BAB XX
DASAR-DASAR HUKUM
ACARA PERDATA
1.
Pengertian
Hukum Acara perdata merupakan bagian dari hukum
perdata dalam arti luas yang terdiri dari
hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material
lebih dikenal dengan sebutan “hukum perdata” adalah keseluruhan peraturan atau
norma hukum yang mengatur hubungan hukum antar perorangan yang satu dengan
perorangan yang lain, atau hubungan hukum yang mengatur kepentingan pribadi
atau individu.
Hukum Acara Perdata juga dinamakan Hukum
Perdata Formal yang berfungsi mempertahankan dan melaksanakan hukum perdata
material apabila dilanggar. Hukum Acara Perdata adalah keseluruhan peraturan
atau norma hukum yang mengatur tata cara seseorang atau badan pribadi mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya di
peradilan perdata. Dengan kata lain hukum acara perdata adalah hukum yang
mengatur tata cara bersengketa di peradilan perdata.
2.
Sumber Hukum
a.
Undang-Undang Dasar R.I.
Tahun 1945;
b.
Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
c.
Undang-Undang No. 3
Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung;
d.
Undang-Undang No. 49
Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum;
e.
Het Herziene
Indonesische Reglement (HIR/RIB) untuk Jawa dan Madura;
f.
Rechtsreglement
Buitengewesten (Rbg. atau Reglement) untuk luar Jawa dan Madura;
g.
Reglement op de
Burgerlijke rechtsvordering (Rv. Reglement/Hukum Acara Perdata) untuk golongan Eropa;
h.
Jurisprudensi;
i.
Praktek hukum
sehari-hari sebagai hukum kebiasaan;
j.
Doktrin atau pendapat
para ahli hukum.
3.
Asas-Asas Hukum.
Asas-Asas Hukum Acara Perdata, antara lain :
a.
hakim bersifat
menunggu, artinya dalam proses hukum acara perdata kehendak atau inisiatif gugatan diserahkan
kepada para pihak yang berkepentingan (berperkara). Apabila tidak ada gugatan
ke pengadilan, hakim tidak berwenang mengadili. Istilahnya tidak ada gugatan
tidak ada hakim (wo kein klager ist, ist
kein richter/nemo judex sine actore);
b.
hakim aktif, artinya sejak awal sampai akhir persidangan
hakim harus aktif memberi nasehat dan bantuan kepada para pihak yang berperkara
tentang cara memasukkan gugatan (Pasal 119, 195 HIR/Pasal143 Rbg); hakim wajib
mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR); hakim wajib memberi
nasehat kepada para pihak untuk melakukan upaya hukum dan memberikan keterangan yang diperbolehkan (Pasal 132
HIR). Hakim tetap terikat pada kasus yang diajukan para pihak (secundum allegata iudicare). Beracara menurut Rechtsvordering (Rv), hakim
bersifat pasif;
c.
sidang bersifat
terbuka, artinya pemeriksaan perkara di pengadilan bersifat terbuka untuk umum (openbaar), setiap oran g boleh hadir
dalam pemeriksaan perkara di persidangan (Pasal 179 ayat (1) HIR);
d.
persamaan hak di muka
hukum (equality before the law), artinya semua oran g mempunyai kedudukan yang sama di muka
hukum, hakim harus bertindak adil, karena itu tidak boleh memihak salah satu
pihak yang bersengketa;
e.
tidak harus
diwakilkan, artinya berperkara di pengadilan tidak harus diwakilkan/dikuasakan.
Akan tetapi para pihak dapat juga
diwakili oleh kuasanya kalau dikehendaki (Pasal 123 HIR/Pasal 147 Rbg.);
f.
beracara dengan lisan
(mondelinge procedure), artinya
pemeriksaan perkara di persidangan dilakukan dengan tanya jawab antara hakim
dengan para pihak maupun dengan saksi. Selain itu para pihak diperbolehkan
menyampaikan dengan surat - surat
atau tulisan (Pasal 121 ayat (2) HIR/RIB);
g.
beracara secara
langsung, artinya pemeriksaan perkara di persidangan dilakukan secara langsung
(onmiddellijk heid van procedure),
hakim berhadapan, berbicara, mendengar keterangan dari para pihak yang berperkara maupun dengan
saksi di persidangan. Asas ini dikenal
dengan asas “audi et alteram partem”
atau kedua pihak harus didengar;
h.
beracara dikenai
biaya, artinya berperkara di pengadilan
harus membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR/Pasal 145 ayat
(4), 192-194 Rbg. jo Pasal 5 ayat (2) UUKK);
i.
hakim harus berusaha
mendamaikan, artinya sebelum acara
pemeriksaan perkara dimulai, hakim lebih dahulu harus berusaha mendamaikan para
pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/ Pasal 154 Rbg. jo Pasal 16 ayat (2)
UUKK).
j.
putusan hakim harus
disertai alasan-alasan hukum, artinya setiap putusan pengadilan harus disertai
alasan-alasan hukum sebagai dasar putusan mengadili (Pasal 184 ayat (1) HIR,
Pasal 195 ayat (1) Rbg. jo Pasal 19 ayat (4) UUKK);
k.
hakim terikat pada
alat bukti, artinya hanya boleh mengambil keputusan hukum berdasarkan alat-alat
bukti yang sah atau yang ditentukan dalam undang-undang.
4.
Proses Gugatan
Proses
berperkara perdata di peradilan umum, meliputi Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi dan terakhir berpuncak di Mahkamah Agung untuk upaya kasasi
dan peninjauan kembali, serta hak uji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang.
Proses gugatan perkara perdata diajukan ke
Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri yang berwenang, dengan tahapan
sebagai berikut :
Pertama,
pengajuan gugatan. Surat
gugatan/permohonan yang telah dibuat dan ditanda tangani penggugat/pemohon
disampaikan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat yang berkompetensi
memeriksa perkara gugatan. Pengadilan Negeri yang berwenang sebagaimana
dimaksud diatur dalam pasal 118 HIR/
Pasal 142 Rbg. jo. Pasal 20 s/d. 23 P.P.
No. 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut:
a)
gugatan diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat
kediaman tergugat (Pasal 118 ayat (1) HIR).
b)
apabila tergugat
terdiri lebih dari seorang yang tempat tinggalnya berbeda, maka gugatan
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat yang
diketahui secara jelas, demikian pula apabila yang digugat orang yang berutang,
gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahi tempat tinggal
tergugat yang berutang (Pasal 118 ayat (2) HIR).
c)
apabila tempat tinggal
tergugat tidak diketahui, atau yang digugat tidak dikenal, maka gugatan
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
mewilayahi tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat, apabila
yang digugat adalah barang tetap (tidak bergerak) maka gugatan diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahi tempat
barang tetap berada (Pasal 118 ayat (3) HIR).
d)
apabila ada tempat
tinggal yang dipilih/ditunjuk dengan akta, maka gugatan diajukan kepada
Pengadilan Negeri yang ditunjuk oleh akta yang bersangkutan (Pasal 118 ayat (4)
HIR).
Untuk gugatan perkawinan dan perceraian menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan peraturan pelaksanaannya
yakni Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 maka gugatan ditentukan sebagai
berikut :
a)
apabila menyangkut
pembatalan perkawinan, permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (bagi
yang tidak beragama Islam), atau Ketua Pengadilan Agama (bagi yang beragama
Islam) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilaksanakan, atau di tempat
tinggal suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25 jo Pasal 63 ayat (1) UUP jo
Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) P.P. No. 9 Tahun 1975).
b)
gugatan perceraian di
ajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama di tempat kediaman tergugat. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas
atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan perceraian
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman penggugat (Pasal
20 ayat (1) dan ayat (2) P.P. No. 9 Tahun 1975).
c)
apabila yang digugat
berada di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat kediaman
penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan gugatan kepada tergugat
melalui perwakilan Negara R.I. (Pasal 20 ayat (3) P.P. No. 9 Tahun 1975).
d)
terhadap gugatan
perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah, gugatan
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman penggugat (Pasal
21 ayat (1) P.P.No. 9 Tahun 1975).
e)
gugatan perceraian
karena alasan suami-isteri terus menerus berselisih dan bertengkar, gugatan
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman tergugat (Pasal
22 ayat (1) P.P.No. 9 Tahun 1975).
f)
gugatan perceraian
karena alasan salah seorang dari suami atau isteri dihukum penjara 5 (lima)
tahun atau lebih. Untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti di
persidangan penggugat cukup menyampaikan salinan putusan dari pengadilan yang
memutus perkara pidana, disertai keterangan bahwa putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(Pasal 23 P.P. No. 9 Tahun 1975).
Kedua, membayar biaya
perkara. Pasal 121 ayat (4)/Pasal 145 ayat (4) Rbg menentukan bahwa, syarat
agar gugatan/permohonan dapat diterima dan
didaftar dalam register perkara, bilamana penggugat/pemohon telah membayar uang muka atau “panjar” biaya
perkara. Dalam hal ini calon penggugat/pemohon membayar biaya perkara di kasir
dengan menyerahkan surat
gugatan/permohonan.
Ketiga, pendaftaran perkara
gugatan/permohonan. Setelah membayar biaya perkara di kasir,
penggugat/pemohon mendaftarkan gugatan/permohonan ke petugas pendaftaran di kepaniteraan
pengadilan yang bersangkutan dengan
menyerahkan surat
gugatan/permohonan untuk diberi nomor perkara dan didaftar dalam buku register
perkara.
Keempat, Penetapan Majelis
Hakim. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah Ketua Pengadilan menerima
surat gugatan/permohonan dari penggugat/pemohon melalui panitera, Ketua
Pengadilan menunjuk/menetapkan Majelis Hakim untuk memeriksa perkara di
persidangan (Pasal 121 HIR). Dalam hal ini Ketua Pengadilan memberikan semua
berkas perkara kepada Majelis Hakim untuk diperiksa di persidangan.
Kelima, penunjukan panitera
sidang. Untuk membantu Majelis Hakim di persidangan, ditunjuk seorang
panitera/panitera pengganti sebagai panitera sidang yang bertugas mencatat
jalannya persidangan.
Keenam, penetapan hari
sidang. Setelah menerima berkas perkara dari Ketua Pengadilan, Ketua
Majelis Hakim menetapkan hari, tanggal dan jam pemeriksaan perkara atau
persidangan. Dalam hal ini Ketua Majelis Hakim memerintahkan panitera untuk
memanggil para pihak yang berperkara agar hadir pada hari, tanggal dan jam
persidangan yang telah ditetapkan.
Ketujuh, pemanggilan para
pihak. Berdasarkan perintah Ketua Majelis Hakim, panitera/panitera
pengganti melakukan pemanggilan kepada para pihak yang berperkara agar hadir
dipersidangan pada hari, tanggal dan jam yang telah ditetapkan (Pasal122 HIR).
5.
Pemeriksaan Di Persidangan.
Pada hari sidang pertama yang telah ditetapkan
oleh pengadilan, para pihak
penggugat/pemohon, dan tergugat/termohon dipanggil agar hadir di persidangan.
Dalam sidang pertama ini akan diketemukan beberapa kemungkinan, yaitu :
a)
Penggugat/pemohon dan
tergugat/termohon tidak hadir dalam sidang. Apabila kedua pihak tidak hadir
dalam persidangan, majelis hakim dapat melakukan penundaan sidang dan
memerintahkan panitera agar memanggil kedua pihak hadir dalam persidangan
berikutnya, atau hakim menjatuhkan putusan gugur dan perkara tidak diperiksa;
b)
Penggugat tidak hadir,
tetapi tergugat hadir. Bilamana penggugat atau wakilnya. tidak hadir, sedang
tergugat hadir, maka hakim memerintahkan supaya penggugat yang tidak datang
dipanggil sekali lagi (Pasal 126 HIR/Pasal 150 Rv.). Apabila penggugat telah dipanggil dengan patut tidak hadir
lagi, sedangkan tergugat hadir, maka gugatan penggugat dinyatakan gugur dan penggugat dihukum membayar
biaya perkara. Penggugat masih diberi kesempatan mengajukan gugatannya sekali
lagi setelah membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148 Rbg.);
c)
Tergugat tidak hadir,
tetapi penggugat hadir. Dalam hal tergugat tidak hadir, sedangkan penggugat
hadir, maka hakim dapat menunda persidangan, dan tergugat dipanggil sekali lagi
agar hadir pada sidang berikutnya (Pasal 126 HIR/Pasal 150 Rbg). Apabila pada
sidang berikutnya, tergugat tidak hadir lagi, maka gugatan penggugat dikabulkan
dengan putusan di luar hadirnya tergugat (verstek),
kecuali apabila gugatan mengenai perbuatan melawan hukum atau tidak beralasan.
Putusan verstek dapat dijatuhkan pada
sidang pertama ketika tergugat tidak hadir (Pasal 125 HIR/149 Rbg.).
Apabila pada sidang pertama
tergugat hadir, sedangkan pada sidang berikutnya tidak hadir, maka perkaranya
diperiksa secara “contradictoir” (di
luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara). Demikian pula jika pada sidang
berikutnya tergugat hadir, tetapi penggugat tidak hadir, maka perkaranya
diperiksa di luar hadirnya salah satu
pihak yang berperkara (contradictoir).
Terhadap putusan verstek
dapat diajukan tuntutan perlawanan (verzet).
Perlawanan (verzet) dapat diajukan
dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan putusan verstek kepada
tergugat (Pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129 HIR/ Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153
Rbg.). Apabila dalam acara perlawanan (verzet),
penggugat tidak hadir, maka perkara diperiksa secara “contradictoir”. Kalau tergugat tidak hadir dalam acara perlawanan (verzet), maka hakim memutus “verstek”,
yang mana tuntutan perlawanan (verzet)
tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard - Pasal 129 ayat
(5) HIR/ Pasal 153 ayat (6) Rbg.).
d)
Penggugat dan tergugat
hadir di persidangan. Apabila kedua pihak
(penggugat/tergugat) hadir dipersidangan, maka sebelum pemeriksaan
perkara dimulai, hakim harus berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara
(Pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg. jo. Pasal 16 ayat (2) U.U No. 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman). Apabila perdamaian berhasil disepakati para
pihak, maka dibuatlah akta perdamaian (acta
van vergelijk) yang isinya menghukum para pihak untuk memenuhi isi
perdamaian yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Putusan perdamaian
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan-putusan biasa yang dapat
dilakukan “eksekusi” seperti putusan
hakim lainnya. Putusan akta perdamaian (acta
van vergelijk) ini tidak dapat diajukan perlawanan (banding, kasasi maupun
peninjauan kembali). Dengan adanya putusan akta perdamaian (acta van vergelijk) berarti gugatan
tidak dapat diteruskan atau tidak dapat diajukan gugatan baru. Putusan akta
perdamaian yang dapat dieksekusi adalah yang berkenaan dengan sengketa kebendaan
saja. Usaha perdamaian terbuka selama pemeriksaan perkara berlangsung. Dengan
adanya usaha perdamaian, ini menunjukkan bahwa hakim berperan aktif dalam hukum
acara perdata.
Apabila antara kedua pihak yang berperkara tidak dapat
didamaikan oleh hakim, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan acara :
Pertama, pembacaan gugatan. Pada tahap pembacaan gugatan, terdapat
beberapa kemungkinan antara lain : (a) penggugat mencabut gugatan; (b) penggugat mengubah gugatan; (c) penggugat
mempertahankan gugatan.
Apabila penggugat mempertahankan gugatannya,
maka sidang dilanjutkan dengan “jawaban tergugat”.
Kedua, jawaban tergugat. Pada tahap ini tergugat diberi
kesempatan untuk membela diri mempertahankan dan melaksanakan
hak-haknya/kepentingannya terhadap gugatan penggugat. Dalam hal ini tergugat
dapat mengajukan “eksepsi” atau
tangkisan, mengakui atau menerima gugatan sepenuhnya atau sebagian, mengaku
dengan persyaratan (clausula)
tertentu, atau membantah sepenuhnya, menjawab dengan berbagai cara (referte) sehingga pemeriksaan perkara
tetap dilanjutkan, dan/atau menjawab dengan gugatan balik (reconvensi).
Ketiga, replik penggugat. Setelah tergugat menyampaikan jawaban,
kemudian hakim memberikan kesempatan kepada penggugat untuk menanggapi jawaban
tergugat yang sesuai dengan pendapatnya. Dalam replik, penggugat dapat
mempertahankan haknya atau gugatannya dan menambah kekurangan yang dianggap
perlu dengan memperjelas alasan-alasan hukum dan dalil-dalilnya, atau penggugat
berubah sikap membenarkan sebagian atau keseluruhan jawaban/bantahan tergugat.
Keempat, duplik tergugat. Setelah penggugat menyampaikan jawabannya
(replik), kemudian tergugat oleh
hakim diberi kesempatan untuk menanggapi replik penggugat. Dalam acara duplik
ini, tergugat dapat menolak atau menerima sebagian atau keseluruhan jawaban
atau replik yang dikemukakan oleh tergugat . Dalam acara jawab menjawab antara
penggugat dan tergugat (replik-duplik)
dapat dilakukan secara berulang-ulang (rereplik-reduplik)
sampai ada kesepakatan di antara para pihak, dan/atau sampai dianggap cukup
oleh hakim.
Jika dalam acara replik-duplik atau
rereplik-reduplik masih ada hal-hal yang belum disepakati oleh kedua pihak, maka kedua pihak perlu memperkuat dalil-dalilnya dengan alat-alat bukti yang
sah dalam tahap pembuktian.
Kelima, pembuktian. Pada tahap pembuktian, pihak penggugat/pemohon
dan pihak tergugat/termohon diberi kesempatan memperkuat atau mendukung
dalil-dalilnya dengan menyampaikan alat-alat bukti secara bergantian kepada
majelis hakim dipersidangan.
Macam-macam alat bukti yang berlaku dalam hukum
acara perdata diatur dalam Pasal 164
HIR/Pasal 284 Rbg/Pasal 1866 B.W. yaitu : (a) bukti tertulis atau surat; (b)
bukti saksi; (c) bukti persangkaan; (d) bukti pengakuan; (e) bukti sumpah.
Keenam, tahap kesimpulan. Pada tahap ini masing-masing pihak
yaitu penggugat dan tergugat diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat
akhir secara tertulis atau lisan sebagai
kesimpulan tentang hasil pemeriksaan selama persidangan.
Ketujuh, putusan hakim.
Pada tahap ini Majelis Hakim
menyampaikan pendapatnya atau pandangan hukum tentang perkara yang diperiksa
selama persidangan disertai
alasan-alasan atau dasar-dasar hukum, dan diakhiri dengan putusan
hakim/pengadilan. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 1917
B.W./Pasal 20 UUKK).
Dalam hukum acara perdata putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap atau mengikat
disebut “gezag van gewijsde”
atau “kracht van gewijsde” apabila
tidak ada upaya hukum biasa, yaitu verzet, banding atau kasasi. Siapapun tidak
dapat mengubah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, termasuk oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum
luar biasa atau khusus, yaitu peninjauan kembali (request civil)) dan perlawanan oleh pihak ketiga (derdenverzet) (Pasal 1917 B.W /Pasal
378-379 Rv).
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama
(Pengadilan Negeri) dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak
yang berperkara, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 21 ayat (1)
UUKK). Permohonan banding disampaikan oleh pemohon dengan surat/tertulis atau
dengan lisan kepada Panitera Pengadilan
Negeri yang menjatuhkan putusan dalam batas waktu 14 (empat belas) hari sejak
putusan diberitahukan kepada pihak yang berkepentingan atau pemohon (Pasal 7
ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947/Pasal 199 Rbg.).
Terhadap putusan pengadilan tingkat banding
(Pengadilan Tinggi) dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh
pihak-pihak yang berperkara, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 22 UUKK jo.Pasal 28 ayat (1) UUMA).
Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika
pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu
kali (Pasal 43 UUMA). Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan
secara tertulis melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)
yang memutus perkaranya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah
putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon
(Pasal 46 UUMA).
Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, pihak-pihak yang berperkara dapat mengajukan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu atau bukti
baru (novum) yang ditentukan dalam
undang-undang, termasuk apabila terdapat
kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum (Pasal 23 ayat (1) UUKK jo Pasal 28
ayat (1) UUMA). Terhadap putusan
peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali (Pasal 23 ayat (2)
UUKK). Peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 66 ayat (1)
UUMA). Permohonan peninjauan kembali
disampaikan melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat
pertama dengan membayar biaya perkara yang telah ditentukan.
Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan
kembali pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 70 ayat (2) UUMA). Tenggang
waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh)
hari sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak yang berperkara; atau sejak ditemukan bukti baru (novum) yang dinyatakan di bawah sumpah
serta disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 69 UUMA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar