BAB VII
DASAR-DASAR HUKUM
PERDATA
1.
Pengertian Hukum Perdata
Hukum perdata yang dimaksud dalam bab ini
adalah hukum perdata material (bukan hukum perdata formal), adalah keseluruhan
peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara kepentingan
perseorangan. Dengan pengertian lain hukum perdata adalah segala peraturan atau
hukum yang mengatur hak dan kewajiban dalam hubungan antara perseorangan yang
mengutamakan kepentingan pribadi.
Hukum perdata adalah segala hukum pokok yang
mengatur kepentingan-kepentingan perorangan.[1]
Hukum Perdata, sebagai hukum yang mengatur
kepentingan perseorangan.[2]
Hukum Perdata, ialah hukum yang mengatur
kepentingan antarara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara
perseorangan yang lain.[3]
2.
Sejarah Hukum Perdata di Indonesia
Sumber pokok Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) disingkat KUH Perdata (B.W.)
Burgerlijk
Wetboek (B.W.) sebagian besar isinya
adalah hukum perdata Perancis (Code
Civil) yaitu bagian dari Code Napoleon tahun 1811 - 1838. Akibat pendudukan
Perancis di Belanda, Code Napolen (Code
Civil) diberlakukan secara resmi di Negeri Belanda sebagai Kitab Undang-undang
Hukum Sipil. Sebagai bagian dari Code Napoleon, penyusunan Code Civil mengambil bahan-bahan hukum dan pendapat
hukum dari buku-buku/ literatur pengarang-pengarang bangsa Perancis tentang
hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu dahulu dianggap sebagai
hukum yang paling sempurna. Selain itu juga diambil dari unsur-unsur hukum
kanonik (hukum agama katolik) dan pengaruh hukum kebiasaan setempat.
Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman
Romawi, tidak dimasukkan dalam Code Civil, tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code
de Commerce.
Setelah pendudukan Perancis berakhir, oleh
Pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper
yang bertugas membuat rencana kodifikasi Hukum Sipil Belanda, dengan
menggunakan “Code Civil” Perancis (Napoleon)
sebagai sumber material hukum dan sebagian kecil dari hukum Belanda
Kuno.
Meskipun penyusunan tersebut sudah selesai
sebelum 5 Juli 1830, tetapi Hukum Sipil Belanda baru diresmikan dan
diberlakukan di negara Belanda pada tanggal 1 Oktober 1838.
Hukum Sipil Belanda yang diberlakukan tersebut terdiri dari :
1.
Burgerlijk Wetboek ( B.W.)
atau KUH Perdata;
2.
Wetboek van Koophandel
( W. v. K.) atau KUH Dagang (KUHD).
Berdasarkan asas konkordansi, maka Kodifikasi
Hukum Sipil Belanda (Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel) diumumkan pada tanggal 30-4-1847 Staatblad
No. 23 dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 di Indonesia (Hindia
Belanda).
3.
Kedudukan KUH Perdata
Setelah Indonesia menjadi negara yang
merdeka sejak pernyataan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945,
maka berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengalami banyak perubahan. Perubahan yang
dimaksudkan karena banyaknya pasal-pasal di dalam KUH Perdata (B.W) dicabut oleh undang-undang
yang sama atau sejenis atau dinyatakan tidak berlaku karena tidak sesuai dengan
alam pikiran atau kesadaran hukum bangsa Indonesia yang modern dan religius.
Dalam perihal berlakunya B.W. setelah Indonesia menjadi negara yang
merdeka dan berdaulat saat ini ada beberapa penyebab atau momen yang mengakibatkan pasal-pasal B.W. tidak
berlaku, yakni antara lain :
1.
Gagasan Menteri
Kehakiman R.I. Dr. Sahardjo, yang berpendapat bahwa, B.W. dianggap tidak lagi
sebagai undang-undang, melainkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis yang
hanya dipakai sebagai pedoman oleh semua warga negara Indonesia.
2.
Prof. Mahadi, SH
berpendapat bahwa, B.W. sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi; yang masih
berlaku ialah aturan-aturannya yang tidak bertentangan dengan semangat
serta suasana kemerdekaan; diserahkan
kepada yurisprudensi dan doktrin untuk menetapkan aturan mana yang masih
berlaku dan yang tidak berlaku; tidak setuju dilakukan tindakan legislatif
tehadap B.W. untuk dicabut, dan menjadikannya hukum kebiasaan, karena masih ada
aturan-aturan dalam B.W. yang di kemudian hari menjadi hukum nasional yang
tertulis dalam bentuk undang-undang.
3.
Prof. Wiryono
Prodjodikoro, sependapat dengan gagasan Menteri Kehakiman R.I.
tersebut, dengan mengusulkan pencabutan B.W. tidak dengan undang-undang
melainkan dengan suatu pernyataan dari
Pemerintah atau dari Mahkamah Agung.
4.
Berdasarkan gagasan
para ahli hukum tersebut, maka pada tanggal 5 Sepember 1963, Mahkamah Agung R.I.
mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3
Tahun 1963, selanjutnya disingkat
SEMA. SEMA tersebut mencabut beberapa pasal B.W. yang dianggap tidak sesuai
dengan zaman kemerdekaan Indonesia .
Pasal-pasal B.W. yang dicabut oleh SEMA No. 3 Tahun 1963 terdiri dari 8 (delapan)
pasal antara lain pasal 108 dan 110,
pasal 284 (ayat 3), pasal 1238, pasal 1460, pasal 1579, pasal 1603 x ayat (1)
dan ayat (2), dan pasal 1682 B.W.
5.
Diberlakukannya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Dengan dikeluarkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960 , maka Buku II B.W. yang mengatur tentang
benda tidak bergerak atau megenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dinyatakan tidak berlaku,
kecuali hipotik masih tetap berlaku.
6.
Diberlakukannya
Undang-Undang No. 4 Tahun 1961 tentang Penggantian Nama. Berdasarkan
Undang-undang tersebut maka Buku I B.W. yang mengatur tentang nama dinyatakan
tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1961.
7.
Diberlakukannya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan diberlakukannya Undang-undang
Perkawinan ini, maka Buku I B.W. yang mengatur perkawinan dan pendewasaan (handlichting) dinyatakan dicabut atau
tidak berlaku. Pasal-pasal yang dicabut dengan berlakunya Undang-undang
Perkawinan adalah pasal 26s/d. pasal 418a (tentang perkawinan dan perceraian),
pasal 419 s/d. pasal 432 tentang pendewasaan (handlichting).
8.
Dengan diberlakukannya
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, maka
pasal-pasal hipotik dalam Buku II B.W. yang obyeknya tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan dicabut atau tidak berlaku.
Dengan demikian obyek hipotik, sekarang tinggal benda-benda tetap yang bukan
tanah (misal: kapal laut, pesawat udara, yang isi muatannya 20m3
atau lebih).
4.
Sistematika Hukum Perdata
Sistematika hukum perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau
disingkat KUH Perdata atau yang lebih dikenal dengan Burgerlijk Wetboek
disigkat (B.W).
KUH Perdata (B.W.) terdiri atas 4 (empat) Buku, yaitu:
a.
Buku I, tentang Orang
(van Personen), memuat Hukum
Perseorangan dan Hukum Kekeluargaan;
b.
Buku II, tentang Benda (van Zaken), memuat Hukum
Benda dan Hukum Waris;
c.
Buku III, tentang Perikatan (van Verbintennissen), memuat Hukum harta kekayaan yang mengenai hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak
tertentu;
d.
Buku IV, tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa atau Lewat
Waktu (van Bewijs en Verjaring), yang memuat ketentuan alat-alat bukti dan
akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
Menurut Ilmu Pengetahuan, Sistematika Hukum
Perdata dibagi dalam 4 (empat) bagian, yaitu:
1.
Hukum Perorangan (Personenrecht) yang memuat antara lain:
a.
peraturan-peraturan
tentang manusia sebagai subyek hukum;
b.
peraturan-peraturan
tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri
melaksanakan hak-haknya, serta hal-hal yang mempengruhi kecakapan-kecakapan
itu.
2.
Hukum Keluarga (Familierecht) yang memuat antara lain:
a.
perkawinan beserta
hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/isteri;
b.
hubungan antara orang
tua dan anak-anaknya (kekuasaan orang tua (ouderlijke
macht);
c.
perwalian (voogdij);
d.
pengampuan (curatele)
3.
Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), yang mengatur tentang
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang.
Hukum Harta Kekayaan
meliputi:
a.
hak mutlak (absolute rechten) yaitu kekuasaan
(kewenangan) hukum yang berlaku terhadap setiap orang.
b.
hak perorangan (relatieve rechten) yaitu keuasaan
(kewenangan) hukum yang berlaku terhadap orang-orang tertentu.
4.
Hukum waris (Erfrecht), yang mengatur tentang benda
atau kekayaan seorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat dari
hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang).
5.
Hukum Perorangan
Hukum tentang orang mengatur tentang orang
(nama orang, tempat tinggal, kecakapan hukum) dan badan hukum sebagai subyek
hukum.
Berlakunya seorang manusia sebagai pembawa hak
(subyek hukum ialah mulai saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia
meninggal dunia).
Hukum Perdata mengatur seluruh segi kehidupan
manusia sejak ia belum lahir dan masih dalam kandungan ibunya sampai meninggal
dunia. Menurut pasal 2 ayat (1) KUH Perdata (B.W.) bahwa “Anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, apabila kepentingan si anak
menghendakinya”.
Dengan demikian seorang anak yang masih dalam
kandungan ibunya sudah dijamin untuk mendapat warisan jika ayahnya meninggal
dunia.
Selanjutnya pasal 2 ayat (2) B.W. menyatakan bahwa,
apabila ia dilahirkan mati maka ia dianggap tidak pernah ada.
Dari pasal 2 B.W. dapat diketahui bahwa manusia
sejak dalam kadungan haknya telah diakui dan dilindungi oleh hukum. Dengan
demikian menurut hukum perdata nasional bahwa, setiap manusia diakui sebagai
manusia pribadi. Artinya diakui sebagai “orang” atau “persoon”. Oleh karena itu
setiap “orang” diakui sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid),
yaitu pembawa hak dan kewajiban.
Meskipun menurut hukum, setiap orang pembawa
atau mempunyai hak dan kewajiban, tetapi di dalam hukum tidak semua orang dapat
bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya. Orang yang “tidak mampu
bertindak” sendiri untuk melaksanakan hak-haknya, disebut tidak cakap menurut hukum atau “tidak cakap hukum” (onrechtsbekwaamheid/in capable).
Orang yang menurut undang-undang dinyatakan
tidak mampu bertindak menurut hukum atau “tidak cakap hukum” (onrechtsbekwaamheid) ialah :
a.
orang yang belum
dewasa, yaitu yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah nikah/kawin
(pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 1330 B.W.); untuk melakukan perbuatan
hukum orang ini harus diwakili oleh orang tua/walinya;
b.
orang yang berada
dibawah pengawasan atau pengampuan (curatele), dia orang dewasa tetapi dungu,
sakit ingatan, suka gelap mata, sakit jiwa, pemboros
atau tidak sehat jiwanya (Pasal 1330 jo 433 B.W.); dalam melakukan
perbuatan hukum dia harus diwakili oleh pengampunya (curatornya);
c.
orang-orang yang
dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum atau perjanjian
(Pasal 1330 B.W. jo. Undang-Undang tentang Kepailitan).
Orang yang “cakap hukum” atau “mampu berbuat
atau bertindak” menurut hukum (rechtsbekwaamheid/capable) adalah
orang-orang yang dapat atau mampu melakukan perbuatan hukum. Orang-orang yang
“cakap hukum” antara lain : (a) orang dewasa atau sudah pernah nikah/kawin; (b)
orang dewasa yang sehat pikiran/jiwanya (tidak dungu, bukan pemabok, tidak pemboros); dan (c) orang-orang yang tidak dilarang oleh
undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum.
Orang yang cakap hukum (rechtsbekwaamheid/capable),
disebut “subyek hukum” atau “pendukung hak dan kewajiban”, karena tidak hanya pembawa
hak dan kewajiban saja, tetapi juga
mempunyai kemampuan untuk bertindak dalam hukum.
Jadi subyek hukum adalah siapa saja yang
mempunyai hak dan kewajiban serta cakap bertindak di dalam hukum, atau dengan
kata lain bahwa, siapa yang cakap hukum adalah mempunyai hak dan kewajiban. Orang
yang mempunyai hak belum tentu cakap hukum karena tidak mempunyai kewajiban (contoh
: orang gila, budak-budak belian di zaman dahulu)
Orang yang cakap hukum (rechtsbekwaamheid/capable) belum tentu berwenang atau berhak untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid/competent).
Supaya berwenang melakukan perbuatan hukum
orang yang cakap hukum (rechtsbekwaamheid/capable)
harus dipenuhi syarat khusus yakni “rechtsbevoegdheid”,
apabila tidak dipenuhi, berarti belum berwenang (onrechtsbevoegdheid/in competent).
Selain orang
atau manusia (natuurlijkepersoon)
sebagai subyek hukum, adalah badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan dipandang
sebagai subyek hukum yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan
perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Badan-badan dan
perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam
lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat
di Pengadilan. Badan hukum sebagai
subyek hukum diperlakukan sama seperti subyek hukum “orang”.
Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan tersebut
dinamakan Badan Hukum (Rechtspersoon),
artinya orang (persoon) yang
diciptakan oleh hukum. Badan hukum
dibedakan antara Badan Hukum Publik (misal: Negara, Propinsi,
Kabupaten), dan Badan Hukum Privat (misal: Perseroan terbatas, Koperasi,
Yayasan/Stichting, Wakaf), dan lain-lain.
Untuk
dapat disebut sebagai Badan Hukum harus dipenuhi persyaratan formal dan
material.
Syarat-syarat
formal Badan Hukum antara lain : (1).
badan hukum harus didirikan dengan akta notaris; (2) Mempunyai Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga; (3) disahkan oleh Menteri yang berwenang, (sekarang
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia);
(4) diumumkan dalam Berita Negara; (5) didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang berwenang.
Syarat-syarat
material Badan Hukum adalah : (1) harus
ada pemisahan yang jelas antara kekayaan Badan Hukum dengan kekayaan pribadi
pengurus/anggotanya; (2) harus mempunyai tujuan tertentu yang ideal; (3) harus
mempunyai kepentingan tertentu; (4) harus pempunyai susunan organisasi dan
kepengurusan; (5) mempunyai tempat kedudukan/domisili hukum dan wilayah
operasional Badan Hukum.
6.
Hukum Keluarga
Hukum keluarga memuat segala peraturan-peraturan
hukum yang timbul dari pergaulan hidup suatu keluarga. Keluarga (dalam arti
sempit) adalah kesatuan mayarakat kecil yang terdiri dari suami-isteri dan anak
yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Dalam pengertian yang luas, adalah
apabila dalam satu tempat tinggal itu berdiam pula pihak lain sebagai akibat
perkawinan, maka berkumpullah anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang
yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan karena pertalian darah.
Keluarga dalam arti luas dapat terdiri
dari kakek/nenek, suami-isteri, anak-menantu bahkan cucu.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, sebagian besar pasal-pasal hukum keluarga di dalam B.W. dinyatakan tidak
berlaku.
Pembahasan Hukum keluarga, dalam pembahasan
berikut ini ditekankan pada Hukum
Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP).
1.
Kekuasaan Orang
Tua Menurut UU.No. 1 Tahun 1974
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua memelihara dan mendidik
anak-anak-nya sampai anak telah menikah atau telah mampu mandiri.
Kewajiban orang tua terhadap anak-anak mereka
juga tetap berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus (Pasal 45).
Setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang
tuanya, dan mentaati kehendak orang tua yang baik. Jika anak telah dewasa
berkewajiban memelihara kedua orang tua dan keluarga garis lurus ke atas
menurut kemampuannya, bila orang tua memerlukan bantuan si anak (Pasal 46 ).
Setiap anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan, selama anak belum
berusia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 47).
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak
atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimilikinya anaknya yang belum
berumur 18 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan, kecual kepentingan
anak menghendaknya (Pasal 48).
Orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, juga
apabila berkelakuan sangat buruk sehingga dapat merugikan kepentingan atau masa
depan anaknya.
Apabila asalah seorang atau kedua orang tua
dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih, mereka masih tetap
berkewajiban memberi biaya pemeliharaan kepada anak-anak mereka (Pasal 49).
Jadi segala hak dan kewajiban yang timbul antara
hubungan anak dengan orang tua dan akibat-akibat putusnya perkawinan orang tua,
kekuasaan orang tua terhadap si anak dan harta bendanya, pencabutan dan pemecatan kekuasaan orang tua, kewajiban
timbal balik antara orang tua dan anak tersebut kesemuanya telah diatur dalam
peraturan tentang kekuasaan orang tua dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UUP).
2.
Perwalian Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Perwalian adalah pengawasan atau
pengurusan terhadap pribadi anak
dibawah umur atau belum dewasa yang tidak di bawah kekuasaan orang tua
serta pengurusan harta benda anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak di bawah kekuasaan orang tuanya,
berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian yang dimaksud adalah mengenai pribadi
anak maupun harta bendanya (Pasal 50).
Wali wajib mengurus peribadi anak yang ada di
bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama
dan kepecayaan si anak. Wali berkewajiban membuat daftar harta benda anak yang
berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai tugasnya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda si anak atau anak-anak itu (Pasal 51 ayat (3)
dan (4).
Wali juga dilarang memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki si anak yang belum berumur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan
si anak menghendakinya (Pasal 52 jo. Pasal 48).
Wali dapat dicabut kekuasannya apabila sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anak yang di bawah kekuasannya; juga
apabila wali berkelakuan buruk sekali.
Apabila kekuasaan wali dicabut, maka Pengadilan dapat menunjuk orang lain
sebagai wali (Pasal 53 jo. Pasal 49).
Wali yang menyebabkan kerugian kepada harta
benda si anak yang dibawah kekuasannya, atas gugatan/tuntutan si anak atau
keluarganya dengan keputusan Pengadilan wajib mengganti kerugian tersebut
(Pasal 54).
Wali ditetapkan oleh Pengadilan atau dapat pula
karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal; sedapat mungkin wali diangkat
dari keluarga terdekat atau dari orang-orang yang mempunyai pertalian darah
terdekat dengan si anak atau orangtuanya yang karena sesuatu hal telah bercerai
atau saudara-saudaranya yang dianggap cakap (dewasa, berpikiran sehat, jujur,
adil berkelakuan baik) sebagai wali (Pasal 51 ayat (1) dan (2).
Perwalian dapat terjadi karena :
(1)
perkawinan orang tua
putus yang disebabkan oleh salah
seorang meninggal dunia atau karena
bercerai;
(2)
kekuasaan orang tua dicabut,
maka Pengadilan/ Hakim dapat mengangkat orang lain sebagai wali.
Ada tiga macam perwalian terhadap si anak,
yakni :
(1)
Perwalian karena
undang-undang, adalah perwalian yang
ditentukan oleh undang-undang untuk mengurus kepentingan si anak; misal
: apabila salah satu orang tua meninggal, maka yang menjadi wali adalah orang
tua yang masih hidup;
(2)
Perwalian karena
wasiat, yaitu perwalian yang ditunjuk berdasarkan wasiat atau diwasiatkan oleh
orang tua si anak sebelum orang tuanya meninggal;
(3)
Perwalian Keputusan
Pngadilan, artinya penunjukan wali oleh Hakim atau berdasarkan keputusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3.
Pengampuan
(Curatele Pasal 433 s/d.462 B.W.)
Lembaga
Pengampuan (Curatele) ini
tidak dicabut oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Lembaga
Pengampuan masih diperlukan untuk masa sekarang atau mendatang, meskipun dalam
praktek lembaga ini tidak banyak berperanan atau diperlukan di masyarakat.
Curatele adalah suatu pengawasan terhadap orang
dewasa yang karena keadaan tertentu tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri
secara wajar.
Pengampuan dilakukan terhadap orang dewasa karna (1) sakit ingatan, (2) pemboros,
(3) lemah daya pikirnya (4) pemabok yang menjadi kebiasaan. Pengampuan
dilakukan karena orang yang bersangkutan
tidak sanggup mengurus kepentingannya sendiri dengan semestinya, atau disebabkan kelakuan buruk di luar batas
sehingga dapat mengganggu keamanan. Oleh
karena itu diperlukan adanya Pengampu (kurator).
Orang yang di ampu (di bawah pengampuan) disebut “kurandus”. Orang yang dibawah pengampuan (kurandus) kedudukannya disamakan dengan orang belum dewasa.
Biasanya suami menjadi pengampu isterinya atau sebaliknya. Pengadilan
dapat mengangkat orang lain atau
perkumpulan-perkumpulan menjadi pengampu (curator).
Balai Harta Peninggalan dapat menjadi pengampu atas harta benda kurandus atau
pemberi ijin bilamana kurandus ingin melangsungkan perkawinan.
Penetapan di bawah pngampuan dapat dimintakan
oleh suami atau istri keluarga sedarah. Kejaksaan dan dalam hal lemah daya
ingat atau pikiran hanya boleh atas permintaan yang berkepentingan saja.
Pengampuan berakhir apabila alasan-alasan yang
menyebabkan pengampuan sudah tidak ada
lagi (artinya kurandus sudah sembuh/sehat atau normal). Bagi anak atau orang
yang belum dewasa yang dalam keadaan dungu, sakit otak atau gelap mata, tidak
boleh ditempatkan di bawah pengampuan (curatele),
melainkan tetap dalam pengawasan orang tuanya atau walinya.
4.
Hukum Perkawinan
menurut Hukum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Hukum perkawinan ialah peraturan-peraturan
hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua
pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan tujuan hidup bersama
sebagai suami-isteri untuk waktu yang lama menurut ketentuan yang ditetapkan
dalam undang-undang.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (UUP), maka
hukum nasional (hukum positip) yang mengatur tentang perawinan, perceraian dan
akibat hukumya adalah yang diatur oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Perundang-undangan perkawinan yang berlaku
sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dinyatakan dicabut atau
tidak berlaku sepanjang sudah diatur dan tidak bertentangan dengan UUP ini.
.
5.
Dasar-dasar Perkawinan
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UUP) ditentukan asas-asas mengenai perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yan telah disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas
yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:
a.
Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan
melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b.
Sahnya Perkawinan
Dalam UU. No. 1 Tahun 1974 ditentukan, bahwa
suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut aturan perundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
c.
Asas Monogami
UU. No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami;
hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari
seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang
isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan
oleh Pengadilan.
d.
Usia Perkawinan
Undang-undang perkawinan menganut asas bahwa,
calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tidak
berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu
harus dicegah adanya perkawinan di bawah umur. Berhubung dengan itu, maka
undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin, yaitu 19 (sembilan belas)
tahun bagi pria dan, 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
e.
Mempersukar terjadinya
perceraian
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka UU. No.1 Tahun 1974 menganut
prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian
harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan.
f.
Hak dan kedudukan
isteri
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.
6.
Jaminan Kepastian
Hukum
Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan
berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum
undang-undang ini berlaku, yang dilakukan berdasarkan hukum yang telah ada adalah sah. Demikian
pula apabila mengenai sesuatu hal tidak diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1974,
dengan sendirinya berlaku ketentuan yang sudah ada.
7.
Pengertian
Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa (Pasal 1 UUP).
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana
Sila yang pertamanya ialah ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian, tetapi unsur batin/rokhani juga
mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia, erat hubungan
dengan keturunan, pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi kewajiban orang tua adalah merupakan tujuan
perkawinan.
8.
Syarat Sahnya
Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) UUP menetapkan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini,
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan
agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam undang-undang perkawinan.
Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakan menurut
ketentuan pasal 2 ayat (1) UUP dicatat menurut peraturan perundangan yang
berlaku (Pasal 2 ayat 2).
9.
Asas Monogami
dalam Perkawinan
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami (Pasal 3 ayat (1). Dari ketentuan ini jelaslah, bahwa
Undang-undang Perkawinan ini menganut asas monogami; namun dalam pasal 3 ayat
(2) UUP ditegaskan, bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Adapun yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam
pasal 3 ayat (2), menurut pasal 63 UUP ialah :
a.
Pengadilan Agama bagi
mereka yang beragama Islam;
b.
Pengadilan umum bagi
lainnya.
Pengadilan yang bersangkutan dalam memberi
putusan selain memeriksa apakah syarat untuk dapat beristeri lebih dari seorang
(tersebut dalam pasal 4 dan pasal 5 UUP) telah dipenuhi, harus mengingat pula
apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya
poligami.
Menurut ketentuan pasal 4 ayat (1) UUP, bahwa
dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan
kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Akan tetapi Pengadilan dimaksud
hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila:
a.
isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.
isteri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya menurut Pasal 5 ayat (1) UUP, bahwa
untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: (a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; (b) adanya kepastian
bahwa suami menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya;
(c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya. Persyaratan “adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri” tidak
diperlukan apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
10.
Syarat-syarat
untuk dapat melangsungkan perkawinan
Untuk dapat melangsungkan
perkawinan secara sah, harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditegaskan
dalam Pasal 6 UUP yaitu:
(a)
Perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(b)
Ditetapkan syarat
“persetujuan kedua mempelai” oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami
dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula
dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak
yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan
menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan yang telah disebutkan
di muka.
(c)
Untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua.
(d)
Dalam hal salah
seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
(e)
Dalam hal kedua orang
tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
kelluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(f)
Dalam hal ada
perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4)
pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2) (3) dan (4)
pasal ini.
(g)
Ketentuan tersebut
ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Selanjutnya dalam pasal 7 UUP ditegaskan
hal-hal yang berikut:
(a)
Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(b)
Dalam hal penyimpangan
terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(c)
Ketentuan-ketentuan
mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 yat
(3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6
ayat (6).
11.
Larangan
Perkawinan
Menurut pasal 8 UUP, perkawinan dilarang antara
dua orang yang:
a.
berhubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b.
berhubungan darah
dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan
saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.
berhubungan semenda,
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d.
berhubungan saudara
dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang
suami beristeri lebih dari seorang;
e.
berhubungan susuan,
yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
f.
berhubungan saudara
dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang
suami beristeri lebih dari seorang;
g.
yang mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Menurut pasal 9 UUP seorang yang masih terikat
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali jika:
1)
mendapat izin dari
Pengadilan (berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (2) UUP yang disebutkan di
muka).
2)
dengan alasan bahwa
isteri (Pasal 4 ayat 2 UUP):
a)
tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b)
mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c)
tidak dapat melahirkan
keturunan.
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin
lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di
antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi; sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain (Pasal 10).
Oleh karena perkawinan bertujuan agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal, maka suatu perbuatan yang dapat mengakibatkan perceraian
harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah
tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar
saling menghargai satu sama lain.
Adapun seorang wanita yang putus perkawinannya
berlaku jangka waktu tunggu (Pasal 11 ayat 1). Jangka waktu tunggu tersebut
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975. Dalam pasal 39 disebutkan sebagai berikut : (a) apabila perkawinan
putus karena kematian, waktu tunggu 130
hari; (b) apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
hari, dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari; (3) apabila
perkawinan putus, sedang jandaa tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
Demikian pula tata cara pelaksanaan perkawinan,
menurut pasal 12 UUP diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Ketentuan pasal 12 UUP ini tidak mengurangi
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan
Undang-Undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh luar Jawa
dan Madura.
12.
Pencegahan
Perkawinan (Pasal 13 sampai dengan 21)
1.
Syarat dan pihak yang berhak mencegah perkawinan
Menurut pasal 13 UUP,
perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan.
Adapun para pihak yang dapat
mencegah perkawinan menurut pasal 14 ayat (1) ialah:
a.
para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
b.
saudara;
c.
wali nikah;
d.
wali;
e.
pengampu dari salah
seorang calon mempelai;
f.
pihak-pihak yang
berkepentingan.
Selanjutnya dalam pasal 14
ayat (2) ditegaskan bahwa, mereka yang tersebut pada pasal 14 ayat (1) berhak
juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon
mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang
mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam pasal 14 ayat (1).
Selain itu menurut pasal 15
UUP, bahwa barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah
satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat
mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat
(2) dan pasal 4 UUP ini. Hal ini berarti bahwa yang bersangkutan tidak dapat
mencegah apabila perkawinan tersebut mendapat izin Pengadilan, karena:
a.
isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b.
isteri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.
isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
2.
Pejabat yang berwenang mencegah berlangsungnya perkawinan
Juga seorang pejabat yang
ditunjuk, menurut pasal 16 ayat (1) berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berikut:
a.
pihak pria belum
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita belum mencapai umur 16 tahun (vide
pasal 7 ayat 1)
b.
terkena larangan
perkawinan karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 8 UUP tersebut di atas.
c.
seorang yang masih
terikat tali perkawinan dengan orang lain dan tidak mendapat izin pengadilan
untuk dapat kawin lagi (vide pasal 9).
d.
suami dan isteri yang
telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua
kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain (vide pasal 10).
e.
tidak memenuhi tata
cara pelaksanaan perkawinan, yang akan diatur tersendiri (vide pasal 12).
Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada pasal 16 ayat (1) yang
disebutkan di atas akan diatur dalam peraturan perundangan (pasal 16 ayat (2).
Pencegahan perkawinan dapat
diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan
dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat pekawinan.
Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan
perkawinan dimaksud oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pencegahan perkawinan dapat
dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali
permohonan-permohonan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Perkawinan tidak dapat
dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
3.
Pegawai Pencatat Perkawinan tidak diperbolehkan
melangsungkan perkawinan yang melanggar peraturan UUP
Sesuai dengan ketentuan
pencegahan perkawinan sub (a) sampai dengan (e) dalam pasal 16 sub (f) yang
disebutkan di muka, maka pegawai pencatat perkawinan, menurut pasal 20 UUP,
tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu adanya pelanggaran dari
ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 UUP,
meskipun tidak ada pencegahan perkawinan (yang diajukan oleh para pihak yang
bersangkutan).
Kemudian dalam 21 UUP
ditegaskan, bahwa jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan
menolak untuk melangsungkan perkawinan. Di dalam penolakan, maka permintaan
salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat
perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut
disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
Para pihak yang perkawinannya
ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana
pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk
memberi keputusan, dengan menyerahkan surat
keterangan penolakan tersebut di atas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya
dengan cara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan
penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.
Penetapan ini hilang
kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut
hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang
maksud mereka.
13.
Batalnya
Perkawinan (Pasal 22 sampai dengan 28)
1.
Syarat-syarat pembatalan perkawinan
Menurut pasal 22 UUP suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan.
Pengertian “dapat” pada pasal
ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan
hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Adapun pihak-pihak yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan, menurut pasal 21 UUP ialah:
a.
para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b.
suami atau isteri;
c.
pejabat yang berwenang
hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d.
pejabat yang ditunjuk
tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai
kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus.
Barangsiapa karena perkawinan
masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar
masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang
ini (pasal 24).
Permohonan pembatalan
perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan
dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri
(pasal 25).
Menurut ketentuan Pasal 26
ayat (1) UUP suatu perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatatan
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau dilangsungkan
tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh
para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa
dan suami atau isteri.
Hak untuk membatalkan oleh
suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal 26, gugur apabila
mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang telah dibuat pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang
dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Seorang suami atau isteri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Selain itu seorang suami
atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri.
Apabila ancaman telah
berhenti, atau yang salah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap sebagai suami isteri, dan tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
2.
Saat batalnya perkawinan
Menurut pasal 28 ayat (1) UUP
batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku surut apabila:
a.
anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b.
suami atau isteri yang
bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c.
orang-orang ketiga
lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dan
iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap
(Pasal 28 ayat (2).
14.
Perjanjian
Perkawinan (Pasal 29 UUP )
Berkenaan dengan perjanjian perkawinan dalam
pasal 29 UUP ditegaskan sebagai berikut:
(1)
pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.
(2)
Perjanjian tersebut
tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
(3)
Perjanjian tersebut
mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4)
Selama perkawinan
berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga.
15.
Hak dan Kewajiban
Suami Istri (Pasal 30 sampai dengan 34)
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal
30).
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan
hak dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak untuk
melakukan perbuatan hukum.
Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu
rumah tangga (Pasal 31).
Suami isteri saling cinta-mencintai,
hormat-menghormati, suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
Rumah tempat kediaman yang dimaksud ditentukan oleh suami isteri bersama (Pasal
32).
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai,
hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada
yang lain (Pasal 33). Selanjutnya dalam pasal 34 UUP ditegaskan, bahwa:
(1)
suami wajib melindungi
isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya.
(2)
istri wajib mengatur
rumah tangga sebaik-baiknya.
(3)
Jika suami atau isteri
melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
pengadilan.
16.
Harta Benda dalam
Perkawinan (Pasal 35 sampai dengan 37)
Berkenaan dengan harta benda dalam perkawinan
menurut pasal 35 UUP, bahwa:
(1)
harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
(2)
harta benda dari
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Mengenai harta bersama, suami isteri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan
masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Apabila perkawinan putus, maka harta bersama
tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 UUP).
17.
Putusnya
Perkawinan Serta Akibatnya (Pasal 38 sampai dengan 41)
1.
Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Menurut pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus
karena:
1)
kematian;
2)
perceraian;
3)
atas keputusan
pengadilan
Perceraian hanya dapat dilakuan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
isteri (Pasal 39).
Menurut Penjelasan Pasal 39 UUP jo. Pasal 19
P.P. No. 9 Tahun 1975, alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
perceraian adalah :
a.
salah satu pihak
berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan;
b.
salah satu pihak
meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
c.
salah satu pihak
mendapat hukuman penjara 5 (lima )
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.
salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak
yang lain;
e.
salah satu pihak
mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.
antara suami dan
isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Mengenai tatacara perceraian di depan sidang
pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri (Pasal 39 ayat (3) UUP).
Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan,
tatacara mengajukan gugatan perceraian diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri (Pasal 40 UUP).
2.
Akibat Putusnya perkawinan (Pasal 41 UUP)
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian
menurut pasal 41 adalah:
a.
baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b.
bapak yang bertanggung
jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;
bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.
Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
18.
Kedudukan Anak
Anak yang sah ialah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42).
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak
tersebut selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 43).
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut. Pengadilan memberikan
keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan
(Pasal 44)
Untuk itu pengadilan mewajibkan yang berkepentingan
yakni suami dan atau isteri, termasuk juga saksi (bila ada) mengucapkan sumpah.
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud nerlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus (Pasal 45).
Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati
kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dankeluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu
memerlukan bantuannya (Pasal 46).
Anak, yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili
anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan
(Pasal 47)
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak
atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali
apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48).
Menurut Pasal 49 UUP, bahwa:
(1)
salah seorang atau
kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih
untuk waktu yang lama yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keuarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa
atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a.
Ia sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya;
b.
Ia berkelakuan buruk
sekali.
(2)
meskipun orang tua
dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya
pemeliharaan kepada anak tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan “kekuasaan” dalam Pasal 49 tersebut di
atas tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah (Penjelasan Pasal 49 UUP).
19.
Perwalian
1.
Arti Perwalian
Pewalian (voogdij) adalah pengawasan atau
pemeliharaan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah keuasaan
orangtuanya serta pengurusan harta benda atau kekayaan anak tersebut
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Anak yang belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian
itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya (Pasal 50).
Wali dapat ditunjuk oleh
salah satu orang tua (papak atau ibunya) yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal, dengan surat
wasiat atau dengan lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi.
Wali sedapat-dapatnya diambil
dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran
sehat, adil jujur dan berkelakuan baik.
2.
Kewajiban dan Tanggung Jawab Wali
Wali wajib mengurus anak yang
di bawah penguasaannya dan harta benda sebaik-baiknya, dengan menghormati agama
dan kepercayaan anak itu.
Wali wajib membuat daftar
harga benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai
jabatannya (tugas perwalian) dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda
anak atau anak-anak itu. Untuk itu wali bertanggung jawab tentang harta benda
anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaiannya (Pasal 51 UUP).
Ketentuan pasal 48 UUP
mengenai kewajiban orang tua terhadap anak, berlaku juga terhadap wali (Pasal
52 UUP), berarti wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anak yang di bawah penguasaannya, kecuali
apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Menurut Pasal 53 UUP, wali
dapat dicabut dari kekuasaannya dengan keputusan pengadilan, dalam hal-hal yang
tersebut dalam pasal 49 UUP, yaitu:
a.
Ia sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anak yang di bawah penguasaannya;
b.
Ia berkelakuan buruk
sekali.
Dalam hal kekuasaan seorang
wali dicabut, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Wali yang telah menyebabkan
kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak
atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan
dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (Pasal 54).
20.
Ketentuan-ketentuan
Lain
1.
Pembuktian Asal Usul Anak
Berkenaan dengan pembuktian
asal usul anak dalam Pasal 55 ditegaskan sebagai berikut:
(1)
asal usul seorang anak
hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan
oleh Pejabat yang berwenang;
(2)
bila akte kelahiran
tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang
teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat;
(3)
atas dasar ketentuan
pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang
ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran
bagi anak yang bersangkutan.
2.
Perkawinan di luar Indonesia
Perkawinan yang dilangsungkan
di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang
warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan itu dilangsungkan, dan bagi
warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan UUP ini. Dalam waktu 1 (satu)
tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia ,
surat bukti
perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat
tinggal mereka (Pasal 56).
3.
Perkawinan Campuran
a.
Arti Perkawinan
Campuran
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
UUP ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia .
b.
Perolehan dan
Kehilangan Kewarganegaraan
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan
yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang
telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58).
Kewarganegaraan yang
diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum
yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut
Undang-undang Perkawinan ini (Pasal 59).
c.
Syarat-syarat
melangsungkan perkawinan campuran menurut pasal 60, bahwa:
(1)
perkawinan campuran
tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang
ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi;
(2)
untuk membuktikan
bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak
ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang
menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat
perkawinan, diberikan surat
keterangan bahwa syarat-syarat telah dipernuhi.
(3)
jika pejabat yang
bersangkutan menolak untuk memberikan surat
keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan. Pengadilan memberikan
keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi
tentang soal apakah penolakan pemberian surat
keterangan itu beralasan atau tidak.
(4)
jika pengadilan
memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi
pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5)
surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6
(enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
d.
Pencatatan Perkawinan
Campuran
Perkawinan campuran dicatat
oleh pencatat yang berwenang. Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran
tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau
keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4)
Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu)
bulan.
Pegawai pencatat perkawinan
yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan
pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya
3 (tiga) bulan dan dihukum dengan hukum jabatan (Pasal 61).
Selanjutnya dalam Pasal 62
UUP ditegaskan bahwa, dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai
dengan pasal 59 ayat (1), yaitu bahwa kewarganegaraan si anak yang diperoleh
sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan orang tuanya menentukan
hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
4.
Pengadilan
Yang dimaksud dengan
pengadilan dalam UUP ini adalah:
a.
Pengadilan Agama bagi
mereka yang beragama Islam;
b.
Pengadilan Umum bagi
lainnya.
7.
Hukum Benda
Benda (zaak) dalam arti Ilmu Pengetahun Hukum
ialah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum. Menurut pasal 499 B.W.
benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat menjadi milik orang
(obyek hak milik). Benda-benda tersebut dapat dibedakan menjadi:
a.
Benda tetap atau benda
tidak bergerak (onroerend), ialah
benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang
dinyatakan sebagai benda tak bergerak misalnya bangun-bangunan, tanah,
tanam-tanaman (karena sifatnya), mesin-mesin pabrik, sarang burung yang dapat
dimakan (karena tujuannya), hak opstal, hak erfpacht,
hak hipotik (karena penentuan undang-undang) dan sebagainya.
b.
Benda bergerak (roerend), ialah benda-benda yang karena
sifatnya atau karena penentuan undang-undang dianggap benda bergerak misalnya
alat-alat perkakas, kendaraan, binatang ternak (karena sifatnya), hak-hak
terhadap surat-surat berharga (karena undang-undang) dan sebagainya.
Benda-benda itu juga dapat dibedakan lagi
menjadi:
a.
benda-benda berwujud (lichamelijk) disebut barang-barang dan;
b.
benda-benda tak
berwujud (onlichamelijk) disebut
hak-hak;
c.
benda-benda yang dipakai habis (vebruikbaar) contoh : bensin,makanan;
d.
benda-benda dipakai
tidak habis (onverbruikbaar) contoh :
emas perhisan;
e.
benda yang sudah ada (tegenwoordige);
f.
benda yang masih akan
ada (toekomstige zaken);
g.
benda perdagangan (zaken in de handel);
h.
benda di luar perdagangan
(zaken buiten de handel).
i.
benda yang dapat
dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi;
j.
benda yang dapat
diganti dan benda yang tidak dapat diganti.
Benda-benda ini dapat dimiliki dan dikuasai
oleh manusia dan karena itu diperlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan benda-benda atau antara subyek hukum dengan obyek
hukum.Dengan demikian muncullah peraturan-peraturan tentang hukum kebendaan (zakelijke rechten) yang bersifat mutlak
(absolute recht) artinya dapat
berlaku dan harus dihormati oleh setiap orang.
Hak yang bersifat mutlak dalam lapangan
keperdataan meliputi:
(1)
benda-benda berwujud,
misalnya hak bezit, hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht, hak gadai, hak
hipotik dan sebagainya.
(2)
Benda yang tidak
berwujud, seperti hak panenan, hak pengarang (hak cipta), hak oktroi (paten),
hak merk, dan sebagainya.
Di dalam buku ke II B.W. diatur beberapa hak
kebendaan, antara lain:
a.
Hak Bezit (Kedudukan
berkuasa), yaitu kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan baik dengan
diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang dipertahankan atau
dinikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu (Pasal 529 B.W.).
b.
Hak Eigendom (Recht
van Eigendom, pasal 570 - 672 B.W.) atau hak milik Barat, ialah hak untuk
menikmati dengan bebas dan menguasai mutlak sesuatu benda, asal tidak
dipergunakan yang bertentangan dengan undang-undang, peraturan-peraturan lain
dan tidak mengganggu kepentingan orang lain; kesemuanya itu sekedar tidak
diadakan pencabutan hak milik (onteigening) oleh negara untuk kepentingan umum.
c.
Hak pengabdian
pekarangan (Servituut, pasal 674 -
708 B.W.) ialah kewajiban terhadap pekarangan yang berdekatan dengan kepunyaan
orang lain, untuk mengizinkan memakai atau menggunakan perkarangan tersebut.
d.
Hak Opstal (Recht van Opstal, pasal 711 - 719 B.W.)
atau hak numpang karang ialah hak untuk mempunyai atau mendirikan
bangunan-bangunan atau tanaman di atas tanah milik orang lain. Untuk mendirikan
bangunan atau menanami tanah itu, diperlukan izin pemiliknya, sedangkan orang
itu tidak perlu memiliki tanah sendiri.
e.
Hak Erfpacht (Recht van Erfpacht pasal 720 - 736 B.W.)
atau hak usaha, ialah suatu hak untuk mempergunakan benda tetap kepunyaan orang
lain dengan kemerdekaan penuh, seolah-olah menjadi miliknya sendiri, dengan
pembayaran uang canon (pacht) pada
tiap-tiap tahun baik berupa uang ataupun benda lain atau buah-buahan.
f.
Hak Pakai Hasil (Vruchtgebruik, pasal 756 - 817 B.W.) ialah hak atas benda
tetap atau benda bergerak, untuk menggunakan seluruhnya serta memungut hasil
dan buahnya sedang sifat benda tersebut tidak boleh berubah ataupun berkurang
nilainya, sebab itu undang-undang mengharuskan ada jaminan gadai, hipotik, atau
tanggungan orang.
g.
Hak Gadai (Pand pasal 1150 - 1160 B.W.) adalah hak
seseorang kreditur (penagih) atas sesuatu benda bergerak yang diserahkan
kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya sebagai jaminan dari
hutangnya dengan ketentuan bahwa kreditur tersebut harus dibayar lebih dahulu
dari kreditur-kreditur lainnya dengan jalan melelang benda tersebut di muka
umum.
h.
Hak Hipotik (pasal
1162 - 1232 B.W.) ialah hak tanggungan seperti hak gadai; akan tetapi benda
yang dijadikan jaminan berupa benda tetap (rumah, tanah dan sebagainya). Kapal
yang muatannya 20 m3 ke atas, segala hak-hak kebendaan seperti hak
postal, erfpacht, pemakaian hasil dan lain-lain dapat dibebani hipotik.
Hak-hak kebendaan yang tersebut dalam huruf a –
f disebut hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht). Sedangkan hak kebendaan tersebut pada huru g
dan h (gadai dan hipotek) serta hak Tanggungan dan Fiducia yang diatur
tersendiri dalam undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Fiducia dan diatur
dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah dan
benda-benda yang berkaiatan dengan tanah, disebut hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk zakerheidsrecht).
Pada tahun 1960 dengan diberlakukannya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
yang disingkat (UUPA), telah mencabut atau menyatakan tidak berlakunya Buku II
B.W. yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik masih tetap berlaku.
Kedudukan obyek hipotik juga mengalami
perubahan, sejak diberlakukannya Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang berkaitan Dengan Tanah
(disingkat UUHT). Dengan berlakunya UUHT, obyek hipotik bukan lagi tanah
melainkan benda-benda yang diatur dalam pasal pasal 314 KUHD (W v K) yakni
kapal-kapal yang isi muatanya 20m3
lebih.
Dengan diberlakukannya UUPA, telah menghapuskan pasal-pasal B.W. yang
mengatur tentang tanah atau benda tidak bergerak/benda tetap. Dengan telah
dihapuskannya pasal-pasal BW yang mengatur bumi (tanah), air dan kekayaan alam
yang terkadung di dalamnya ( benda tidak bergerak), maka segala ketentuan atau pasal-pasal yang
mengenai benda tidak bergerak atau hak-hak
atas tanah oleh UUPA telah
diganti dengan hak-hak atas tanah
sebagai berikut :
a)
Hak milik adalah hak
turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan
mengingat bahwa semua hak atas tanah itu mempunyai fungsi sosial.
b)
Hak guna usaha adalah
hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara, dalam jangka waktu
paling lama 25 tahun (untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat
diberikan untuk waktu 35 tahun), waktu mana dapat diperpanjang paling lama 25
tahun;
c)
Hak guna bangunan
adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, waktu mana
dapat diperpanjang paling lama 20 tahun;
d)
Hak pakai adalah hak
untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah;
e)
Hak sewa, seseorang
atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak
mepergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
8.
Hukum Perikatan
Hukum Perikatan (verbintenissenrecht) diatur di dalam Buku III B.W. yang memuat
masalah-masalah yang berhubungan dengan perikatan. Di dalamnya diatur hubungan
hukum antara subyek hukum yang satu dengan yang lain, khususnya apabila
menimbulkan hak dan kewajiban yang terjadi karena pemenuhan perikatan maupun
akibat tidak dipenuh perikatan.
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yaitu
antara kreditur dan debitur dibidang harta kekayaan, dimana pihak yang satu
(kreditur) berhak atas suatu prestasi,dan pihak yang lain (debitur)
berkewajiban memenuhi prestasi.
Dari pengertian perikatan tersebut, pihak yang
berkewajiban memenuhi perikatan disebut “debitur”,
pihak yang berhak atas pemenuhan sesuatu perikatan disebut “kreditur”. Kreditur dan debitur disebut
“subyek hukum”.
Yang menjadi “obyek perikatan” antara kreditur
dan debitur adalah “prestasi”. Menurut pasal 1234 B.W. macam-macam prestasi berupa :
1.
memberikan sesuatu,
seperti membayar harga, menyerahkan barang dan sebagainya;
2.
berbuat sesuatu
misalnya memperbaiki barang yang rusak, membongkar bangunan, membangunkan
rumah;
3.
tidak berbuat sesuatu
misalnya untuk tidak mendirikan sesuatu bangunan, untuk tidak menggunakan merk
dagang tertentu.
Kalau debitur tidak memenuhi atau tidak
menepati perikatan disebut “cidera janji”
atau “wanprestasi”. Sebelum dinyatakan cidera janji terlebih dahulu harus
dilakukan somasi (ingebrekestelling)
yaitu suatu peringatan kepada debitur agar memenuhi “prestasi”
(kewajiban)-nya.
Seorang debitur dinyatakan wanprestasi apabila
:
1.
Tidak memenuhi
prestasi sama sekali;
2.
Memenuhi prestasi tapi
terlambat;
3.
Memenuhi prestasi tapi
salah/keliru.
Apabila seorang debitur dalam keadaan tertentu
beranggapan bahwa perbuatannya akan
merugikan, maka ia dapat meminta pembatalan perikatan.
Apabila debitur wanprestasi, maka kreditur
dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan (gugatan) menurut pasal
1267 B.W. yaitu :
1.
Pemenuhan perikatan;
2.
Pemenuhan perikatan
dengan ganti kerugian;
3.
Ganti kerugian;
4.
Pembatalan perjanjian
timbal balik;
5.
Pembatalan dengan
ganti kerugian;
Macam-macam
perikatan antara lain:
1 a. Perikatan Sipil (Civiele
verbintenissen), yaitu perikatan yang apabila tidak dipenuhi dapat
dilakukan gugatan (hak tagihan) misalnya jual beli, pinjam meminjam, sewa
menyewa dan sebagainya.
b. Perikatan
Wajar (Natuurlijke verbintenissen)
yatu perikatan yang tidak mempunyai hak tagihan akan tetapi kalau sudah dibayar
atau dipenuhi tidak dapat diminta kembali; misalnya hutang karena taruhan atau
perjudian, persetujuan di waktu pailit dan sebagainya.
2 a. Perikatan yang dapat dibagi (deelbare
verbintenissen) yaitu perikatan yang menurut sifat dan maksudnya dapat
dibagi-bagi dalam memenuhi prestasinya, misalnya perjanjian membangun rumah,
jembatan dan sebagainya.
b. Perikatan
yang tak dapat dibagi (ondeelbare
verbintenissen) yaitu perikatan yang menurut sifat dan maksudnya tak dapat
dibagi-bagi dalam melaksanakan prestasinya, misalnya perjanjian menyanyi.
3 a. Perikatan pokok (Principale
verbintenissen atau hoofdverbintenissen)
ialah perikatan yang dapat berdiri sendiri tidak tergantung pada
perikatan-perikatan lainnya, misalnya: jual beli, sewa menyewa, hutang piutang
dan sebagainya.
b. Perikatan
tambahan (accessoire verbintenissen
atau nevenverbintenissen) ialah
perikatan tambahan dari perikatan pokok dan tak dapat berdiri sendiri, misalnya
perjanjian gadai, hipotik, hak tanggungan adalah merupakan perjanjian tambahan
dari perjanjian hutang piutang.
4 a. Perikatan spesifik (spesifieke
verbintenissen) yaitu perikatan yang secara khusus ditetapkan macam
prestasinya.
b. Perikatan
generik (generieke verbintenissen),
yaitu perikatan yang hanya ditentukan menurut jenisnya.
5 a. Perikatan sederhana (eenvoudige
verbintenissen), perikatan yang hanya ada satu prestasi yang harus dipenuhi
oleh debitur.
b. Perikatan
jamak (meervoudige verbintenissen)
yaitu perikatan yang pemenuhannya
oleh debitur lebih dari satu macam prestasi harus dipenuhi maka disebut
bersusun (cumulatieve verbintenis),
tapi jika hanya salah satu saja di antaranya yang harus dipenuhi itu maka
disebut perikatan boleh pilih (alternatife
verbintenis). Perikatan fakultatif (fakultatife
verbintenis) ialah perikatan yang telah ditentukan prestasinya, akan tetapi
jika karena sesuatu sebab tidak dapat dipenuhi maka debitur berhak memberi
prestasi yang lain.
6 a. Perikatan murni (zuivere
verbintenis) ialah perikatan yang prestasinya seketika itu juga wajib
dipenuhi.
b. Perikatan
bersyarat (voorwaardelijk verbintenis)
ialah perikatan yang pemenuhannya oleh debitur, digantungkan kepada suatu
syarat, yaitu keadaan-keadaan yang akan datang atau yang pasti terjadi, jika
perikatannya itu pemenuhannya masih digantungkan pada waktu tertentu maka
disebut perikatan dengan penentuan/berketapan waktu (verbintenis met tijdsbepaling).
Dari Hukum Perikatan dapat timbul hak-hak
relative (hak-hak perseorangan/persoonlijke
rechten) yaitu hak-hak yang hanya wajib dihormati dan diakui oleh
orang-orang yang berkepentingan karena hubungan perikatan saja misalnya hak
tagihan, hak menyewa, hak memungut hasil dan sebagainya.
Menurut Pasal 1381 B.W., suatu perikatan dapat
hapus karena :
a)
Pembayaran (betaling) yaitu jika kewajiban terhadap
perikatan itu telah dipenuhi (dipenuhinya prestasi). Pembayaran harus diartikan
secara luas, misalnya seorang pekerja melakukan pekerjaan termasuk juga
pembayaran. Ada kemungkinan pihak ketiga yang membayar hutang seorang debitur
kemudian sendiri menjadi kreditur baru pengganti kreditur yang lama. Keadaan
semacam itu disebut subrogasi.
b)
Penawaran pembayaran
tunai diikuti penyimpanan (consignatie),
ialah pembayaran tunai oleh debitur kepada kreditur, namun tidak diterima oleh
kreditur tetapi kemudian oleh debitur dititipkan atau disimpan di Pengadilan
Negeri. Kalau pengadilan mengesahkan pembayaran itu maka perikatan dianggap
hapus.
c)
Pembaharuan hutang (novasi) adalah apabila hutang yang lama
digantikan dengan hutang yang baru.
d)
Imbalan (vergelijking) atau kompensasi, ialah
apabila kedua belah pihak saling mempunyai hutang, maka hutang mereka
masing-masing diperhitungkan; misalnya A mempunyai hutang kepada B Rp. 100.000,00; dan B mempunyai hutang keapada A Rp
75.000,00, maka jika diadakan kompensasi, sisa hutangnya A kepada B masih Rp
25.000,00.
e)
Percampuran hutang (Schuldvermenging) yakni apabila pada
suatu perikatan kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu (menyatu) pada satu
orang. Misalnya pada warisan, perkawinan
dengan harta gabungan dan sebagainya.
Contoh:
Debitur
(A) mempunyai hutang kepada kreditur (B). Kemudian debitur (A) kawin
dengan kreditur (B), maka terjadilah percampuran harta dalam perkawinan. Dengan
demikian hapuslah hutang debitur (A) kepada kreditur (B).
f)
Pembebasan hutang (kwijtschelding der schuld) adalah
perbuatan hukum kreditur melepaskan haknya
untuk menagih piutangnya kepada debitur.
g)
Kebatalan dan
pembatalan (nietigheid of te niet doening),
yakni apabila dalam perikatan tidak terpenuhinya syarat subyektip mengenai
syarat sahnya perjanjian, maka perikatan (perjanjian) dapat dibatalkan. Di sini
harus ada perbuatan pembatalan, bukan batal demi hukum. Kalau batal demi hukum,
dianggap tidak ada perikatan/perjanjian. Batal demi hukum atau batal
dengan sendirinya tidak diperlukan
tindakan pembatalan.
h)
Hilangnya/musnahnya
benda yang diperjanjikan (het vergaan der
verschuldigde zaak), yakni apabila
benda yang diperjanjikan musnah atau hilang atau menjadi tidak dapat
diperdagangkan, maka perikatan menjadi hapus.
i)
Berlakunya syarat
batal (door werking ener ontbindende
voorwaarde), adalah suatu perikatan yang sudah ada (sudah terjadi) yang
berakhirnya digantungkan pada peristiwa yang belum tentu atau tidak tentu
terjadi. misalnya : A mengadakan perjanjian sewa menyewa rumah (sudah terjadi
pejanjian) dengan B. Perjanjian sewa akan berakhir apabila Rumah A sudah selesai dibangun (dapat
ditempati). Perikatan ini berbeda dengan perikatan berketetapan waktu maupun
perikatan bersyarat.
j)
Kadaluwarsa (verjaring), daluwarsa atau lewat waktu
menurut pasal 1946 adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu, atas suatu
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut Pasal 1967 B.W., bahwa
segala tuntutan hukum baik bersifat kebendaan maupun perseorangan, hapus karena
daluwasa dengan lewatnya waktu 30 tahun.
Menurut pasal 1233 B.W. ada dua macam sumber
hukum perikatan, yakni :
A.
Perjanjian (Pasal 1313
s/d. 1351 B.W.);
B.
Undang-undang (Pasal
1352 s/d. 1380 B.W.).
Ad.A. Hukum Perikatan yang bersumber pada Perjanjian
Perjanjian adalah suatu persetujan antara seorang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. (Pasal 1313 B.W.).
Suatu perjanjian dianggap sah
apabila dipenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
1.
Ada
kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya; (ada persetujuan kehendak
antara para pihak yang membuat perjanjian); artinya pihak-pihak yang membuat perjanjian harus mempunyai kemauan
secara sukarela atau bebas untuk mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian.
Kemauan (kehendak) sukarela (bebas) merupakan syarat utama untuk sahnya suatu
perjanjian. Perjanjian “dapat dibatalkan”
apabila syarat kesepakatan (kemauan bebas/sukarela) tidak dipenuhi, misalnya
terjadi karena paksaan (dwang),
kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog).
2.
Ada
kecakapan untuk membuat perjanjian; artinya kedua belah pihak harus cakap
menurut hukum untuk bertindak sendiri (rechtsbekwaamheid/
capacity), misalnya : dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh
undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum. Apabila syarat kecakapan tidak
dipenuhi, maka perjajian “dapat
dibatalkan”.
3.
Ada
suatu hal tertentu; artinya barang yang menjadi “obyek” perjanjian harus
ditentukan jenisnya. Apabila syarat “suatu hal tertentu” tidak dipenuhi, maka
perjanjian “batal demi hukum”.
4.
Ada suatu sebab yang
halal (causa halal); artinya jika suatu perjanjian tidak ada “sebab” atau “causa” (oorzaa), maka perjanjian tidak
mempunyai kekuatan hukum. Pengertian lain
“sebab atau causa” yang halal ialah
tidak boleh bertentangan dengan undang, kesusilaan dan
ketertiban/kepentingan umum. Suatu perjanjian yang bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum menjadi “batal demi hukum”.
Kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat “subyektif”, yang apabila salah satunya
tidak dipenuhi dalam suatu perjanjian, maka perjanjian “dapat dibatalkan”. Selain
itu adanyan hal tertentu” atau “sebab
yang halal” sebagai syarat “obektif” apabila tidak ada dalam suatu perjanjian, maka perjanjian
“batal demi hukum”. Artinya dianggap
“tidak pernah ada suatu perjanjian”.
Perjanjian merupakan salah
satu sumber (pokok) perikatan yang lebih banyak diatur dalam B.W.
dibandingkan dengan perikatan yang lahir karena Undang-undang.
Jenis-jenis perjanjian tertentu (perjanjian
khusus) yang diatur di dalam buku III B.W. antara lain :
1.
Perjanjian jual beli (koop en verkoop)
Jual beli adalah suatu
persetujuan antara dua pihak, dimana pihak ke satu berjanji akan menyerahkan
suatu barang dan pihak lain akan membayar harga yang telah disetujuinya.
Syarat-syarat jual beli ialah:
a)
harus antara mata uang
dan barang.
b)
Barang yang dijual
adalah milik sendiri
c)
Jual beli itu bukan
antara suami istri yang masih dalam perkawinan
Untuk menghindarkan atau
mengurangi resiko-resiko tersebut maka pada waktu sekarang ada macam-macam jual
beli sebagai berikut:
a)
jual beli dengan
percobaan (koop op proef) yaitu jual
beli yang berlakunya masih ditangguhkan pada hasil-hasil percobaan dalam satu
masa. Jika si pembeli menyetujui, maka jadilah perikatan itu, jika tidak, maka
perikatan itu tidak berlaku.
b)
Jual beli dengan
contoh (koop en monster) yaitu jual
beli yang disertai contoh-contoh jenis barang yang ditawarkan. Contoh-contoh
ini maksudnya untuk disamakan dengan barang-barang yang akan diterimanya nanti.
Jika barang-barang yang diterima pembeli tidak sama jenisnya dengan contoh,
maka ia dapat menuntut pembatalan jual beli.
c)
Beli sewa (huurkoop) adalah perjanjian jual beli dimana
si pembeli menjadi pemilik mutlak dari barang yang dibelinya itu, pada saat
angsuran terakhir telah dibayar, sedangkan selama barang itu belum lunas
dibayar, kedudukan si pembeli sama dengan seorang penyewa. Jika si pembeli sewa
tidak mau membayar sewanya perikatan dapat diputuskan.
2.
Perjanjian tukar
menukar (Pasal 1541 B.W.), ialah sama dengan perjanjian jual beli, tetapi
bedanya pada tukar menukar kedua belah pihak berkewajiban saling untuk
menyerahkan barang, sedangkan pada jual beli pihak yang satu wajib menyerahkan
barang pihak yang lain menyerahkan uang.
3.
Perjanjian sewa
menyewa (Pasal 1548 B.W.), ialah suatu perjanjian dimana pihak pertama (yang
menyewakan) memberi izin dalam waktu tertentu kepada pihak lain (si penyewa)
untuk menggunakan barangnya dengan kewajiban dari si penyewa untuk membayar
sejumlah uang sewaannya.
4.
Perjanjian kerja/perburuhan (Pasal 1601 B.W.) adalah suatu perjanjian dimana
pihak pertama (buruh, pekerja) akan memberikan tenaganya untuk melakukan
sesuatu pekerjaan bagi pihak lain (majikan) dengan menerima upah yang telah
ditentukan.
5.
Perserikatan/perseroan
perdata (Pasal 1618 B.W.), adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih
yang yang mengikatkan dirinya masing-masing untuk mengumpulkan sesuatu (harta
atau tenaga) dengan maksud membagi-bagi keuntungan yang diperoleh daripadanya.
6.
Pemberian hibah/hadiah
(Pasal 1666 B.W.), adalah suatu perjanjian dimana pihak pertama akan
menyerahkan suatu benda dengan sukarela karena kebaikannya kepada pihak lain
yang menerima pemberian kebaikan itu.
Seperti juga pinjam pakai, pemberian hibah ini
adalah suatu perjanjian unilateral (eenzijdig/sepihak),
artinya suatu perjanjian yang isinya menyatakan bahwa hanya pihak pemberi sajalah
yang wajib melaksanakan prestasi.
7.
Perjanjian penitipan
barang (Pasal 1694 B.W.), adalah suatu perjanjian, dimana pihak pertama (yang
menitipkan) menyerahkan sesuatu barang untuk dititipkan dan pihak lain (yang
dititipi) berkewajiban menyimpan barang tersebut dan mengembalikannya pada
waktunya dalam keadaan semula.
8.
Pinjam pakai (Pasal 1740
B.W.), ialah perjanjian, dimana pihak pertama (yang meminjamkan) memberikan
sesuatu benda untuk dipakai, sedangkan pihak lain (meminjam) berkewajiban
mengembalikan barang tersebut tepat pada waktunya dan dalam keadaan semula.
9.
Pinjam pakai sampai
habis (Pasal 1754 B.W.), adalah suatu perjanjian dimana pihak pertama (yang
meminjamkan) menyerahkan sejumlah barang-barang yang habis dipakai kepada pihak
lain (si peminjam) dengan ketentuan pihak terakhir ini (si peminjam) akan
mengembalikannya sebanyak jumlah yang sama jenisnya dengan barang-barang yang
telah dipinjamnya.
10.
Perjanjian
untung-untungan diatur di dalam pasal 1774 – 1791 B.W. Perjanjian
untung-untungan adalah suatu perjanjian yang hasilnya mengenai untung rugi,
baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak tergantung kepada suatu
kejadian yang belum tentu terjadi. Perjanjian untung-untungan yang dimaksud
oleh pasal 1774 B.W. termasuk di dalamnya meliputi : persetujuan pertanggungan
atau asuransi, bunga cagak hidup (lijfrente),
perjudian dan pertaruhan (spel en weddenschap). Persetujuan pertanggungan/
asuransi diatur lebih lanjut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan
peraturan perundang-undangan selain KUHD.
11.
Pemberian kuasa
(beban) diatur dalam pasal 1792 B.W. adalah suatu perjanjian dimana seseorang (Lastgever) memberikan sesuatu guna
kepentingan dan atas nama si pemberi kuasa (beban).
Pemberian kuasa (beban) dibedakan menjadi 2
macam :
a)
perwakilan langsung
ialah apabila yang diberi kuasa itu menghubungkan si pemberi kuasa langsung
dengan pihak yang dihubungi, misalnya makelar;
b)
perwakilan tak
langsung ialah apabila yang memberi kuasa itu tidak berhubungan langsung dengan
pihak yang dihubungi melainkan hubungannya melalui orang diberi kuasa misalnya
komisioner.
12.
Pertanggung orang (Borgtocht) diatur dalam pasal 1820 B.W.,
adalah suatu perjanjian dimana seseorang (si penangung) wajib memenuhi
perikatan seorang debitur kepada krediturnya, apabila debitur tadi tidak
memenuhi kewajibannya.
Ada persamaan antara gadai,
hipotik, fidusia, hak tanggungan atas tanah, dengan pertanggungan orang (Borgtocht) yaitu bahwa kesemuanya
merupakan (1) perjanjian dengan jaminan (2) perjanjian assesor, sedangkan
perbedaannya dengan gadai dan hipotik ialah bahwa, gadai hipotik sebagai
jaminan kebendan, sedangkan pertanggungan orang (borgtocht) merupakan jaminan
hak perseorangan.
13.
Perdamaian perkara (Dading) diatur dalam pasal 1851 B.W.,
adalah suatu perjanjian dimana pihak-pihak akan menyelesaikan secara damai
perkara-perkara tentang penyerahan, janji, atau pengembalian sesuatu barang
yang menjadi persengketaan.
Seorang menganggap dirinya
sebagai yang berhak akan sesuatu, sedangkan orang lain menyangkal dan tidak
mengakuinya. Timbul perselisihan. Untuk mencegah perselisihan hukum semacam itu
kemudian mereka mengadakan persetujuan bahwa masing-masing akan mengorbankan
sebagian dari kepentingannya untuk memperoleh kedamaian.
Ad.B. Perikatan
yang bersumber pada Undang-undang (1352 s/d.1380 B.W.)
Perikatan yang terjadi karena undang-undang,
ada dua macam yaitu:
1)
Perikatan yang terjadi
karena undang-undang saja;
2)
Perikatan yang terjadi
karena undang-undang yang disebabkan oleh perbuatan manusia terdiri dari :
a.
perbuatan menurut
hukum (rechtmatige daad);
b.
perbutan melanggar
hukum (onrechtmatige daad).
Ad. 1) perikatan yang terjadi karena undang-undang
saja, karena suatu keadaan telah ditentukan oleh peraturan perundangan maka
timbullah suatu perikatan seperti timbulnya hak dan kewajiban antar dua pihak,
contoh : antar pemilik perkarangan yang berdekatan (servituut); timbulnya wajib nafkah (alimentasi) antara anak dan orang tuanya (Pasal 321 B.W.).
Ad. 2.a.) perbuatan menurut hukum (rechtmatige daad) yaitu perbuatan manusia berdasarkan haknya
seperti seseorang yang atas kerelaannya sendiri mengurus urusan orang lain (zaakwaarneming – Pasal 1354 B.W.) maka
timbullah perikatan terhadap orang itu; seseorang yang dengan niat baik
membayar hutang yang sebenarnya tidak ada (onverschuldige
betaling- Pasal 1359 B.W.), maka timbullah ikatan-ikatan terhadap yang
menerima uang untuk menyerahkan kembali dan orang yang telah membayarkan berhak
menagih kembali.
Ad.2.b) Tindakan melanggar hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam pasal
1365 B.W. dan seterusnya, contoh : seseorang melempar burung dengan batu dan
mengenai genting rumah orang lain sehingga pecah. Menurut perasaan kesusilaan
maupun kesopanan, perbuatan orang itu tidak patut, oleh karena itu wajib
memperbaiki atau memberikan ganti rugi.
Perlindungan hukum terhadap
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) diatur dalam pasal 1365 B.W. yang menyatakan ”Setiap
tindakan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain, maka
orang yang bersalah menyebabkan kerugian itu wajib memberi ganti kerugian”.
Untuk memberi batasan yang
jelas tentang arti “perbuatan melanggar hukum”
jurisprudensi mengartikan bahwa perbuatan melanggar hukum itu adalah
“Berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang: (1) melanggar hak orang lain, (2)
atau berlawanan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat atau tidak berbuat
itu sendiri, (3) atau bertentangan dengan tata susila maupun (4) berlawanan
dengan sikap berhati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan masyarakat, terhadap
diri atau barang orang lain.
Berdasarkan ketentuan
tersebut, apabila tindakan dilakukan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan dan kepatutan
sebagaimana dikehendaki dari pergaulan masyarakat yang baik, tidak perlu
khawatir bahwa perbuatannya itu tergolong dalam tindakan melanggar hukum.
Adapun hapusnya atau
berakhirnya suatu perjanjian disebabkan
oleh :
1.
telah lampau waktunya
2.
telah tercapai
tujuannya
3.
dinyatakan berhenti
4.
dicabut kembali
5.
diputuskan oleh hakim
9.
Hukum Pembuktian dan Daluwasa
Hukum Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijsen verjard) diatur dalam Buku
IV KUH Perdata (B.W.). Pembuktian sebenarnya termasuk bagian Hukum Acara (procesrecht) yang sebenarnya tidak
dimuat dalam B.W. (Hukum Perdata Material). Dalam hukum acara (perdata),
perihal pembuktian telah dimuat dalam HIR.
Di dalam B.W. Pembuktian diatur dalam pasal
1865 s/d.pasal 1945).
Menurut pasal 1865 B.W. “barang siapa
menyatakan bahwa ia mempunyai hak atas sesuatu atau meneguhkan haknya sendiri
maupun membantah suatu hak orang lain,
diwajibkan membuktikan hak-hak tersebut”.
Macam-macam alat bukti (Pasal 1866) antara
lain :
a.
bukti tertulis atau
surat, yaitu pembuktian dengan surat-surat akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands). Surat/akte resmi (authentiek) ialah suatu akte dibuat oleh
atau dihadapan pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat
surat-surat akte resmi. Surat akte dibawah tangan (onderhands) adalah surat-surat/tulisan-tulisan yang tidak dibuat
oleh pejabat yang berwenang;
b.
bukti kesaksian yaitu
setiap orang yang diminta keterangannya oleh pengadilan/lembaga peradilan untuk
memberikan kesaksian atas suatu kejadian/peristiwa tertentu yang dilihatnya
dan dialami sendiri.
c.
bukti persangkaan,
ialah suatu kesimpulan dari suatu peristiwa yang sudah jelas dan nyata. Atau
suatu kesimpulan atas suatu kejadian/peristiwa untuk membuktikan atas suatu
perbuatan yang disangkal. Ada dua macam persangkaan, Pertama, persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (wettelijk vermoeden), adalah merupakan
suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk menguntungkan salah
satu pihak yang berperkara. Kedua,
persangkaan yang ditetapkan oleh Hakim (rechterlijk
vermoeden), persangkaan ini dilakukan
Hakim terhadap suatu peristiwa yang pembuktiannya tidak dapat diperoleh
dari saksi-saksi. Misalnya persangkaan
terhadap pelaku zinah, tidak harus melihat kejadiannya, cukup mengetahui masuk
kamar hotel berdua..
d.
bukti pengakuan, adalah pernyataan sepihak dari salah satu
pihak yang berperkara (dalam suatu proses) yang membenarkan keterangan pihak
lawan baik sebagian atau seluruhnya. Sebenarnya suatu pengakuan bukan suatu alat
bukti, tetapi apabila salah satu pihak mengakui perbuatan yang dilakukan,
berarti membebaskan suatu kewajiban
pihak lawan;
e.
bukti sumpah; menurut
undang-undang ada dua macam sumpah, yaitu sumpah yang menentukan (decisoir eed) dan sumpah tambahan (supletoir eed). Sumpah yang menentukan (decisoir eed) adalah sumpah yang
diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawannya
dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh Hakim. Sumpah
tambahan (supletoir eed) adalah
sumpah yang diperintahkan oleh Hakim kepada salah satu pihak yang berperkara.
Sumpah ini diperintahkan oleh Hakim, karena Hakim berpendapat sudah terdapat
suatu “bukti permulaan” yang perlu ditambah dengan “penyumpahan”.
Ketentuan mengenai Daluwarsa (Verjaring) diatur dalam pasal 1946 s/d.
pasal 1993 B.W.
Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh
sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya atau
lampaunya waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang (Pasal 1946 B.W.)
Berdasarkan pasal 1946 B.W.,ada (2) dua macam
daluwarsa, yaitu : pertama adalah untuk memperoleh suatu hak-hak kebendaan (acquisitieve verjaring). Lembaga Acquisitieve verjaring, bukan
dimaksudkan sebagai cara untuk memperoleh atau mengambil hak milik, melainkan
untuk membuktikan atau sebagai bukti bahwa orang tertentu dan dalam waktu
tertentu telah menguasai suatu benda dengan itikad baik. Menurut pasal 1963
B.W., bahwa seseorang yang beritikad baik berdasarkan alas hak yang sah,
memperoleh sesuatu benda tak bergerak dengan jalan daluwarsa dengan suatu
penguasaan selama 20 tahun, dan apabila
ia menguasai 30 tahun tidak dapat dipaksa untuk mebuktikan alas hak. Kedua,
daluwarsa sebagai alat untuk dibebaskan dari tuntutan hukum, baik yang bersifat
kebendaan maupun perseorangan atau
perutangan (pasal 1967 B.W.). Daluwarsa yang kedua, tersebut disebut “extinctieve
verjaring”.
Dari uraian tersebut bahwa daluwarsa atas
penguasaan suatu benda atau yang
bersifat hak kebendaan (acquisitieve
verjaring) untuk benda tidak begerak menjadi tidak berlaku setelah berlakunya UUPA,
karena UUPA tidak mengenal lembaga daluwarsa untuk memperoleh maupun untuk
melepaskan hak atas tanah. Tetapi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, seseorang dapat
memperoleh tanah berdasarkan “rechtsverwerking”
yakni mengusai secara fisik tanah selama 20 tahun berturut-turut karena karena
dibiarkan atau ditinggalkan oleh pemilik/penguasanya. Sedangkan untuk benda-benda bergerak tidak dikenal
adanya daluwarsa (verjaring).
Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria,
lembaga daluwarsa yang diatur dalam Buku IV B.W. sekrang sudah tidak berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar