BAB I
PENDAHULUAN
1.
Istilah dan Pengertian PHI.
PHI atau Pengantar Hukum Indonesia terdiri dari tiga kata “Pengantar”, “Hukum” dan “Indonesia ”.
Pengantar berarti mengantarkan pada
tujuan tertentu. Pengantar dalam bahasa Belanda disebut ”Inleiding” dan “Introduction”
(bahasa Inggris) yang berarti
memperkenalkan secara umum atau secara garis besar yang tidak mendalam
atas sesuatu hal tertentu. Pada istilah Pengantar Hukum Indonesia yang diperkenalkan secara umum atau secara
garis besar adalah hukum Indonesia .
Pengantar Hukum Indonesia
berarti memperkenalkan secara umum atau
secara garis besar dasar-dasar
hukum yang berlaku sekarang di Indonesia kepada siapa saja yang ingin mengetahui dan mempelajari hukum Indonesia .
Pengantar Hukum Indonesia merupakan mata kuliah dasar (basis leervak)
dan prasyarat untuk mempelajari cabang-cabang ilmu hukum yang lebih khusus dan
lebih luas.
Selain PHI masih ada mata kuliah dasar (basis leervak) sebagai mata kuliah
prasyarat untuk mempelajari cabang-cabang
hukum positif dan ilmu hukum secara mendasar dan umum, yaitu Pengantar
Ilmu Hukum (PIH).
Sebelum berlakunya kurikulum 1984, materi
kuliah Pengantar Hukum Indonesia disebut
Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI). Istilah Tata Hukum Indonesia yang dimaksud adalah tatanan atau
susunan atau tertib hukum yang berlaku di Indonesia . Penggunaan istilah PTHI
menampakkan seolah-olah PTHI mempelajari dan membahas tentang persoalan teknis
pembuatan undang-undang dan penemuan
hukum (rechtsvorming, rechtsvinding).
Oleh karena itu pada tahun 1984 mata
kuliah PTHI dalam kurikulum Fakultas Hukum diubah dan diganti dengan PHI (Pengantar Hukum Indonesia ).
Istilah “ Hukum
Indonesia” yang dimaksud adalah
hukum yang berlaku di negara Indonesia pada waktu sekarang.
Hukum yang berlaku pada waktu sekarang di suatu tempat atau wilayah tertentu
disebut “Hukum Positip” artinya hukum
yang (dipositipkan) berlaku untuk masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu.
Hukum positip juga disebut “ius constitutum” artinya hukum yang
sudah ditetapkan untuk diberlakukan saat ini pada suatu tempat atau
negara tertentu.
Soediman Kartohadiprodjo mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan “Tata Hukum di Indonesia” itu ialah “Hukum
yang sekarang berlaku di Indonesia”, berlaku berarti yang memberi akibat
hukum kepada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup; sekarang menunjukkan
kepada pergaulan hidup pada saat ini, dan tidak pada pergaulan hidup yang telah
lampau, pula tidak pada pegaulan hidup masa yang kita cita-citakan di kemudian
hari; di Indonesia menunjukkan kepada pergaulan hidup yang terdapat di Republik
Indonesia dan tidak di negara lain.
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa, hukum positip disebut juga “ius constitutum”
sebagai lawan dari “ius constituendum”
yakni kaidah hukum yang di cita-citakan.[1]
Dari uraian tersebut berarti Soediman
Kartohadiprodjo menyamakan istilah “tata
hukum Indonesia” dengan “hukum positip Indonesia” atau “ius constitutum” ialah hukum yang
sekarang berlaku di Indonesia.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Kusumadi
Pudjosewojo mengatakan bahwa “Tiap-tiap bangsa mempunyai tatahukumnya sendiri.
Bangsa Indonesiapun mempunyai tata hukumnya sendiri, tata hukum Indonesia . Siapa yang mempelajari tata hukum Indonesia,
maksudnya terutama ialah ingin mengetahui, perbuatan atau tindakan manakah yang
menurut hukum, dan yang manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan
seseorang dalam masyarakat, apakah kewajiban-kewajiban dan
wewenang-wewenangnya, semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan pendek kata ia ingin mengetahui hukum yang
berlaku sekarang ini di dalam negara kesatuan
Republik Indonesia ”.[2]
Achmad Sanusi menyatakan bahwa, istilah
“Pengantar Tata Hukum Indonesia ” merupakan pengantar ilmu hukum sebagai suatu sistem hukum positip di
Indonesia. Selanjutnya dikemukakan bahwa, PTHI
mempelajari konsep dan teori hukum yang berlaku di sini sesuai dengan bahan-bahan real dan ideal bangsa Indonesia . [3]
Hukum positip atau “stellingsrecht” merupakan
suatu kaidah yang berlaku sebenarnya,
merumuskan suatu hubungan yang pantas antara fakta hukum dengan akibat hukum
yang merupakan abstraksi dari keputusan-keputusan.[4]
Ius
constitutum adalah hukum positif suatu
negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat tertentu.[5]
Menurut J.H.P. Bellefroid, “Hukum
Positif” ialah suatu penyusunan hukum mengenai hidup kemasyarakatan, yang
ditetapkan oleh kuasa masyarakat tertentu, berlaku untuk masyarakat tertentu yang
terbatas menurut tempat dan waktunya.[6]
Hukum
Positip adalah hukum yang berlaku sungguh-sungguh; Hukum
positip kemanusiaan yang berubah-ubah itu merupakan suatu tertib yang tegas
untuk kebaikan umum; Hukum positip atau hukum “isbat” ialah hukum yang berlaku
di dalam negara.[7]
Dalam bukunya “Rechtsphilosophie” (G. Radbruch, 1950 : 209), menyatakan bahwa,
ilmu hukum positif adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu negara atau
masyarakat tertentu pada saat tertentu.[8]
Hukum
Positif
yang mengatur kehidupan masyarakat Indonesia
adalah Hukum yang berlaku di Indonesia
pada waktu ini. Hukum Positif (Indonesia )
adalah keseluruhan asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dalam
masyarakat.[9]
J.J.H. Bruggink di dalam bukunya “Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie” (Refleksi Hukum,
Pengertian Dasar Teori Hukum) yang telah
dialih bahasakan oleh Bernard
Arief Sidharta dengan judul “Refleksi
tentang Hukum” bahwa yang
dimaksud “positivitas” kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah hukum
dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kekuasaan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Dengan ini
maka aturan hukum itu disebut hukum positif.
Hukum
positif adalah terjemahan dari “ius
positum” dari bahasa Latin, yang secara harfiah berarti “hukum yang
ditetapkan” (gesteld recht). Jadi, hukum positip adalah hukum
yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut “stellig recht”.[10]
Menurut N. Algra dan K. van Duyvendak dalam
bukunya “Rechtsaanvang, 1989 : 2), istilah
lain hukum positip adalah hukum yang berlaku (geldend recht)[11].
Dari pendapat para ahli hukum tersebut dapat
diambil beberapa kesimpulan mengenai pengertian atau definisi Hukum Positif.
Pertama, hukum positip (ius positum) itu ditetapkan oleh manusia atau oleh penguasa
(pembuat hukum) yang berwenang untuk masyarakat tertentu dalam wilayah
tertentu.
Kedua, hukum positip (ius
positum) identik atau sama dengan Ius
constitutum, artinya hukum yang
telah dipilih atau ditentukan atau ditetapkan berlakunya untuk mengatur
kehidupan di tempat tertentu pada
waktu sekarang. Jika hukum itu
masih di cita-citakan (ide) dan akan berlaku untuk waktu yang akan
datang, disebut “ius constituendum”
kebalikan dari “ius constitutum” atau “ius positum”.
Ius constitutum atau ius positum, selain
berbeda dengan ius constituendum juga berbeda dengan konsep hukum menurut
“hukum alam” atau “hukum kodrat” (ius
naturale atau natural law) yang bersifat universal karena berlakunya tidak terbatas oleh waktu dan
tempat.
“Ius
positum”
atau “ius constitutum” atau
disebut juga “ius operatum” artinya
hukum yang telah ditetapkan atau dipositipkan (positum) atau dipilih
atau ditentukan (constitutum) berlakunya sekarang (operatum) dalam
masyarakat atau wilayah tertentu. Ius
operatum mengandung arti bahwa hukum
atau peraturan peru ndang-undangan
telah berlaku dan dilaksanakan di
masyarakat.
Ius
costituendum dapat menjadi ius constitutum atau ius positum atau ius operatum apabila sudah ditetapkan berlaku oleh penguasa yang
berwenang, dan pemberlakuannya memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh
hukum positip lainnya yang mengatur pemberlakuan suatu hukum (undang-undang);
misalnya perundang-undangan harus telah disahkan oleh lembaga pembuat
undang-undang dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang.
Ketiga, ius positum (hukum positif)
atau ius constitutum atau ius operatum adalah hukum yang berlaku pada
waktu sekarang di wilayah tertentu, untuk masyarakat tertentu.
Dengan demikian buku Pengantar Hukum Indonesia atau Pengantar Hukum Positif Indonesia , bertujuan untuk mengantarkan atau
memperkenalkan secara umum atau secara garis besar (dasar-dasar) hukum yang sekarang berlaku di Indonesia .
2.
Pengertian Hukum
Istilah “hukum”
di Indonesia berasal dari bahasa Arab “qonun”
atau “ahkam” atau “hukm” yang mempunyai arti “hukum”.
Secara etimologis, istilah “hukum” (Indonesia ) disebut “law” (Inggris) dan “recht”
(Belanda dan Jerman) atau “droit” (Perancis). Istilah “recht” berasal dari bahasa Latin “Rectum” berarti tuntunan atau bimbingan, perintah atau
pemerintahan. Rectum dalam bahasa Romawi
adalah “Rex” yang berarti Raja atau
Perintah Raja. Istilah-istilah tersebut (recht,
rectum, rex) dalam bahasa
Inggris menjadi “Right” (hak atau adil) juga
berarti “hukum”.
Istilah “law”
(Inggris) dari bahasa Latin “lex” atau dari kata ”lesere” yang berarti mengumpulkan atau mengundang orang-orang untuk
diberi perintah. Lex juga dari
istilah “Legi” berarti
peraturan atau undang-undang. Peraturan yang dibuat dan disahkan oleh pejabat atau penguasa yang
berwenang disebut “legal” atau “legi” yang
berarti “undang-undang”. Dengan
demikian istilah “law” (Inggris) “lex” atau “legi” (Latin), loi (Perancis), wet (Belanda), gesetz (Jerman)
selain berarti “hukum “ juga berarti
“undang-undang”.
Istilah hukum dalam bahasa latin juga disebut “ius” dari kata “iubere” artinya mengatur atau memerintah atau hukum. Perkataan
mengatur dan memerintah bersumber pada kekuasaan negara atau pemerintah.
Istilah “ius” (hukum) sangat erat
dengan tujuan hukum yaitu keadilan atau “iustitia”.
“Iustitia” atau “Justitia” adalah
dewi “keadilan” bangsa Yunani dan Romawi
kuno. “iuris” atau “Juris”
(Belanda) berarti “hukum” atau kewenangan (hak), dan “Jurist” (Inggris dan Belanda)
adalah ahli hukum atau hakim. Istilah “Jurisprudence”
(Inggris) berasal dari kata “iuris”
merupakan bentuk jamak dari “ius”
yang berarti “hukum” yang dibuat oleh masyarakat atau sebagai hukum
kebiasaan, atau berarti “hak”, dan “prudensi” berarti melihat kedepan atau
mempunyai keahlian. Dengan demikian “Jurusprudence” mempunyai arti ilmu pengetahuan hukum, ilmu hukum atau ilmu yang mempelajari hukum.
Menurut Poernadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979 : 55), Jurisprudence berarti teori ilmu hukum atau Algemene
Rechtsleer atau General Theory of Law.
Jika “Jurisprudentia”
(Latin) berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerheid).
Jurisprudentie (Belanda) sama artinya
dengan Jurisprudensi (Indonesia )
berarti “hukum peradilan atau hukum
ciptaan hakim” artinya keputusan pengadilan atau hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap”.
Dari uraian di muka dapat diketahui bahwa istilah
“law” (Bahasa Inggris) mempunyai dua
pengertian yakni pertama, sebagai pedoman
untuk mencapai keadilan atau disebut
dengan “hukum” sama dengan istilah “ius” (Latin), “droit” (Perancis), “recht”
(Belanda dan Jerman); yang kedua “law” juga berarti “undang-undang”
(Indonesia), sama dengan istilah “lex” atau “legi” (Latin), “loi” (Perancis), “wet” (Belanda), “gesetz”
(Jerman).
Beberapa definisi hukum menurut para ahli hukum
adalah sebagai berikut :
1.
Hukum adalah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi
kepentingan orang dalam masyarakat. [12]
2.
Paul Scholten dalam bukunya “Algemeen Deel” menyatakan bahwa, hukum
itu suatu petunjuk tentang apa yang layak dikerjakan apa yang tidak, jadi hukum itu bersifat suatu perintah.[13]
3.
Menurut Bellefroid, hukum
yang berlaku di sesuatu masyarakat bertujuan mengatur tata tertib masyarakat
itu dan didasarkan atas kekuasaan yang ada dalam masyarakat itu.[14]
4.
Hukum adalah sebagai
rangkaian peraturan-peraturan mengenai
tingkah laku orang-orang sebagai suatu anggota masyarakat. [15]
5.
Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Pada Panel diskusi V Majelis Hukum
Indonesia, beliau mengatakan bahwa hukum adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat dan juga meliputi lembaga-lembaga, institutions
dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam masyarakat
sebagai suatu kenyataan.[16]
6.
Hukum adalah keseluruhan
kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama:
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku
yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. [17]
7.
Hukum adalah petunjuk hidup,
perintah-perintah dan larangan yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh
masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut
dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau
penguasa masyarakat itu. [18]
8.
Hukum ialah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat
oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap
peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukuman yang tertentu. [19]
9.
Hukum adalah himpunan
peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah,
larangan atau perizinan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud
untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat. [20]
Dari pendapat di muka dapat disimpulkan, bahwa
hukum adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan antara manusia dalam kehidupan bermasyarakat, dan
barangsiapa yang melanggar norma hukum dapat dijatuhi sanksi atau dituntut oleh
pihak yang berwenang atau oleh pihak yang hak-haknya dirugikan.
3.
Tujuan mempelajari PHI
Obyek studi PHI adalah “hukum” yang berlaku sekarang di Indonesia
atau hukum positip Indonesia .
Adapun tujuan mempelajari hukum (positif) Indonesia
ialah ingin mengetahui :
a.
macam-macam hukum (bentuk,
isi) yang berlaku di Indonesia ;
b.
perbuatan-perbuatan apa yang yang dilarang dan
yang diharuskan serta yang diperbolehkan
menurut hukum Indonesia ;
c.
kedudukan, hak dan kewajiban setiap orang
dalam masyarakat dan negara menurut hukum Indonesia ;
d.
macam-macam lembaga
atau institusi pembentuk atau pembuat dan pelaksana atau penegak hukum menurut
hukum Indonesia ;
e.
prosedur hukum (acara
peradilan dan birokrasi hukum/ pemerintahan) apabila mengahadapi masalah hukum
dengan setiap orang dan para pelaksana hukum Indonesia . Dalam hal ini yang ingin
diketahui adalah bilamana terjadi sengketa hukum atau penyelesaian sengketa
hukum di pengadilan maupun di luar pengadilan menurut hukum positif Indonesia.
4.
Perbedaan dan persamaan PHI dengan PIH
a. Persamaan PIH dengan PHI
1)
PHI dan PIH sama-sama
merupakan mata kuliah prasyarat dan pengantar
atau sebagai mata kuliah dasar (basis leervakken) bagi mata kuliah atau
studi lanjut tentang “hukum” (cabang-cabang hukum positip). Oleh karena itu PIH
dan PHI bukan mata kuliah jurusan atau pilihan;
2)
PIH dan PHI merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang
ingin mempelajari ilmu hukum secara luas;
3)
Obyek studi PIH dan
PHI adalah “hukum”. PIH dan PHI
memperkenalkan konsep-konsep dasar, pengertian-pengertian hukum dan generalisasi-generalisasi tentang hukum dan
teori hukum positip (dogmatis hukum) yang secara umum dapat diaplikasikan;
4)
PIH dan PHI
memperkenalkan hukum sebagai suatu kerangka yang menyeluruh, yang dapat dilihat
dari sudut pandang tertentu, sehingga orang dapat memperoleh suatu “overzicht” atau suatu pemahaman yang
umum dan lengkap tentang hukum. PIH dan PHI menyajikan satu ringkasan yang komprehensip
dari konsep atau teori hukum dalam
keseluruhan.[21]
b. Perbedaan PIH dengan PHI
1)
PHI atau Inleiding
tot het positiefrecht van Indonesie (bahasa Belanda) atau Introduction
Indonesian of Law atau Introduction
Indonesian Positive Law (bahasa
Inggris) mempelajari hukum positip yang berlaku secara khusus di Indonesia.
Artinya PHI menguraikan secara analisis dan deskriptif mengenai tatanan
hukum dan aturan-aturan hukum,
lembaga-lembaga hukum di Indonesia yang meliputi latar belakang sejarahnya,
positif berlakunya, apakah sesuai dengan
asas-asas hukum dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum);
2)
PIH atau Inleiding tot de Rechtswetenschap
(bahasa Belanda) atau Introduction of
Jurisprudence atau Introduction
science of Law (bahasa Inggris)
merupakan pengantar guna memperkenalkan dasar-dasar ajaran hukum umum (algemeine rechtslehre);
3)
PIH mempelajari
ilmu hukum secara umum dengan
memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar tentang hukum pada
umumnya yang tidak hanya berlaku di Indonesia saja tetapi yang berlaku pada masyarakat hukum lainnya.[22]
4)
PIH mempelajari dan memperkenalkan pengertian-pengertian dan
konsep-konsep dasar serta teori-teori hukum secara umum, termasuk mengenai
sejarah terbentuknya lembaga-lembaga hukum maupun pengantar falsafahnya dalam
arti kerohanian kemasyarakatan;
Kesimpulannya PIH membahas atau mempelajari
dasar-dasar hukum secara umum atau yang
berlaku secara universal, misalnya
mengenai pengertian-pengertian, konsep-konsep dasar dan teori-teori
hukum, serta sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum dari sudut
pandang falsafah kemasyarakatan. Sedangkan
PHI mempelajari konsep-konsep, pengertian-pengertian dasar dan sejarah
terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga
hukum, aturan-aturan hukum serta teori hukum positif Indonesia .
5.
Sejarah Tata Hukum Indonesia
Tata hukum Indonesia
atau susunan hukum Indonesia adalah tatanan atau tata tertib hukum
hukum Indonesia guna
melindungi kepentingan masyarakat Indonesia . Oleh karena itu sejak bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka sejak saat itu bangsa
Indonesia telah mengambil keputusan untuk menentukan dan melaksanakan hukumnya
sendiri yaitu hukum bangsa Indonesia sebagai hukum nasional dengan tatanan hukum
yang baru yaitu hukum Indonesia.
Dengan diprolamasikan kemerdekaan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti :
a.
menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia ;
b.
sejak saat itu berarti
bangsa Indonsia telah mengambil keputusan (sikap politik hukum) untuk
menetapkan tata hukum Indonesia .
Sikap politik hukum bangsa Indonesia yang
menetapkan tata hukum Indonesia tersebut tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai berikut “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia..….disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia ”.
Sikap politik hukum untuk memberlakukan hukum
masa sebelum kemerdekaan juga dicantumkan dalam pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum diamandemen), yang menyatakan “Segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Setelah Undang-Undang Dasar 1945 mengalami
empat kali amandemen, sikap politik hukum dari negara untuk memberlakukan
hukum-hukum masa lalu sebelum kemerdekaan ataupun sebelum amandemen UUD 1945,
tercantum dalam Pasal I dan Pasal II
Aturan Peralihan. Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (setelah amandemen)
menyatakan “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.Selanjutnya
oleh Pasal II dinyatakan ”Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi
sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pemberlakuan kembali hukum (peraturan
perundang-undangan kolonial) oleh pasal-pasal Aturan Peralihan UUD 1945 setelah
kemerdekaan 17 Agustus 1945, tidak adapat dikatakan bahwa tata hukum Indonesia merupakan
kelanjutan dari tata hukum kolonial Belanda atau Jepang. Pemberlakuan peraturan
perundang-undangan kolonal dimaksudkan bersifat sementara untuk menghindari
terjadinya kekosongan hukum selama tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ber-Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam sejarah perkembangan berlakunya UUD 1945
pernah mengalami pasang-surut sebagai berikut :
a.
UUD 1945 berlaku pada tanggal (18 Agustus 1945 - 27 Desember
1949;
b.
UUD RIS 1949 berlaku
pada tanggal (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950);
c.
UUD Sementara 1950 berlaku
pada tanggal (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959);
d.
UUD 1945 berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959;
e.
UUD 1945 mengalami
empat kali amandemen (amandemen pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober
1999, amademen kedua ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 2000, amandemen ketiga ditetapkan pada tanggal 9 Nopember
2001, dan amandemen keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Dengan berlakunya UUD 1945 yang kedua setelah
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 masih
tetap berlaku.
Berlakunya kembali UUD 1945 termasuk Pasal II
Aturan Peralihannya menimbulkan permasalahan dalam pemberlakuan hukum
(peraturan perundang-undangan). Permasalahannya adalah : Apakah peraturan
perundang-undangan yang dibuat atau diberlakukan atau hasil produk UUD RIS 1949
dan UUDS 1950, masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
(hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959).
Seperti halnya Pasal II UUD 1945 dan UUD RIS 1949, UUDS 1950 memuat pula ketentuan
peralihan yang isinya tetap memberlakukan segala peraturan perundang-undang
yang lama selama belum dicabut, ditambah atau diubah oleh UUDS ini.
Adapun ketentuan Peralihan UUDS 1950 tercantum
dalam pasal 142 menyebutkan bahwa “Peraturan undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus
1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peratuan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekadar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu
tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan
tata usaha atas kuasa Undang-Undang
Dasar ini”.
Sedangkan ketentuan peralihan UUD RIS 1949
dimuat dalam pasal 192 yang menyatakan “Peraturan-peraturan Undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai
berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa
konstitusi ini (ayat 1). Pelanjutan peraturan-peraturan Undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha yan sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat
satu hanya berlaku, sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Pemulihan Kedaulatan, Statut Uni,
persetujuan Peralihan ataupun Persetujuan-persetujuan yang lain yang
berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekadar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak berlawanan dengan ketentuan-ketentuan konstitusi
ini yang tidak memerlukan peraturan Undang-undang atau tindakan-tindakan
penjalankan (ayat 2)”.
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
menyatakan kembali berlakunya UUD 1945, maka
berdasarkan pasal II Aturan Peralihannya segala peaturan-peraturan hukum
yang berlaku sebelum Dekrit Presiden masih tetap berlaku, termasuk hukum
(peraturan perundang-undangan) yang
berlaku pada zaman Hindia Belanda (sebelum kemerdekaan Indonesia).
Hukum atau peraturan perundang-udangan
peninggalan Pemerintahan Kolonial Belanda tersebut antara lain :
1.
Reglemen op de
Rechterlijke Organisatie (R.O.) atau Peraturan Orgaisasi Pengadilan (O.P.);
2.
Alegemene Bepalingen
van Wetgeving (A.B.) atau Ketentuan umum tentang perundang-undangan;
3.
Burgerlijk Weboek
(B.W.) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K.);
4.
Reglemen of de
Burgerlijk Rechsvordering (R.V.) atau peraturan tentang Acara Perdata (A.P.);
5.
Wetboek van
Straafrecht (W.v.S.) atau KUHP diundangkan pada tanggal 1 Januari 1915
berdasarkan Stb. 1915 - 732 berlaku untuk semua golongan penduduk Hindia Belanda;
6.
Herziene Indonesische
Reglement = Reglement Indonesia
Diperbaharui (RIB). HIR atau RIB ini berisi Hukum Acara Perdata dan Pidana
untuk Jawa dan Madura.
7.
Rechtsreglement
Buitengewesten untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 927 - 227
pada tanggal 1 Juli 1927.
Empat buah Kitab undang-undang
(kodifikasi) yakni R.O, A.B, B.W, W.v.K
berlakunya di Hindia Belanda pada tanggal 30 April 1847 berdasarkan Stb. 1847 -
23.
Kitab-kitab hukum tersebut berlakunya di Hindia
Belanda (Indonesia )
didasarkan atas “asas konkordansi”
atau asas keselarasan, artinya hukum yang berlaku di negara lain (Belanda)
diberlakukan sama di tempat lain (Hindia Belanda).
Asas Konkordansi (concordantie beginsel) ini diatur dalam Pasal 131 ayat (2) Indische
Staatsregeling (I.S). Maksud asas konkordansi tersebut adalah “bahwa terhadap
orang Eropa yang berada di Hindia Belanda (Indonesia ) diberlakukan hukum
perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda”.
Berdasarkan pasal 131 ayat (2) IS tersebut,
maka hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda dan orang-orang yang disamakan
dengan golongan penduduk/orang Belanda di Indonesia harus diberlakukan sama
dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Jadi tidak ada perbedaan atau
diskriminasi pemberlakuan hukum antara penduduk di negara Belanda dengan
penduduk di Hindia Belanda (Indonesia ).
Hukum Perdata (B.W.) dan hukum Dagang (W.v.K.)
yang mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848, sedangkan Hukum Pidana (W.v.S.) mulai berlaku di Hindia
Belanda pada tanggal 1 Januari 1918 dan berlaku umum untuk semua golongan
penduduk Hindia Belanda.
Berlainan dengan Hukum Pidana (W.v.S.) yang di
Hindia Belanda diberlakukan terhadap
semua golongan penduduk (secara umum), tetapi untuk Hukum Perdata Barat
(B.W. dan W.v.K.) tidak demikian, berlakunya didasarkan pada perbedaan (macam)
golongan penduduk di Hindia Belanda .
Mengenai pembagian golongan penduduk Hindia
Belanda (saat itu) dan macam-macam hukum (perdata dan dagang) yang berlaku untuk masing-masing golongan penduduk
diatur dalam pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling (I.S.).
Pasal 131 I.S. berasal dari pasal 75 R.R. lama
(Stb. 1855 - 2). RR singkatan dari Reglement op het Beleid der Regering van
Nederlands Indie disingkat Regeringsreglemen (R.R. = Peraturan Pemerintah).
R.R. lama itu akhirnya diubah menjadi Inidische
Staatsregeling (I.S.) Stb. 1925 - 415 dan 416
pada tanggal 23 Juni 1925 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926
menurut Stb. 1925 - 577.
Pasal 131 I.S. merupakan dasar berlakunya B.W.
dan W.v.K. di Hindia Belanda. I.S. merupakan pedoman politik hukum pemerintah
Belanda untuk memberlakukan hukum-hukum Belanda di Hindia Belanda.
Pasal 131 I.S. terdiri dari 6 ayat yang
menyatakan :
Ayat 1. hukum perdata, hukum dagang dan hukum
pidana begitu pula hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diatur
dalam bentuk undang-undang atau ordonansi;
Ayat 2 sub. a terhadap
golongan Eropa harus diberlakukan perundang-undangan yang berlaku di negara
Belanda dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang (asas konkordansi);
Ayat 2 sub.b terhadap
orang Indonesia
asli (Pribumi) dan Timur Asing, dapat diberlakukan terhadap hukum Eropa dalam
bidang hukum perdata dan hukum dagang bilamana masyarakat menghendaki;
Ayat 3 Untuk hukum acara perdata dan acara
pidana berlaku ketentuan yang sama seperti mengenai hukum pidana;
Ayat 4 Orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur
Asing, diperbolekan menundukkan diri (onderwerpen)
kepada Hukum Eropa baik sebagian atau keseluruhannya. Ketentuan dan akibatnya
diatur dengan undang-undang atau ordonansi.
Ayat 5 di daerah-daerah yang berlaku hukum
adat, berdasarkan pasal ini diyatakan tidak berlakunya ordonansi;
Ayat 6 hukum adat yang masih berlaku
terhadap orang Indonesia
asli (Pribumi) dan Timur Asing masih tetap berlaku selama belum diatur dalam
undang-undang atau ordonansi[23]
a.
Pembagian Penduduk Hindia Belanda
Untuk memungkinkan berlakunya hukum Belanda
bagi golongan penduduk bukan Belanda (Eropa), oleh Pemerintah Hindia Belanda
dikeluarkan Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda atau yang disebut “Indische
Staatsregeling” (I.S.) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 melalui
Stb. 1925-577.[24]
Pasal 163 I.S.
berasal dari pasal 109 RR-baru menetapkan bahwa, dalam berlakunya
B.W. di Hindia Belanda, penghuni (penduduk) Hindia Belanda dibedakan
dalam tiga golongan, yaitu : (1) golongan Eropa; (2) golongan Timur Asing; (3)
golongan Pribumi (Bumi Putera/Indonesia
asli).
Selanjutnya di dalam pasal 163 ayat (2) I.S.
penduduk Hindia Belanda dibagi dalam 3
golongan penduduk, yaitu :
1. Golongan Eropa, berdasarkan pasal 163 ayat (2) I.S. terdiri
dari:
1)
semua orang Belanda,
2)
semua orang yang berasal dari Eropa yang tidak
termasuk orang-orang Belanda;
3)
a. semua orang Jepang;
b. semua orang yang berasal dari tempat lain yang tidak termasuk apa
yang disebut dalam (1) dan (2), yang di negaranya mempuyai hukum keluarga yang asasnya sama dengan hukum Belanda;
4)
anak dari mereka yang
disebut dalam (2) dan (3) yang dilahirkan di Indonesia secara sah atau yang
menurut undang-undanag diakui, dan turunan mereka selanjutnya.
2. Golongan Pribumi (Bumi Putera), menurut pasal 163 ayat 3 I.S.
yang termasuk golongan Pribumi (Bumi Putera) ialah:
a.
mereka yang termasuk
penganut Pribumi (Indonesia asli/Bumi Putera) yang tidak pindah ke lain
golongan,
b.
mereka yang tadinya
termasuk golongan lain, tetapi yang telah meleburkan diri ke dalam golongan
Pribumi.
3. Golongan Timur Asing, menurut pasal 163 ayat (4) I.S. yang
tidak termasuk golongan Timur Asing, ialah mereka yang tidak termasuk golongan
Eropa dan tidak termasuk golongan Pribumi (Bumi Putera), misalnya: orang Cina,
Mesir, Sudan, Nigeria, Arab, India, Pakistan, Banglades.
b.
Berlakunya Hukum Perdata dan Hukum Dagang
Pembagian golongan penghuni (penduduk) Hindia
Belanda berdasarkan pasal 163 I.S.
dimaksudkan untuk menentukan
sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan seperti yang diatur dalam
pasal 131 I.S.
Hukum Perdata (B.W. dan W.v.K.) yang
diberlakukan terhadap tiap-tiap golongan penduduk yang tersebut dalam pasal 163
I.S. adalah sebagai berikut:
1.
Menurut pasal 131 ayat
(2) sub. a. I.S., hukum perdata dan dagang
yang berlaku untuk golongan Eropa adalah Burgerlijk Wetboek (B.W.) dan
Wetboek van Koophandel (W.v.K.) tanpa kecuali termasuk undang-undang diluar
kedua Kitab Undang-undang tersebut (B.W. dan W.v.K.) misalnya Undang-undang
Octrooi (undang-undang hak cipta dalam
bidang industri dan perdagangan); undang-undang Autheur (undang-undang yang
mengatur hak cipta dalam bidang kesusastraan), juga hukum pidana material dan
hukum acara (pidana dan perdata).
2.
Menurut pasal 131 ayat
(2) sub. b. I.S., maka Hukum Perdata yang berlaku terhadap Golongan Bumi Putera
(Pribumi) adalah Hukum Perdata adat (Hukum yang tidak tertulis) yang berlaku
bagi penduduk Pribumi.
3.
Menurut pasal 131 ayat
(2) sub. b. I.S., Hukum perdata yang berlaku terhadap golongan Timur Asing,
adalah sejajar atau sama dengan golongan Pribumi yakni hukum perdata adat.
Hukum perdata adat disini bukanlah yang berlaku bagi golongan Pribumi, tetapi
hukum perdata adat yang berlaku bagi golongan Timur Asing (menurut hukum
adatnya) sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah
dikeluarkannya Stb. 1917-129, golongan Timur Asing dibedakan dalam dua golongan (mulai berlaku 1 Mei 1919
(Stb. 1919-81):
a.
Golongan Timur Asing -
Tionghoa;
b.
b. Golongan Timur Asing - bukan Tionghoa;
Berdasarkan pasal 131 ayat (2) sub. b. I.S. jo.
Stb. 1917-129 jo. Stb. 1924-557 mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1925 maka
seluruh Hukum Pedata Eropa (B.W. dan W.v.K.) dan peraturan kepailitan berlaku
bagi Golongan Timur Asing Tionghoa, kecuali mengenai adopsi dan Kongsi.
Adopsi adalah pengambilan atau pemungutan anak yang berlaku bagi
golongan Timur Asing Tionghoa, yaitu mengangkat anak laki-laki orang lain
sebagai anak laki-lakinya.
Adopsi, tidak dikenal dalam lapangan Hukum
Perdata Barat, tetapi diperuntukkan bagi golongan Timur Asing Tionghoa yang
masih memerlukan menurut hukum adatnya. Oleh karena itu ketentuan adopsi diatur
alam Stb. 1917-129 Bab II.
Kongsi, menurut Hukum adat Tionghoa adalah suatu perdagangan
berbentuk perusahaan, yang merupakan badan hukum dan mirip dengan suatu
perseroan menurut Hukum Perdata Eropa. Setelah sepuluh tahun mulai berlakunya
Stb. 1917-129, kongsi tidak lagi diakui
sebagai badan hukum.
Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa,
menurut pasal 131 ayat (2) sub b I.S. jo. Stb. 1917-129 jo. Stb. 1924-556 hukum
perdata yang berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa adalah seluruh
hukum Perdata dan hukum Dagang Eropa (B.W. dan W.v.K.), kecuali hukum keluarga
dan hukum Waris tanpa wasiat (hukum waris menurut undang-undang) masih berlaku
menurut hukum adat mereka masing-masing.
c.
Penundukan Pada
Hukum Perdata Eropa
Pada mulanya menurut pasal 75 ayat (4) R.R.
lama yang kemudian diubah menjadi pasal 131 ayat (4) I.S. menyatakan bahwa,
“bagi orang Indonesia asli (Pribumi/Bumi Putera) dan Timur Asing sepanjang mereka belum ditempatkan di bawah suatu
peraturan bersama dengan bangsa Eropa diperbolehkan menundukkan diri pada hukum
yang berlaku untuk Eropa” (Peraturan Penundukan diri diatur dalam Stb. 1917 - 12 jo. 528)..
Berdasarkan ketentuan pasal 131 I.S. ayat (4)
maka dibuatlah peraturan tentang Penundukan Sukarela ke dalam Hukum Perdata
Eropa yang diatur dalam Stb. 1917-12 jo. 528.
Stb. 1917-12 ini pada mulanya akan
diperuntukkan golongan bukan Eropa yaitu untuk golongan Pribumi (Bumi Putera)
dan Timur Asing. Setelah dikeluarkannya Stb. 1917-129 dan Stb. 1924 No. 556 dan
557 yang memberlakukan seluruh hukum Perdata Eropa untuk golongan Timur Asing
Tionghoa maupun bukan Tionghoa dengan perkecualian hukum adat yang tertentu.
Selanjutnya Stb. 1917-12 hanya berlaku terhadap golongan Pribumi, yang mana
golongan Pribumi saat itu masih berlaku hukum adatnya.
Stb. 1917-12 menentukan adanya 4 (empat) macam
cara penundukan sukarela ke dalam hukum perdata Eropa, sebagai berikut:
1.
Penundukan untuk
seluruhnya kepada hukum perdata Eropa. Ini berarti seluruh hukum Perdata Eropa
berlaku baginya (pasal 1 s/d 17) untuk selama-lamanya; tetapi tidak berarti ia
pindah dari golongan Pribumi ke golongan Eropa, ia tetap golongan Pribumi (Bumi Putera).
2.
Penundukan dengan
sukarela untuk sebagian dari hukum perdata Eropa. Artinya orang yang melakukan
tindakan ini, dikemudian hari berlaku baginya sebagian hukum Perdata Eropa.
Menurut pasal 18 s/d 25, penundukan sebagian ini seperti yang berlaku bagi
golongan Timur asing bukan Tionghoa (Stb. 1924-556) misalnya hukum
kekayaan/harta benda dan hukum waris testamenten, tidak termasuk hukum keluarga
dan hukum waris tanpa wasiat.
3.
Penundukan dengan
sukarela kepada hukum perdata Eropa mengenai suatu tindakan hukum
tertentu.
Tindakan penundukan hukum tertentu ini
merupakan penundukan asli, artinya ialah penundukan ke dalam hukum perdata
Eropa yang pertama-tama dibuka bagi mereka yang baginya tidak berlaku hukum
perdata Eropa. Bagi yang melakukan penundukan tertentu ini yang bersangkutan
menyadari bahwa tindakan yang dilakukan dan akibat hukum yang terjadi
dikemudian hari dikuasai oleh hukum Eropa; misalnya penundukan pada hukum yang
berhubungan dengan harta kekayaan saja.
Contoh : Jual beli, sewa menyewa dan sebagainya.
4.
Penundukan anggapan
atau penundukan secara diam-diam. Penundukan diri tidak dengan sengaja pada
hukum perdata Eropa, misalnya: menandatangani surat-surat dagang, wesel atau cek, promes,
meng-asuransikan jiwa pada suatu perusahaan pertanggungan (asuransi), menjadi
peserta anggota perseroan yang tunduk pada hukum perdata Eropa.
6.
Politik Hukum Nasional
Dalam rangka ingin memahami makna dan tujuan
politik hukum nasional, lebih dahulu diperlukan adanya pemahaman tentang
pengertian “Politik Hukum”. Definisi Politik hukum menurut beberapa ahli antara
lain :
a)
Menurut Bellefroid,
Politik Hukum adalah menyelidiki tuntutan-tuntutan sosial yang hendak
diperhatikan oleh hukum sehingga isi ius constituendum ditunjuk oleh politik
hukum supaya constitutum disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.[25]
b)
W. Zevenbergen
mendefinisikan politik hukum adalah mempersoalkan hal-hal mana dan dengan cara
bagaimana hukum itu harus diatur.[26]
c)
Sudiman
Kartohadiprodjo menyatakan, Politik hukum negara sebagai perhatian negara
terhadap hukum tentang bentuk hukum
apakah tertulis atau tidak tertulis, dikodikasi atau tidak dikodifikasi,
dan dapat pula terhadap isinya hukum. Politik hukum dapat ditujukan pula kepada
perubahan-perubahan dalam arti perbaikan
kesadaran hukum dalam pergaulan hidup;[27]
d)
Menurut Kusumadi
Pudjosewojo, membahas hal-hal tentang hukum yang akan datang dalam suatu negara
merupakan lapangan “Politik Hukum”;[28]
e)
Teuku Mohammad Radhie
dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan
dan Politik dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional
mendefinisikan politik hukum sebagai suatu “pernyataan kehendak penguasa negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun” (Prisma No. 6 Thn II Desember 1973);
f)
Soedarto (Ketua
Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), berpendapat bahwa politik hukum
adalah “kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan”. Pada bukunya yang lain berjudul Hukum dan Hukum Pidana dijelaskan, “politik
hukum” adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.[29]
g)
Definisi politik hukum
sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang
akan dibentuk. Dalam tulisannya di majalah Forum Keadilan yang berjudul “Menyelisik Proses Terbentuknya
Perundang-undangan” (April, 1991 : 65) dikatakan bahwa, politik hukum adalah kebijakan penyelenggara
Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam
hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan
hukum, dan penegakannya sendiri.[30]
h)
Menurut Satjipto
Rahardjo, politik hukum sebagai
aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan
sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Politik hukum
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang
demikian itu, karena ia diarahkan kepada “iure
constituendo”, hukum yang seharusnya berlaku. [31]
i)
Sunaryati Hartono di
dalam bukunya “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional” tidak
menjelaskan secara eksplisit pengertian politik hukum. Namun, itu tidak berarti
mengabaikan keberadaan politik hukum
dari sisi praktisnya. Dalam hal ini, beliau
melihat politik hukum sebagai suatu sarana dan langkah yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang
dikehendaki, dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita
bangsa Indonesia.[32]
j)
Abdul Hakim Garuda
Nusantara menyatakan bahwa, Politik Hukum Nasional secara harfiah dapat
diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau
dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik
Hukum Nasional bisa meliputi : (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
secara konsisten; (2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaharuan
terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan
ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana
hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.[33]
k)
Politik Hukum, menurut
Urecht adalah menyelidiki perubahan-perubahan
yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai
dengan kenyataan social.[34]
l)
Politik Hukum adalah suatu bidang studi hukum yang
kegiatannya memilih atau menentukan hukum mana yang sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai oleh masyarakat. Demikian Riduan Syahrani.[35]
m)
Soerjono Soekanto dan
Otje Salman dalam karya ilmiahnya
tentang Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, menurutnya disiplin Hukum
terdiri atas (Filsafat Hukum, Ilmu Hukum, Politik Hukum), tidak menjelaskan
secara eksplisit pengertian Politik Hukum. Menurutnya bahwa Politik Hukum
sebagai Disiplin Hukum khusus yang mencakup: Disiplin Tata Hukum dan Teknologi
hukum yang terdiri dari: Teknik pembentukan hukum/undang-undang (rechtsvorming), teknik penemuan hukum (rechtsvinding), teknik peradilan, teknik
pemerintahan, teknik kepolisian). Politik
hukum merupakan bagian disiplin ilmu hukum (sebagai ajaran hukum) dalam arti
khusus yang membumikan Filsafat Hukum dan Dogmatis Hukum ke dalam pelaksanaan
hukum di masyarakat (hukum positip). [36]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
Politik hukum merupakan policy atau kebijakan negara di bidang hukum yang
sedang dan akan berlaku dalam suatu negara”. Dengan adanya politik hukum,
negara dapat menentukan jenis-jenis atau macam-macam hukum, bentuk hukum,
materi dan/atau sumber hukum yang
diberlakukan dalam suatu negara pada saat ini dan yang akan datang. Selain itu
dapat diketahuinya lembaga-lembaga pembuat atau pencipta hukum (rechtsvorming), lembaga pelaksana dan
penegak hukum, lembaga penemu atau penggali dan penafsir hukum (rechtsvinding) dalam suatu negara”.
Apabila dihubungkan dengan pengertian “Politik
Hukum” dengan “Nasional”, maka Politik Hukum Nasional merupakan policy atau
kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum nasional, baik yang
sedang berlaku (ius constitutum) maupun yang akan berlaku (ius constituendum) guna pencapaian tujuan bangsa dan negara yang
diamanatkan oleh UUD 945.
Jika
seseorang ingin mengetahui politik hukum Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia
pada masa kolonial, maka dapat diketahui bahwa politik Pemerintah Hindia
Belanda masa kolonial diatur di dalam pasal 131 I.S.
Untuk mengetahui politik hukum negara Indonesia , maka harus melihat atau membaca lebih
dahulu “Konsitusi Negara Indonesia ”
yaitu di dalam UUD 1945. Pada
kenyataannya di dalam UUD 1945 tidak
dijumpai pasal-pasal yang mengatur
adanya “politik hukum” Negara Republik Indonesia .
Berlainan dengan UUDS 1950, yang dalam salah
satu pasalnya memuat politik hukum negara Republik Indonesia , yang termuat dalam pasal
102 berbunyi:
“hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun
hukum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan
kekuasaan pengadilan diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab hukum,
kecuali jika pengundang-undang menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal
dalam undang-undang tersendiri”
Dari pasal 102 UUDS 1950, dapat diketahui
adanya politik hukum negara (nasional) bahwa negara Republik Indonesia menghendaki
dikodifikasikannya lapangan-lapangan hukum.
Pasal 102 UUDS ini dikenal sebagai pasal
kodifikasi atau sebagai pasal yang memuat Politik Hukum Negara Republik Indonesia .
Walaupun di dalam UUD 1945 tidak ada pasal yang
menentukan Politik Hukum Negara Republik Indonesia, tetapi dalam pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 dapat
diartikan sebagai penentuan adanya Politik Hukum Negara Republik
Indonesia, meskipun sifatnya sementara sampai terbentuknya kodifikasi hukum
yang bersifat nasional.
Dengan perantaraan pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 berarti memberikan dasar hukum untuk berlakunya hukum-hukum yang
pernah berlaku di Indonesia
pada zaman kolonial. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum,
selama hukum-hukum tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945
berlaku kembali, dan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tetap diartikan sebagai
penentu adanya politik Hukum Negara Republik Indonesia, walaupun sifatnya
sementara. Apakah berlakunya UUD 1945 berarti UUDS 1950 beserta ketentuan pasal 102
menjadi tidak berlaku?.
Sejak tahun 1973 setelah ada ketetapan MPR No.
IV tahun 1973, dapat ditemukan rumusan Politik Hukum (Nasional) Negara
Republik Indonesia
sebagai berikut (dalam GBHN):
I.
Pembangunan di bidang
hukum dalam negara Hukum Indonesia adalah berdasar atas landasan Sumber Tertib
Hukum Negara yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran
dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana
kejiwaan serta watak dari Bangsa Indonesia yang dipadatkan dalam Pancasila dan
UUD 1945.
II.
Pembinaan bidang hukum
harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan
kesadaraan hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat
kemajuan pembangunan disegala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian
hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan Pembina
Kesatuan Bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan
modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan:
a.
peningkatan dan
penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan
pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan
jalan memperhatikan kesadaran hukum dlam masyarakat;
b.
menertibkan fungsi
lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing;
c.
peningkatan kemampuan
dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
III.
Memupuk kesadaran
hukum dalam masyarakat dan membina sikap pada pengusaha dan para pejabat
pemerintah kearah penegak hukum, keadilan serta perlindungan terhadap Harkat
dan Martabat Manusia, dan ketertiban serta kapasitas hukum sesuai dengan UUD
1945.
Dari pernyataan politik yang tertuang didalam
Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 tentang GBHN tersebut, dapat disimpulkan adanya
2 (dua) tahap pembangunan hukum, yaitu:
1.
Tahap pembangunan
hukum jangka panjang yang bertujuan mengganti tata hukum yang sekarang dengan
tata hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di Indonesia yang sedang mengalami
proses pembangunan di segala bidang. Pembangunan hukum disini harus mencakup
segala lapangan hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat, baik lapangan
hukum perdata, pidana, acara dan sebagainya.
2.
Tahap pembangunan
hukum jangka pendek, pembangunan hukum pada tahap ini bersifat sektoral yaitu
pembangunan yang menyangkut cabang hukum tertentu.
Sekarang dengan berlakunya UUD 1945 pasca
amandemen, politik hukum nasional menjadi tidak jelas keberadaannya, karena di
dalam UUD 1945 (hasil amademen) tidak mengatur tentang politik hukum negara
(nasional). Selain itu dengan tidak
adanya GBHN sebagai penentu dan penuntun
pemerintah dalam melaksanakan tugas kewajibannya kepada rakyat di masa yang
akan datang, maka pencapaian cita-cita bangsa
Indonesia
(mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur) semakin jauh dari kenyataan
(meskipun sudah ada propenas). Supaya negara Indonesia mempunyai politik hukum
nasional yang konstitusional, maka perlu adanya amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang Politik hukum atau kebijakan
negara tentang hukum di Indonesia.
Politik hukum nasional seyogyanya memuat: (1)
pembentukan dan mengkodifikasi hukum nasional yang berwatak nasional untuk
mengganti hukum warisan kolonal; (2) penataan hukum nasional yang menyeluruh,
terpadu serta mengakui keberadaan hukum agama dan adat masing-masing; (3)
menciptakan hukum yang responsif yang berkeadilan dan berkepastian hukum; (4)
menciptakan proses peradilan yang cepat, tepat, mudah (sederhana), murah,
terbuka, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); (5) mengembangkan dan
menciptakan kesadaran hukum masyarakat yang demokratis dan menghormati serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia; (6) Menciptakan hukum yang mampu
meningkatkan kesejahteran atau kemakuran untuk rakyat; (7) meningkatkan
profesionalisme pembentuk atau pembuat dan pelaksana/penegak hukum.
Idealnya Politik hukum nasional (hukum
nasional) harus ditekankan pada pencapaian tujuan atau mewujudkan cita-cita
bangsa Indonesia
yang adil dan makmur sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UU 1945 yakni :
a.
melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia ;
b.
memajukan
kesejahteraan umum;
c.
mencerdaskan kehidupan
bangsa;
d.
ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Politik Hukum Nasional bertujuan meletakkan
dasar-dasar negara Indonesia
sebagai negara hukum (Rechtsstaat)
yang demokratis dan
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta berke-Tuhanan Yang
Maha Esa.
[1] Soediman
Kartohadiprodjo. 1965. Pengantar Tata Hukum di Indonesia . Pembangunan. Jakarta . hlm. 39.
[2] Kusumadi
Pudjosewojo. 1976. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia . Aksara Baru. Jakarta hlm.10.
[3]
Achmad Sanusi. 1984. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia .
Tarsito. Bandung .
hlm. 4.
[4] Soedjono
Dirdjosisworo. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali Pers. Jakarta.
hlm.165.
[5] Ibid.
hlm.163.
[6] Ibid.
hlm.170.
[7] J.
Valkhoff. Kamus ENSIE III. hlm. 423.
[8]
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta.1999. Pengantar Ilmu Hukum. Alumni.
Bandung . hlm.1.
[9] Ibid.
hlm.1-4.
[10]
Bruggink, J. J. H. 1996. Refleksi
Tentang Hukum. Terjemahan Arief Sidharta. Citra Aditya Bakti. Bandung . hlm.142.
[11] N.E.
Algra, et al. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. Binacipta. Bandung . hlm. 2.
[12] Van Kan
dan J.H. Beekhuis. 1972. Pengantar Ilmu Hukum. Pembangunan.
Jakarta.hlm.13.
[13] E. Utrecht . 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia .
Sinar Harapan. Jakarta .
(selanjutnya disebut E. Utrecht
I) hlm. 55.
[14] Ibid.
[15] Wirjono
Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia . Dian Rakyat. Jakarta . (selanjutnya
disebut Wirjono Prodjodikoro I). hlm. 1.
[18] E. Utrecht I, op. cit. hlm. 3.
[19]
JCT. Simorangkir dan Woerjono Sastroparanoto. 1962. Pelajaran Hukum Indonesia .
Gunung Agung. Jakarta .
hlm. 6.
[20]
Soerojo Wignjodipuro. 1982. Pengantar Ilmu Hukum. Gunung Agung. Jakarta . (Selanjutnya di
sebut Soerojo Wignjodipuro I). hlm.13.
[21] Achmad
Sanusi, loc. cit.
[22] Mochtar
Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, op. cit. hlm.12.
[23] R.
Subekti. 1977. Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa. Jakarta . hlm.11.
[24] Asis
Safioedin. 1989. Beberapa hal tentang Burgerlijk Wetboek. Alumni. Bandung . hlm.3.
[25]
Soedjono Dirdjosisworo, op.cit. hlm.199.
[26] Ibid.
hlm.198.
[27] Sudiman
Kartohariprodjo, op. cit. hlm. 32.
[28]
Kusumadi Pudjosewojo, op. cit. hlm. 12.
[29]
Soedarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung . hlm. 151.
[30] Padmo
Wahyono. 1986. Indonesia
Negara Berdasarkan atas Hukum. Ghalia Indonesia . Jakarta . hlm. 160.
[31]
Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung.h. 334.
[32]
Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.
Alumni. Bandung .
hlm.1-4.
[33] Abdul
Hakim Garuda Nusantara. 1985. Politik Hukum Nasional (Makalah Karya
Latihan Hukum). YLBHI. Surabaya .
[34] E. Utrecht I, op.cit. hlm. 48.
[35] Riduan
syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung . hlm. 234.
[36]
Soerjono Soekanto dan Otje Salman. 1985. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial.
Rajawali Pers. Jakarta.hlm.20.
waah lengkap blog nya pak
BalasHapussemoga bermanfaat amin
terima kasih Pak atas sharenya, semoga bermanfaat. amin
BalasHapusterimah kasih atas ilmunya.
BalasHapussaya mohonizin untuk menjadikan blog anda sebagai referensi blog baru sya .