Jumat, 04 Mei 2012

Pengantar Hukum Indonesia (Bab VII)


BAB VII
DASAR-DASAR HUKUM PERDATA

1.             Pengertian Hukum Perdata
Hukum perdata yang dimaksud dalam bab ini adalah hukum perdata material (bukan hukum perdata formal), adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara kepentingan perseorangan. Dengan pengertian lain hukum perdata adalah segala peraturan atau hukum yang mengatur hak dan kewajiban dalam hubungan antara perseorangan yang mengutamakan kepentingan  pribadi.
Hukum perdata adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perorangan.[1]
Hukum Perdata, sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan.[2]
Hukum Perdata, ialah hukum yang mengatur kepentingan antarara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain.[3]

2.             Sejarah Hukum Perdata di Indonesia
Sumber pokok Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) disingkat KUH Perdata (B.W.)
Burgerlijk Wetboek (B.W.) sebagian besar isinya adalah hukum perdata Perancis  (Code Civil) yaitu bagian dari Code Napoleon tahun 1811 - 1838. Akibat pendudukan Perancis di Belanda, Code Napolen  (Code Civil) diberlakukan secara resmi di Negeri Belanda sebagai Kitab Undang-undang Hukum Sipil. Sebagai bagian dari Code Napoleon,   penyusunan Code Civil   mengambil bahan-bahan hukum dan pendapat hukum dari buku-buku/ literatur pengarang-pengarang bangsa Perancis tentang hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Selain itu juga diambil dari unsur-unsur hukum kanonik (hukum agama katolik) dan pengaruh hukum kebiasaan setempat.
Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman Romawi, tidak dimasukkan dalam Code Civil, tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce.
Setelah pendudukan Perancis berakhir, oleh Pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper yang bertugas membuat rencana kodifikasi Hukum Sipil Belanda, dengan menggunakan “Code Civil” Perancis (Napoleon)  sebagai sumber material hukum dan sebagian kecil dari hukum Belanda Kuno.
Meskipun penyusunan tersebut sudah selesai sebelum 5 Juli 1830, tetapi Hukum Sipil Belanda baru diresmikan dan diberlakukan di negara Belanda pada tanggal 1 Oktober 1838.
Hukum Sipil Belanda  yang diberlakukan tersebut  terdiri dari :
1.             Burgerlijk Wetboek ( B.W.) atau KUH Perdata;
2.             Wetboek van Koophandel ( W. v. K.) atau KUH Dagang (KUHD).
Berdasarkan asas konkordansi, maka Kodifikasi Hukum Sipil Belanda (Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel)  diumumkan pada tanggal 30-4-1847 Staatblad No. 23 dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 di Indonesia (Hindia Belanda).

3.             Kedudukan KUH Perdata  
Setelah Indonesia menjadi negara yang merdeka sejak pernyataan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengalami banyak perubahan. Perubahan yang dimaksudkan karena banyaknya pasal-pasal di dalam  KUH Perdata (B.W) dicabut oleh undang-undang yang sama atau sejenis atau dinyatakan tidak berlaku karena tidak sesuai dengan alam pikiran atau kesadaran hukum bangsa Indonesia yang modern dan religius.
Dalam perihal berlakunya B.W.  setelah Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat saat ini ada beberapa penyebab atau momen  yang mengakibatkan pasal-pasal B.W. tidak berlaku, yakni antara lain :
1.             Gagasan Menteri Kehakiman R.I. Dr. Sahardjo, yang berpendapat bahwa, B.W. dianggap tidak lagi sebagai undang-undang, melainkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis yang hanya dipakai sebagai pedoman oleh semua warga negara Indonesia.
2.             Prof. Mahadi, SH berpendapat bahwa, B.W. sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi; yang masih berlaku ialah aturan-aturannya yang tidak bertentangan dengan semangat serta  suasana kemerdekaan; diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin untuk menetapkan aturan mana yang masih berlaku dan yang tidak berlaku; tidak setuju dilakukan tindakan legislatif tehadap B.W. untuk dicabut, dan menjadikannya hukum kebiasaan, karena masih ada aturan-aturan dalam B.W. yang di kemudian hari menjadi hukum nasional yang tertulis dalam bentuk undang-undang.
3.             Prof. Wiryono Prodjodikoro, sependapat dengan gagasan Menteri Kehakiman R.I. tersebut, dengan mengusulkan pencabutan B.W. tidak dengan undang-undang melainkan dengan suatu pernyataan  dari Pemerintah atau dari Mahkamah Agung.
4.             Berdasarkan gagasan para ahli hukum tersebut, maka pada tanggal 5 Sepember 1963, Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3  Tahun 1963, selanjutnya  disingkat SEMA. SEMA tersebut mencabut beberapa pasal B.W. yang dianggap tidak sesuai dengan zaman kemerdekaan Indonesia. Pasal-pasal B.W. yang dicabut oleh SEMA No. 3 Tahun 1963 terdiri dari 8 (delapan) pasal antara lain pasal  108 dan 110, pasal 284 (ayat 3), pasal 1238, pasal 1460, pasal 1579, pasal 1603 x ayat (1) dan ayat (2), dan pasal 1682 B.W.
5.             Diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan dikeluarkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960, maka Buku II B.W. yang mengatur tentang benda tidak bergerak atau megenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya  dinyatakan tidak berlaku, kecuali hipotik masih tetap berlaku.
6.             Diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1961 tentang Penggantian Nama. Berdasarkan Undang-undang tersebut maka Buku I B.W. yang mengatur tentang nama dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1961.
7.             Diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan diberlakukannya Undang-undang Perkawinan ini, maka Buku I B.W. yang mengatur perkawinan dan pendewasaan (handlichting) dinyatakan dicabut atau tidak berlaku. Pasal-pasal yang dicabut dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan adalah pasal 26s/d. pasal 418a (tentang perkawinan dan perceraian), pasal 419 s/d. pasal 432 tentang pendewasaan (handlichting).
8.             Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, maka  pasal-pasal hipotik dalam Buku II B.W. yang obyeknya tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan dicabut atau tidak berlaku. Dengan demikian obyek hipotik, sekarang tinggal benda-benda tetap yang bukan tanah (misal: kapal laut, pesawat udara, yang isi muatannya 20m3 atau lebih).

4.             Sistematika Hukum Perdata
Sistematika hukum perdata diatur dalam  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau disingkat KUH Perdata atau yang lebih dikenal dengan Burgerlijk Wetboek disigkat (B.W).
KUH Perdata (B.W.)  terdiri atas 4  (empat) Buku, yaitu:
a.              Buku I, tentang Orang (van Personen), memuat Hukum Perseorangan dan Hukum Kekeluargaan;
b.             Buku II,  tentang Benda (van Zaken), memuat  Hukum Benda dan  Hukum Waris;
c.              Buku III, tentang Perikatan (van Verbintennissen), memuat Hukum harta kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu;
d.             Buku IV, tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa atau Lewat Waktu (van Bewijs en Verjaring), yang memuat ketentuan alat-alat bukti dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
Menurut Ilmu Pengetahuan, Sistematika Hukum Perdata dibagi  dalam 4 (empat)  bagian, yaitu:
1.             Hukum Perorangan (Personenrecht) yang memuat antara lain:
a.               peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek hukum;
b.              peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya, serta hal-hal yang mempengruhi kecakapan-kecakapan itu.
2.             Hukum Keluarga (Familierecht) yang memuat antara lain:
a.               perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/isteri;
b.              hubungan antara orang tua dan anak-anaknya (kekuasaan orang tua (ouderlijke macht);
c.               perwalian (voogdij);
d.              pengampuan (curatele)
3.             Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang.
Hukum Harta Kekayaan meliputi:
a.               hak mutlak (absolute rechten) yaitu kekuasaan (kewenangan) hukum yang berlaku terhadap setiap orang.
b.              hak perorangan (relatieve rechten) yaitu keuasaan (kewenangan) hukum yang berlaku terhadap orang-orang tertentu.
4.             Hukum waris (Erfrecht), yang mengatur tentang benda atau kekayaan seorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang).

5.             Hukum Perorangan
Hukum tentang orang mengatur tentang orang (nama orang, tempat tinggal, kecakapan hukum) dan badan hukum sebagai subyek hukum.
Berlakunya seorang manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum ialah mulai saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia).
Hukum Perdata mengatur seluruh segi kehidupan manusia sejak ia belum lahir dan masih dalam kandungan ibunya sampai meninggal dunia. Menurut   pasal 2 ayat (1) KUH Perdata (B.W.) bahwa  “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, apabila kepentingan si anak menghendakinya”.
Dengan demikian seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dijamin untuk mendapat warisan jika ayahnya meninggal dunia.
Selanjutnya pasal 2 ayat (2) B.W. menyatakan bahwa, apabila ia dilahirkan mati maka ia dianggap tidak pernah ada.
Dari pasal 2 B.W. dapat diketahui bahwa manusia sejak dalam kadungan haknya telah diakui dan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian menurut hukum perdata nasional bahwa, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi. Artinya diakui sebagai “orang” atau “persoon”. Oleh karena itu setiap “orang” diakui sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid), yaitu pembawa hak dan kewajiban.
Meskipun menurut hukum, setiap orang pembawa atau mempunyai hak dan kewajiban, tetapi di dalam hukum tidak semua orang dapat bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya. Orang yang “tidak mampu bertindak” sendiri untuk melaksanakan hak-haknya, disebut tidak cakap  menurut hukum atau “tidak cakap hukum” (onrechtsbekwaamheid/in capable).
Orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak mampu bertindak menurut hukum atau “tidak cakap hukum” (onrechtsbekwaamheid) ialah :
a.              orang yang belum dewasa, yaitu yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah nikah/kawin (pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 1330 B.W.); untuk melakukan perbuatan hukum orang ini harus diwakili oleh orang tua/walinya;
b.             orang yang berada dibawah pengawasan atau pengampuan (curatele), dia orang dewasa tetapi dungu, sakit ingatan, suka gelap mata, sakit jiwa,   pemboros  atau tidak sehat jiwanya (Pasal 1330 jo 433 B.W.); dalam melakukan perbuatan hukum dia harus diwakili oleh pengampunya (curatornya);
c.              orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum atau perjanjian (Pasal 1330 B.W. jo. Undang-Undang tentang Kepailitan).
Orang yang “cakap hukum” atau “mampu berbuat atau bertindak”  menurut hukum (rechtsbekwaamheid/capable) adalah orang-orang yang dapat atau mampu melakukan perbuatan hukum. Orang-orang yang “cakap hukum” antara lain : (a) orang dewasa atau sudah pernah nikah/kawin; (b) orang dewasa yang sehat pikiran/jiwanya (tidak dungu, bukan pemabok, tidak pemboros);  dan (c) orang-orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum.
Orang yang cakap hukum  (rechtsbekwaamheid/capable), disebut “subyek hukum” atau “pendukung hak dan kewajiban”, karena tidak hanya pembawa hak dan kewajiban  saja, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk bertindak dalam hukum.
Jadi subyek hukum adalah siapa saja yang mempunyai hak dan kewajiban serta cakap bertindak di dalam hukum, atau dengan kata lain bahwa, siapa yang cakap hukum adalah mempunyai hak dan kewajiban. Orang yang mempunyai hak belum tentu cakap hukum karena tidak mempunyai kewajiban (contoh : orang gila, budak-budak belian di zaman dahulu)
Orang yang cakap hukum (rechtsbekwaamheid/capable) belum tentu berwenang atau berhak untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegdheid/competent).
Supaya berwenang melakukan perbuatan hukum orang yang cakap hukum (rechtsbekwaamheid/capable) harus dipenuhi syarat khusus yakni “rechtsbevoegdheid”, apabila tidak dipenuhi, berarti belum berwenang (onrechtsbevoegdheid/in competent).
Selain orang  atau manusia (natuurlijkepersoon) sebagai subyek hukum, adalah badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai subyek hukum yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di Pengadilan.  Badan hukum sebagai subyek hukum diperlakukan sama seperti subyek hukum “orang”.
Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan tersebut dinamakan Badan Hukum (Rechtspersoon), artinya orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum  dibedakan antara Badan Hukum Publik (misal: Negara, Propinsi, Kabupaten), dan Badan Hukum Privat (misal: Perseroan terbatas, Koperasi, Yayasan/Stichting, Wakaf), dan lain-lain.
   Untuk dapat disebut sebagai Badan Hukum harus dipenuhi persyaratan formal dan material.
Syarat-syarat formal Badan Hukum antara lain : (1). badan hukum harus didirikan dengan akta notaris; (2) Mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; (3) disahkan oleh Menteri yang berwenang, (sekarang Kementerian Hukum dan Hak Asasi  Manusia); (4) diumumkan dalam Berita Negara; (5) didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang.
Syarat-syarat material Badan Hukum adalah : (1) harus ada pemisahan yang jelas antara kekayaan Badan Hukum dengan kekayaan pribadi pengurus/anggotanya; (2) harus mempunyai tujuan tertentu yang ideal; (3) harus mempunyai kepentingan tertentu; (4) harus pempunyai susunan organisasi dan kepengurusan; (5) mempunyai tempat kedudukan/domisili hukum dan wilayah operasional Badan Hukum.

6.             Hukum Keluarga
Hukum keluarga memuat segala peraturan-peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup suatu keluarga. Keluarga (dalam arti sempit) adalah kesatuan mayarakat kecil yang terdiri dari suami-isteri dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Dalam pengertian yang luas, adalah apabila dalam satu tempat tinggal itu berdiam pula pihak lain sebagai akibat perkawinan, maka berkumpullah anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan karena pertalian darah. Keluarga  dalam arti luas dapat terdiri dari kakek/nenek, suami-isteri, anak-menantu bahkan cucu.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sebagian besar pasal-pasal hukum keluarga di dalam B.W. dinyatakan tidak berlaku.
 Pembahasan Hukum keluarga, dalam pembahasan berikut ini  ditekankan pada Hukum Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).

1.             Kekuasaan Orang Tua Menurut  UU.No. 1 Tahun 1974
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak-nya sampai anak telah menikah atau telah mampu mandiri.
Kewajiban orang tua terhadap anak-anak mereka juga tetap berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus (Pasal 45).
Setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang tuanya, dan mentaati kehendak orang tua yang baik. Jika anak telah dewasa berkewajiban memelihara kedua orang tua dan keluarga garis lurus ke atas menurut kemampuannya, bila orang tua memerlukan bantuan si anak (Pasal 46 ).
Setiap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan, selama anak belum berusia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 47).
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimilikinya anaknya yang belum berumur 18 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan, kecual kepentingan anak menghendaknya (Pasal 48).
Orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, juga apabila berkelakuan sangat buruk sehingga dapat merugikan kepentingan atau masa depan anaknya.
Apabila asalah seorang atau kedua orang tua dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih, mereka masih tetap berkewajiban memberi biaya pemeliharaan kepada anak-anak mereka (Pasal 49).
Jadi segala hak dan kewajiban yang timbul antara hubungan  anak dengan orang tua dan  akibat-akibat putusnya perkawinan orang tua, kekuasaan orang tua terhadap si anak dan harta bendanya, pencabutan dan  pemecatan kekuasaan orang tua, kewajiban timbal balik antara orang tua dan anak tersebut kesemuanya telah diatur dalam peraturan tentang kekuasaan orang tua dalam Undang-undang  No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UUP).

2.             Perwalian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Perwalian adalah pengawasan atau pengurusan  terhadap pribadi  anak  dibawah umur atau belum dewasa yang tidak di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan harta benda anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak di bawah kekuasaan orang tuanya, berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian yang dimaksud adalah mengenai pribadi anak maupun harta bendanya (Pasal 50).
Wali wajib mengurus peribadi anak yang ada di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepecayaan si anak. Wali berkewajiban membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai tugasnya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda si anak atau anak-anak itu (Pasal 51 ayat (3) dan (4).
Wali juga dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki si anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 52 jo. Pasal 48).
Wali dapat dicabut kekuasannya apabila sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak yang di bawah kekuasannya; juga apabila  wali berkelakuan buruk sekali. Apabila kekuasaan wali dicabut, maka Pengadilan dapat menunjuk orang lain sebagai wali (Pasal 53 jo. Pasal 49). 
Wali yang menyebabkan kerugian kepada harta benda si anak yang dibawah kekuasannya, atas gugatan/tuntutan si anak atau keluarganya dengan keputusan Pengadilan wajib mengganti kerugian tersebut (Pasal 54).
Wali ditetapkan oleh Pengadilan atau dapat pula karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal; sedapat mungkin wali diangkat dari keluarga terdekat atau dari orang-orang yang mempunyai pertalian darah terdekat dengan si anak atau orangtuanya yang karena sesuatu hal telah bercerai atau saudara-saudaranya yang dianggap cakap (dewasa, berpikiran sehat, jujur, adil berkelakuan baik) sebagai wali (Pasal 51 ayat (1) dan (2).


Perwalian dapat terjadi karena :
(1)          perkawinan orang tua putus  yang disebabkan oleh salah seorang  meninggal dunia atau karena bercerai;
(2)          kekuasaan orang tua dicabut, maka Pengadilan/ Hakim dapat mengangkat orang lain sebagai wali.
Ada tiga macam perwalian terhadap si anak, yakni :
(1)          Perwalian karena undang-undang, adalah perwalian yang  ditentukan oleh undang-undang untuk mengurus kepentingan si anak; misal : apabila salah satu orang tua meninggal, maka yang menjadi wali adalah orang tua yang masih hidup;
(2)          Perwalian karena wasiat, yaitu perwalian yang ditunjuk berdasarkan wasiat atau diwasiatkan oleh orang tua si anak sebelum orang tuanya meninggal;
(3)          Perwalian Keputusan Pngadilan, artinya penunjukan wali oleh Hakim atau berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3.             Pengampuan (Curatele Pasal 433 s/d.462 B.W.)
Lembaga  Pengampuan (Curatele) ini tidak dicabut oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Lembaga Pengampuan masih diperlukan untuk masa sekarang atau mendatang, meskipun dalam praktek lembaga ini tidak banyak berperanan atau diperlukan di masyarakat.
Curatele adalah suatu pengawasan terhadap orang dewasa yang karena keadaan tertentu tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri secara wajar.
Pengampuan dilakukan terhadap orang  dewasa karna (1) sakit ingatan, (2) pemboros, (3) lemah daya pikirnya (4) pemabok yang menjadi kebiasaan. Pengampuan dilakukan karena orang  yang bersangkutan tidak sanggup mengurus kepentingannya sendiri dengan semestinya, atau  disebabkan kelakuan buruk di luar batas sehingga dapat  mengganggu keamanan. Oleh karena itu diperlukan adanya Pengampu (kurator). Orang yang di ampu (di bawah pengampuan) disebut “kurandus”. Orang yang dibawah pengampuan (kurandus) kedudukannya disamakan dengan orang belum dewasa.
Biasanya suami menjadi pengampu  isterinya atau sebaliknya. Pengadilan dapat  mengangkat orang lain atau perkumpulan-perkumpulan menjadi pengampu (curator). Balai Harta Peninggalan dapat menjadi pengampu atas harta benda kurandus atau pemberi ijin bilamana kurandus ingin melangsungkan perkawinan.
Penetapan di bawah pngampuan dapat dimintakan oleh suami atau istri keluarga sedarah. Kejaksaan dan dalam hal lemah daya ingat atau pikiran hanya boleh atas permintaan yang berkepentingan saja.
Pengampuan berakhir apabila alasan-alasan yang menyebabkan pengampuan  sudah tidak ada lagi (artinya kurandus sudah sembuh/sehat atau normal). Bagi anak atau orang yang belum dewasa yang dalam keadaan dungu, sakit otak atau gelap mata, tidak boleh ditempatkan di bawah pengampuan (curatele), melainkan tetap dalam pengawasan orang tuanya atau walinya.

4.             Hukum Perkawinan menurut Hukum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Hukum perkawinan ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan tujuan hidup bersama sebagai suami-isteri untuk waktu yang lama menurut ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP),  maka hukum nasional (hukum positip) yang mengatur tentang perawinan, perceraian dan akibat hukumya adalah yang diatur oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Perundang-undangan perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dinyatakan dicabut atau tidak berlaku sepanjang sudah diatur dan tidak bertentangan dengan UUP ini.
.
5.             Dasar-dasar Perkawinan
Dalam Undang-undang  No. 1 Tahun 1974 (UUP) ditentukan  asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yan telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas  yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:
a.              Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b.             Sahnya Perkawinan
Dalam UU. No. 1 Tahun 1974 ditentukan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut aturan perundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c.              Asas Monogami
UU. No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami; hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
d.             Usia Perkawinan
Undang-undang perkawinan menganut asas bahwa, calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tidak berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan di bawah umur. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin, yaitu 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan, 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
e.              Mempersukar terjadinya perceraian
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka UU. No.1 Tahun 1974 menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
f.              Hak dan kedudukan isteri
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.

6.             Jaminan Kepastian Hukum
Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku, yang dilakukan berdasarkan  hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal tidak diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1974, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang sudah ada.

7.             Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UUP).
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian, tetapi unsur batin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia, erat hubungan dengan keturunan, pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi  kewajiban orang tua adalah merupakan tujuan perkawinan.

8.             Syarat Sahnya Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) UUP menetapkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang perkawinan.
Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakan menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) UUP dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 2 ayat 2).

9.             Asas Monogami dalam Perkawinan
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 3 ayat (1). Dari ketentuan ini jelaslah, bahwa Undang-undang Perkawinan ini menganut asas monogami; namun dalam pasal 3 ayat (2) UUP ditegaskan, bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Adapun yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam pasal 3 ayat (2), menurut pasal 63 UUP ialah :
a.              Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
b.             Pengadilan umum bagi lainnya.
Pengadilan yang bersangkutan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat untuk dapat beristeri lebih dari seorang (tersebut dalam pasal 4 dan pasal 5 UUP) telah dipenuhi, harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.
Menurut ketentuan pasal 4 ayat (1) UUP, bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Akan tetapi Pengadilan dimaksud hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.              isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.             isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.              isteri  tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya menurut Pasal 5 ayat (1) UUP, bahwa untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; (b) adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya; (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Persyaratan “adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri” tidak diperlukan apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

10.         Syarat-syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan
Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditegaskan dalam Pasal 6 UUP yaitu:
(a)           Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(b)          Ditetapkan syarat “persetujuan kedua mempelai” oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan yang telah disebutkan di muka.
(c)           Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(d)          Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(e)           Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau kelluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(f)           Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2) (3) dan (4) pasal ini.
(g)          Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Selanjutnya dalam pasal 7 UUP ditegaskan hal-hal yang berikut:
(a)           Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(b)          Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(c)           Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 yat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

11.         Larangan Perkawinan
Menurut pasal 8 UUP, perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a.              berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b.             berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.              berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d.             berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
e.              berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
f.              berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
g.             yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Menurut pasal 9 UUP seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali jika:
1)             mendapat izin dari Pengadilan (berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (2) UUP yang disebutkan di muka).
2)             dengan alasan bahwa isteri (Pasal 4 ayat 2 UUP):
a)             tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b)             mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c)             tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi; sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10).
Oleh karena perkawinan bertujuan  agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu perbuatan yang dapat mengakibatkan perceraian harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
Adapun seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu (Pasal 11 ayat 1). Jangka waktu tunggu tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah  No. 9 Tahun 1975. Dalam pasal 39 disebutkan sebagai berikut : (a) apabila perkawinan putus karena kematian,  waktu tunggu 130 hari; (b) apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari; (3) apabila perkawinan putus, sedang jandaa tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Demikian pula tata cara pelaksanaan perkawinan, menurut pasal 12 UUP diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Ketentuan pasal 12 UUP ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Undang-Undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh luar Jawa dan Madura.

12.         Pencegahan Perkawinan (Pasal 13 sampai dengan 21)
1.             Syarat dan pihak yang berhak mencegah perkawinan
Menurut pasal 13 UUP, perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Adapun para pihak yang dapat mencegah perkawinan menurut pasal 14 ayat (1) ialah:
a.              para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
b.             saudara;
c.              wali nikah;
d.             wali;
e.              pengampu dari salah seorang calon mempelai;
f.              pihak-pihak yang berkepentingan.
Selanjutnya dalam pasal 14 ayat (2) ditegaskan bahwa, mereka yang tersebut pada pasal 14 ayat (1) berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam pasal 14 ayat (1).
Selain itu menurut pasal 15 UUP, bahwa barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UUP ini. Hal ini berarti bahwa yang bersangkutan tidak dapat mencegah apabila perkawinan tersebut mendapat izin Pengadilan, karena:
a.              isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b.             isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.              isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

2.             Pejabat yang berwenang mencegah berlangsungnya perkawinan
Juga seorang pejabat yang ditunjuk, menurut pasal 16 ayat (1) berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berikut:
a.              pihak pria belum mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita belum mencapai umur 16 tahun (vide pasal 7 ayat 1)
b.             terkena larangan perkawinan karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 8 UUP tersebut di atas.
c.              seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain dan tidak mendapat izin pengadilan untuk dapat kawin lagi (vide pasal 9).
d.             suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (vide pasal 10).
e.              tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan, yang akan diatur tersendiri (vide pasal 12). Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada pasal 16 ayat (1) yang disebutkan di atas akan diatur dalam peraturan perundangan (pasal 16 ayat (2).
Pencegahan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat pekawinan. Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan-permohonan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

3.             Pegawai Pencatat Perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan yang melanggar peraturan UUP
Sesuai dengan ketentuan pencegahan perkawinan sub (a) sampai dengan (e) dalam pasal 16 sub (f) yang disebutkan di muka, maka pegawai pencatat perkawinan, menurut pasal 20 UUP, tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 UUP, meskipun tidak ada pencegahan perkawinan (yang diajukan oleh para pihak yang bersangkutan).
Kemudian dalam 21 UUP ditegaskan, bahwa jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak untuk melangsungkan perkawinan. Di dalam penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberi keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan cara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.
Penetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.



13.         Batalnya Perkawinan (Pasal 22 sampai dengan 28)
1.             Syarat-syarat pembatalan perkawinan
Menurut pasal 22 UUP suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, menurut pasal 21 UUP ialah:
a.              para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b.             suami atau isteri;
c.              pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d.             pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini (pasal 24).
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri (pasal 25).
Menurut ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUP suatu perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal 26, gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang telah dibuat pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Selain itu seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
Apabila ancaman telah berhenti, atau yang salah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

2.             Saat batalnya perkawinan
Menurut pasal 28 ayat (1) UUP batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku surut apabila:
a.              anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b.             suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c.              orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 28 ayat (2).

14.         Perjanjian Perkawinan (Pasal 29 UUP )
Berkenaan dengan perjanjian perkawinan dalam pasal 29 UUP ditegaskan sebagai  berikut:
(1)          pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2)          Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3)          Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4)          Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

15.         Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 30 sampai dengan 34)
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30).
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak untuk melakukan perbuatan hukum.
Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga (Pasal 31).
Suami isteri saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Rumah tempat kediaman yang dimaksud ditentukan oleh suami isteri bersama (Pasal 32).
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain (Pasal 33). Selanjutnya dalam pasal 34 UUP ditegaskan, bahwa:
(1)          suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2)          istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.
(3)          Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

16.         Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 35 sampai dengan 37)
Berkenaan dengan harta benda dalam perkawinan menurut pasal 35 UUP, bahwa:
(1)          harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
(2)          harta benda dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 UUP).

17.         Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya (Pasal 38 sampai dengan 41)
1.             Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Menurut pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena:
1)             kematian;
2)             perceraian;
3)             atas keputusan pengadilan
Perceraian hanya dapat dilakuan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai isteri (Pasal 39).
Menurut Penjelasan Pasal 39 UUP jo. Pasal 19 P.P. No. 9 Tahun 1975, alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah :
a.              salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.             salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c.              salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.             salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e.              salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.              antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Mengenai tatacara perceraian di depan sidang pengadilan  diatur dalam peraturan perundangan tersendiri (Pasal 39 ayat (3) UUP).
Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan, tatacara mengajukan gugatan perceraian diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri (Pasal 40 UUP).

2.             Akibat Putusnya perkawinan (Pasal 41 UUP)
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut pasal 41 adalah:
a.              baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b.             bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.              Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

18.         Kedudukan Anak
Anak yang sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42).
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebut selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 43).
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan (Pasal 44)
Untuk itu pengadilan mewajibkan yang berkepentingan yakni suami dan atau isteri, termasuk juga saksi (bila ada) mengucapkan sumpah.
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud nerlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus (Pasal 45).
Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dankeluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya (Pasal 46).
Anak, yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47)
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48).
Menurut Pasal 49 UUP, bahwa:
(1)          salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang lama yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keuarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a.              Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b.             Ia berkelakuan buruk sekali.
(2)          meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan “kekuasaan” dalam Pasal 49 tersebut di atas tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah (Penjelasan Pasal 49 UUP).


19.         Perwalian
1.             Arti Perwalian
Pewalian (voogdij) adalah pengawasan atau pemeliharaan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah keuasaan orangtuanya serta pengurusan harta benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Ada tiga faktor atau penyebab anak-anak di bawah umur di bawah perwalian, yakni : (a). kedua orang tuanya dicabut  kekusaannya sebagai orang tua oleh Hakim; (b). orang tuanya bercerai atau meninggal dunia; (c). anak yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind)
Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya (Pasal 50).
Wali dapat ditunjuk oleh salah satu orang tua (papak atau ibunya) yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi.
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil jujur dan berkelakuan baik.

2.             Kewajiban dan Tanggung Jawab Wali
Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta benda sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
Wali wajib membuat daftar harga benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya (tugas perwalian) dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu. Untuk itu wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaiannya (Pasal 51 UUP).
Ketentuan pasal 48 UUP mengenai kewajiban orang tua terhadap anak, berlaku juga terhadap wali (Pasal 52 UUP), berarti wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang di bawah penguasaannya, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Menurut Pasal 53 UUP, wali dapat dicabut dari kekuasaannya dengan keputusan pengadilan, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 UUP, yaitu:
a.              Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak yang di bawah penguasaannya;
b.             Ia berkelakuan buruk sekali.
Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (Pasal 54).

20.         Ketentuan-ketentuan Lain
1.             Pembuktian Asal Usul Anak
Berkenaan dengan pembuktian asal usul anak dalam Pasal 55 ditegaskan sebagai berikut:
(1)          asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang;
(2)          bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat;
(3)          atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

2.             Perkawinan di luar Indonesia
Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan itu dilangsungkan, dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan UUP ini. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka (Pasal 56).

3.             Perkawinan Campuran
a.             Arti Perkawinan Campuran
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UUP ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
b.             Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58).
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini (Pasal 59).
c.             Syarat-syarat melangsungkan perkawinan campuran menurut pasal 60, bahwa:
(1)          perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi;
(2)          untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipernuhi.
(3)          jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan. Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4)          jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5)          surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
d.             Pencatatan Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dicatat oleh pencatat yang berwenang. Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum dengan hukum jabatan (Pasal 61).
Selanjutnya dalam Pasal 62 UUP ditegaskan bahwa, dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan pasal 59 ayat (1), yaitu bahwa kewarganegaraan si anak yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan orang tuanya menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
4.             Pengadilan
Yang dimaksud dengan pengadilan dalam UUP ini adalah:
a.             Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
b.             Pengadilan Umum bagi lainnya.
7.             Hukum Benda
Benda (zaak) dalam arti Ilmu Pengetahun Hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum. Menurut pasal 499 B.W. benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat menjadi milik orang (obyek hak milik). Benda-benda tersebut dapat dibedakan menjadi:
a.              Benda tetap atau benda tidak bergerak (onroerend), ialah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak misalnya bangun-bangunan, tanah, tanam-tanaman (karena sifatnya), mesin-mesin pabrik, sarang burung yang dapat dimakan (karena tujuannya), hak opstal, hak erfpacht, hak hipotik (karena penentuan undang-undang) dan sebagainya.
b.             Benda bergerak (roerend), ialah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penentuan undang-undang dianggap benda bergerak misalnya alat-alat perkakas, kendaraan, binatang ternak (karena sifatnya), hak-hak terhadap surat-surat berharga (karena undang-undang) dan sebagainya.
Benda-benda itu juga dapat dibedakan lagi menjadi:
a.              benda-benda berwujud (lichamelijk)  disebut barang-barang dan;
b.             benda-benda tak berwujud (onlichamelijk) disebut hak-hak;
c.              benda-benda yang  dipakai habis (vebruikbaar) contoh : bensin,makanan;
d.             benda-benda dipakai tidak habis (onverbruikbaar) contoh : emas perhisan;
e.              benda yang sudah ada (tegenwoordige);
f.              benda yang masih akan ada (toekomstige zaken);
g.             benda perdagangan (zaken in de handel);
h.             benda di luar perdagangan (zaken buiten de handel).
i.               benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi;
j.               benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti.
Benda-benda ini dapat dimiliki dan dikuasai oleh manusia dan karena itu diperlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan benda-benda atau antara subyek hukum dengan obyek hukum.Dengan demikian muncullah peraturan-peraturan tentang hukum kebendaan (zakelijke rechten) yang bersifat mutlak (absolute recht) artinya dapat berlaku dan harus dihormati oleh setiap orang.
Hak yang bersifat mutlak dalam lapangan keperdataan meliputi:
(1)          benda-benda berwujud, misalnya hak bezit, hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht, hak gadai, hak hipotik dan sebagainya.
(2)          Benda yang tidak berwujud, seperti hak panenan, hak pengarang (hak cipta), hak oktroi (paten), hak merk, dan sebagainya.
Di dalam buku ke II B.W. diatur beberapa hak kebendaan, antara lain:
a.              Hak Bezit (Kedudukan berkuasa), yaitu kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang dipertahankan atau dinikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu (Pasal 529 B.W.).
b.             Hak Eigendom  (Recht van Eigendom, pasal 570 - 672 B.W.) atau hak milik Barat, ialah hak untuk menikmati dengan bebas dan menguasai mutlak sesuatu benda, asal tidak dipergunakan yang bertentangan dengan undang-undang, peraturan-peraturan lain dan tidak mengganggu kepentingan orang lain; kesemuanya itu sekedar tidak diadakan pencabutan hak milik (onteigening) oleh negara untuk kepentingan umum.
c.              Hak pengabdian pekarangan (Servituut, pasal 674 - 708 B.W.) ialah kewajiban terhadap pekarangan yang berdekatan dengan kepunyaan orang lain, untuk mengizinkan memakai atau menggunakan perkarangan tersebut.
d.             Hak Opstal (Recht van Opstal, pasal 711 - 719 B.W.) atau hak numpang karang ialah hak untuk mempunyai atau mendirikan bangunan-bangunan atau tanaman di atas tanah milik orang lain. Untuk mendirikan bangunan atau menanami tanah itu, diperlukan izin pemiliknya, sedangkan orang itu tidak perlu memiliki tanah sendiri.
e.              Hak Erfpacht (Recht van Erfpacht pasal 720 - 736 B.W.) atau hak usaha, ialah suatu hak untuk mempergunakan benda tetap kepunyaan orang lain dengan kemerdekaan penuh, seolah-olah menjadi miliknya sendiri, dengan pembayaran uang canon (pacht) pada tiap-tiap tahun baik berupa uang ataupun benda lain atau buah-buahan.
f.              Hak Pakai Hasil (Vruchtgebruik,  pasal 756 - 817 B.W.) ialah hak atas benda tetap atau benda bergerak, untuk menggunakan seluruhnya serta memungut hasil dan buahnya sedang sifat benda tersebut tidak boleh berubah ataupun berkurang nilainya, sebab itu undang-undang mengharuskan ada jaminan gadai, hipotik, atau tanggungan orang.
g.             Hak Gadai (Pand pasal 1150 - 1160 B.W.) adalah hak seseorang kreditur (penagih) atas sesuatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya sebagai jaminan dari hutangnya dengan ketentuan bahwa kreditur tersebut harus dibayar lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya dengan jalan melelang benda tersebut di muka umum.
h.             Hak Hipotik (pasal 1162 - 1232 B.W.) ialah hak tanggungan seperti hak gadai; akan tetapi benda yang dijadikan jaminan berupa benda tetap (rumah, tanah dan sebagainya). Kapal yang muatannya 20 m3 ke atas, segala hak-hak kebendaan seperti hak postal, erfpacht, pemakaian hasil dan lain-lain dapat dibebani hipotik.
Hak-hak kebendaan yang tersebut dalam huruf a – f disebut hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht). Sedangkan hak kebendaan tersebut pada huru g dan h (gadai dan hipotek) serta hak Tanggungan dan Fiducia yang diatur tersendiri dalam undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Fiducia dan diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah dan benda-benda yang berkaiatan dengan tanah, disebut  hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk zakerheidsrecht).
Pada tahun 1960 dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang disingkat (UUPA), telah mencabut atau menyatakan tidak berlakunya Buku II B.W. yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik masih tetap berlaku.
Kedudukan obyek hipotik juga mengalami perubahan, sejak diberlakukannya Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang berkaitan Dengan Tanah (disingkat UUHT). Dengan berlakunya UUHT, obyek hipotik bukan lagi tanah melainkan benda-benda yang diatur dalam pasal pasal 314 KUHD (W v K) yakni kapal-kapal yang isi muatanya 20m3  lebih.
Dengan diberlakukannya UUPA,  telah menghapuskan pasal-pasal B.W. yang mengatur tentang tanah atau benda tidak bergerak/benda tetap. Dengan telah dihapuskannya pasal-pasal BW yang mengatur bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya ( benda tidak bergerak), maka  segala ketentuan atau pasal-pasal yang mengenai benda tidak bergerak atau hak-hak  atas tanah  oleh UUPA telah diganti dengan  hak-hak atas tanah sebagai berikut :
a)             Hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah itu mempunyai fungsi sosial.
b)             Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun (untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan untuk waktu 35 tahun), waktu mana dapat diperpanjang paling lama 25 tahun;
c)             Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, waktu mana dapat diperpanjang paling lama 20 tahun;
d)            Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah;
e)             Hak sewa, seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak mepergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

8.             Hukum Perikatan
Hukum Perikatan (verbintenissenrecht) diatur di dalam Buku III B.W. yang memuat masalah-masalah yang berhubungan dengan perikatan. Di dalamnya diatur hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan yang lain, khususnya apabila menimbulkan hak dan kewajiban yang terjadi karena pemenuhan perikatan maupun akibat tidak dipenuh perikatan.
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yaitu antara kreditur dan debitur dibidang harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas suatu prestasi,dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi.
Dari pengertian perikatan tersebut, pihak yang berkewajiban memenuhi perikatan disebut “debitur”, pihak yang berhak atas pemenuhan sesuatu perikatan disebut “kreditur”. Kreditur dan debitur disebut “subyek hukum”.
Yang menjadi “obyek perikatan” antara kreditur dan debitur adalah “prestasi”.  Menurut pasal 1234 B.W.  macam-macam prestasi berupa :
1.             memberikan sesuatu, seperti membayar harga, menyerahkan barang dan sebagainya;
2.             berbuat sesuatu misalnya memperbaiki barang yang rusak, membongkar bangunan, membangunkan rumah;
3.             tidak berbuat sesuatu misalnya untuk tidak mendirikan sesuatu bangunan, untuk tidak menggunakan merk dagang tertentu.
Kalau debitur tidak memenuhi atau tidak menepati perikatan disebut “cidera janji” atau “wanprestasi”. Sebelum dinyatakan cidera janji terlebih dahulu harus dilakukan somasi (ingebrekestelling) yaitu suatu peringatan kepada debitur agar memenuhi  “prestasi” (kewajiban)-nya.
Seorang debitur dinyatakan wanprestasi apabila :
1.             Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2.             Memenuhi prestasi tapi terlambat;
3.             Memenuhi prestasi tapi salah/keliru.
Apabila seorang debitur dalam keadaan tertentu beranggapan bahwa perbuatannya  akan merugikan, maka ia dapat meminta pembatalan perikatan.
Apabila debitur wanprestasi, maka kreditur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan (gugatan) menurut pasal 1267 B.W. yaitu :
1.             Pemenuhan perikatan;
2.             Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian;
3.             Ganti kerugian;
4.             Pembatalan perjanjian timbal  balik;
5.             Pembatalan dengan ganti kerugian;
Macam-macam  perikatan antara lain:
1 a.    Perikatan Sipil (Civiele verbintenissen), yaitu perikatan yang apabila tidak dipenuhi dapat dilakukan gugatan (hak tagihan) misalnya jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa dan sebagainya.
 b.   Perikatan Wajar (Natuurlijke verbintenissen) yatu perikatan yang tidak mempunyai hak tagihan akan tetapi kalau sudah dibayar atau dipenuhi tidak dapat diminta kembali; misalnya hutang karena taruhan atau perjudian, persetujuan di waktu pailit dan sebagainya.
2 a.    Perikatan yang dapat dibagi (deelbare verbintenissen) yaitu perikatan yang menurut sifat dan maksudnya dapat dibagi-bagi dalam memenuhi prestasinya, misalnya perjanjian membangun rumah, jembatan dan sebagainya.
 b.   Perikatan yang tak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissen) yaitu perikatan yang menurut sifat dan maksudnya tak dapat dibagi-bagi dalam melaksanakan prestasinya, misalnya perjanjian menyanyi.
3 a.    Perikatan pokok (Principale verbintenissen atau hoofdverbintenissen) ialah perikatan yang dapat berdiri sendiri tidak tergantung pada perikatan-perikatan lainnya, misalnya: jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan sebagainya.
 b.   Perikatan tambahan (accessoire verbintenissen atau nevenverbintenissen) ialah perikatan tambahan dari perikatan pokok dan tak dapat berdiri sendiri, misalnya perjanjian gadai, hipotik, hak tanggungan adalah merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian hutang piutang.
4 a.    Perikatan spesifik (spesifieke verbintenissen) yaitu perikatan yang secara khusus ditetapkan macam prestasinya.
 b.   Perikatan generik (generieke verbintenissen), yaitu perikatan yang hanya ditentukan menurut jenisnya.
5 a.    Perikatan sederhana (eenvoudige verbintenissen), perikatan yang hanya ada satu prestasi yang harus dipenuhi oleh debitur.
 b.   Perikatan jamak (meervoudige verbintenissen) yaitu perikatan yang pemenuhannya oleh debitur lebih dari satu macam prestasi harus dipenuhi maka disebut bersusun (cumulatieve verbintenis), tapi jika hanya salah satu saja di antaranya yang harus dipenuhi itu maka disebut perikatan boleh pilih (alternatife verbintenis). Perikatan fakultatif (fakultatife verbintenis) ialah perikatan yang telah ditentukan prestasinya, akan tetapi jika karena sesuatu sebab tidak dapat dipenuhi maka debitur berhak memberi prestasi yang lain.
6 a.    Perikatan murni (zuivere verbintenis) ialah perikatan yang prestasinya seketika itu juga wajib dipenuhi.
 b.   Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) ialah perikatan yang pemenuhannya oleh debitur, digantungkan kepada suatu syarat, yaitu keadaan-keadaan yang akan datang atau yang pasti terjadi, jika perikatannya itu pemenuhannya masih digantungkan pada waktu tertentu maka disebut perikatan dengan penentuan/berketapan waktu (verbintenis met tijdsbepaling).
Dari Hukum Perikatan dapat timbul hak-hak relative (hak-hak perseorangan/persoonlijke rechten) yaitu hak-hak yang hanya wajib dihormati dan diakui oleh orang-orang yang berkepentingan karena hubungan perikatan saja misalnya hak tagihan, hak menyewa, hak memungut hasil dan sebagainya.
Menurut Pasal 1381 B.W., suatu perikatan dapat hapus   karena :
a)             Pembayaran (betaling) yaitu jika kewajiban terhadap perikatan itu telah dipenuhi (dipenuhinya prestasi). Pembayaran harus diartikan secara luas, misalnya seorang pekerja melakukan pekerjaan termasuk juga pembayaran. Ada kemungkinan pihak ketiga yang membayar hutang seorang debitur kemudian sendiri menjadi kreditur baru pengganti kreditur yang lama. Keadaan semacam itu disebut subrogasi.
b)             Penawaran pembayaran tunai diikuti penyimpanan (consignatie), ialah pembayaran tunai oleh debitur kepada kreditur, namun tidak diterima oleh kreditur tetapi kemudian oleh debitur dititipkan atau disimpan di Pengadilan Negeri. Kalau pengadilan mengesahkan pembayaran itu maka perikatan dianggap hapus.
c)             Pembaharuan hutang (novasi) adalah apabila hutang yang lama digantikan dengan  hutang yang baru.
d)            Imbalan (vergelijking) atau kompensasi, ialah apabila kedua belah pihak saling mempunyai hutang, maka hutang mereka masing-masing diperhitungkan; misalnya A mempunyai hutang  kepada B Rp. 100.000,00;  dan B mempunyai hutang keapada A Rp 75.000,00, maka jika diadakan kompensasi, sisa hutangnya A kepada B masih Rp 25.000,00.
e)             Percampuran hutang (Schuldvermenging) yakni apabila pada suatu perikatan kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu (menyatu) pada satu orang. Misalnya  pada warisan, perkawinan dengan harta gabungan dan sebagainya.
Contoh:
Debitur  (A) mempunyai hutang kepada kreditur (B). Kemudian debitur (A) kawin dengan kreditur (B), maka terjadilah percampuran harta dalam perkawinan. Dengan demikian hapuslah hutang debitur (A) kepada kreditur (B).
f)              Pembebasan hutang (kwijtschelding der schuld) adalah perbuatan hukum  kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya kepada debitur.
g)             Kebatalan dan pembatalan (nietigheid of te niet doening), yakni apabila dalam perikatan tidak terpenuhinya syarat subyektip mengenai syarat sahnya perjanjian, maka perikatan (perjanjian) dapat dibatalkan. Di sini harus ada perbuatan pembatalan, bukan batal demi hukum. Kalau batal demi hukum, dianggap tidak ada perikatan/perjanjian. Batal demi hukum atau batal dengan  sendirinya tidak diperlukan tindakan pembatalan.
h)             Hilangnya/musnahnya benda yang diperjanjikan (het vergaan der verschuldigde zaak), yakni apabila benda yang diperjanjikan musnah atau hilang atau menjadi tidak dapat diperdagangkan, maka perikatan menjadi hapus.
i)               Berlakunya syarat batal (door werking ener ontbindende voorwaarde), adalah suatu perikatan yang sudah ada (sudah terjadi) yang berakhirnya digantungkan pada peristiwa yang belum tentu atau tidak tentu terjadi. misalnya : A mengadakan perjanjian sewa menyewa rumah (sudah terjadi pejanjian) dengan B. Perjanjian sewa akan berakhir apabila  Rumah A sudah selesai dibangun (dapat ditempati). Perikatan ini berbeda dengan perikatan berketetapan waktu maupun perikatan bersyarat.
j)               Kadaluwarsa (verjaring), daluwarsa atau lewat waktu menurut pasal 1946 adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu, atas suatu syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut Pasal 1967 B.W., bahwa segala tuntutan hukum baik bersifat kebendaan maupun perseorangan, hapus karena daluwasa dengan lewatnya waktu 30 tahun.
Menurut pasal 1233 B.W. ada dua macam sumber hukum perikatan, yakni :
A.           Perjanjian (Pasal 1313 s/d. 1351 B.W.);
B.            Undang-undang (Pasal 1352 s/d. 1380 B.W.).
Ad.A.  Hukum Perikatan yang bersumber pada Perjanjian
Perjanjian  adalah suatu persetujan antara seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. (Pasal 1313 B.W.).
Suatu perjanjian dianggap sah apabila dipenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
1.             Ada kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya; (ada persetujuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian); artinya pihak-pihak yang  membuat perjanjian harus mempunyai kemauan secara sukarela atau bebas untuk mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian. Kemauan (kehendak) sukarela (bebas) merupakan syarat utama untuk sahnya suatu perjanjian. Perjanjian “dapat dibatalkan” apabila syarat kesepakatan (kemauan bebas/sukarela) tidak dipenuhi, misalnya terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog).
2.              Ada kecakapan untuk membuat perjanjian; artinya kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri (rechtsbekwaamheid/ capacity), misalnya : dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum. Apabila syarat kecakapan tidak dipenuhi, maka perjajian “dapat dibatalkan”.
3.              Ada suatu hal tertentu; artinya barang yang menjadi “obyek” perjanjian harus ditentukan jenisnya. Apabila syarat “suatu hal tertentu” tidak dipenuhi, maka perjanjian “batal demi hukum”.
4.             Ada suatu sebab yang halal (causa halal); artinya jika suatu perjanjian tidak ada “sebab” atau “causa” (oorzaa), maka perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum. Pengertian lain  “sebab atau causa” yang halal ialah  tidak boleh bertentangan dengan undang, kesusilaan dan ketertiban/kepentingan umum. Suatu perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum menjadi “batal demi hukum”. 
 Kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat “subyektif”, yang apabila salah satunya tidak dipenuhi dalam suatu perjanjian, maka perjanjian “dapat dibatalkan”. Selain itu  adanyan hal tertentu” atau “sebab yang  halal”  sebagai syarat “obektif” apabila tidak ada dalam suatu perjanjian, maka perjanjian “batal demi hukum”. Artinya dianggap  “tidak pernah ada suatu perjanjian”.
Perjanjian merupakan salah satu  sumber (pokok)  perikatan yang lebih banyak diatur dalam B.W. dibandingkan dengan perikatan yang lahir karena Undang-undang.
 Jenis-jenis perjanjian tertentu (perjanjian khusus) yang diatur di dalam buku III B.W. antara lain :
1.             Perjanjian jual beli (koop en verkoop)
Jual beli adalah suatu persetujuan antara dua pihak, dimana pihak ke satu berjanji akan menyerahkan suatu barang dan pihak lain akan membayar harga yang telah disetujuinya.
Syarat-syarat jual beli ialah:
a)             harus antara mata uang dan barang.
b)            Barang yang dijual adalah milik sendiri
c)             Jual beli itu bukan antara suami istri yang masih dalam perkawinan
Untuk menghindarkan atau mengurangi resiko-resiko tersebut maka pada waktu sekarang ada macam-macam jual beli sebagai berikut:
a)             jual beli dengan percobaan (koop op proef) yaitu jual beli yang berlakunya masih ditangguhkan pada hasil-hasil percobaan dalam satu masa. Jika si pembeli menyetujui, maka jadilah perikatan itu, jika tidak, maka perikatan itu tidak berlaku.
b)            Jual beli dengan contoh (koop en monster) yaitu jual beli yang disertai contoh-contoh jenis barang yang ditawarkan. Contoh-contoh ini maksudnya untuk disamakan dengan barang-barang yang akan diterimanya nanti. Jika barang-barang yang diterima pembeli tidak sama jenisnya dengan contoh, maka ia dapat menuntut pembatalan jual beli.
c)             Beli sewa (huurkoop) adalah perjanjian jual beli dimana si pembeli menjadi pemilik mutlak dari barang yang dibelinya itu, pada saat angsuran terakhir telah dibayar, sedangkan selama barang itu belum lunas dibayar, kedudukan si pembeli sama dengan seorang penyewa. Jika si pembeli sewa tidak mau membayar sewanya perikatan dapat diputuskan.
2.             Perjanjian tukar menukar (Pasal 1541 B.W.), ialah sama dengan perjanjian jual beli, tetapi bedanya pada tukar menukar kedua belah pihak berkewajiban saling untuk menyerahkan barang, sedangkan pada jual beli pihak yang satu wajib menyerahkan barang pihak yang lain menyerahkan uang.
3.             Perjanjian sewa menyewa (Pasal 1548 B.W.), ialah suatu perjanjian dimana pihak pertama (yang menyewakan) memberi izin dalam waktu tertentu kepada pihak lain (si penyewa) untuk menggunakan barangnya dengan kewajiban dari si penyewa untuk membayar sejumlah uang sewaannya.
4.             Perjanjian kerja/perburuhan  (Pasal 1601 B.W.) adalah suatu perjanjian dimana pihak pertama (buruh, pekerja) akan memberikan tenaganya untuk melakukan sesuatu pekerjaan bagi pihak lain (majikan) dengan menerima upah yang telah ditentukan.
5.             Perserikatan/perseroan perdata (Pasal 1618 B.W.), adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang yang mengikatkan dirinya masing-masing untuk mengumpulkan sesuatu (harta atau tenaga) dengan maksud membagi-bagi keuntungan yang diperoleh daripadanya.
6.             Pemberian hibah/hadiah (Pasal 1666 B.W.), adalah suatu perjanjian dimana pihak pertama akan menyerahkan suatu benda dengan sukarela karena kebaikannya kepada pihak lain yang menerima pemberian kebaikan itu.
Seperti juga pinjam pakai, pemberian hibah ini adalah suatu perjanjian unilateral (eenzijdig/sepihak), artinya suatu perjanjian yang isinya menyatakan bahwa hanya pihak pemberi sajalah yang wajib melaksanakan prestasi.
7.             Perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 B.W.), adalah suatu perjanjian, dimana pihak pertama (yang menitipkan) menyerahkan sesuatu barang untuk dititipkan dan pihak lain (yang dititipi) berkewajiban menyimpan barang tersebut dan mengembalikannya pada waktunya dalam keadaan semula.
8.             Pinjam pakai (Pasal 1740 B.W.), ialah perjanjian, dimana pihak pertama (yang meminjamkan) memberikan sesuatu benda untuk dipakai, sedangkan pihak lain (meminjam) berkewajiban mengembalikan barang tersebut tepat pada waktunya dan dalam keadaan semula.
9.             Pinjam pakai sampai habis (Pasal 1754 B.W.), adalah suatu perjanjian dimana pihak pertama (yang meminjamkan) menyerahkan sejumlah barang-barang yang habis dipakai kepada pihak lain (si peminjam) dengan ketentuan pihak terakhir ini (si peminjam) akan mengembalikannya sebanyak jumlah yang sama jenisnya dengan barang-barang yang telah dipinjamnya.
10.         Perjanjian untung-untungan diatur di dalam pasal 1774 – 1791 B.W. Perjanjian untung-untungan adalah suatu perjanjian yang hasilnya mengenai untung rugi, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak tergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu terjadi. Perjanjian untung-untungan yang dimaksud oleh pasal 1774 B.W. termasuk di dalamnya meliputi : persetujuan pertanggungan atau asuransi, bunga cagak hidup (lijfrente), perjudian dan pertaruhan (spel en weddenschap). Persetujuan pertanggungan/ asuransi diatur lebih lanjut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan peraturan perundang-undangan selain KUHD.
11.         Pemberian kuasa (beban) diatur dalam pasal 1792 B.W. adalah suatu perjanjian dimana seseorang (Lastgever) memberikan sesuatu guna kepentingan dan atas nama si pemberi kuasa (beban).
Pemberian kuasa (beban) dibedakan menjadi 2 macam :
a)              perwakilan langsung ialah apabila yang diberi kuasa itu menghubungkan si pemberi kuasa langsung dengan pihak yang dihubungi, misalnya makelar;
b)             perwakilan tak langsung ialah apabila yang memberi kuasa itu tidak berhubungan langsung dengan pihak yang dihubungi melainkan hubungannya melalui orang diberi kuasa misalnya komisioner.
12.         Pertanggung orang (Borgtocht) diatur dalam pasal 1820 B.W., adalah suatu perjanjian dimana seseorang (si penangung) wajib memenuhi perikatan seorang debitur kepada krediturnya, apabila debitur tadi tidak memenuhi kewajibannya.
Ada persamaan antara gadai, hipotik, fidusia, hak tanggungan atas tanah, dengan pertanggungan orang (Borgtocht) yaitu bahwa kesemuanya merupakan (1) perjanjian dengan jaminan (2) perjanjian assesor, sedangkan perbedaannya dengan gadai dan hipotik ialah bahwa, gadai hipotik sebagai jaminan kebendan, sedangkan pertanggungan orang (borgtocht) merupakan jaminan hak perseorangan.
13.         Perdamaian perkara (Dading) diatur dalam pasal 1851 B.W., adalah suatu perjanjian dimana pihak-pihak akan menyelesaikan secara damai perkara-perkara tentang penyerahan, janji, atau pengembalian sesuatu barang yang menjadi persengketaan.
Seorang menganggap dirinya sebagai yang berhak akan sesuatu, sedangkan orang lain menyangkal dan tidak mengakuinya. Timbul perselisihan. Untuk mencegah perselisihan hukum semacam itu kemudian mereka mengadakan persetujuan bahwa masing-masing akan mengorbankan sebagian dari kepentingannya untuk memperoleh kedamaian.

Ad.B. Perikatan yang bersumber pada Undang-undang (1352 s/d.1380 B.W.)
Perikatan yang terjadi karena undang-undang, ada  dua macam yaitu:
1)             Perikatan yang terjadi karena undang-undang saja;
2)             Perikatan yang terjadi karena undang-undang yang disebabkan oleh perbuatan manusia terdiri dari :
a.             perbuatan menurut hukum (rechtmatige daad);
b.             perbutan melanggar hukum (onrechtmatige daad).

Ad. 1)    perikatan yang terjadi karena undang-undang saja, karena suatu keadaan telah ditentukan oleh peraturan perundangan maka timbullah suatu perikatan seperti timbulnya hak dan kewajiban antar dua pihak, contoh : antar pemilik perkarangan yang berdekatan (servituut); timbulnya wajib nafkah (alimentasi) antara anak dan orang tuanya (Pasal 321 B.W.).
Ad. 2.a.)  perbuatan menurut hukum (rechtmatige daad) yaitu perbuatan manusia berdasarkan haknya seperti seseorang yang atas kerelaannya sendiri mengurus urusan orang lain (zaakwaarneming – Pasal 1354 B.W.) maka timbullah perikatan terhadap orang itu; seseorang yang dengan niat baik membayar hutang yang sebenarnya tidak ada (onverschuldige betaling- Pasal 1359 B.W.), maka timbullah ikatan-ikatan terhadap yang menerima uang untuk menyerahkan kembali dan orang yang telah membayarkan berhak menagih kembali.
Ad.2.b)   Tindakan melanggar hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam pasal 1365 B.W. dan seterusnya, contoh : seseorang melempar burung dengan batu dan mengenai genting rumah orang lain sehingga pecah. Menurut perasaan kesusilaan maupun kesopanan, perbuatan orang itu tidak patut, oleh karena itu wajib memperbaiki  atau memberikan ganti rugi.
Perlindungan hukum terhadap perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)  diatur dalam  pasal 1365 B.W. yang menyatakan ”Setiap tindakan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain, maka orang yang bersalah menyebabkan kerugian itu wajib memberi ganti kerugian”.
Untuk memberi batasan yang jelas tentang arti “perbuatan melanggar hukum”  jurisprudensi mengartikan bahwa perbuatan melanggar hukum itu adalah “Berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang: (1) melanggar hak orang lain, (2) atau berlawanan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat atau tidak berbuat itu sendiri, (3) atau bertentangan dengan tata susila maupun (4) berlawanan dengan sikap berhati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan masyarakat, terhadap diri atau barang orang lain.
Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila tindakan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan  dan kepatutan sebagaimana dikehendaki dari pergaulan masyarakat yang baik, tidak perlu khawatir bahwa perbuatannya itu tergolong dalam tindakan melanggar hukum.
Adapun hapusnya atau berakhirnya suatu perjanjian  disebabkan oleh :
1.             telah lampau waktunya
2.             telah tercapai tujuannya
3.             dinyatakan berhenti
4.             dicabut kembali
5.             diputuskan oleh hakim

9.             Hukum Pembuktian dan Daluwasa
Hukum Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijsen verjard) diatur dalam Buku IV KUH Perdata (B.W.). Pembuktian sebenarnya termasuk bagian Hukum Acara (procesrecht) yang sebenarnya tidak dimuat dalam B.W. (Hukum Perdata Material). Dalam hukum acara (perdata), perihal pembuktian telah dimuat dalam HIR. 
Di dalam B.W. Pembuktian diatur dalam pasal 1865 s/d.pasal 1945).
Menurut pasal 1865 B.W. “barang siapa menyatakan bahwa ia mempunyai hak atas sesuatu atau meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu  hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak-hak tersebut”.
Macam-macam alat bukti (Pasal 1866) antara lain  :
a.              bukti tertulis atau surat, yaitu pembuktian dengan surat-surat akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands). Surat/akte resmi (authentiek) ialah suatu akte dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte resmi. Surat akte dibawah tangan (onderhands) adalah surat-surat/tulisan-tulisan yang tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang;
b.             bukti kesaksian yaitu setiap orang yang diminta keterangannya oleh pengadilan/lembaga peradilan untuk memberikan kesaksian atas suatu kejadian/peristiwa tertentu yang dilihatnya dan  dialami sendiri.
c.              bukti persangkaan, ialah suatu kesimpulan dari suatu peristiwa yang sudah jelas dan nyata. Atau suatu kesimpulan atas suatu kejadian/peristiwa untuk membuktikan atas suatu perbuatan yang disangkal. Ada dua macam persangkaan, Pertama, persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (wettelijk vermoeden), adalah merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk menguntungkan salah satu pihak yang berperkara. Kedua, persangkaan yang ditetapkan oleh Hakim (rechterlijk vermoeden), persangkaan ini dilakukan Hakim terhadap suatu peristiwa yang pembuktiannya tidak dapat diperoleh dari  saksi-saksi. Misalnya persangkaan terhadap pelaku zinah, tidak harus melihat kejadiannya, cukup mengetahui masuk kamar hotel berdua..
d.             bukti pengakuan,  adalah pernyataan sepihak dari salah satu pihak yang berperkara (dalam suatu proses) yang membenarkan keterangan pihak lawan baik sebagian atau seluruhnya. Sebenarnya suatu pengakuan bukan suatu alat bukti, tetapi apabila salah satu pihak mengakui perbuatan yang dilakukan, berarti membebaskan  suatu kewajiban pihak lawan;
e.              bukti sumpah; menurut undang-undang ada dua macam sumpah, yaitu sumpah yang menentukan (decisoir eed) dan sumpah tambahan (supletoir eed). Sumpah yang menentukan (decisoir eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawannya dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh Hakim. Sumpah tambahan (supletoir eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim kepada salah satu pihak yang berperkara. Sumpah ini diperintahkan oleh Hakim, karena Hakim berpendapat sudah terdapat suatu “bukti permulaan” yang perlu ditambah dengan “penyumpahan”.
Ketentuan mengenai Daluwarsa (Verjaring) diatur dalam pasal 1946 s/d. pasal 1993 B.W.
Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya atau lampaunya waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1946 B.W.)
Berdasarkan pasal 1946 B.W.,ada (2) dua macam daluwarsa, yaitu : pertama adalah untuk memperoleh suatu hak-hak kebendaan (acquisitieve verjaring). Lembaga Acquisitieve verjaring, bukan dimaksudkan sebagai cara untuk memperoleh atau mengambil hak milik, melainkan untuk membuktikan atau sebagai bukti bahwa orang tertentu dan dalam waktu tertentu telah menguasai suatu benda dengan itikad baik. Menurut pasal 1963 B.W., bahwa seseorang yang beritikad baik berdasarkan alas hak yang sah, memperoleh sesuatu benda tak bergerak dengan jalan daluwarsa dengan suatu penguasaan selama  20 tahun, dan apabila ia menguasai 30 tahun tidak dapat dipaksa untuk mebuktikan alas hak. Kedua, daluwarsa sebagai alat untuk dibebaskan dari tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun perseorangan  atau perutangan (pasal 1967 B.W.). Daluwarsa yang kedua, tersebut  disebut “extinctieve verjaring”.
Dari uraian tersebut bahwa daluwarsa atas penguasaan suatu benda  atau yang bersifat hak kebendaan (acquisitieve verjaring) untuk benda tidak begerak  menjadi tidak berlaku setelah berlakunya UUPA, karena UUPA tidak mengenal lembaga daluwarsa untuk memperoleh maupun untuk melepaskan hak atas tanah. Tetapi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, seseorang dapat memperoleh tanah berdasarkan “rechtsverwerking” yakni mengusai secara fisik tanah selama 20 tahun berturut-turut karena karena dibiarkan atau ditinggalkan oleh pemilik/penguasanya.   Sedangkan untuk benda-benda bergerak tidak dikenal adanya daluwarsa (verjaring).
Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, lembaga daluwarsa yang diatur dalam Buku IV B.W. sekrang sudah tidak berlaku. 


[1] R. Subekti, op.cit. hlm. 9.
[2] Wirjono Prodjodikoro. 1979. Asas-asas Hukum Perdata. Sumur. Bandung. (Selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro II). hlm. 7-11.
[3] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1975. Hukum Perdata: Hukum Benda. Liberty. Yogyakarta. hlm. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar