BAB XII
DASAR-DASAR HUKUM
TATA NEGARA
1.
Pengertian Hukum Tata Negara
Istilah Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara (Indonesia) sama dengan “Constitutive Law” atau Constitutional
Law” dan “Administrative Law” (Inggris), dan
“Droit constituionnelle” dan “Droit administratief” (Perancis)
atau “Staatsrecht” atau ”Vervassungsrecht”
dan “Verwaltungsreht” (Jerman) serta
“Staatsrecht” dan “Administratiefrecht” (Belanda).
Para ahli hukum Belanda, membedakan Hukum Tata
Negara ada dua macam, yaitu Hukum Tata
Negara dalam arti luas (Staatsrecht in
ruime zin) dan Hukum Tata Negara dalam arti sempit (Staatsrecht in enge zin). Hukum Tata Negra dalam arti luas
dibedakan menjadi dua yakni :
-
Hukum Tata Negara
dalam arti sempit (staatsrecht in enge
zin) disebut HTN;
-
Hukum Administrasi
Negara (Administratiefrechts)
disingkat HAN.
Pembagian ini kemudian diikuti oleh ahli hukum Indonesia
sampai sekarang.
Menurut W.F. Prins dalam bukunya “Inleiding in het Administratiefrecht van Indonesie” pembedaan antara HTN
dengan HAN oleh para ahli hukum hampir semunyanya didasarkan kepada suatu
konsepsi bahwa HTN mempelajari hal-hal yang fundamental yang merupakan
dasar-dasar dari negara dan yang menyangkut langsung tiap-tiap warga negara;
sedangkan HAN lebih menitik beratkan kepada hal-hal yang teknis saja.
Selanjutnya Prins menyatakan bahwa,
pertanyaan-pertanyaan tentang susunan dan kekuasaan Parlemen, tentang
jaminan bagi rakyat untuk melakukan hak-hak asasinya secara bebas, termasuk
bidang HTN. Pertanyaan-pertanyaan teknis seperti apakah besarnya pajak tahun
ini harus dibayar sama seperti tahun lalu atau tahun yang sedang berjalan, ini
termasuk bidang HAN.[1]
Romeyn, berpendapat bahwa HTN adalah mengenai
dasar-dasar dari negara, sedangkan HAN adalah mengenai penyelesaian teknis
selanjutnya. Oleh karena itu sulit mengadakan garis pemisah yang tegas antara
HTN dengan HAN, karena hal-hal yang sekarang dirasakan sebagai teknis, besok
berubah bisa sebagai hal-hal yang fundamental.[2]
R. Kranenburg dalam bukunya “Inleiding in het Nederlans Administratief recht” menjelasan bahwa,
pembedaan antara HTN dan HAN tidak bersifat prinsipiil, melainkan hanya
merupakan soal untuk “pembagian tugas” saja.
Menurut Kranenburg, maksud untuk pembagian
tugas tersebut adalah :
1.
HTN meliputi hukum
mengenai susunan (struktur) umum dari negara yaitu terdapat dalam UUD dan
Undang-undang organiknya.
2.
HAN melipui hukum yang
mengatur susunan dan wewenang khusus dari alat-alat perlengkapan (badan)
kenegaraan seperti kepegawaian, peraturan-peraturan wajib militer,
peraturan-peraturan jaminan sosial, peraturan-peraturan perumahan, peraturan
perburuhan dan sebagainya.
J.H.A Logemann dalam bukunya “Het Staatsrecht van Indonesie” berpendapat
sebagai berikut “bahwa HTN itu adalah hukum yang mengatur organisasi negara,
sedangkan Hukum Tata Usaha Negara adalah kaidah-kaidah khusus yang disamping
hukum perdata yang berlaku umum mengatur cara bagaimana organisasi negara itu
ikut serta di dalam pergaulan kemasyarakatannya”.[3]
Dalam bukunya “Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht” Logemann menyatakan,
bahwa HTN ialah serangkaian kaidah hukum mengenai jabatan atau kumpulan jabatan
di dalam negara dan mengenai linkungan berlakunya hukum dari suatu negara. HAN
ialah serangkaian kaidah hukum yang menyelidiki hubungan-hubungan hukum khusus
yang ditimbulkan untuk memungkinkan para pejabat negara menjalankan tugas
kemasyrakatan.
Memperhatikan pendapat Logemann tersebut,
berarti HTN sebagai hukum yang mengatur
organisasi negara. Sedangkan HAN adalah Hukum perdata yang mengatur tatacara
organisasi negara dalam kegiatan kemasyarakatan (melayani masyarakat).
J. Oppenheim mendeskripsikan perbedaan HTN dan
HAN, menurutnya HTN mempelajari negara
dalam keadaan belum bergerak (staat in
rust), sedangkan HAN mempelajari negara dalam keadaan bergerak/staat in
beweiging.[4]
Pendapat Oppenheim tersebut kemudian dijabarkan oleh muridnya yang bernama van
Vollenhoven dalam mendefinisikan HTN dan HAN.
Menurut van Vollenhoven, HTN adalah keseluruhan
peraturan hukum yang membentuk alat
perlengkapan (organ) negara dengan memberikan wewenang kepada alat perlengkapan
negara itu, untuk membagikan tugas pemerintahan kepada berbagai alat-lat
perlengkapan negara yang tiggi maupun yang rendah; dan HAN adalah keseluruhan
ketentuan-ketentuan yang mengikat alat-alat perlengkapan negara, yang tinggi
maupun rendah, pada waktu alat-alat
perlengkapan negara itu mulai melaksanakan tugasnya yang ditetapkan dalam Hukum
Tata Negara.[5]
Menuru Hans Kelsen, HTN menjelasan bentuk
negara yang tercantum dalam undang-undang dasarnya, sedangkan HAN adalah
tatacara melaksanakan tugas-tugas HTN untuk kepentingan warganegara
atau masyarakat umum.[6]
Van Apeldoorn menyatakan bahwa Ilmu Hukum membedakan
antara HTN dengan HAN. Hukum Negara
dibedakan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Hukum negara dalam arti
luas meliputi hukum administratif. Hukum negara dalam arti sempit menunjukkan
orang-orang yang memegang kekuasaan pemerintahan dan batas-batas kekuasaannya.
Untuk membedakan dengan Hukum Administratif, hukum negara disebut hukum
konstitusional (droit
constitutionnel/Vervassungsrecht). Yang mengatur konstitusi atau tatanan
negara.[7]
Jadi menurut Apeldoorn tersebut, bahwa Hukun Tata
Negara (droit constitutionnel/Vervassungsrecht)
mengatur konstitusi atau tatanan negara dan pembagian tugas-tugas oganisasi kekuasaan negara.
HTN adalah hukum mengenai susunan negara. Yang diatur di dalam
HTN mencakup unsur-unsur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, konstitusi
negara, pembagian tugas kekuasaan negara, dan hubungan antara pemerintah pusat
dengan daerah.[10]
Menurut R.M. Mc.Iver dalam bukunya “Modern State” menyebutkan bahwa, dalam
negara, ada Hukum yang memerintah Negara, dan ada Hukum yang merupakan alat bagi Negara untuk
memerintah. Hukum yang memerintah negara disebut “Constitutional Law” (HTN) sebagai hukum yang mengatur negara; yang
kedua hukum biasa (ordinary law)
sebagai hukum yang oleh negara dipergunakan untuk mengatur hal sesuatu, yang
disebut Hukum Tata Pemerintahan.[11]
Dalam literatur hukum di Indonesia , istilah Hukum Administrasi
Negara ada yang menyebutnya Hukum Tata Usaha Negara HTUN) atau Hukum Tata
Pemerintahan (HTP).
Seperti terlihat pada istilah “Constitutional Law” unsur pokok dalam
HTN adalah “konstitusi” maka pengertian konstitusilah yang pertama-tama akan
saya bahas.[12]
Selanjutnya menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa tujuan HTN pada hakekatnya
adalah sama dengan tujuan Hukum. Oleh
karena sumber utama dari HTN adalah Konstitusi, maka lebih jelas bahwa yang
diatur dalam HTN adalah tujuan Konstitusi. Tujuan Konstitusi adalah mengadakan
tata tertib (a) dalam berbagai lembaga kenegaraan, dan wewenangnya dan cara
bekerjanya, (b) dalam hal penyebutan hak-hak asasi manusia yang harus dijamin
perlindungannya.[13]
Dari pendapat beberapa ahli hukum tersebut
dapat disimpulkan bahwa, HTN adalah hukum yang mengatur tentang yang diatur di
dalam Konstitusi suatu negara. Pada umumnya didalam Konsitusi suatu negara
mengatur mengenai dasar dan tujuan negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan,
sistem pemerintahan, struktur organisasi kekuasaan negara dan pembagian
wewenang serta tugasnya, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, serta
hak-hak dan kewajiban warga negara. Dengan kata lain HTN adalah keseluruhan
peraturan atau norma hukum yang mengatur tentang dasar dan tujuan negara,
bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, struktur ogansasi
kekuasaan negara dan pembagian wewenangnya serta tugasnya, hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah, serta hak-hak dan kewajiban warga negara.
2.
Bentuk Negara Indonesia
Pengertian bentuk negara atau wujud negara,
adalah bangunan negara yang membagi kekuasaan antara Pemerintahan (negara) di
pusat, dan pemerintahan (negara) di daerah.
Apabila bentuk negara diartikan bangunan
negara, maka bentuk negara itu ada tiga macam, yaitu : (1) Negara Kesatuan (Unitaris); (2) Negara Serikat (Federasi/Federalis), dan (3)
Perserikatan Negara-negara (Konfederasi).
Negara Kesatuan (Unitaris) adalah apabila dalam satu negara hanya ada satu kekuasaan
perintahan yang berdaulat baik keluar maupun ke dalam yang disebut Pemerintah
Pusat. Pemerintah Pusat memegang kekuasaan yang tertinggi untuk mengendalikan
kekuasaan pemerintahan. Selain itu di dalam Negara Kesatuan (Unitaris), hanya mempunyai satu Kepala
Negara, satu Konstitusi (UUD) yang berlaku di dalam satu negara, satu lembaga
legislative sebagai lembaga pembuat undang-undang, dan kementerian sebagai pejabat neagara di Perintah Pusat.
Menurut Konstitusi Negara Indonesia, yakni di dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 disebutkan
bahwa, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
Dari pasa 1 ayat (1) UUD 1945 menampakkan bahwa
Bentuk Negara Indonesia
adalah Negara “Kesatuan”(Unitaris), bukan Negara Serikat maupun
Konfederasi. Selain itu Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai seorang Kepala
Negara (satu Presiden) dan satu UUD yakni UUD 1945, satu lembaga legeslatif
Pusat yakni (DPR), mempunyai kementerian
di Pemerintah Pusat.
Negara Serikat (Federalis/Federasi/Bondstaat), adalah suatu negara yang terdiri
atas beberapa negara bagian (deelstaaten) yang terbagi antara Pemerintah
Ferderal (Pusat), dan Pemerintah negara-negara bagian. Negara-negara bagian
merupakan negara yang merdeka dan berdaulat ke dalam, tetapi tidak berdaulat
keluar negara bagian. Pemerintahan Federal mempunyai kedaulatan yang tertinggi
baik keluar mapun ke dalam dan dalam hal pembuatan UUD Serikat serta di bidang
pertahanan/ keamanan negara.
Pemerintah Federal atau pusat mempunyai
kekuasaan dan kewenangan yang sama dalam pembuatan undang-undang untuk
menyelenggarakan pemerintahan dengan
negara-negara bagian.Undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah Federal
(Pusat) berlaku untuk pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian, sedangkan undang-undang
yang dibuat oleh negara-negara bagian berlaku untuk masing-masing negara bagian. Contoh: Negara Amerika Serikat (USA ), India ,
Malaysia , Australia .
Perserikatan Negara (Konfederasi/Staatenbond), adalah gabungan beberapa negara yang
merdeka dan berdaulat. Negara-negara konfederasi masing-masing mempunyai kedaulatan, dan masing-masing
mempunyai kedudukan dan kewenangan yang sama untuk mengatur pemerintahan
negaranya.. Tujuan dibentuknya perserikatan negara-negara (konfederasi) pada umumnya
untuk keperluan/perbaikan di bidang pertahanan dan keamanan, perekonomian
masing-masing negara konfederasi. Selain itu juga karena faktor kesejarahan.
Contoh : RPA (Republik Persatuan Arab ), yaitu
konfederasi negara-negara di
wilayah Arab; Commonwealth (Commonwealth of Nations ).
Ke-dua-duanya sekarang sudah membubarkan diri.
G. Jellinek membedakan pengertian antara negara
Federasi dengan Konfederasi. Sebagai ukuran adalah “terletak pada kedaulatan”,
kalau kedaulatan itu terletak pada gabungan negara (negara Federal),maka
yang dimaksud adalah Federasi (Negara
Serikat), dan apabila kedaulatan itu terletak pada negara bagian masing-masing,
maka yang dimaksud adalah Konfederasi atau Perserikatan Negara. Berbeda dengan
teoriJellinek, adalah teori dari Kranenburg yang mengambil sebagai ukuran
“kepada keputusan yang diambil oleh gabungan negara itu”, apabila keputusannya
mengikat langsung setiap penduduk dari negara-negara bagian, maka yang dimaksud
adalah Negara Federasi (Negara Serikat), tetapi apabila keputusan dari gabungan
negara itu hanya mengikat negara-negara bagian yang menggabungkan diri, tetapi
tidak mengikat langsung penduduknya, maka yang dimaksud adalah Negara Konfederasi.[14]
3.
Bentuk Pemerintahan Indonesia
Berdasarkan ajaran yang sekarang banyak
pengikutnya adalah bahwa negara dibentuk oleh 5 unsur, ialah:
1)
Pemerintah yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam negara
2)
Rakyat atau
Warganegara yang merupakan satu bangsa
3)
Wilayah tertentu
4)
Berdaulat penuh
5)
Pengakuan dari
negara-negara Internasional
Pemerintah sebagai unsur dari negara merupakan
suatu organisasi teknis dan organisasi teknis ini terdiri dari badan-badan
kenegaraan tertinggi yang menerapkan tugas dan haluan negara atau disebut tugas
politik (taakstelling), dan badan-badan kenegaraan bawahannya yang melaksanakan
tugas yang telah ditetapkan itu (taakverwezenlijking)
disebut tugas teknis. Yang dimaksud badan-badan kenegaraan/lembaga-lembaga
tinggi negara adalah Presiden, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Agung, BPK, Komisi Yudisiel, dan yang
dimaksud dengan badan-badan kenegaraan di daerah adalah : Gubernur, Bupati, Walikota, Camat
dan sebagainya.
Pada umumnya pemerintahan dari negara-negara di
dunia ini mempunyai bentuk pemerintahan Monarchi atau Republik. Istilah
monarchi berasal bahasa Yunani Kuno,
yaitu “mono”(satu) dan “archein”( pemerintah).
Suatu
negara dikatakan mempunyai bentuk pemerintahan “Monarchi” apabila kepala
negaranya seorang “Raja” atau seorang “Dinasti” yang berkuasa di wilayah negara
itu. Biasanya mahkota (kekuasaan) raja diwariskan kepada turunannya, apabila
raja itu meninggal dunia yaitu kepada anaknya, atau kepada saudara laki-laki
sang raja apabila anak raja masih kecil. Beberapa negara yang mempunyai bentuk
pemerintah monarchi ialah negara Inggris, negara Belanda, Saudi Arabia, Negara
Kuwait, Qotar,Yordania, dan sebagainya.
Suatu negara dikatakan mempunyai bentuk
Pemerintahan Republik, apabila Kepala Negaranya seorang Presiden, atau seorang
lain yang bukan “Raja” atau “Dinasti” yang dipilih oleh rakyat baik secara
langsung ataupun tidak langsung menurut sistem ketatanegaraan yang diatur dalam
Konstitusi negara itu. Jabatan Presiden
tidak dapat diwariskan kepada keturunannya atau kepada saudara-saudaranya
seperti halnya “Raja” atau “Dinasti” pada negara yang mempunyai bentuk
pemerintahan “Monarchi”. Di negara-negara yang berbentuk pemerintahan “Republik”
masa jabatan Presiden dibatasi, dan apabila masa jabatan Presiden telah
berakhir, maka Presiden yang berikutnya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum untuk memilih Presiden baru.
Bentuk Pemerintahan negara Indonesia menurut Konstitusi negara Indonesia
yakni “UUD 1945” adalah “Republik”, dan Kepala Negaranya adalah seorang
”Presiden”.
Menurut Pasal 1 aya (1) UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia
ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tersebut mempunyai
dua pengertian yakni, pertama, bahwa
bentuk negara Indonesia adalah “Negara Kesatuan”, dan kedua bantuk pemerintahan
Negara Kesatuan Indonesia adalah “Republik”.
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dapat
disimpulkan bahwa Bentuk Negara Indonesia
adalah “Kesatuan”, dan Bentuk
Pemerintahan Indonesia adalah “Republik”.
4.
Sistem Pemerintahan Indonesia
Pada negara-negara demokrasi dikenal dua macam
sistem pemerintahan, yaitu sistem
pemerintahan presidensiil (fixed
executive) dan sistem pemerintahan parlementer (parlementary executive).
1.
Sistem Pemerintahan
Presidensiil (Fixed Executive).
Di dalam Sistem Pemerintahan
Presidensiil, terdapat pemisahan yang tegas antara kekuasaan Legislatif
(parlemen) dengan kekuasaan Eksekutif (Pemerintah). Pemisahan yang tegas
antara kekuasaan eksekutip dengan legislatip ini dipengaruhi oleh teori “Trias Politika” dari “Montesquieu” yang membagi kekuasaan
negara atas tiga lembaga, yakni eksekutif,
legislative, dan yudikatif. Pada sistem Pemerintahan Presidensiil,
Presiden selain sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekkutif). Dalam sistem ini, lembaga Eksekutif (Presiden)
dalam menjalankankan tugas pemerintahan tidak bertanggungjawab kepada lembaga
Legislatif (Parlemen), tetapi bertanggungjawab kepada rakyat yang memilihnya.
Demikian pula sebaliknnya lembaga Legislatif (Parlemen) dalam menjalankan tugas
kewajibannya tidak bertanggungjawab kepada Presiden, tetapi kepada rakyat
pemilihnya. Oleh karena itu Presiden dan Parlemen dipilih oleh rakyat secara
terpisah melalui pemilihan umum. Sehingga ada kemungkinan Pesiden dari Partai
X, Parlemen dari Partai Y. Dalam sistem Presidensiil kedudukan Presiden cukup kuat,
karena tidak dapat dijatuhkan oleh Parlemen (Legislatif), sebaliknya Presiden
juga tidak dapat membubarkan Parlemen. Pada sistem Presidensiil, Presiden dapat
diimpeachment oleh Parlemen karena dalam
menjalankan tugas kewajiban pemerintahan dianggap melanggar Konstitusi,
undang-undang, melakukan korupsi, penyuapan atau melakukan tindak pidana berat lainnya
yang merugikan negara.
Susunan lembaga Eksekutif
dalam sistem Pemerintahan Presidensiil terdiri atas atau dipimpin oleh seorang
Presiden menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (Eksekutif) yang didampingi oleh seorang Wakil Presiden. Dalam
menjalankan tugasnya Presiden dibantu oleh sejumlah menteri-menteri negara.
Menteri-menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan bertanggung
jawab kepada Presiden, menteri-menteri tidak bertanggungjawab kepada Parlemen.
Pada sistem Pemerintahan Presidensiil,
Presiden sebagai Pemimpin Kabinet Pemerintahan.
Untuk mengetahui Sistem
Pemerintahan “Presidensiil” di
Indonesia saat ini, dapat diketahui dari Konstitusi negara R.I. (UUD 1945)
sebagai berikut :
1)
Presiden R.I.
memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (Pasal 4 ayat (1);
2)
Dalam menjalankan
kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden (Pasal 4 ayat (2);
3)
Presiden berhak
mengajukan RUU kepada DPR (pasal 5 ayat (1);
4)
Presiden menetapkan
Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang (Pasal 5 ayat (2);
5)
Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat
(1);
6)
Presiden tidak dapat
membekukan dan/atau membubarkan DPR (Pasal 7C);
7)
Presiden memegang
kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara
(Pasal 10);
8)
Presiden dengan
persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain (Pasal 11 ayat (1);
9)
Presiden menyatakan
keadaan bahaya, syarat-syaratnya dan akibatnya yang ditetapkan dengan
undang-undang (Pasal 12);
10)
Presiden mengangkat
Duta dan Konsul; menerima penempatan Duta negara lain (Pasal 13 ayat (1) dan (3);
11)
Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat (1), dan memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan memperhatikan DPR (Pasal 14 ayat (2);
12)
Presiden memberi
gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
undang-undang (Pasal 15);
13)
Presiden membentuk
Dewan Pertimbangan yang memberikan nasehat kepada Presiden yang ditetapkan
dalam undang-undang (Pasal 16);
14)
Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara; Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden (Pasal 17 ayat (1) dan (2).
15)
Presiden berhak
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) dalam hal ihwal
kepetingan yang memaksa (Pasal 22 ayat (1)
16)
DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1);
17)
DPR mempunyai fungsi legislasi, anggraran dan
pengawasan (Pasal 20 A);
18)
DPR mempunyai hak :
interplasi, angket, menyatakan pendapat
(Pasal 20 A ayat (2);
19)
Anggota DPR mempuntai
hak : mengajukan pertanyaan, usul dan
pendapat, serta hak imunitas (Pasal 20 A ayat (3).
20)
Aggota DPR berhak mengajukan
Rancangan Undang-Undang (Pasal 21).
Dari pasal-pasal UUD 1945
dapat diketahui, bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah “Presidensiil”, selain
itu Pemerintah (Eksekutif) tidak
bertanggung jawab kepada Parlemen (DPR) tapi bertanggung jawab kepada rakyat
menurut UUD (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dalam Kabinet Presidensiil, kabinet
bertanggungjawab kepada Presiden, karena menteri-menteri negara diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Dalam sistem “Presidensiil” Presiden tidak dapat
membubarkan parlemen (DPR) karena DPR tidak bertanggung jawab kepada Presiden,
demikian sebaliknya parlemen (DPR) tidak dapat menjatuhkan kabinet atau memberhentikan Presiden, karena Presiden
(eksekutif) tidak dipilih/diangkat oleh parlemen (DPR). Kedudukan Presiden dan
parlemen (DPR) dalam sistem presidensiil sederajat atau sama-sama kuat, karena
itu tidak bisa saling menjatuhkan. Oleh karena itu dalam sistem presidensiil
tidak dikenal adanya partai oposisi yang bisa menjatuhkan eksekutif (kabinet).
Walaupun demikian parlemen (DPR) dalam sistem presidensiil mempunyai kedudukan
yang kuat, selain sebagai legislator dan pembuatan anggaran, juga mempunyai
fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan
anggaran, pelaksanaan pemerintahan dan pelaksanaan undang-undang yang
dilakukan oleh eksekutif.
Menurut Pasal 7 A UUD 1945,
Presidendan/atau Wakil Presiden Indonesia dapat diberhentikan oleh MPR atas
usul DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun
apabila terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Untuk mengetahui bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 7 A UUD 1945, maka Presiden dan/atau Wakil Presiden
harus diperiksa dan diadili serta
dikeluarkan putusan lebih dahulu oleh Mahkamah Konstitusi atas permintaan MPR
(Pasal 7 B ayat (1) dan (4) UUD 1945).
Apabila Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dinyatakan bersalah melanggar
hukum dan/atau tidak dapat memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
presiden, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden kepada MPR. Atas usul DPR, MPR
menyelenggarakan sidang paripurna
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dihadiri sekurang-kurangnya
¾ dari jumlah anggota MPR, dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota MPR yang hadir, setelah Presiden dan/Wakil Presiden diberi kesempatan
menjelaskan dalam rapat paripurna MPR (Pasal 7 B ayat (5) (6) dan ayat (7) UUD
1945).
2.
Sistem Pemerintahan
Parlementer (Parlementary Executive)
Dalam Pemerintahan yang
bersistem Parlementer terdapat dua lembaga tinggi negara yang saling
memengaruhi, yakni eksekutif dan legislatif. Eksekutif dan Parlemen pada sistem
Parlementer tergantung satu sama yang lain. Eksekutip dipimpin oleh Perdana
Menteri yang dibentuk oleh Parlemen yang partainya mengusai mayoritas (di Parlemen) yang dipilih rakyat melalui
Pemilihan Umum. Dalam hal ini yang memilih Kepala Eksekutif/Kabinet (Perdana
Menteri) adalah Parlemen, bukan diplih oleh rakyat secara langsung. Oleh karena yang memilih
Perdana Menteri serta kabinetnya adalah
Parlemen, maka Kabinet (Perdana Menteri) bertanggungjawab kepada Parlemen.
Kabinet bisa jatuh (bubar) apabila tidak mendapat dukungan mayoritas dari
Parlemen. Sebaliknya apabila dukungan Parlemen terhadap Kabinet semakin besar
atau kuat, maka jabatan Kabinet (Perdana Menteri) berlangsung sampai masa
jabatan berakhir sesuai dengan yang ditentukan oleh Konstitusi Negara tersebut.
Bilamana suatu Partai Politik peserta Pemilihan Umum
tidak memperoleh dukungan (perwakilan) mayoritas, maka tidak dapat membentuk
kabinet sendiri dari satu partai.Untuk dapat membentuk kabinet maka partai yang
mempunyai anggota banyak di parlemen
(legislatif) dapat membentuk koalisi yang selajutnya membentuk Kabinet (Eksekutif/Perdana
Menteri). Pembentukan pemerintahan (Kabinet) melalui koalisi ini, kedudukannya
sangat lemah karena harus banyak memberikan konsesi-konsesi politik kepada
partai yang diajak berkoalisi. Apabila konsesi-konsesi politik tidak tercapai
dapat mengakibatkan krisis kabinet atau pemerintahan, dan cabinet bisa jatuh.
Sistem pemerintahan yang
diuraikan di muka adalah “sistem pemerintahan parlemen murni”.[15]
Kepala Negara dalam sistem Parlementer bisa seorang Presiden atau Raja, Sultan
atau Kaisar atau “Dinasti” atau sebutan lainnya yang berfungsi sebagai Kepala
Negara, bukan sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif). Tugas Kepala Negara
hanya sebagai “pemberi restu” atas Esekutif, selain itu dapat membentuk Formatur Kabinet untuk
membubarkan Kabinet jika negara dalam keadaan krisis atau bahaya. Contoh negara:
Malaysia , Singapura ,
Thailand , Jepang, Inggris, Australia dan lainnya
5.
Organisasi Kekuasaan Negara
Organisai Kekuasaan Negara atau Lembaga-Lembaga
Negara Republik Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar 1945 (pasca amandemen) terdiri dari :
a.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Pasal 2 UUD 1945);
b.
Dewan Perwakilan
Rakyat ( Pasal 19 UUD 1945);
c.
Dewan Perwakilan
Daerah (Pasal 22C UUD 1945);
d.
Presiden (Pasal 4 UUD 1945);
e.
Komisi Pemilihan Umum
(Pasal 22E ayat 5 UUD 1945);
f.
Badan Pemeriksa
Keuangan (Pasal 23E UUD 1945);
g.
Mahkamah Agung (Pasal
24 jo Pasal 24A UUD 1945);
h.
Mahkamah Konstitusi
(Pasal 24 jo Pasal 24C UUD 1945);
i.
Komisi Yudisial (Pasal
24A ayat (3) jo Pasal 24B UUD 1945).
Adapun kedudukan dan tugas kewajiban serta kewenanangan lembaga-lembaga Negara diatur dalam UUD 1945 dan Undang-undang.
[1]
W.F. Prins, Kosim Adisapoetro, 1978. Pengantar Ilmu Hukum Administrasi
Negara. Pradnya Paramita. hlm. 10.
[2] Ibid.
hlm. 4-6.
[3]
Philipus M. Hadjon, et al. 1994. Pengantar Hukum Administrasi. Gajah Mada
University Press. hlm.
23.
[4] Wirjono
Prodjodikoro I, op.cit. hlm. 8.
[5] Ibid.
[6]
Soemardi, et.al. 1995. Teori Hukum Murni. Rimdi Press. Bandung .
hlm. 183-208.
[7] L.J. Van
Apeldoorn, op.cit. hlm. 304.
[8] Van Kan
dan JH. Beekhuis, op.cit. hlm. 90-92.
[9] Ibid.
hlm. 94.
[10] E. Utrecht I, op.cit. hlm. 324-359.
[11] Wirjono Prodjodikoro I.
op.cit. hlm. 9.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
hlm. 12.
[14]
Kranenburg, Mr. R. 1995. Ilmu Negara Umum (Terjemahan). YB. Wolters. Jakarta . (Selanjutnya
disebut Kranenburg I). hlm. 193.
[15]
Bintan Saragih. 1987. Lembaga Perwakilan dan Pemilu Indonesia . Gaya Media Pratama. Jakarta . hlm. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar