BAB XI
DASAR-DASAR HUKUM
PIDANA
1.
Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana yang dimaksud dalam bab ini adalah
hukum pidana material, bukan hukum pidana formal (Hukum Acara Pidana).
Hukum Pidana Material adalah peraturan atau
norma hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa yang dapat dipidana, siapa
yang dapat dipidana dan apa macam sanksi pidana yang dijatuhkan. Dengan kata
lain, Hukum Pidana (material) adalah keseluruhan peraturan atau hukum yang
mengatur perbuatan seseorang atau badan yang dilakukan dengan salah dan melanggar
hukum pidana serta diancam dengan sanksi
pidana. Sedangkan Hukum Pidana Formal (Hukum Acara Pidana) adalah keseluruhan
peraturan atau norma hukum yang mengatur tatacara melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana
material. Dengan lain kata Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formal) adalah
segala peraturan atau hukum yang mengatur tindakan-tindakan aparatur negara apabila diduga terjadi perbuatan pidana
menurut hukum pidana material
Hukum pidana menurut Pompe adalah semua peraturan hukum yang
menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana, dan
apakah macam-macamnya pidana itu.[1]
Simon mendefinisikan Hukum Pidana adalah semua
perintah-perintah dan larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam
dengan hukuman pidana barangsiapa yang
tidak mentaatinya, kesemua aturan-aturan itu menentukan syarat-syarat bagi
akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk menjatuhkan dan menjalankan
pidana tersebut.[2]
Van Hamel mengartikan Hukum Pidana adalah semua
dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam
menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu yang melarang apa
yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa (sanski) kepada
yang melanggar larangan-larangan tersebut.[3]
Sedangkan Hukum Pidana Formal (Hukum Acara Pidana) menurut Simon, adalah hukum
yang mengatur tentang cara negara dengan perantaaan para pejabatnya menggunakan
haknya untuk memidana.[4]
Van Bemmelen mendefinisikan Hukum Acara Pidana,
mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya
dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.[5]
Menurut Hazewinkel - Suringa, bahwa ius poenale
(Hukum Pidana Material) adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung
larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam
dengan pidana (sanksi hukum) bagi barangsiapa yang membuatnya.[6]
2.
Keistimewaan Hukum Pidana
Sebagaimana diketahui maksud dan tujuan
tiap-tiap macam-macam hukum ialah untuk melindungi kepentingan orang-orang
dalam masyarakat di dalam lingkungan sesuatu negara. Tetapi apabila hukum
pidana itu dilaksanakan, maka itu berarti bahwa kepribadian seseorang yang
dikenakan hukuman tadi telah dilanggar; misalnya orang dijatuhi hukuman mati,
di denda, dipenjara, berarti hak-haknya sebagai warga negara dirampas oleh
negara.
Jadi, jika hukum pidana dilaksanakan, hasilnya
malah sebaliknya daripada maksud dan tujuan hukum pada umumnya. Inilah
keistimewaan hukum pidana saja, di satu sisi bertujuan melindungi kepentingan
umum (masyarakat), dilain sisi merampas hak/kepentingan orang yang
melanggarnya. Oleh karena itu, maka hukum pidana diumpamakan sebagai sebuah
“pedang yang bermata dua” yang dapat
menusuk diri sendiri (pemegangnya).
3.
Tujuan Hukum Pidana
Tujuan hukum pidana ialah mengatur masyarakat
sedemikian rupa sehingga hak dan kepentingan masyarakat itu terlidungi. Dengan
menjatuhkan sanksi pada orang-orang atau badan yang perbuatannya membahayakan
kepentingan orang lain atau masyarakat, hukum pidana dapat menjaga
ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Apabila masyarakat tertib dan
teratur, maka segala aktivitas kehidupan masyarakat menjadi tenteram dan aman.
Apabila masyarakat aman dan tenteram, masyarakat bisa bekerja dengan
tenang sehingga dapat tercapainya tujuan hukum dan tujuan negara yakni
menjadikan masyarakat yang adil dan maknur. Hukum pidana adalah hukum
bersanksi. Sifat hukum pidana yang istimewa bukan hanya norma-normanya,
melainkan juga hukuman (sanksi pidana)
nya.
Hukuman pidana bersifat “siksaan atau penderitaan”
yang dijatuhkan terhadap orang atau badan karena melakukan tindak pelanggaran
atau kejahatan yang ditentukan oleh undang-undang pidana (hukum pidana). Tujuan
hukum pidana menjatuhkan sanksi ”pidana” terhadap siapa saja yang melakukan
perbuatan pidana dan melanggar
undang-undang hukum pidana adalah sebagai “ultimum
remedium” (obat terakhir) dengan tujuan untuk melindungi kepentingan umum
atau kepentingan masayarakat.[7]
Yang dimaksud dengan “kepentingan hukum atau hak hukum” yang harus dilindungi oleh undang-undang
yaitu:
a.
Jiwa/nyawa seseorang
b.
Badan seseorang
(fisik)
c.
Kehormatan seseorang
d.
Kesusilaan seseorang
e.
Kemerdekaan seseorang
(agama, kepercayaan, dan politik)
f.
Harta benda seseorang
Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) diatur macam-macam hukuman (pidana), yaitu hukuman pokok dan hukuman
tambahan.
Macam-macam hukuman
pokok yaitu:
a.
hukuman mati
b.
hukuman penjara
c.
hukuman tutupan
d.
hukuman denda
Yang termasuk hukuman tambahan yaitu:
a.
pencabutan hak-hak
tertentu
b.
perampasan bang-barang
tertentu
c.
pemgumuman keputusan
hakim
4.
Asas Hukum Pidana
Asas hukum pidana dalam KUHP Indonesia itu
antara lain asas “legalitas” dengan
semboyan yang berbunyi “Nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali”
yang artinya, tidak ada tindak pidana tidak
ada hukuman, kecuali ada undang-undangnya lebih dahulu.Atau dengan kalimat
lain, bahwa perbuatan pidana tidak dapat dihukum, bilamana tidak ada
undang-undang yang mengaturnya lebih dahulu. Adagium tersebut tercantum dalam
pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan:
“Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas
kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang ditetapkan terlebih dahulu
daripada perbuatan itu” (Geen feit is
strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling)
terjemahan bebas “ tidak ada
perbuatan pidana, apabila tidak diatur lebih dahulu dalam undang-undang”.
Ketentuan di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP itu
dikenal sebagai “asas legalitas” yang mempunyai dua makna yakni :
1.
untuk kepastian hukum, bahwa undang-undang hanya
berlaku untuk kedepan dan tidak berlaku surut (asas non retroactive);
2.
untuk kepastian hukum, bahwa sumber hukum pidana
tiada lain dari undang-undang ( ketentuan hukum umum/lex generalis).
Ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP di atas
dikecualikan di dalam yang tersebut dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbuyi:
“Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah waktu
dilakukan perbuatan itu, maka dipakailah ketentuan yang lebih meringankan bagi tersangka”.
Pasal 1 ayat (2) KUHP ini merupakan ketentuan
khusus yang menyampingkan pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai ketentuan umum. Dikenal
dengan asas lex specialis derogat lex generalis.
5.
Sistematika KUHP
KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu:
1.
Buku pertama : memuat peraturan umum (pasal 1 - 103)
2.
Buku kedua : memuat kejahatan-kejahatan (pasal 104 -
488)
3.
Buku ketiga : memuat pelanggaran-pelaggaran (pasal
489 569)
6.
Teori-teori Hukum Pidana
Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa
pelanggaran-pelanggaran terhadap keharusan atau larangan-larangan yang
ditetapkan negara dalam hukum pidana diancam dengan hukuman. Negara dapat
menangkap orang atau memasukkannya dalam penjara, menjatuhkan hukuman mati,
menyita hartanya dan lain-lain. Ini sebenarnya merupakan tindakan-tindakan yang
luar biasa dari negara terhadap diri seseorang. Padahal hukum itu bermaksud
melindungi jiwa orang, kemerdekaannya dan harta bendanya.
Maka dari itu sikap negara dengan menjatuhkan
hukuman yang berupa siksaan itu dapat dibenarkan, sehingga dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana timbul persoalan:
1.
Berdasarkan apakah negara boleh menghukum?
2.
Apa maksud hukuman
itu?
Jawaban itu diberikan oleh ahli-ahli filsafat hukum dalam
beberapa teori, yaitu:
1)
Teori Mutlak atau
Teori Pembalasan (vergeldings theorien)
Sampai akhir abad ke-8 dan
abad ke-19 penjatuhan hukuman itu berdasarkan pembalasan terhadap kejahatan
yang telah dilakukan oleh seseorang. Dasar hukuman itu terletak dalam kejahatan
itu sendiri, yang megakibatkan hukuman pidana.
Teori ini sebenarnya adalah
suatu teori yang berdasarkan pada anggapan “hutang jiwa harus dibayar dengan
jiwa” dan “hutang darah harus dibayar dengan darah”. Dasar ini disebut “talio” (denda darah). Lambat laun
kekejaman itu dapat dihindarkan dengan penggantian kerugian, yaitu dengan denda
atau dengan penjara.
2)
Teori Relatif atau
Tujuan (doeltheorien)
Pengertian dalam teori
relative ini berbeda sekali dengan teori absolut (mutlak). Kalau dalam teori
mutlak, perbuatan pidana dihubungkan dengan kejahatan, maka teori relative
ditujukan kepada hari-hari yang akan datang, yaitu dengan maksud mendidik orang
yang telah berbuat jahat tadi, agar menjadi orang baik kembali.
Mengenai tujuan-tujuan
hukuman itu ada tiga macam teori yaitu:
1.
Untuk menakuti
Teori dari Aselm von Feurbach, hukuman itu
harus diberikan sedemikian rupa, sehingga orang takut untuk menjalankan
kejahatan. Akibat dari teori itu ialah, hukuman harus diberikan
seberat-beratnya dan kadang-kadang merupakan siksaan.
2.
Untuk memperbaiki
Hukuman yang dijatuhkan dengan tujuan untuk
memperbaiki si terhukum, sehingga di kemudian hari ia menjadi orang yang
berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar lagi peraturan-peraturan hukum
(ajaran prevensi khusus).
3.
Untuk melindungi
Tujuan hukum ialah melindungi masyarakat
terhadap perbuatan-perbuatan jahat. Dengan diasingkannya si penjahat itu untuk
sementara, masyarakat dilindungi dari perbuatan-perbuatan jahat orang itu
(ajaran prevensi umum).
3)
Teori Gabungan
(verenigingstheorien)
Teori ini tidak
menitikberatkan atau menganggap sebagai dasar hukuman semata-mata pembalasan saja
(teori absolut) atau pemulihan kerugian dan pemeliharaan ketertiban umum dalam suatu masyarakat,
melainkan berpendirian, bahwa hukuman itu dijatuhkan oleh negara berdasar asas
keadilan, dan dipertahankannya kesejahteraan bersama dalam masyarakat (di Indonesia
yang dianut ialah teori gabungan).
7.
Perbuatan yang Dapat Dihukum
Perbuatan yang dapat dihukum dapat disebut
dengan beberapa istilah lain, yaitu: tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan
pidana dan delict.
Delict ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya
yang dilakukan dengan sengaja atau (salah atau “schuld”) oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut definisi tersebut ada beberapa anasir
yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.
perbuatan manusia
2.
perbuatan itu harus
sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum
3.
harus terbukti adanya
“dosa” (salah) pada orang yang
berbuat, yaitu orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
4.
perbuatan itu harus
bertentangan dengan hukum
5.
terhadap perbuatan itu
harus bersedia ancaman hukumannya di dalam undang-undang.
8.
Macam-macam Delik
Delik dapat dibagi dalam beberapa macam, yaitu:
(1)
Menurut cara
penuntutannya.
a.
Delik aduan (klacht delict) yaitu suatu delik yang
diadili, apabila yang berkepentingan (yang dirugikan) mengadunya kepada
polisi/penyidik.
Bila tidak ada pengaduan maka penyidik tidak
akan mengadakan penyidikan dan membuatkan Berita Acara Pemeriksaan.
b.
Delik biasa, yaitu
perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan, melainkan
laporan.
(2)
Menurut jumlah
perbuatan pidananya.
a.
Delik Tunggal (enkelvoudig delicten) yaitu delik yang terdiri dari satu perbuatan
saja.
b.
Delik berangkai (samengestelde delicten) adalah
perbuatan yang terdiri dari beberapa delik.
(3)
Menurut tindakan atau
akibatnya.
a.
Delik material, yaitu
suatu delik yang dilarang oleh undang-undang ialah “akibatnya”, misalnya dalam pembunuhan pasal 338 KUHP.
Dalam pasal tersebut tidak dinyatakan perbuatan
apa yang dilakukan, tetapi hanya akibatnya (matinya orang lain) yang dilarang.
b.
Delik formal,
kejahatan itu selesai, kalau “perbuatan”
sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah dilakukan.
Contoh: kasus pencurian pasal 363 KUHP
Dalam pasal ini dilarang “mengambil barang orang lain” dengan tidak sah atau tanpa hak.
Perbuatannya ialah “mengambil”. Dengan selesainya perbuatan itu terjadilah kejahatan
pencurian.
(4)
Menurut ada tidaknya
perbuatan.
a.
Delik Komisi (commissiedelicten/delicta commissionis)
ialah delik yang dilakukan dengan perbuatan.Di sini seseorang melakukan
perbuatan aktif dengan melanggar larangan. Delik ini dapat berwujud delik
material maupun formal.
b.
Delik Omisi (ommissiedelicten/delicta ommissie) ialah
dilakukan dengan membiarkan atau mengabaikan yang seharusnya dilakukan (perintah).Delik
ini perbuatannya pasif (diam).
(5)
Delik yang berdiri
sendiri dan delik yang diteruskan (zelfstandige
en voorgezette delicten), dapat dibaca tentang uraian gabungan delik
atau perbarengan (samenloop) dan
pasal 63 s/d. 70 KUHP.
(6)
Delik selesai dan delik berlanjut (aflopende en voortdurende delicten).
Delik selesai (aflopende delicten) adalah delik terjadi dengan melakukan satu atau
beberapa perbuatan saja. Delik berlanjut (voortdurende
delicten) atau delik yang berlangsung terus adalah delik yang terjadi
karena meneruskan suatu perbuatan yang dilarang, contoh: merampas kemerdekaan
seseorang terus menerus/menyekap (pasal 333 KUHP), menjadi mucikari (pasal
506).
(7)
Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (Doleuse en culpose delicten).Delik Sengaja (doleuse
delicten) adalah terjadinya perbuatan pidana karena dilakukan dengan
sengaja. Delik kelalaian (culpose
delicten) adalah terjadinya perbuatan pidana karena kelalaian (culpa).
(8)
Delik propria dan
delik komun atau umum (delicta propria en
commune delicten). Delicta
Propria (Propria delicten) adalah
perbuatan pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
kualitas tertentu, misalnya delik jabatan, delik korupsi, delik militer.
Delicta commune (commune delicten)
adalah perbuatan pidana dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.
9.
Alasan Penghapus Hukuman
Di dalam hukum pidana kita mengenal
perbuatan-perbuatan pidana yang merupakan pelanggaran/kejahatan yang tidak
dapat dihukum. Tentang tidak dapat dihukumnya ini disebabkan karena beberapa
hal, yaitu:
a.
Karena sebab yang ada
pada diri orang itu sendiri, tercantum dalam pasal 44 ayat (1) KUHP.
“Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan,
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya
atau karena sakit berubah akal, tidak boleh dihukum”
b.
Karena sebab dari luar
keadaan si pembuat. Sesuatu perbuatan tidak dapat dihukum karena sebab/oleh
keadaan sekitarnya (uitwendige ooraak), yang termasuk di sini adalah:
1)
dalam keadaan berat
lawan (overmacht) dalam pasal 48
KUHP;
2)
dalam keadaan darurat
(noodtoestand) dalam pasal 49 (2)
KUHP
3)
karena pembelaan
terpaksa (noodweer) dalam pasal 49
(1) KUHP
4)
karena melaksanakan
peraturan perundang-undangan. (Pasal 50 KUHP)
5)
karena melaksanakan
perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).
10.
Deelneming
Pengertian “turut serta” (ikut serta,
bersama-sama) melakukan perbuatan pidana
(delict) dapat dilakukan oleh
beberapa orang bersama-sama. Turut serta (deelneming)
dari beberapa orang di dalam perbuatan pidana dapat merupakan kerja-sama, yang
masing-masing dapat berbeda-beda sifat dan bentuknya.
Dalam Pasal 55 KUHP yang dianggap pelaku itu
ialah:
1.
Orang yang melakukan (pleger)
Orang ini ialah seorang yang sendirian telah
berbuat mewujudkan segala anasir delik.
2.
Orang yang menyuruh
melakukan (doen pleger)
Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh
(doen pleger) dan yang disuruh atau
pelaksana (pleger)
3.
Orang yang turut
melakukan (medepleger)
“Turut melakukan” dalam arti kata bersama-sama
melakukan. Sedikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) perbuatan pidana itu.
4.
Orang yang membujuk
melakukan (uitlokker)
Orang dengan sengaja memberi
kesempatan/bantuan, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya
dengan sengaja membujuk melakukan suatu perbuatan pidana (uitlokking).
Pasal 56 KUHP, disebut mereka yang “membantu” (medeplichtige) atau golongan “gehilfe”, yang melakukan delik;
Ayat (1). Barangsiapa dengan sengaja membatu melakukan
kejahatan.
Ayat (2). Barangsiapa dengan sengaja memberi
kesempatan, daya upaya, keterangan untuk melakukan kejahatan.
11.
Samenloop
Dalam hal “turut serta” (deelneming) digambarkan, bahwa ada beberapa orang melakukan satu
peristiwa pidana. Sebaliknya, dalam “gabungan” (samenloop) melakukan perbuatan pidana adalah menggambarkan bagaimana
harus diselesaikan, apabila ada satu orang melakukan beberapa perbuatan pidana.
Selain itu
dikenal pengulangan perbuatan
pidana atau “mengulangi” (recidive)
tindak pidana yang menggambarkan pula satu orang telah melakukan beberapa
tindak pidana, tetapi perbedaannya:
a.
dalam “samenloop” beberapa perbuatan pidana
yang dilakukan, yang satu dengan yang lainnya belum pernah ada putusan hakim
(vonis);
b.
dalam “recidive” antara melakukan perbuatan
pidana yang satu dengan yang lain sudah ada putusan hakim (vonis).
Gabungan tindak pidana (samenloop atau concursus)
ada tiga macam, antara lain:
1.
Gabungan satu
perbuatan (eendaadsche samenloop atau
concursus idealis), tercantum dalam
pasal 63 KUHP;
2.
Perbuatan yang
diteruskan (voorgezette - handeling)
tercantum dalam pasal 64 KUHP;
3.
Gabungan beberapa
perbuatan (meerdaadsche samenloop
atau concursus realis) tercantum dalam pasal 65 dan 66 KUHP.
12.
Recidive
Recidive atau pengulangan perbuatan pidana adalah apabila seseorang
telah melakukan kejahatan atau pelanggaran dan telah dijatuhi hukuman (vonis)
dan hukuman itu telah dijalankan, kemudian ia melakukan lagi kejahatan lain.
Pembuat undang-undang memandang perlu untuk
menghukum orang yang telah lebih dari satu kali melakukan delik, yang biasanya
disebut “penjahat kambuhan” atau “recidivist”
lebih berat daripada penjahat yang baru pertama kali berbuat kejahatan.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada 2
macam recidive:
1.
Peraturan recidive
umum (generale recidive), dimana
tidak diperhatikan sifatnya perbuatan pidana yang diulangi, artinya asal saja
terdakwa kembali melakukan perbuatan pidana dari macam apapun.
2.
Peraturan recidive
yang bersifat khusus, (speciale recidive),
diatur khusus dalam pasalnya sendiri-sendiri, dan umumnya mengenai pelanggaran-pelanggaran
(pasal-pasal 489 ayat (2); 492 ayat (2) KUHP dan lain-lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar