 28 ayat (1) UUMA).
Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 43 UUMA). Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) yang memutus perkaranya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon (Pasal 46 UUMA).
Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang berperkara dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu atau bukti baru (novum) yang ditentukan dalam undang-undang,  termasuk apabila terdapat kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum (Pasal 23 ayat (1) UUKK jo Pasal 28 ayat (1) UUMA).  Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali (Pasal 23 ayat (2) UUKK). Peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 66 ayat (1) UUMA). Permohonan  peninjauan kembali disampaikan melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang telah ditentukan.
Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 70 ayat (2) UUMA). Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara; atau sejak ditemukan bukti baru (novum) yang dinyatakan di bawah sumpah serta disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 69 UUMA).