Jumat, 04 Mei 2012

Pengantar Hukum Indonesia (Bab XI)


BAB XI
DASAR-DASAR HUKUM PIDANA


1.             Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana yang dimaksud dalam bab ini adalah hukum pidana material, bukan hukum pidana formal (Hukum Acara Pidana).
Hukum Pidana Material adalah peraturan atau norma hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana dan apa macam sanksi pidana yang dijatuhkan. Dengan kata lain, Hukum Pidana (material) adalah keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur perbuatan seseorang atau badan yang dilakukan dengan salah dan melanggar  hukum pidana serta diancam dengan sanksi pidana. Sedangkan Hukum Pidana Formal (Hukum Acara Pidana) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tatacara  melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana material. Dengan lain kata Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formal) adalah segala peraturan atau hukum yang mengatur tindakan-tindakan aparatur negara  apabila diduga terjadi perbuatan pidana menurut hukum pidana material
Hukum pidana menurut  Pompe adalah semua peraturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macam-macamnya pidana itu.[1]
Simon mendefinisikan Hukum Pidana adalah semua perintah-perintah dan larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan hukuman pidana  barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemua aturan-aturan itu menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.[2]
Van Hamel mengartikan Hukum Pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu yang melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa (sanski) kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.[3] Sedangkan Hukum Pidana Formal (Hukum Acara Pidana) menurut Simon, adalah hukum yang mengatur tentang cara negara dengan perantaaan para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.[4]
Van Bemmelen mendefinisikan Hukum Acara Pidana, mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.[5]
Menurut Hazewinkel - Suringa, bahwa ius poenale (Hukum Pidana Material) adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barangsiapa yang membuatnya.[6]

2.             Keistimewaan Hukum Pidana
Sebagaimana diketahui maksud dan tujuan tiap-tiap macam-macam hukum ialah untuk melindungi kepentingan orang-orang dalam masyarakat di dalam lingkungan sesuatu negara. Tetapi apabila hukum pidana itu dilaksanakan, maka itu berarti bahwa kepribadian seseorang yang dikenakan hukuman tadi telah dilanggar; misalnya orang dijatuhi hukuman mati, di denda, dipenjara, berarti hak-haknya sebagai warga negara dirampas oleh negara.
Jadi, jika hukum pidana dilaksanakan, hasilnya malah sebaliknya daripada maksud dan tujuan hukum pada umumnya. Inilah keistimewaan hukum pidana saja, di satu sisi bertujuan melindungi kepentingan umum (masyarakat), dilain sisi merampas hak/kepentingan orang yang melanggarnya. Oleh karena itu, maka hukum pidana diumpamakan sebagai sebuah “pedang yang bermata dua”  yang dapat menusuk diri sendiri (pemegangnya).

3.             Tujuan Hukum Pidana
Tujuan hukum pidana ialah mengatur masyarakat sedemikian rupa sehingga hak dan kepentingan masyarakat itu terlidungi. Dengan menjatuhkan sanksi pada orang-orang atau badan yang perbuatannya  membahayakan  kepentingan orang lain atau masyarakat, hukum pidana dapat menjaga ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Apabila masyarakat tertib dan teratur, maka segala aktivitas kehidupan masyarakat menjadi tenteram dan aman. Apabila  masyarakat aman dan  tenteram, masyarakat bisa bekerja dengan tenang sehingga dapat tercapainya tujuan hukum dan tujuan negara yakni menjadikan masyarakat yang adil dan maknur. Hukum pidana adalah hukum bersanksi. Sifat hukum pidana yang istimewa bukan hanya norma-normanya, melainkan juga  hukuman (sanksi pidana) nya.
Hukuman pidana bersifat “siksaan atau penderitaan” yang dijatuhkan terhadap orang atau badan karena melakukan tindak pelanggaran atau kejahatan yang ditentukan oleh undang-undang pidana (hukum pidana). Tujuan hukum pidana menjatuhkan sanksi ”pidana” terhadap siapa saja yang melakukan perbuatan pidana dan  melanggar undang-undang hukum pidana adalah sebagai “ultimum remedium” (obat terakhir) dengan tujuan untuk melindungi kepentingan umum atau kepentingan masayarakat.[7]
Yang dimaksud dengan “kepentingan hukum atau hak hukum” yang harus dilindungi oleh undang-undang yaitu:
a.              Jiwa/nyawa seseorang
b.             Badan seseorang (fisik)
c.              Kehormatan seseorang
d.             Kesusilaan seseorang
e.              Kemerdekaan seseorang (agama, kepercayaan, dan politik)
f.              Harta benda seseorang
Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur macam-macam hukuman (pidana), yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Macam-macam  hukuman pokok yaitu:
a.             hukuman mati
b.            hukuman penjara
c.             hukuman tutupan
d.            hukuman denda

Yang termasuk hukuman tambahan yaitu:
a.             pencabutan hak-hak tertentu
b.            perampasan bang-barang tertentu
c.             pemgumuman keputusan hakim

4.             Asas Hukum Pidana 
Asas hukum pidana dalam KUHP Indonesia itu antara lain asas “legalitas” dengan semboyan yang berbunyi “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” yang artinya, tidak ada tindak pidana  tidak ada hukuman, kecuali ada undang-undangnya lebih dahulu.Atau dengan kalimat lain, bahwa perbuatan pidana tidak dapat dihukum, bilamana tidak ada undang-undang yang mengaturnya lebih dahulu. Adagium tersebut tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan:
“Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling)   terjemahan bebas “ tidak ada perbuatan pidana, apabila tidak diatur lebih dahulu dalam undang-undang”.

Ketentuan di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP itu dikenal sebagai “asas legalitas” yang  mempunyai dua makna yakni :
1.             untuk  kepastian hukum, bahwa undang-undang hanya berlaku untuk kedepan dan tidak berlaku surut (asas non retroactive);
2.             untuk  kepastian hukum, bahwa sumber hukum pidana tiada lain dari undang-undang ( ketentuan hukum umum/lex generalis).
Ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP di atas dikecualikan di dalam yang tersebut dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbuyi:
“Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah waktu dilakukan perbuatan itu, maka dipakailah ketentuan yang lebih meringankan  bagi tersangka”.

Pasal 1 ayat (2) KUHP ini merupakan ketentuan khusus yang menyampingkan pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai ketentuan umum. Dikenal dengan asas lex specialis derogat lex generalis.

5.      Sistematika KUHP
KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu:
1.             Buku pertama    : memuat peraturan umum (pasal 1 - 103)
2.             Buku kedua       : memuat kejahatan-kejahatan (pasal 104 - 488)
3.             Buku ketiga       : memuat pelanggaran-pelaggaran (pasal 489  569)

6.             Teori-teori Hukum Pidana
Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap keharusan atau larangan-larangan yang ditetapkan negara dalam hukum pidana diancam dengan hukuman. Negara dapat menangkap orang atau memasukkannya dalam penjara, menjatuhkan hukuman mati, menyita hartanya dan lain-lain. Ini sebenarnya merupakan tindakan-tindakan yang luar biasa dari negara terhadap diri seseorang. Padahal hukum itu bermaksud melindungi jiwa orang, kemerdekaannya dan harta bendanya.
Maka dari itu sikap negara dengan menjatuhkan hukuman yang berupa siksaan itu dapat dibenarkan, sehingga dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul persoalan:
1.            Berdasarkan  apakah negara boleh menghukum?
2.            Apa maksud hukuman itu?
Jawaban itu diberikan oleh ahli-ahli filsafat hukum dalam beberapa teori, yaitu:
1)             Teori Mutlak atau Teori Pembalasan  (vergeldings theorien)
Sampai akhir abad ke-8 dan abad ke-19 penjatuhan hukuman itu berdasarkan pembalasan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Dasar hukuman itu terletak dalam kejahatan itu sendiri, yang megakibatkan hukuman pidana.
Teori ini sebenarnya adalah suatu teori yang berdasarkan pada anggapan “hutang jiwa harus dibayar dengan jiwa” dan “hutang darah harus dibayar dengan darah”. Dasar ini disebut “talio” (denda darah). Lambat laun kekejaman itu dapat dihindarkan dengan penggantian kerugian, yaitu dengan denda atau dengan penjara.


2)             Teori Relatif atau Tujuan (doeltheorien)
Pengertian dalam teori relative ini berbeda sekali dengan teori absolut (mutlak). Kalau dalam teori mutlak, perbuatan pidana dihubungkan dengan kejahatan, maka teori relative ditujukan kepada hari-hari yang akan datang, yaitu dengan maksud mendidik orang yang telah berbuat jahat tadi, agar menjadi orang baik kembali.
Mengenai tujuan-tujuan hukuman itu ada tiga  macam teori yaitu:
1.             Untuk menakuti
Teori dari Aselm von Feurbach, hukuman itu harus diberikan sedemikian rupa, sehingga orang takut untuk menjalankan kejahatan. Akibat dari teori itu ialah, hukuman harus diberikan seberat-beratnya dan kadang-kadang merupakan siksaan.
2.             Untuk memperbaiki
Hukuman yang dijatuhkan dengan tujuan untuk memperbaiki si terhukum, sehingga di kemudian hari ia menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar lagi peraturan-peraturan hukum (ajaran prevensi khusus).
3.             Untuk melindungi
Tujuan hukum ialah melindungi masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan jahat. Dengan diasingkannya si penjahat itu untuk sementara, masyarakat dilindungi dari perbuatan-perbuatan jahat orang itu (ajaran prevensi umum).

3)             Teori Gabungan (verenigingstheorien)
Teori ini tidak menitikberatkan atau menganggap sebagai dasar hukuman semata-mata pembalasan saja (teori absolut) atau pemulihan kerugian dan pemeliharaan  ketertiban umum dalam suatu masyarakat, melainkan berpendirian, bahwa hukuman itu dijatuhkan oleh negara berdasar asas keadilan, dan dipertahankannya kesejahteraan bersama dalam masyarakat (di Indonesia yang dianut ialah teori gabungan).


7.             Perbuatan yang Dapat Dihukum
Perbuatan yang dapat dihukum dapat disebut dengan beberapa istilah lain, yaitu: tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana dan delict.
Delict ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya yang dilakukan dengan sengaja atau (salah atau “schuld”) oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut definisi tersebut ada beberapa anasir yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.             perbuatan manusia
2.             perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum
3.             harus terbukti adanya “dosa” (salah) pada orang yang berbuat, yaitu orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
4.             perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum
5.             terhadap perbuatan itu harus bersedia ancaman hukumannya di dalam undang-undang.

8.             Macam-macam Delik
Delik dapat dibagi dalam beberapa macam, yaitu:
(1)          Menurut cara penuntutannya.
a.             Delik aduan (klacht delict) yaitu suatu delik yang diadili, apabila yang berkepentingan (yang dirugikan) mengadunya kepada polisi/penyidik.
Bila tidak ada pengaduan maka penyidik tidak akan mengadakan penyidikan dan membuatkan Berita Acara Pemeriksaan.
b.             Delik biasa, yaitu perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan, melainkan laporan.
(2)          Menurut jumlah perbuatan pidananya.
a.              Delik Tunggal (enkelvoudig delicten) yaitu delik yang terdiri dari satu perbuatan saja.
b.             Delik berangkai (samengestelde delicten) adalah perbuatan yang terdiri dari beberapa delik.
(3)          Menurut tindakan atau akibatnya.
a.             Delik material, yaitu suatu delik yang dilarang oleh undang-undang ialah “akibatnya”, misalnya dalam pembunuhan pasal 338 KUHP.
Dalam pasal tersebut tidak dinyatakan perbuatan apa yang dilakukan, tetapi hanya akibatnya (matinya orang lain) yang dilarang.
b.             Delik formal, kejahatan itu selesai, kalau “perbuatan” sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah dilakukan.
Contoh: kasus pencurian pasal 363 KUHP
Dalam pasal ini dilarang “mengambil barang orang lain” dengan tidak sah atau tanpa hak.
Perbuatannya ialah “mengambil”. Dengan selesainya perbuatan itu terjadilah kejahatan pencurian.

(4)          Menurut ada tidaknya perbuatan.
a.             Delik Komisi (commissiedelicten/delicta commissionis) ialah delik yang dilakukan dengan perbuatan.Di sini seseorang melakukan perbuatan aktif dengan melanggar larangan. Delik ini dapat berwujud delik material maupun formal.
b.             Delik Omisi (ommissiedelicten/delicta ommissie) ialah dilakukan dengan membiarkan atau mengabaikan yang seharusnya dilakukan (perintah).Delik ini perbuatannya pasif (diam).

(5)          Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (zelfstandige en    voorgezette delicten), dapat dibaca tentang uraian gabungan delik atau perbarengan (samenloop) dan pasal 63 s/d. 70 KUHP.

(6)          Delik selesai dan delik berlanjut (aflopende en voortdurende delicten).
Delik selesai (aflopende delicten) adalah delik terjadi dengan melakukan satu atau beberapa perbuatan saja. Delik berlanjut (voortdurende delicten) atau delik yang berlangsung terus adalah delik yang terjadi karena meneruskan suatu perbuatan yang dilarang, contoh: merampas kemerdekaan seseorang terus menerus/menyekap (pasal 333 KUHP), menjadi mucikari (pasal 506).

(7)          Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (Doleuse en culpose delicten).Delik Sengaja (doleuse delicten) adalah terjadinya perbuatan pidana karena dilakukan dengan sengaja. Delik kelalaian (culpose delicten) adalah terjadinya perbuatan pidana karena kelalaian (culpa).

(8)          Delik propria dan delik komun atau umum (delicta propria en commune delicten). Delicta Propria (Propria delicten) adalah perbuatan pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu, misalnya delik jabatan, delik korupsi, delik militer. Delicta commune (commune delicten) adalah perbuatan pidana dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.

9.             Alasan Penghapus Hukuman
Di dalam hukum pidana kita mengenal perbuatan-perbuatan pidana yang merupakan pelanggaran/kejahatan yang tidak dapat dihukum. Tentang tidak dapat dihukumnya ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu:
a.              Karena sebab yang ada pada diri orang itu sendiri, tercantum dalam pasal 44 ayat (1) KUHP.
“Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal, tidak boleh dihukum”
b.             Karena sebab dari luar keadaan si pembuat. Sesuatu perbuatan tidak dapat dihukum karena sebab/oleh keadaan sekitarnya (uitwendige ooraak), yang termasuk di sini adalah:
1)        dalam keadaan berat lawan (overmacht) dalam pasal 48 KUHP;
2)        dalam keadaan darurat (noodtoestand) dalam pasal 49 (2) KUHP
3)        karena pembelaan terpaksa (noodweer) dalam pasal 49 (1) KUHP
4)        karena melaksanakan peraturan perundang-undangan. (Pasal 50 KUHP)
5)        karena melaksanakan perintah jabatan  (Pasal 51 KUHP).

10.         Deelneming
Pengertian “turut serta” (ikut serta, bersama-sama) melakukan perbuatan  pidana (delict) dapat dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama. Turut serta (deelneming) dari beberapa orang di dalam perbuatan pidana dapat merupakan kerja-sama, yang masing-masing dapat berbeda-beda sifat dan bentuknya.
Dalam Pasal 55 KUHP yang dianggap pelaku itu ialah:
1.             Orang yang melakukan (pleger)
Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir delik.
2.             Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger)
Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh atau pelaksana (pleger)
3.             Orang yang turut melakukan (medepleger)
“Turut melakukan” dalam arti kata bersama-sama melakukan. Sedikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) perbuatan pidana itu.
4.             Orang yang membujuk melakukan (uitlokker)
Orang dengan sengaja memberi kesempatan/bantuan, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya dengan sengaja membujuk melakukan suatu perbuatan pidana (uitlokking).
Pasal 56 KUHP, disebut mereka yang “membantu” (medeplichtige) atau golongan “gehilfe”, yang melakukan delik;
Ayat (1).    Barangsiapa dengan sengaja membatu melakukan kejahatan.
Ayat (2).    Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya, keterangan untuk melakukan kejahatan.

11.         Samenloop
Dalam hal “turut serta” (deelneming) digambarkan, bahwa ada beberapa orang melakukan satu peristiwa pidana. Sebaliknya, dalam “gabungan” (samenloop) melakukan perbuatan pidana adalah menggambarkan bagaimana harus diselesaikan, apabila ada satu orang melakukan beberapa perbuatan pidana.
Selain itu  dikenal  pengulangan perbuatan pidana atau “mengulangi” (recidive) tindak pidana yang menggambarkan pula satu orang telah melakukan beberapa tindak pidana, tetapi perbedaannya:
a.              dalam “samenloop” beberapa perbuatan pidana yang dilakukan, yang satu dengan yang lainnya belum pernah ada putusan hakim (vonis);
b.             dalam “recidive” antara melakukan perbuatan pidana yang satu dengan yang lain sudah ada putusan hakim (vonis).
Gabungan tindak pidana (samenloop atau concursus) ada tiga macam, antara lain:
1.             Gabungan satu perbuatan (eendaadsche samenloop atau concursus idealis), tercantum dalam pasal 63 KUHP;
2.             Perbuatan yang diteruskan (voorgezette - handeling) tercantum dalam pasal 64 KUHP;
3.             Gabungan beberapa perbuatan (meerdaadsche samenloop atau concursus realis) tercantum dalam pasal 65 dan 66 KUHP.

12.         Recidive
Recidive atau pengulangan perbuatan pidana adalah apabila seseorang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran dan telah dijatuhi hukuman (vonis) dan hukuman itu telah dijalankan, kemudian ia melakukan lagi kejahatan lain.
Pembuat undang-undang memandang perlu untuk menghukum orang yang telah lebih dari satu kali melakukan delik, yang biasanya disebut “penjahat kambuhan” atau “recidivist” lebih berat daripada penjahat yang baru pertama kali berbuat kejahatan.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada 2 macam recidive:
1.             Peraturan recidive umum (generale recidive), dimana tidak diperhatikan sifatnya perbuatan pidana yang diulangi, artinya asal saja terdakwa kembali melakukan perbuatan pidana dari macam apapun.
2.             Peraturan recidive yang bersifat khusus, (speciale recidive), diatur khusus dalam pasalnya sendiri-sendiri, dan umumnya mengenai pelanggaran-pelanggaran (pasal-pasal 489 ayat (2); 492 ayat (2) KUHP dan lain-lain).


[1] Moelyatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Aneka Cipta. Jakarta. hlm. 7.
[2] Ibid.
[3] Ibid. hlm. 8.
[4] Andi Hamzah. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Aneka Cipta. Jakarta. hlm. 3.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar