BAB XVIII
DASAR-DASAR HUKUM ACARA TATA
USAHA NEGARA
1.
Pengertian
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
merupakan bagian dari Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara) dalam
arti luas, yang terdiri dari Hukum Tata Usaha Negara material dan Hukum Tata
Usaha Negara formal.
Hukum Tata Usaha Formal yang juga disebut Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang
melaksanakan dan mempertahankan hukum Tata Usaha Negara material. Dengan kata
lain, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah keseluruhan peraturan atau
norma hukum yang mengatur tata cara
orang atau badan pribadi atau publik bertindak untuk melaksanakan dan
mempertahankan hak-haknya di Peradilan Tata Usaha Negara. Secara singkat, hukum
peradilan tata usaha negara merupakan hukum yang mengatur tentang tatacara
bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Adapun Hukum Tata Usaha Negara material adalah
keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara
warga masyarakat dengan pejabat atau
badan tata usaha negara dalam kewenangannya menjalankan tugas pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan
yang bertugas memeriksa atau mengadili atau memutus sengketa tata usaha negara
antara orang perorangan atau badan perdata dengan pejabat atau badan tata usaha
negara.
2.
Sumber Hukum
Sumber Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
antara lain :
a.
Undang-Undang Dasar
Negara R.I. Tahun 1945;
b.
Undang-Undang No. 51
tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (perubahan dari Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian diubah menjadi
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004);
c.
Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
(perubahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan
Undang-Udangn No 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.);
d.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari
Undang-Undang No 14 Tahun 1985, dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah
Agung);
e.
Yurisprudensi;
f.
Praktek Administrasi
Negara sebagai hukum kebiasaan;
g.
Doktrin atau pendapat
para ahli hukum.
3.
Asas Asas Hukum
Asas-asas
hukum adalah nilai-nilai moral yang mendasari atau memberi landasan norma hukum positif, atau
pikiran-pikiran dasar yang bersifat abstrak dari norma hukum positif. Asas-asas
hukum merupakan nilai-nilai moral atau pikiran-pikiran dasar yang bersifat
abstrak sebagai petunjuk arah bagi pembentukan dan berlakunya hukum positip. Menurut
Bellefroid, asas hukum (rechtsbeginsellen)
merupakan norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif, dan yang oleh ilmu
hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum merupakan
pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 1988 :
32).[1]
Asas hukum adalah meta kaidah yang
berkenaan dengan kaidah hukum dalam
bentuk kaidah perilaku (Bruggink, dalam Arief Sidharta, 1996 : 121).[2]
Asas hukum adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas yang mendasari
suatu norma hukum (G.W. Paton, 1969 : 204).[3]
Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, antara lain :
a.
asas independensi
hakim (bertindak adil dan tidak memihak);
b.
asas equality before
the law (asas persamaan hak di muka hukum);
c.
asas sidang terbuka
untuk umum;
d.
asas diperiksa hakim
majelis;
e.
asas sederhana, cepat,
dan biaya ringan;
f.
asas hakim bersifat
menunggu, inisiatif gugatan dari penggugat;
g.
asas beracara secara
tertulis;
h.
asas berperkara membayar
biaya perkara;
i.
asas beracara dapat
diwakilkan;
j.
asas hakim aktif dalam
proses pemeriksaan di persidangan;
k.
asas gugatan ke PTUN
tidak menunda pelaksanaan putusan TUN;
l.
asas tidak dikenal
adanya gugatan balik (reconvensi);
m.
asas putusan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum;
n.
asas putusan harus
disertai alasan-alasan hukum.
4.
Kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Pasal 47 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
yang kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN), ditentukan bahwa peradilan bertugas dan berwenang,
memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan
“sengketa Tata Usaha Negara” adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di
pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Pasal 1 angka 10 UU. No. 51 Tahun 2009 (UUPTUN).
Dari uraian Pasal 1 angka 10
tersebut, bahwa dalam sengketa Tata Usaha Negara terkandung unsur-unsur sebagai
berikut : (1) sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, artinya
sengketa mengenai perbedaan penerapan dalam bidang Tata Usaha Negara; (2)
sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Dengan demikian sengketa Tata Usaha Negara bukan sengketa antara
orang atau badan hukum perdata dengan orang atau badan hukum perdata. Juga
bukan sengketa antara Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; (3) sengketa
yang dimaksud adalah akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Antara
sengketa Tata Usaha Negara dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
ada hubungan sebab akibat, karena itu tidak akan terjadi sengketa Tata Usaha
Negara tanpa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
5.
Keputusan Tata Usaha Negara
Sengketa Tata Usa ha
Negara merupakan akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usa ha
Negara. Keputusan Tata Usa ha
Negara adalah “suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata Usa ha
Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usa ha
Negara yang berdasarkan peraturan peru ndang-undangan
yang berlaku, bersifat kongkret, ind ividual
dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata” (Pasal 1 angka 9 UU. No. 51 Tahun 2009
( UUPTUN).
Dari ketentuan Pasal 1 angka 9 UUPTUN dapat diketahui, bahwa dalam Keputusan Tata Usaha Negara terdapat
unsur-unsur : (1) adanya
penetapan tertulis yang menimbulkan hak dan kewajiban; (2) dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan menyelenggarakan tugas
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; (3) berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang dapat menimbulkan akibat hukum terhadap hak dan kewajiban
pada orang lain/badan hukum perdata; (4) Keputusan bersifat konkret, artinya
keputusan Tata Usaha Negara dapat
diwujudkan, dapat ditentukan/tertentu, tidak abststrak; (5) bersifat
individual, artinya keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan kepada
masyarakat umum tetapi ditujukan kepada orang pribadi atau badan hukum perdata
tertentu; (6) bersifat final, artinya keputusan sudah devinitip atau tetap dan
menimbulkan akibat hukum, sehingga ketetapan tidak memerlukan persetujuan dari
pihak lain atau pejabat atasan.
Dikecualikan terhadap Keputusan Tata Usaha
Negara dalam bentuk tertulis, adalah apabila Badan atau pejabat Tata Usa ha Negara tidak mengeluarkan putusan yang
menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan Tata Usaha
Negara (Pasal 3 UU. No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah menjadi UU No. 51 Tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(UUPTUN).
6.
Tidak Termasuk Keputusan Tata Usaha Negara
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Tata Usa ha Negara ada beberapa macam keputusan yang
tidak termasuk Keputusan Tata Usa ha
Negara yaitu : (1) Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata; 2) Keputusan
TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; (3) Keputusan TUN yang masih
memerlukan persetujuan; (4) Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan KUHP dan/atau KUHAP atau ketentuan perundang-undangan lainnya yang
bersifat hukum pidana; (5) Keputusan TUN
yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; (6) Keputusan TUN mengenai tata usaha TNI; (7) Keputusan Komisi
Pemilihan Umum di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilu.
7.
Pihak-Pihak Yang Bersengketa
Pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa di
Peradilan Tata Usa ha Negara, yaitu :
Pertama,
penggugat adalah oran g atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usa ha Negara
dapat mengajukan gugatan secara tertulis
kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang
disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau rehabilitasi (Pasal 53 ayat (1) UU PTUN).
Kedua, tergugat
adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan yang berdasarkan wewenang yang ada padanya
atau yang dilimpahkan kepadanya.
Ketiga, pihak Ketiga (pengintervensi) adalah keikutsertaan pihak
ketiga dalam perkara/sengketa di peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal
83 UU PTUN.
8.
Alasan atau Dasar Gugatan.
Pertama, keputusan yang digugat bertentangan dengan peraturan peru ndang-undangan
yang berlaku, misalnya : (a) bertentangan
dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat formal atau prosedural,
(b) bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
bersifat material atau substantial, (c) keputusan dikeluarkan oleh badan atau pejabat
TUN yang tidak berwenang.
Kedua, keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas
pemerintahan yang layak. Asas-asas pemerintahan yang layak menurut Pa sal 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN adalah (a) asas kepastian hukum, (b) asas tertib
dalam penyelenggaraan Negara, (c) asas kepentingan umum, (d) asas keterbukaan, (e)
asas proporsionalitas, (f) asas profesionalitas, dan (g) asas akuntabilitas. Menurut
Koentjoro Purbopranoto (1975: hlm. 29-30), asas-asas pemerintahan yang baik (asas-asas tidak
tertulis) adalah (a) asas kepastian
hukum, (b) asas keseimbangan, (c) asas kesamaan dalam mengambil keputusan, (d) asas
bertindak cermat, (e) asas motivasi untuk setiap keputusan, (f) asas tidak
boleh mencampuradukkan kewenangan, (g) asas permainan yang layak (principle of fair play), (h) asas
keadilan atau kewajaran, (i) asas menanggapi pengharapan yang wajar, (j) asas
meniadakan akibat-akibat dari keputusan
yang batal, (k) asas perlindungan atas pandangan hidup, (l) asas kebijaksanaan,
(m) asas penyelenggaraan kepentingan umum.[4]
9.
Alat Bukti
Macam-macam alat-alat bukti yang dipergunakan
dalam proses beracara di peradilan Tata Usa ha
Negara menurut Pasal 100 UU PTUN antara lain : (a) surat atau tulisan; (b) keterangan ahli; (c)
keterangan saksi; (d) pengakuan para pihak; (d) pengetahuan hakim. Keadaan yang
telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
10.
Keputusan Pengadilan
Keputusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir
pada waktu keputusan diucapkan, salinan putusan harus disampaikan dengan surat tercatat kepada yang
bersangkutan. Keputusan pengadilan harus ditanda tangani oleh Hakim/Ketua dan
anggota Majelis Hakim dan Panitera sidang. Hanya putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan. Salina n
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, selambat-lambatnya
dalam waktu 14 (empat belas) hari harus dikirim kepada para pihak oleh Panitera
dengan surat
tercatat (Pasal 116 UU PTUN). Ketua Pengadilan TUN wajib mengawasi pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 119 P
TUN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar