BAB XXI
DASAR-DASAR HUKUM
ACARA PERADILAN AGAMA
1.
Pengertian
Hukum Acara Peradilan Agama merupakan Hukum
Perdata Islam Formal yang dikhususkan untuk orang-orang yang beragama
Islam. Hukum Acara Peradilan Agama berfungsi untuk melaksanakan dan mempertahankan
Hukum Perdata Islam Material apabila dilanggar. Hukum Acara Peradilan Agama
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara orang-orang atau badan pribadi yang beragama Islam memperatankan dan melaksanakan
hak-haknya di Peradilan Agama. Dengan kata lain bahwa, hukum acara peradilan
agama adalah hukum yang mengatur bagaimana cara orang atau badan pribadi yang beragama Islam bersengketa
di Peradilan Agama.
2.
Sumber Hukum
a.
Undang-Undang Dasar R.I.
Tahun 1945;
b.
Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Perubahan dari Undang-Undang No. 4
tahun 2004, dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tentang Kekuasaan Kehakiman);
c.
Undang-Undang No. 3 Tahun
2009 Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, serta
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung);
d.
Undang-Undang No. 50
Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama (perubahan dari Undang-Undang No. 3 Tahun
2006, dan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama);
e.
HIR/RIB; dan Rbg;
f.
Kompilasi Hukum Islam
dan Kebiasaan praktek peradilan;
g.
Yurisprudensi;
h.
Doktrin atau pendapat
para ahli hukum Islam.
3.
Asas-Asas Hukum
Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama, hampir sama
dengan asas-asas hukum acara perdata, yaitu :
a.
asas personalitas keislaman
(Pasal 2 jo Pasal 49 UU Peradilan Agama);
b.
asas hukum yang
berlaku adalah hukum Islam ( Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 49 UU PAg.);
c.
asas sederhana, cepat
dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) UUKK jo
Pasal 57 ayat (3) UU. No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama);
d.
asas equality before the law atau asas persamaan hak di muka hukum ( Pasal
5 ayat (1) UUKK jo Pasal 58 ayat (1) UU PAg);
e.
asas beracara dikenakan
biaya (Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR jo Pasal 145 ayat (4), 192, 193,
194 Rbg.);
f.
asas hakim bersifat
menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan gugatan dan menjawab gugatan
diserahkan sepenuhnya kepada penggugat dan tergugat atau pihak-pihak yang
berkepentingan;
g.
asas hakim bersifat
aktif, artinya sejak awal sampai akhir persidangan, hakim membantu pencari keadilan dan berusaha
sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2) UUKK jo Pasal
58 ayat (2) UUPAg.);
h.
asas persidangan
bersifat terbuka untuk umum (Pasal 18, 19 UUKK jo. Pasal 59 ayat (1) UU PAg.);
i.
asas tidak wajib
diwakilkan, artinya para pihak yang berperkara tidak diharuskan mewakilkan
kepada penasehat hukum atau advokat;
j.
asas audi et alteram partem artinya hakim
mendengar dari kedua belah pihak (Pasal 121 ayat (2), 132 a HIR jo. Pasal 142,
dan 145 Rbg.);
k.
asas beracara boleh
diwakilkan (Pasal 123 HIR jo. Pasal 142
ayat (2) dan 147 Rbg.);
l.
asas hakim wajib mendamaikan
kedua belah pihak yang bersengketa (Pasal
130 HIR jo Pasal 16 ayat (2) UUKK jo Pasal 56 ayat (2) UUPAg.);
m.
asas putusan hakim
harus disertai alasan - alasan atau dasar hukum (Pasal 19 ayat (4) UUKK, Pasal 62 UUPAg, Pasal 184
ayat (1), 319 ayat (2) HIR);
n.
asas putusan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 20 UUKK, Pasal 60 UUPAg).
4.
Tujuan Hukum Acara Peradilan Agama
Tujuan Hukum Acara Peradilan Agama adalah untuk
melaksanakan dan mempertahankan hukum Perdata Islam material apabila dilanggar. Selain itu juga
untuk menegakkan hukum Perdata Islam di lingkungan masyarakat yang beragama
Islam.
Materi atau obyek Hukum Perdata Islam yang
dilaksanakan dan dipertahankan adalah di bidang : (a) perkawinan, (b) waris, (c) wasiat,
(d) hibah, (e) wakaf, (f) zakat, (g) infaq, (h) shodaqoh, dan (i) ekonomi
syariah (Pasal 49 ayat (1) UUPAg.).
5.
Proses Beracara di Peradilan Agama
Peradilan Agama terdiri dari Pengadilan Agama,
Pengadilan Tinggi Agama dan berpuncak di Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
tertinggi untuk upaya kasasi dan peninjauan kembali serta melakukan hak uji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Adapun proses beracara di Peradilan Agama (dimulai dari
Pengadilan Agama) adalah sebagai berikut :
Pertama, Pengajuan Gugatan.
Surat gugatan/permohonan yang telah dibuat dan ditanda tangani
penggugat atau pemohon disampaikan ke Panitera Pengadilan Agama setempat yang
berwenang memeriksa perkara gugatan (harus sesuai dengan Pasal 118 HIR, 142 Rbg
jo Pasal 55 jo pasal 66 UUPAg.).
Gugatan untuk perkawinan dan perceraian diatur
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai berikut :
a.
apabila menyangkut
pembatalan perkawinan, permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama dalam
daerah hukum dimana perkawinan dilaksanakan, atau tempat tinggal suami-isteri,
suami atau isteri (Pasal 25, Pasal 63 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 38 ayat
(1) P.P. 9 Tahun 1975).
b.
gugatan perceraian
diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama tempat kediaman tergugat. Apabila tempat kediaman tergugat
tidak jelas atau tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Ketua
Pengadilan Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) P.P.
No. 9 Tahun 1975).
c.
gugatan perceraian
karena tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan
Agama tempat kediaman penggugat (Pasal
20 ayat (3) P.P. No. 9 Tahun 1975).
d.
gugatan perceraian
dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah, diajukan kepada Ketua
Pengadilan Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 21 ayat (1) P.P. No. 9 Tahun
1975).
e.
gugatan perceraian
karena alasan suami-isteri terus menerus berselisih dan bertengkar, diajukan
kepada Ketua Pengadilan Agama tempat kediaman tergugat (Pasal 22 ayat (1) P.P.
No. 9 Tahun 1975).
f.
gugatan perceraian
karena salah seorang dari suami atau isteri dihukum penjara 5 (lima) tahun atau
lebih berat, maka untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti penggugat
cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutus perkara pidana disertai
keterangan yang menyatakan bahwa putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap (Pasal 23 P.P. No. 9 Tahun 1975).
Gugatan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama
yang berwenang, dengan permintaan supaya : (1) menentukan hari persidangan; (2)
memanggil penggugat/pemohon dan tergugat/termohon, (3) memeriksa perkara yang
diajukan penggugat kepada tergugat.
Kedua, Membayar Biaya Perkara.
Di dalam Pasal 121 ayat (4) HIR/Pasal 145 ayat
(4) Rbg menyebutkan bahwa, salah satu syarat agar permohonan/gugatan dapat
diterima dan didaftar dalam register perkara bilamana penggugat/pemohon telah
membayar uang muka atau uang panjar biaya
perkara. Dalam hal ini calon penggugat/pemohon
harus membayar biaya perkara di kasir dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan surat kuasa untuk membayar (SKUM). Biaya
perkara/uang muka yang dibayarkan harus sesuai yang tertulis dalam SKUM.
Ketiga, Pendaftaran Perkara (Gugatan/Permohonan).
Pendaftaran perkara (gugatan/permohonan)
diajukan oleh calon penggugat/ pemohon kepada petugas pendaftaran di meja II
dengan menyerahkan surat
gugatan/permohonan dan SKUM yang telah dibayar di kasir untuk didaftar dan
diberi nomor perkara dalam buku register perkara.
Keempat, Penetapan Majelis Hakim.
Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah Ketua
Pengadilan Agama menerima surat
gugatan/pemohonan dari penggugat/pemohon melalui Panitera, Ketua Pengadilan
menunjuk/ menetapkan Majelis untuk
memeriksa/mengadili perkara dalam sebuah “penetapan” Majelis Hakim (Pasal 121
HIR jo Pasal 94 UUPAg.). Dalam hal ini Ketua Pengadilan memberikan semua berkas
perkara dan surat-surat
lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan kepada Majelis
Hakim untuk diperiksa dipersidangan (Pasal 93 UUPAg.).
Kelima, Penunjukan Panitera Sidang.
Untuk membantu Majelis Hakim di persidangan
dalam memeriksa perkara, ditunjuk seorang Panitera untuk mencatat jalannya persidangan. Selain itu
panitera juga bertugas melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan (Pasal 17
ayat (3) jo Pasal 96, 97, 98 UUPAg.).
Keenam, Penetapan Hari Sidang.
Setelah menerima berkas perkara dari Ketua
Pengadilan, Ketua Majelis Hakim bersama-sana hakim anggota mempelajari berkas
perkara. Ketua Majelis kemudian menetapkan hari, tanggal dan jam persidangan pertama,
serta memerintahkan panitera agar
memanggil para pihak untuk hadir pada hari,
tanggal dan jam persidangan yang
telah ditetapkan.
Ketujuh, Pemanggilan Para Pihak.
Berdasarkan perintah Ketua Majelis Hakim dalam
penetapan hari sidang, panitera/panitera pengganti melakukan pemanggilan kepada
para pihak supaya hadir di persidangan pada hari, tanggal dan jam yang telah
ditetapkan dalam surat
panggilan sidang sebagaimana tersebut dalam penetapan hari sidang (PHS) di
tempat persidangan yang telah ditetapkan (Pasal 122 HIR).
Kedelapan, Pemeriksaan di Persidangan.
Pada sidang pertama yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan (Majelis Hakim), para pihak penggugat/pemohon dan tergugat/termohon
dipanggil agar hadir dalam persidangan. Pada sidang pertama ini akan ditemukan
beberapa kemungkinan, yaitu :
1)
penggugat dan tergugat
tidak hadir. Dalam hal penggugat dan tergugat tidak hadir di persidangan, hakim
dapat melakukan penundaan sidang dan memerintahkan panitera untuk memanggil
para pihak agar hadir dalam sidang berikutnya, atau hakim memutuskan gugatan
gugur dan perkara tidak diperiksa;
2)
penggugat tidak hadir,
tetapi tergugat hadir dalam sidang. Apabila penggugat atau kuasanya tidak
hadir, maka berdasarkan Pasal 126 HIR/ Pasal 150 Rv. hakim memberikan waktu agar
penggugat dipanggil sekali lagi. Apabila telah dipanggil dengan patut penggugat
tidak hadir, tetapi tergugat hadir di persidangan, maka untuk kepentingan
tergugat, gugatan penggugat dinyatakan gugur serta dihukum untuk membayar biaya
perkara; tetapi penggugat masih diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan lagi
dengan membayar biaya perkara lagi (Pasal 124 HIR/Pasal 148 Rbg.);
3)
tergugat tidak hadir, tetapi
penggugat hadir. Apabila tergugat tidak hadir sedangkan penggugat hadir dalam
persidangan, maka sidang dapat ditunda dan tergugat dipanggil lagi agar hadir
dalam sidang berikutnya. Apabila pada sidang berikutnya tergugat tidak hadir
meskipun sudah dipanggil dengan patut, maka gugatan dikabulkan dengan putusan
di luar hadirnya tergugat (verstek),
keculai kalau gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.
Putusan vestek (di luar hadirnya tergugat) dapat dijatuhkan pada hari
sidang pertama tergugat tidak hadir tetapi penggugat hadir (Pasal 125 HIR/Pasal
149 Rbg.). Ada
yang berpendapat putusan verstek dijatuhkan pada sidang berikutnya apabila
tergugat tidak hadir dalam dua kali sidang berturut-turut (Pasal 126 HIR/150
Rbg.). Apabila pada sidang pertama
tergugat hadir, sedangkan pada sidang berikutnya tidak hadir, maka perkaranya
diperiksa secara contradictoir (di
luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara), demikian pula kalau sidang
berikutnya tergugat hadir dan penggugat tidak hadir.
Pada putusan vestek dapat diajukan perlawanan
(verzet). Perlawanan diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan putusan verstek
kepada terggugat (Pasal 125 ayat (3) HIR jo 129 HIR/149 ayat (3) Rbg. Jo Pasal
153 Rbg.). Jika dalam acara perlawanan (verzet)
penggugat tidak hadir, maka perkara diperiksa secara “contradictoir”. Apabila dalam acara perlawanan (verzet) tergugat tidak hadir lagi, maka
perkara diputus “verstek”, dengan
demikian tuntutan perlawanan (verzet)
tidak diterima (Pasal 129 ayat (5) HIR/Pasal 153 ayat (6) Rbg.);
4)
penggugat dan tergugat hadir dalam sidang.
Apabila penggugat dan tergugat hadir dalam persidangan, sebelum pemeriksaan
dimulai, hakim berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/
Pasal 154 Rbg.). Apabila usaha
perdamaian berhasil maka dibuatlah akta perdamaian (acta van vergelijk) yang isinya menghukum para pihak untuk
memenuhi isi perdamaian yang dibuat oleh kedua pihak. Putusan perdamaian
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan biasa yang dapat dilaksanakan
(eksekusi) seperti putusan hakim
lainnya.
Putusan perdamaian (acta van vergelijk) tidak dapat diajukan
perlawanan banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Dengan adanya akta
perdamaian, berarti gugatan tidak dapat diteruskan atau tidak dapat diajukan
gugatan baru. Usaha perdamaian terbuka selama pemeriksaan persidangan
berlangsung. Dengan adanya akta perdamaian ini hakim berperan aktif dalam hukum
acara peradilan Agama.
Apabila antara kedua pihak
yang berperkara tidak dapat didamaikan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan tahapan sebagai berikut :
Pertama, pembacaan
gugatan. Pada tahap ini terdapat beberapa
kemungkinan, yakni : (a) penggugat mencabut gugatan; (b) penggugat mengubah gugatan; atau (c)
penggugat mempertahankan atau melanjutkan gugatan. Apabila penggugat
mempertahankan gugatan berarti sidang
dilanjutkan.
Kedua, jawaban
tergugat. Pada tahap ini tergugat diberi kesempatan untuk membela diri atau mempertahankan
haknya terhadap gugatan penggugat. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan
tangkisan (eksepsi),
mengakui/menerima gugatan sepenuhnya atau sebagian, atau membantah/menolak
gugatan secara sepenuhnya, atau mengaku dengan syarat (clausula).
Ketiga, replik penggugat. Setelah tergugat menyampaikan jawaban,
kemudian hakim memberikan kesempatan kepada penggugat untuk menanggapi jawaban
tergugat. Dalam hal ini penggugat dapat mempertahankan gugatannya atau menambah
keterangan yang dianggap perlu dengan memperjelas dalil-dalil/ alasan hukum, atau penggugat
berubah sikap membenarkan sebagian atau keseluruhan jawaban/bantahan tergugat.
Keempat, duplik tergugat. Dalam duplik tergugat, tergugat dapat
menolak atau menerima sebagian atau keseluruhan dalil-dalil yang dikemukakan
oleh penggugat dalam repliknya. Acara jawab-menjawab antara penggugat dan
tergugat (replik-duplik) dapat
dilakukan berulang-ulang (rereplik dan
reduplik) sampai ada kesepakatan antara kedua pihak, atau telah dianggap
cukup oleh Majelis Hakim. Jika dalam acara replik-duplik atau rereplik dan
reduplik masih ada hal-hal yang tidak
disepakati, maka kedua pihak perlu memperkuat dan mendukung dalil-dalilnya
dengan alat-alat bukti pada tahap pembuktian.
Kelima, pembuktian. Pada
tahap pembuktian para pihak (penggugat dan tergugat) diberi kesempatan untuk
memperkuat/mendukung dalil-dalilnya dengan mengajukan alat-alat bukti secara
bergantian kepada Majelis Hakim di dalam persidangan. Alat-alat bukti yang
dimaksud diatur dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg/Pasal 1866 B.W. jo Pasal 54
UUPAg. sebagai berikut : (a) bukti
tertulis atau surat; (b) bukti saksi; (c) persangkaan; (d) pengakuan, dan (e) sumpah.
Keenam, kesimpulan. Masing-masing
pihak penggugat dan tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan pendapat akhir
secara tertulis atau lisan mengenai hasil pemeriksaan perkara yang
disengketakan selama persidangan berlangsung.
Ketujuh, putusan
hakim, dalam hal ini hakim menyampaikan pendapatnya dalam putusan mengenai
perkara yang diperiksa selama persidangan yang disertai alasan dan dasar
hukumnya. Putusan hakim hanya sah apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum (Pasal 20 UUKK jo. Pasal 60 UUPAg.).
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama
(Pengadilan Agama) dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi agama oleh
pihak yang bersengketa, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 21 ayat
(1) UUKK jo. Pasal 61 UUPAg.). Terhadap putusan pengadilan tingkat banding
(Pengadilan Tinggi Agama) dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pihak
yang berperkara, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 22 UUKK jo. Pasal
63 UUPAg. dan Pasal 28 ayat (1) UUMA).
Terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu,
atau ada kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum, atau ada bukti baru (novum), dan hal lain yang ditentukan dalam
undang-undang (Pasal 23 ayat (1) UUKK jo. Pasal 23 ayat (1) UUMA). Terhadap putusan
peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali (Pasal 23 ayat (2)
UUKK). Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 66
ayat (1) UUMA).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul hakim Garuda Nusantara.
1985. Politik Hukum Nasional (Makalah Karya Latihan hukum). YLBHI.
Surabaya.
Abdulkadir Muhammad. 1982. Hukum Perikatan. Alumni. Bandung.
Abu Daud Busroh. 1989.
Sistem Pemerintahan R.I. Bina Aksara. Jakarta.
Achmad Hanafi. 1975. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Bulan
Bintang. Jakarta.
Achmad Sanusi. 1984. Pengantar
Ilmu Hukum Dan Pengatar Tata Hukum Indonesia. Tarsito. Bandung.
Ahmad Azhar Basyir, MA. 1987. Hukum
Islam Tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah. PT. Al-Ma’arif. Bandung.
Achmad S. Soema Dipradja.
1977. Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana di
Indonesia. Alumni. Bandung.
Algra, N.E. et al. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. Binacipta.
Bandung.
Andi Hamzah. 1994. Asas-Asas
Hukum Pdana. Aneka Cipta. Jakarta.
Anwar Haryono, DR. 1968. Hukum
Islam Keluasan dan Keadilannya. Bulan Bintang. Jakarta.
Anwar Haryono, DR. 1997. Perjalanan
Politik Bangsa. Gema Insani Press. Jakarta.
Apeldoorn, L.J. Van. 1972.
Pengantar Ilmu Hukum.
Terjemahan Oetarid Sadino. Pradnya Paramita, Jakarta.
Asis Safioedin. 1989. Beberapa hal tentang Burgerlijk Wetboek.
Alumni. Bandung.
Bayu Seto. 1992. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional.
Citra Aditya Bakti. Bandung.
Bintan Saragih.1987. Lembaga Perwakilan dan Pemilu Indonesia.
Gaya Media Pratama.Jakarta.
Boedi Harsono. 1971. Sejarah Undang-Undang Pokok Agraria.
Jambatan. Jakarta.
Bruggink. J.J.H. 1996. Refleksi Tentang Hukum. Terjemahan
Arief Sidharta. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Dijk, R.Van. 1964. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Sumur.
Bandung.
Djenal Hoesen
Koesoemahatmadja. 1983. Pokok-Pokok Hukum
Tata Usaha Negara. Jilid I. PT.
Alumni. Bandung.
Hans Kelsen, Soemardi,cs.
1995. Teori Hukum Umum. Rimdi Perss. Bandung.
Hasbi Ashiddiqi. 1975. Pengantar Hukum Islam.Bulan Bintang.
Jakarta.
Iman Sudiyat. 1978. Asas-Asas Hukum Adat (Bekal Pengantar).Liberty.
Yogyakarta.
Jimly Asshiddiqie. 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kontitusi R.I. Jakarta Pusat.
----------------------.2006. Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara. Konstitusi
Press. 2006.
Kan, van dan J.H.
Beekhuis.1972. Pengantar Ilmu Hukum.
Pembangunan.Jakarta.
Kelsen, Hans. 1973. General Theory of Law and State. Russel.
New York.
Koentjoro Purbopranoto. 1975. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara.
Alumni. Bandung.
Kranenburg, Mr. R. 1955. Ilmu
Negara Umum (Terjemahan). YB. Wolters. Jakarta.
----------------- dan Vegting,
W.G. Prof. Mr. 1962. Inleiding in het Nederlands Administratiefrecht. YBP.
Gajah Mada. Yogyakarta.
Kusumadi Pudjosewojo. 1976. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia.
Aksara Baru. Jakarta.
Lemaire, W.L.G. 1968. Nederlands Internationaal Privaatrecht.
Hoofdlijnen. A.W. Sijthoff. Leiden.
Mahmud Junus, 1964. Hukum
Perkawinan Dalam Islam. PT. Mahmudiah. Jakarta.
Maria Farida Indrati
Soeprapto. 1998. Ilmu Perundang-undangan,
Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Kanisius. Yogyakarta.
Mariam Darus Badrulzaman.
1983. KUH Perdata - Buku III Tentang
Perikatan. Alumni. Bandung.
Maulana Muhammad Ali. 1980. The
Religion of Islam (Penerjaemah R. Kalang dan HM. Bachrun). PT. Ichtiar
Baru. Jakarta.
Mochtar Kusumaatmadja. 1982. Pengantar Hukum Internasional.
Binacipta. Bandung
.----------------------------------
dan B. Arief Sidharta. 1999. Pengantar
Ilmu Hukum. Alumni. Bandung.
Moelyatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Aneka Cipta.
Jakarta.
Mohamad Isnaini. 1971. Hakim
dan Undang-undang. Cet.II. IKAHI Cabang Semarang. Semarang.
Padmo Wahyono. 1986. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum.
Ghalia Indonesia. Jakarta.
Paton.G.W. 1969. A
Text Book of Jurisprudence. Oxford University Press.
Philipus M. Hadjon, et al.
1994. Pengantar Hukum Administrasi.
Gajah Mada University Press.
Prajudi Atmosudirdjo. 1988. Hukum Administrasi Negara. CV.Rajawali.
Jakarta.
Prins, W.F. (terj. R. Kosim
Adisapoetra). 1978. Pengantar Ilmu Hukum
Administrasi Negara. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Purnadi Purbacaraka, Soerjono
Soekanto.1986. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Alumni. Bandung.
----------------.1979. Perundang-Undangan
dan Yurisprudensi. Alumni, Bandung.
------------------------- dan
Agus Brotosusilo. 1989. Sendi-sendi Hukum
Perdata Inernasional. Rajawali
Pers. Jakarta.
Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum.Citra
Aditya Bakti. Bandung.
Rochmat Soemitro. 1977. Dasar-dasar
Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Eresco. Bandung.
Santoso Brotodihardjo, 1987. Pengantar
Hukum Pajak. Eresco. Bandung.
Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung.
Sayid Sabiq, 1971. Fiqih
Sunnah. PT. Al-Ma’arif. Bandung
Simorangkir, J.C.T. dan
Woerjono Sastropranoto.1962. Pelajaran Hukum Indonesia. Gunung Agung.
Jakarta.
Soedarto, 1986. Hukum dan
Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Soedjono Dirdjosisworo.1983. Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali Pers.
Jakarta.
Soemardi, et.al., 1995. Teori
Hukum Murni. Rimdi Press. Bandung
Soepomo. R. 1983. Sistem
Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Pradnya Paramita. Jakarta.
----------------. 1977. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Soerjono Soekanto.1981. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum.
Alumni. Bandung.
------------------------ dan
Otje Salman. 1985 Disiplin Hukum dan
Disiplin Sosial. Rajawali Pers. Jakarta.
Soerojo Wignjodipuro.1973. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.
Alumni. Bandung.
--------------------------------.
1982. Pengantar Ilmu Hukum. Gunung Agung. Jakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto.2002. Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya. Huma. Jakarta.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan.
1975. Hukum Perdata : Hukum Benda.
Liberty.Yogakarta.
Sri Sumantri,M. 1982. Hak Uji Materiil di Indonesia. Alumni.
Bandung.
Subekti, R. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa.
Jakarta.
Sudargo Gautama. 1977. Pengantar
Hukum Perdata Internasional. Binacipta Bandung.
Sudikno Mertokusumo.1986. Mengenal
Hukum (Suatu Pengantar). Liberty. Yogyakarta.
Sudiman Kartohadiprodjo. 1965.
Pengantar Tata Hukum Di Indonesia. Pembangunan. Jakarta.
Sunaryati Hartono.C.F.G. 1991.
Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni. Bandung.
Sunaryati Hartono.C.F.G. 1986.
Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional. Bina cipta. Bandung.
Suparman, Usman. 2006. Hukum
Perwakafan Indonesia. Darul Ulum Press. Jakarta.
Ter Haar Bzn. 1973. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat.
Pradnya Paramita. Jakarta.
Tobing, M.L., 1983. Pengantar
Ilmu Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Umar Said Sugiharto, 1993. Efektifitas
Pendaftaran tanah di Kota Malang setelah berlakunya PP No. 28 tahun 1977.
(Thesis) .
Utrecht. E. 1964. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Ichtiar. Jakarta.
-------------. 1983. Pengantar
Dalam Hukum Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro.
1979. Asas-Asas Hukum Perdata. Sumur. Bandung.
--------------------------.
1983. Asas-Asas Hukum Tata Negara
Indonesia. Dian Rakyat. Jakarta.
Undang-Undang No. 46 Tahun
2009 tentang TIPIKOR
Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 49 Tahun
2009 tentang Peradilan Umum
Undang-Undang No. 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 51 Tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung