Jumat, 04 Mei 2012

Pengantar Hukum Indonesia (Bab XVIII)


BAB XVIII
               DASAR-DASAR HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

1.             Pengertian
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bagian dari Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara) dalam arti luas, yang terdiri dari Hukum Tata Usaha Negara material dan Hukum Tata Usaha Negara formal.
Hukum Tata Usaha Formal yang juga disebut Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara  adalah  keseluruhan peraturan atau norma hukum yang melaksanakan dan mempertahankan hukum Tata Usaha Negara material. Dengan kata lain, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum  yang mengatur tata cara orang atau badan pribadi atau publik bertindak untuk melaksanakan dan mempertahankan hak-haknya di Peradilan Tata Usaha Negara. Secara singkat, hukum peradilan tata usaha negara merupakan hukum yang mengatur tentang tatacara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Adapun Hukum Tata Usaha Negara material adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga masyarakat dengan  pejabat atau badan tata usaha negara dalam kewenangannya menjalankan tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang bertugas memeriksa atau mengadili atau memutus sengketa tata usaha negara antara orang perorangan atau badan perdata dengan pejabat atau badan tata usaha negara.

2.             Sumber Hukum
Sumber Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara antara lain :
a.              Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945;
b.             Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2004);
c.              Undang- Undang  No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (perubahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Udangn No 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman.);
d.             Undang-Undang  No. 3 Tahun 2009  Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No 14 Tahun 1985, dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung);
e.              Yurisprudensi;
f.              Praktek Administrasi Negara sebagai hukum kebiasaan;
g.             Doktrin atau pendapat para ahli hukum.

3.             Asas Asas Hukum
Asas-asas  hukum adalah nilai-nilai moral yang mendasari atau memberi  landasan norma hukum positif, atau pikiran-pikiran dasar yang bersifat abstrak dari norma hukum positif. Asas-asas hukum merupakan  nilai-nilai moral  atau pikiran-pikiran dasar yang bersifat abstrak sebagai petunjuk arah bagi pembentukan dan berlakunya hukum positip. Menurut Bellefroid, asas hukum (rechtsbeginsellen) merupakan norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif, dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang  lebih umum. Asas hukum umum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 1988 : 32).[1]  Asas hukum adalah meta kaidah yang berkenaan dengan kaidah hukum  dalam bentuk kaidah perilaku (Bruggink, dalam Arief Sidharta, 1996 : 121).[2] Asas hukum adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas yang mendasari suatu norma hukum (G.W. Paton, 1969 : 204).[3]
Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,  antara lain :
a.              asas independensi hakim (bertindak adil dan tidak memihak);
b.             asas equality before the law (asas persamaan hak di muka hukum);
c.              asas sidang terbuka untuk umum;
d.             asas diperiksa hakim majelis;
e.              asas sederhana, cepat, dan biaya ringan;
f.              asas hakim bersifat menunggu, inisiatif gugatan dari penggugat;
g.             asas beracara secara tertulis;
h.             asas berperkara membayar biaya perkara;
i.               asas beracara dapat diwakilkan;
j.               asas hakim aktif dalam proses pemeriksaan di persidangan;
k.             asas gugatan ke PTUN tidak menunda pelaksanaan putusan TUN;
l.               asas tidak dikenal adanya gugatan balik (reconvensi);
m.           asas putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;
n.             asas putusan harus disertai  alasan-alasan hukum.

4.             Kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), ditentukan bahwa peradilan bertugas dan berwenang, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan “sengketa Tata Usaha Negara” adalah sengketa yang timbul  dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 10 UU. No. 51 Tahun 2009 (UUPTUN).
Dari uraian Pasal 1 angka 10 tersebut, bahwa dalam sengketa Tata Usaha Negara terkandung unsur-unsur sebagai berikut : (1) sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, artinya sengketa mengenai perbedaan penerapan dalam bidang Tata Usaha Negara; (2) sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dengan demikian sengketa Tata Usaha Negara bukan sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan orang atau badan hukum perdata. Juga bukan sengketa antara Badan  atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; (3) sengketa yang dimaksud adalah akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Antara sengketa Tata Usaha Negara dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara ada hubungan sebab akibat, karena itu tidak akan terjadi sengketa Tata Usaha Negara tanpa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
5.             Keputusan Tata Usaha Negara
Sengketa Tata Usaha Negara merupakan  akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara  adalah “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat kongkret, individual dan final, yang  menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata” (Pasal 1 angka 9 UU. No. 51 Tahun 2009 ( UUPTUN).
Dari ketentuan Pasal 1 angka 9  UUPTUN dapat diketahui, bahwa dalam Keputusan  Tata Usaha Negara  terdapat  unsur-unsur  : (1) adanya penetapan tertulis yang menimbulkan hak dan kewajiban; (2) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara   yang berdasarkan peraturan perundang-undangan menyelenggarakan tugas pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; (3) berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan akibat hukum terhadap hak dan kewajiban pada orang lain/badan hukum perdata; (4) Keputusan bersifat konkret, artinya keputusan Tata Usaha Negara  dapat diwujudkan, dapat ditentukan/tertentu, tidak abststrak; (5) bersifat individual, artinya keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan kepada masyarakat umum tetapi ditujukan kepada orang pribadi atau badan hukum perdata tertentu; (6) bersifat final, artinya keputusan sudah devinitip atau tetap dan menimbulkan akibat hukum, sehingga ketetapan tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain atau pejabat atasan.
Dikecualikan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara dalam bentuk tertulis, adalah apabila Badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan putusan yang menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 3 UU. No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah menjadi UU No. 51 Tahun 2009 tentang  Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN).

6.             Tidak Termasuk Keputusan Tata Usaha Negara
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara ada beberapa macam keputusan yang tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara yaitu : (1) Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata; 2) Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; (3) Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan; (4) Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan/atau KUHAP atau ketentuan perundang-undangan lainnya yang bersifat hukum pidana; (5)  Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (6) Keputusan TUN  mengenai tata usaha TNI; (7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilu.

7.             Pihak-Pihak  Yang Bersengketa
Pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara,  yaitu :
 Pertama, penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan  secara tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi (Pasal 53 ayat (1) UU PTUN).
Kedua,  tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan  yang berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
Ketiga, pihak Ketiga (pengintervensi) adalah keikutsertaan pihak ketiga dalam perkara/sengketa di peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 83 UU PTUN.

8.             Alasan atau Dasar Gugatan.
   Alasan yang dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan terhadap keputusan TUN, menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN adalah sebagai berikut :   
Pertama, keputusan yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya :  (a) bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat formal atau prosedural, (b) bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material atau substantial, (c)  keputusan dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang tidak berwenang.
Kedua, keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang layak.   Asas-asas pemerintahan yang layak menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN adalah  (a) asas kepastian hukum, (b) asas tertib dalam penyelenggaraan Negara, (c) asas kepentingan umum, (d) asas keterbukaan, (e) asas proporsionalitas, (f) asas profesionalitas, dan (g) asas akuntabilitas. Menurut Koentjoro Purbopranoto (1975: hlm. 29-30),  asas-asas pemerintahan yang baik (asas-asas tidak tertulis) adalah  (a) asas kepastian hukum, (b) asas keseimbangan, (c) asas kesamaan dalam mengambil keputusan, (d) asas bertindak cermat, (e) asas motivasi untuk setiap keputusan, (f) asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan, (g) asas permainan yang layak (principle of fair play), (h) asas keadilan atau kewajaran, (i) asas menanggapi pengharapan yang wajar, (j) asas meniadakan akibat-akibat  dari keputusan yang batal, (k) asas perlindungan atas pandangan hidup, (l) asas kebijaksanaan, (m) asas penyelenggaraan kepentingan umum.[4]

9.             Alat Bukti
Macam-macam alat-alat bukti yang dipergunakan dalam proses beracara di peradilan Tata Usaha Negara menurut Pasal 100 UU PTUN antara lain : (a) surat atau tulisan; (b) keterangan ahli; (c) keterangan saksi; (d) pengakuan para pihak; (d) pengetahuan hakim. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.



10.         Keputusan Pengadilan
Keputusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu keputusan diucapkan, salinan putusan harus disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Keputusan pengadilan harus ditanda tangani oleh Hakim/Ketua dan anggota Majelis Hakim dan Panitera sidang. Hanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan. Salinan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari harus dikirim kepada para pihak oleh Panitera dengan surat tercatat (Pasal 116 UU PTUN). Ketua Pengadilan TUN wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 119 P TUN).


[1] Sudikno Mertokusumo, loc.cit.
[2] Bruggink, loc.cit.
[3] G.W. Paton, loc cit.
[4] Koentjoro Purbopranoto. op.cit.hlm.29-30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar