Jumat, 04 Mei 2012

Pengantar Hukum Indonesia (Bab 1)


BAB I
PENDAHULUAN


1.             Istilah dan Pengertian PHI.
PHI atau Pengantar Hukum Indonesia terdiri dari tiga kata “Pengantar”, “Hukum” dan   “Indonesia”. Pengantar  berarti mengantarkan pada tujuan tertentu. Pengantar dalam bahasa Belanda disebut ”Inleiding” dan “Introduction” (bahasa Inggris) yang berarti  memperkenalkan secara umum atau secara garis besar yang tidak mendalam atas sesuatu hal tertentu. Pada istilah Pengantar Hukum Indonesia yang diperkenalkan secara umum atau secara garis besar adalah hukum Indonesia.
Pengantar Hukum Indonesia berarti  memperkenalkan secara umum atau secara garis besar dasar-dasar  hukum  yang berlaku sekarang di Indonesia kepada siapa saja yang ingin  mengetahui dan mempelajari hukum Indonesia.
Pengantar Hukum Indonesia  merupakan mata kuliah dasar (basis leervak) dan prasyarat untuk mempelajari cabang-cabang ilmu hukum yang lebih khusus dan lebih luas.
Selain PHI masih ada mata kuliah dasar (basis leervak) sebagai mata kuliah prasyarat untuk mempelajari cabang-cabang  hukum positif dan ilmu hukum secara mendasar dan umum, yaitu Pengantar Ilmu Hukum (PIH).
Sebelum berlakunya kurikulum 1984, materi kuliah Pengantar Hukum Indonesia  disebut  Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI). Istilah Tata Hukum Indonesia yang dimaksud adalah tatanan atau susunan atau tertib hukum yang berlaku di Indonesia. Penggunaan istilah PTHI menampakkan seolah-olah PTHI mempelajari dan membahas tentang persoalan teknis pembuatan undang-undang dan  penemuan hukum  (rechtsvorming, rechtsvinding). Oleh karena  itu pada tahun 1984 mata kuliah PTHI dalam kurikulum Fakultas Hukum diubah dan diganti dengan  PHI (Pengantar Hukum Indonesia).
Istilah “ Hukum Indonesia” yang dimaksud adalah  hukum yang berlaku di negara Indonesia pada waktu sekarang. Hukum yang berlaku pada waktu sekarang di suatu tempat atau wilayah tertentu disebut “Hukum Positip” artinya hukum yang (dipositipkan) berlaku untuk masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu.
Hukum positip juga disebut “ius constitutum” artinya hukum yang sudah  ditetapkan untuk  diberlakukan saat ini pada suatu tempat atau negara tertentu.
Soediman Kartohadiprodjo mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Tata Hukum di Indonesia” itu ialah  “Hukum  yang sekarang berlaku di Indonesia”, berlaku berarti yang memberi akibat hukum kepada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup; sekarang menunjukkan kepada pergaulan hidup pada saat ini, dan tidak pada pergaulan hidup yang telah lampau, pula tidak pada pegaulan hidup masa yang kita cita-citakan di kemudian hari; di Indonesia menunjukkan kepada pergaulan hidup yang terdapat di Republik Indonesia dan tidak di negara lain.  Selanjutnya beliau menyatakan bahwa, hukum positip disebut juga “ius constitutum” sebagai lawan dari “ius constituendum” yakni kaidah hukum yang di cita-citakan.[1]
Dari uraian tersebut berarti Soediman Kartohadiprodjo menyamakan istilah “tata hukum Indonesia” dengan “hukum positip Indonesia” atau “ius constitutum” ialah hukum yang sekarang berlaku di Indonesia.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo mengatakan bahwa “Tiap-tiap bangsa mempunyai tatahukumnya sendiri. Bangsa Indonesiapun mempunyai tata hukumnya sendiri, tata hukum  Indonesia.  Siapa yang mempelajari tata hukum Indonesia, maksudnya terutama ialah ingin mengetahui, perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum, dan yang manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenangnya, semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan  pendek kata ia ingin mengetahui hukum yang berlaku sekarang ini di dalam negara kesatuan  Republik Indonesia”.[2]
Achmad Sanusi menyatakan bahwa, istilah “Pengantar Tata Hukum Indonesia”  merupakan pengantar ilmu hukum  sebagai suatu sistem hukum positip di Indonesia. Selanjutnya dikemukakan bahwa, PTHI  mempelajari konsep dan teori hukum yang berlaku  di sini sesuai dengan bahan-bahan  real dan ideal  bangsa Indonesia. [3]
Hukum positip atau “stellingsrecht”  merupakan suatu kaidah yang berlaku  sebenarnya, merumuskan suatu hubungan yang pantas antara fakta hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusan-keputusan.[4]
Ius constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat tertentu.[5]
Menurut J.H.P. Bellefroid, “Hukum  Positif” ialah suatu penyusunan hukum  mengenai hidup kemasyarakatan, yang ditetapkan oleh kuasa masyarakat tertentu, berlaku untuk masyarakat tertentu yang terbatas menurut tempat dan waktunya.[6]
Hukum Positip adalah  hukum yang berlaku sungguh-sungguh; Hukum positip kemanusiaan yang berubah-ubah itu merupakan suatu tertib yang tegas untuk kebaikan umum; Hukum positip atau hukum “isbat” ialah hukum  yang berlaku di dalam negara.[7]
Dalam bukunya “Rechtsphilosophie” (G. Radbruch, 1950 : 209), menyatakan bahwa, ilmu hukum positif adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu negara atau masyarakat tertentu pada saat tertentu.[8]
Hukum Positif  yang mengatur kehidupan masyarakat Indonesia adalah Hukum yang berlaku di Indonesia pada waktu ini. Hukum Positif (Indonesia) adalah keseluruhan asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat.[9]
J.J.H. Bruggink di dalam bukunya “Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie” (Refleksi Hukum, Pengertian Dasar  Teori Hukum) yang telah dialih bahasakan   oleh Bernard  Arief Sidharta dengan judul “Refleksi tentang Hukum” bahwa yang dimaksud  “positivitas” kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah hukum dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kekuasaan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Dengan ini maka aturan hukum itu disebut hukum positif.
 Hukum positif adalah terjemahan dari “ius positum” dari bahasa Latin, yang secara harfiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gesteld recht). Jadi, hukum positip adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut “stellig recht”.[10]
Menurut N. Algra dan K. van Duyvendak dalam bukunya “Rechtsaanvang, 1989 : 2), istilah lain hukum positip adalah hukum yang berlaku (geldend recht)[11].
Dari pendapat para ahli hukum tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai pengertian atau definisi Hukum Positif.
 Pertama, hukum positip (ius positum) itu  ditetapkan oleh manusia atau oleh penguasa (pembuat hukum) yang berwenang untuk masyarakat tertentu dalam wilayah tertentu.
Kedua, hukum positip (ius positum) identik atau sama dengan Ius constitutum, artinya hukum yang telah dipilih atau ditentukan atau ditetapkan berlakunya untuk mengatur kehidupan  di tempat tertentu pada waktu  sekarang. Jika hukum  itu  masih di cita-citakan (ide) dan akan berlaku untuk waktu yang akan datang, disebut “ius constituendum” kebalikan dari “ius constitutum” atau “ius positum”.
Ius constitutum atau ius positum, selain berbeda dengan ius constituendum juga berbeda dengan konsep hukum menurut “hukum alam” atau “hukum kodrat” (ius naturale atau natural law) yang bersifat universal karena  berlakunya tidak terbatas oleh waktu dan tempat.
“Ius positum”  atau “ius constitutum” atau disebut juga “ius operatum” artinya hukum yang telah ditetapkan atau dipositipkan (positum) atau dipilih atau ditentukan (constitutum) berlakunya sekarang (operatum)   dalam  masyarakat atau wilayah tertentu. Ius operatum mengandung arti  bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan telah berlaku dan dilaksanakan  di masyarakat.
Ius costituendum dapat menjadi ius constitutum atau ius positum atau ius operatum apabila sudah ditetapkan berlaku oleh penguasa yang berwenang, dan  pemberlakuannya  memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum positip lainnya yang mengatur pemberlakuan suatu hukum (undang-undang); misalnya perundang-undangan harus telah disahkan oleh lembaga pembuat undang-undang dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang.
 Ketiga, ius positum (hukum positif) atau  ius constitutum atau  ius operatum adalah hukum yang berlaku pada waktu sekarang di wilayah tertentu,  untuk masyarakat tertentu.
Dengan demikian buku Pengantar Hukum Indonesia atau Pengantar Hukum Positif Indonesia, bertujuan untuk mengantarkan atau memperkenalkan secara umum atau secara garis besar  (dasar-dasar) hukum  yang sekarang berlaku di Indonesia.

2.             Pengertian Hukum
Istilah “hukum” di Indonesia berasal dari bahasa Arab “qonun” atau “ahkam” atau “hukm” yang mempunyai arti “hukum”.
Secara etimologis, istilah “hukum” (Indonesia) disebut “law” (Inggris)  dan “recht” (Belanda dan Jerman)  atau “droit” (Perancis). Istilah “recht” berasal dari bahasa Latin “Rectum” berarti  tuntunan atau bimbingan, perintah atau pemerintahan.  Rectum  dalam bahasa Romawi adalah “Rex” yang berarti Raja atau Perintah Raja. Istilah-istilah tersebut (recht, rectum, rex)   dalam bahasa Inggris  menjadi “Right” (hak  atau adil) juga berarti “hukum”.
Istilah  “law” (Inggris)  dari  bahasa Latin “lex”  atau  dari kata ”lesere” yang berarti mengumpulkan atau mengundang orang-orang untuk diberi perintah. Lex juga dari istilah “Legi”  berarti  peraturan atau undang-undang. Peraturan yang dibuat dan  disahkan oleh pejabat atau penguasa yang berwenang disebut  “legal” atau “legi” yang berarti “undang-undang”. Dengan demikian istilah “law” (Inggris) “lex” atau “legi” (Latin), loi (Perancis), wet (Belanda), gesetz (Jerman) selain berarti “hukum “ juga berarti “undang-undang”.
Istilah hukum dalam bahasa latin juga disebut “ius” dari kata “iubere” artinya mengatur atau memerintah atau hukum. Perkataan mengatur dan memerintah bersumber pada kekuasaan negara atau pemerintah. Istilah “ius” (hukum) sangat erat dengan tujuan hukum yaitu keadilan atau “iustitia”. “Iustitia” atau “Justitia” adalah dewi “keadilan” bangsa  Yunani dan Romawi kuno. “iuris” atau  “Juris” (Belanda) berarti “hukum” atau kewenangan (hak), dan “Jurist”  (Inggris dan Belanda) adalah ahli hukum atau hakim. Istilah “Jurisprudence” (Inggris) berasal dari kata “iuris” merupakan bentuk jamak dari “ius” yang berarti “hukum”  yang dibuat oleh masyarakat atau sebagai hukum kebiasaan, atau berarti “hak”, dan  “prudensi” berarti melihat kedepan atau mempunyai keahlian. Dengan demikian “Jurusprudence”  mempunyai arti  ilmu pengetahuan hukum,  ilmu hukum atau ilmu yang mempelajari hukum. Menurut Poernadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979 : 55), Jurisprudence  berarti teori ilmu hukum atau  Algemene Rechtsleer atau General Theory of Law.   Jika “Jurisprudentia” (Latin) berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerheid). Jurisprudentie (Belanda) sama artinya dengan  Jurisprudensi (Indonesia) berarti  “hukum peradilan atau hukum ciptaan hakim” artinya keputusan pengadilan atau hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Dari uraian di muka dapat diketahui bahwa istilah “law” (Bahasa Inggris) mempunyai dua pengertian yakni pertama, sebagai pedoman untuk mencapai keadilan  atau disebut dengan “hukum” sama dengan istilah “ius” (Latin), “droit” (Perancis), “recht” (Belanda dan Jerman);  yang kedua “law” juga berarti “undang-undang” (Indonesia), sama dengan istilah  “lex” atau “legi” (Latin), “loi” (Perancis), “wet” (Belanda), “gesetz” (Jerman).   
Beberapa definisi hukum menurut para ahli hukum adalah sebagai berikut :
1.             Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingan orang dalam masyarakat. [12]
2.             Paul Scholten dalam bukunya “Algemeen Deel” menyatakan bahwa, hukum itu suatu petunjuk tentang apa yang layak dikerjakan  apa yang tidak, jadi hukum  itu bersifat suatu perintah.[13]
3.             Menurut Bellefroid, hukum yang berlaku di sesuatu masyarakat bertujuan mengatur tata tertib masyarakat itu dan didasarkan atas kekuasaan yang ada dalam masyarakat itu.[14] 
4.               Hukum adalah sebagai rangkaian peraturan-peraturan  mengenai tingkah laku orang-orang sebagai suatu anggota masyarakat. [15]
5.             Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Pada Panel diskusi V Majelis Hukum Indonesia, beliau mengatakan bahwa hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan  manusia dalam masyarakat dan juga meliputi lembaga-lembaga, institutions dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan.[16]
6.             Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku  yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. [17]
7.             Hukum adalah petunjuk hidup, perintah-perintah  dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau  penguasa masyarakat itu. [18]
8.             Hukum  ialah  peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan  tingkah laku manusia  dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh  badan-badan resmi  yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi  berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman yang tertentu. [19] 
9.             Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan  untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud  untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat. [20]
Dari pendapat di muka dapat disimpulkan, bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum  yang mengatur hubungan antara manusia  dalam kehidupan bermasyarakat, dan barangsiapa yang melanggar norma hukum dapat dijatuhi sanksi atau dituntut oleh pihak yang berwenang atau oleh pihak yang hak-haknya dirugikan.

3.             Tujuan mempelajari PHI
Obyek studi PHI adalah “hukum” yang berlaku sekarang di Indonesia atau hukum positip Indonesia.   Adapun  tujuan mempelajari hukum (positif) Indonesia ialah ingin mengetahui :
a.               macam-macam hukum  (bentuk, isi) yang berlaku di Indonesia;
b.              perbuatan-perbuatan apa yang yang dilarang dan yang diharuskan serta  yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia;
c.               kedudukan, hak dan kewajiban setiap orang dalam masyarakat dan negara menurut hukum Indonesia;
d.             macam-macam lembaga atau institusi pembentuk atau pembuat dan pelaksana atau penegak hukum menurut hukum Indonesia;
e.              prosedur hukum (acara peradilan dan birokrasi hukum/ pemerintahan) apabila mengahadapi masalah hukum dengan setiap orang dan para pelaksana hukum Indonesia. Dalam hal ini yang ingin diketahui adalah bilamana terjadi sengketa hukum atau penyelesaian sengketa hukum di pengadilan maupun di luar pengadilan menurut hukum positif Indonesia.

4.             Perbedaan dan persamaan PHI dengan PIH
a.       Persamaan PIH dengan PHI
1)             PHI dan PIH sama-sama merupakan mata kuliah prasyarat dan pengantar  atau sebagai  mata kuliah dasar (basis leervakken) bagi mata kuliah atau studi lanjut tentang “hukum” (cabang-cabang hukum positip). Oleh karena itu PIH dan PHI bukan mata kuliah jurusan atau pilihan;
2)             PIH dan PHI  merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hukum secara  luas;
3)             Obyek studi PIH dan PHI adalah  “hukum”. PIH dan PHI memperkenalkan konsep-konsep dasar, pengertian-pengertian hukum dan  generalisasi-generalisasi tentang hukum dan teori hukum positip (dogmatis hukum) yang secara umum dapat diaplikasikan;
4)             PIH dan PHI memperkenalkan hukum sebagai suatu kerangka yang menyeluruh, yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, sehingga orang dapat memperoleh suatu “overzicht” atau suatu pemahaman yang umum dan lengkap tentang hukum. PIH dan PHI menyajikan satu ringkasan yang komprehensip dari konsep atau teori hukum  dalam keseluruhan.[21]

b.   Perbedaan PIH dengan PHI
1)             PHI  atau Inleiding tot het positiefrecht van Indonesie (bahasa Belanda) atau Introduction  Indonesian of Law atau Introduction Indonesian Positive Law (bahasa Inggris) mempelajari hukum positip yang berlaku secara khusus di Indonesia. Artinya PHI menguraikan secara analisis dan deskriptif mengenai tatanan hukum  dan aturan-aturan hukum, lembaga-lembaga hukum  di Indonesia  yang meliputi latar belakang sejarahnya, positif berlakunya,  apakah sesuai dengan asas-asas hukum dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum);
2)             PIH  atau  Inleiding tot de Rechtswetenschap (bahasa Belanda) atau Introduction of Jurisprudence atau Introduction science of Law (bahasa Inggris)  merupakan pengantar guna memperkenalkan dasar-dasar ajaran  hukum umum (algemeine rechtslehre);
3)             PIH  mempelajari  ilmu hukum  secara umum dengan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar tentang hukum pada umumnya yang tidak hanya berlaku di Indonesia saja tetapi  yang berlaku pada masyarakat hukum lainnya.[22]
4)             PIH mempelajari  dan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar serta teori-teori hukum secara umum, termasuk mengenai sejarah terbentuknya lembaga-lembaga hukum maupun pengantar falsafahnya dalam arti kerohanian kemasyarakatan;
Kesimpulannya PIH membahas atau mempelajari dasar-dasar  hukum secara umum atau yang berlaku secara universal, misalnya  mengenai pengertian-pengertian, konsep-konsep dasar dan teori-teori hukum, serta sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum dari sudut pandang falsafah kemasyarakatan. Sedangkan  PHI mempelajari konsep-konsep, pengertian-pengertian dasar dan sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga  hukum, aturan-aturan hukum serta teori hukum positif Indonesia.

5.             Sejarah Tata Hukum Indonesia
Tata hukum Indonesia atau susunan  hukum Indonesia adalah tatanan atau tata tertib hukum hukum Indonesia guna melindungi kepentingan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu  sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka sejak saat itu bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri yaitu hukum bangsa Indonesia sebagai hukum nasional dengan tatanan hukum yang baru yaitu hukum Indonesia.
Dengan diprolamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti :
a.              menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.             sejak saat itu berarti bangsa Indonsia telah mengambil keputusan (sikap politik hukum) untuk menetapkan tata hukum Indonesia.
Sikap politik hukum bangsa Indonesia yang menetapkan tata hukum Indonesia tersebut tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia..….disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”. 
Sikap politik hukum untuk memberlakukan hukum masa sebelum kemerdekaan juga dicantumkan dalam pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum diamandemen), yang menyatakan “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Setelah Undang-Undang Dasar 1945 mengalami empat kali amandemen, sikap politik hukum dari negara untuk memberlakukan hukum-hukum masa lalu sebelum kemerdekaan ataupun sebelum amandemen UUD 1945, tercantum dalam  Pasal I dan Pasal II Aturan Peralihan. Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (setelah amandemen) menyatakan “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.Selanjutnya oleh Pasal II dinyatakan ”Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pemberlakuan kembali hukum (peraturan perundang-undangan kolonial) oleh pasal-pasal Aturan Peralihan UUD 1945 setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, tidak adapat dikatakan  bahwa tata hukum Indonesia merupakan kelanjutan dari tata hukum kolonial Belanda atau Jepang. Pemberlakuan peraturan perundang-undangan kolonal dimaksudkan bersifat sementara untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum selama tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ber-Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam sejarah perkembangan berlakunya UUD 1945 pernah mengalami pasang-surut sebagai berikut :
a.              UUD 1945  berlaku  pada tanggal (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949;
b.             UUD RIS 1949 berlaku pada tanggal (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950);
c.              UUD Sementara 1950 berlaku pada tanggal (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959);
d.             UUD 1945  berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959;
e.              UUD 1945 mengalami empat kali amandemen (amandemen pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, amademen kedua ditetapkan  pada tanggal 18 Agustus 2000, amandemen ketiga ditetapkan pada tanggal 9 Nopember 2001, dan amandemen keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Dengan berlakunya UUD 1945 yang kedua setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 masih tetap berlaku.
Berlakunya kembali UUD 1945 termasuk Pasal II Aturan Peralihannya menimbulkan permasalahan dalam pemberlakuan hukum (peraturan perundang-undangan). Permasalahannya adalah : Apakah peraturan perundang-undangan yang dibuat atau diberlakukan atau hasil produk UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959).
Seperti halnya Pasal II UUD 1945 dan  UUD RIS 1949, UUDS 1950 memuat pula ketentuan peralihan yang isinya tetap memberlakukan segala peraturan perundang-undang yang lama selama belum dicabut, ditambah atau diubah oleh UUDS ini.
Adapun ketentuan Peralihan UUDS 1950 tercantum dalam pasal 142 menyebutkan bahwa “Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peratuan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu  tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan tata usaha  atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”.
Sedangkan ketentuan peralihan UUD RIS 1949 dimuat dalam pasal 192 yang menyatakan “Peraturan-peraturan Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini (ayat 1). Pelanjutan peraturan-peraturan Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yan sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat satu hanya berlaku, sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Pemulihan Kedaulatan, Statut Uni, persetujuan Peralihan ataupun Persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak berlawanan dengan ketentuan-ketentuan konstitusi ini yang tidak memerlukan peraturan Undang-undang atau tindakan-tindakan penjalankan (ayat 2)”.
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali berlakunya UUD 1945, maka  berdasarkan pasal II Aturan Peralihannya segala peaturan-peraturan hukum yang berlaku sebelum Dekrit Presiden masih tetap berlaku, termasuk hukum (peraturan perundang-undangan) yang  berlaku pada zaman Hindia Belanda (sebelum kemerdekaan Indonesia).
Hukum atau peraturan perundang-udangan peninggalan Pemerintahan Kolonial Belanda tersebut antara lain :
1.             Reglemen op de Rechterlijke Organisatie (R.O.) atau Peraturan Orgaisasi Pengadilan (O.P.);
2.             Alegemene Bepalingen van Wetgeving (A.B.) atau Ketentuan umum tentang perundang-undangan;
3.             Burgerlijk Weboek (B.W.) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K.);
4.             Reglemen of de Burgerlijk Rechsvordering (R.V.) atau peraturan tentang Acara Perdata (A.P.);
5.             Wetboek van Straafrecht (W.v.S.) atau KUHP diundangkan pada tanggal 1 Januari 1915 berdasarkan Stb. 1915 - 732 berlaku untuk semua golongan penduduk  Hindia Belanda;
6.             Herziene Indonesische Reglement = Reglement Indonesia Diperbaharui (RIB). HIR atau RIB ini berisi Hukum Acara Perdata dan Pidana untuk Jawa dan Madura.
7.             Rechtsreglement Buitengewesten untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 927 - 227 pada tanggal 1 Juli 1927.
Empat buah Kitab undang-undang (kodifikasi)   yakni R.O, A.B, B.W, W.v.K berlakunya di Hindia Belanda pada tanggal 30 April 1847 berdasarkan Stb. 1847 - 23.
Kitab-kitab hukum tersebut berlakunya di Hindia Belanda (Indonesia) didasarkan atas “asas konkordansi” atau asas keselarasan, artinya hukum yang berlaku di negara lain (Belanda) diberlakukan sama di tempat lain (Hindia Belanda).
Asas Konkordansi (concordantie beginsel) ini diatur dalam Pasal 131 ayat (2) Indische Staatsregeling (I.S). Maksud asas konkordansi tersebut adalah “bahwa terhadap orang Eropa yang berada di Hindia Belanda (Indonesia) diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda”.
Berdasarkan pasal 131 ayat (2) IS tersebut, maka hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda dan orang-orang yang disamakan dengan golongan penduduk/orang Belanda di Indonesia harus diberlakukan sama dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Jadi tidak ada perbedaan atau diskriminasi pemberlakuan hukum antara penduduk di negara Belanda dengan penduduk di Hindia Belanda (Indonesia).
Hukum Perdata (B.W.) dan hukum Dagang (W.v.K.) yang mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848, sedangkan  Hukum Pidana (W.v.S.) mulai berlaku di Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1918 dan berlaku umum untuk semua golongan penduduk  Hindia Belanda.
Berlainan dengan Hukum Pidana (W.v.S.) yang di Hindia Belanda diberlakukan terhadap  semua golongan penduduk (secara umum), tetapi untuk Hukum Perdata Barat (B.W. dan W.v.K.) tidak demikian, berlakunya didasarkan pada perbedaan (macam) golongan penduduk di Hindia Belanda .
Mengenai pembagian golongan penduduk Hindia Belanda (saat itu) dan macam-macam hukum (perdata dan dagang) yang  berlaku untuk masing-masing golongan penduduk diatur dalam pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling (I.S.).
Pasal 131 I.S. berasal dari pasal 75 R.R. lama (Stb. 1855 - 2). RR singkatan dari Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands Indie disingkat Regeringsreglemen (R.R. = Peraturan Pemerintah).
R.R. lama itu akhirnya diubah menjadi Inidische Staatsregeling (I.S.)  Stb. 1925 -  415 dan 416  pada tanggal 23 Juni 1925 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 menurut Stb. 1925 - 577.
Pasal 131 I.S. merupakan dasar berlakunya B.W. dan W.v.K. di Hindia Belanda. I.S. merupakan pedoman politik hukum pemerintah Belanda untuk memberlakukan hukum-hukum Belanda di  Hindia Belanda.
Pasal 131 I.S. terdiri dari 6 ayat yang menyatakan :
Ayat 1.            hukum perdata, hukum dagang dan hukum pidana begitu pula hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diatur dalam bentuk undang-undang atau ordonansi;
Ayat 2 sub. a  terhadap golongan Eropa harus diberlakukan perundang-undangan yang berlaku di negara Belanda dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang (asas konkordansi);
 Ayat 2 sub.b   terhadap orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing, dapat diberlakukan terhadap hukum Eropa dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang bilamana masyarakat menghendaki;
Ayat 3             Untuk hukum acara perdata dan acara pidana berlaku ketentuan yang sama seperti mengenai hukum pidana;
Ayat 4             Orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing, diperbolekan menundukkan diri (onderwerpen) kepada Hukum Eropa baik sebagian atau keseluruhannya. Ketentuan dan akibatnya diatur dengan undang-undang atau ordonansi.
Ayat 5             di daerah-daerah yang berlaku hukum adat, berdasarkan pasal ini diyatakan tidak berlakunya ordonansi;
Ayat 6             hukum adat yang masih berlaku terhadap orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing masih tetap berlaku selama belum diatur dalam undang-undang atau ordonansi[23]

a.             Pembagian Penduduk Hindia Belanda
Untuk memungkinkan berlakunya hukum Belanda bagi golongan penduduk bukan Belanda (Eropa), oleh Pemerintah Hindia Belanda dikeluarkan Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda atau yang disebut “Indische Staatsregeling” (I.S.) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 melalui Stb. 1925-577.[24]
Pasal 163 I.S.  berasal dari pasal 109 RR-baru menetapkan bahwa, dalam berlakunya B.W.  di Hindia Belanda,   penghuni (penduduk) Hindia Belanda dibedakan dalam tiga golongan, yaitu : (1) golongan Eropa; (2) golongan Timur Asing; (3) golongan Pribumi (Bumi Putera/Indonesia asli).
Selanjutnya di dalam pasal 163 ayat (2) I.S. penduduk Hindia Belanda  dibagi dalam 3 golongan penduduk, yaitu :
1.       Golongan Eropa, berdasarkan pasal 163 ayat (2) I.S. terdiri dari:
1)             semua  orang Belanda,
2)             semua orang  yang berasal dari Eropa yang tidak termasuk   orang-orang Belanda;
3)             a. semua orang Jepang;
b.  semua orang yang berasal dari tempat lain yang tidak termasuk apa yang disebut dalam (1) dan (2), yang di negaranya  mempuyai hukum keluarga yang  asasnya sama dengan hukum  Belanda;
4)             anak dari mereka yang disebut dalam (2) dan (3) yang dilahirkan di Indonesia secara sah atau yang menurut undang-undanag diakui, dan turunan mereka selanjutnya.
2.       Golongan Pribumi (Bumi Putera), menurut pasal 163 ayat 3 I.S. yang termasuk golongan Pribumi (Bumi Putera) ialah:
a.              mereka yang termasuk penganut Pribumi (Indonesia asli/Bumi Putera) yang tidak pindah ke lain golongan,
b.             mereka yang tadinya termasuk golongan lain, tetapi yang telah meleburkan diri ke dalam golongan Pribumi.
3.       Golongan Timur Asing, menurut pasal 163 ayat (4) I.S. yang tidak termasuk golongan Timur Asing, ialah mereka yang tidak termasuk golongan Eropa dan tidak termasuk golongan Pribumi (Bumi Putera), misalnya: orang Cina, Mesir, Sudan, Nigeria, Arab, India, Pakistan, Banglades.

b.             Berlakunya Hukum Perdata dan Hukum Dagang
Pembagian golongan penghuni (penduduk) Hindia Belanda berdasarkan pasal 163 I.S.  dimaksudkan  untuk menentukan sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan seperti yang diatur dalam pasal 131 I.S.
Hukum Perdata (B.W. dan W.v.K.) yang diberlakukan terhadap tiap-tiap golongan penduduk yang tersebut dalam pasal 163 I.S. adalah sebagai  berikut:
1.             Menurut pasal 131 ayat (2) sub. a. I.S., hukum perdata dan dagang  yang berlaku untuk golongan Eropa adalah Burgerlijk Wetboek (B.W.) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K.) tanpa kecuali termasuk undang-undang diluar kedua Kitab Undang-undang tersebut (B.W. dan W.v.K.) misalnya Undang-undang Octrooi  (undang-undang hak cipta dalam bidang industri dan perdagangan); undang-undang Autheur (undang-undang yang mengatur hak cipta dalam bidang kesusastraan), juga hukum pidana material dan hukum acara (pidana dan perdata).
2.             Menurut pasal 131 ayat (2) sub. b. I.S., maka Hukum Perdata yang berlaku terhadap Golongan Bumi Putera (Pribumi) adalah Hukum Perdata adat (Hukum yang tidak tertulis) yang berlaku bagi penduduk Pribumi.
3.             Menurut pasal 131 ayat (2) sub. b. I.S., Hukum perdata yang berlaku terhadap golongan Timur Asing, adalah sejajar atau sama dengan golongan Pribumi yakni hukum perdata adat. Hukum perdata adat disini bukanlah yang berlaku bagi golongan Pribumi, tetapi hukum perdata adat yang berlaku bagi golongan Timur Asing (menurut hukum adatnya) sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah dikeluarkannya Stb. 1917-129, golongan Timur Asing dibedakan  dalam dua golongan (mulai berlaku 1 Mei 1919 (Stb. 1919-81):
a.              Golongan Timur Asing - Tionghoa;
b.             b.  Golongan Timur Asing - bukan Tionghoa;
Berdasarkan pasal 131 ayat (2) sub. b. I.S. jo. Stb. 1917-129 jo. Stb. 1924-557 mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1925 maka seluruh Hukum Pedata Eropa (B.W. dan W.v.K.) dan peraturan kepailitan berlaku bagi Golongan Timur Asing Tionghoa, kecuali mengenai adopsi dan Kongsi.
Adopsi adalah pengambilan atau pemungutan anak yang berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, yaitu mengangkat anak laki-laki orang lain sebagai anak laki-lakinya.
Adopsi, tidak dikenal dalam lapangan Hukum Perdata Barat, tetapi diperuntukkan bagi golongan Timur Asing Tionghoa yang masih memerlukan menurut hukum adatnya. Oleh karena itu ketentuan adopsi diatur alam Stb. 1917-129 Bab II.
Kongsi, menurut Hukum adat Tionghoa adalah suatu perdagangan berbentuk perusahaan, yang merupakan badan hukum dan mirip dengan suatu perseroan menurut Hukum Perdata Eropa. Setelah sepuluh tahun mulai berlakunya Stb. 1917-129, kongsi  tidak lagi diakui sebagai badan hukum.
Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, menurut pasal 131 ayat (2) sub b I.S. jo. Stb. 1917-129 jo. Stb. 1924-556 hukum perdata yang berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa adalah seluruh hukum Perdata dan hukum Dagang Eropa (B.W. dan W.v.K.), kecuali hukum keluarga dan hukum Waris tanpa wasiat (hukum waris menurut undang-undang) masih berlaku menurut hukum adat mereka masing-masing.

c.              Penundukan  Pada Hukum Perdata Eropa
Pada mulanya menurut pasal 75 ayat (4) R.R. lama yang kemudian diubah menjadi pasal 131 ayat (4) I.S. menyatakan bahwa, “bagi orang Indonesia asli (Pribumi/Bumi Putera) dan Timur Asing sepanjang  mereka belum ditempatkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk Eropa” (Peraturan Penundukan diri  diatur dalam Stb. 1917 - 12 jo. 528)..
Berdasarkan ketentuan pasal 131 I.S. ayat (4) maka dibuatlah peraturan tentang Penundukan Sukarela ke dalam Hukum Perdata Eropa yang diatur dalam Stb. 1917-12 jo. 528.
Stb. 1917-12 ini pada mulanya akan diperuntukkan golongan bukan Eropa yaitu untuk golongan Pribumi (Bumi Putera) dan Timur Asing. Setelah dikeluarkannya Stb. 1917-129 dan Stb. 1924 No. 556 dan 557 yang memberlakukan seluruh hukum Perdata Eropa untuk golongan Timur Asing Tionghoa maupun bukan Tionghoa dengan perkecualian hukum adat yang tertentu. Selanjutnya Stb. 1917-12 hanya berlaku terhadap golongan Pribumi, yang mana golongan Pribumi saat itu masih berlaku hukum adatnya.
Stb. 1917-12 menentukan adanya 4 (empat) macam cara penundukan sukarela ke dalam hukum perdata Eropa, sebagai berikut:
1.             Penundukan untuk seluruhnya kepada hukum perdata Eropa. Ini berarti seluruh hukum Perdata Eropa berlaku baginya (pasal 1 s/d 17) untuk selama-lamanya; tetapi tidak berarti ia pindah dari golongan Pribumi ke golongan Eropa, ia tetap  golongan Pribumi (Bumi Putera).
2.             Penundukan dengan sukarela untuk sebagian dari hukum perdata Eropa. Artinya orang yang melakukan tindakan ini, dikemudian hari berlaku baginya sebagian hukum Perdata Eropa. Menurut pasal 18 s/d 25, penundukan sebagian ini seperti yang berlaku bagi golongan Timur asing bukan Tionghoa (Stb. 1924-556) misalnya hukum kekayaan/harta benda dan hukum waris testamenten, tidak termasuk hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat.
3.             Penundukan dengan sukarela kepada hukum perdata Eropa mengenai suatu tindakan hukum tertentu. 
Tindakan penundukan hukum tertentu ini merupakan penundukan asli, artinya ialah penundukan ke dalam hukum perdata Eropa yang pertama-tama dibuka bagi mereka yang baginya tidak berlaku hukum perdata Eropa. Bagi yang melakukan penundukan tertentu ini yang bersangkutan menyadari bahwa tindakan yang dilakukan dan akibat hukum yang terjadi dikemudian hari dikuasai oleh hukum Eropa; misalnya penundukan pada hukum yang berhubungan dengan harta kekayaan saja.
Contoh : Jual beli, sewa menyewa dan sebagainya.
4.             Penundukan anggapan atau penundukan secara diam-diam. Penundukan diri tidak dengan sengaja pada hukum perdata Eropa, misalnya: menandatangani surat-surat dagang, wesel atau cek, promes, meng-asuransikan jiwa pada suatu perusahaan pertanggungan (asuransi), menjadi peserta anggota perseroan yang tunduk pada hukum perdata Eropa.

6.             Politik Hukum Nasional
Dalam rangka ingin memahami makna dan tujuan politik hukum nasional, lebih dahulu diperlukan adanya pemahaman tentang pengertian “Politik Hukum”. Definisi Politik hukum menurut beberapa ahli antara lain :
a)             Menurut Bellefroid, Politik Hukum adalah menyelidiki tuntutan-tuntutan sosial yang hendak diperhatikan oleh hukum sehingga isi ius constituendum ditunjuk oleh politik hukum supaya constitutum disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.[25]
b)             W. Zevenbergen mendefinisikan politik hukum adalah mempersoalkan hal-hal mana dan dengan cara bagaimana hukum itu harus diatur.[26]
c)             Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan, Politik hukum negara sebagai perhatian negara terhadap hukum tentang bentuk hukum  apakah tertulis atau tidak tertulis, dikodikasi atau tidak dikodifikasi, dan dapat pula terhadap isinya hukum. Politik hukum dapat ditujukan pula kepada perubahan-perubahan dalam arti perbaikan  kesadaran hukum dalam pergaulan hidup;[27]
d)            Menurut Kusumadi Pudjosewojo, membahas hal-hal tentang hukum yang akan datang dalam suatu negara merupakan lapangan “Politik Hukum”;[28]
e)             Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan dan Politik dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional mendefinisikan politik hukum sebagai suatu “pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun” (Prisma No. 6 Thn II Desember 1973);
f)              Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), berpendapat bahwa politik hukum adalah “kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan”. Pada bukunya yang lain berjudul Hukum dan Hukum Pidana dijelaskan, “politik hukum” adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.[29]
g)             Definisi politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Dalam tulisannya di majalah Forum Keadilan yang berjudul “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan” (April, 1991 : 65) dikatakan bahwa,  politik hukum adalah kebijakan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.[30]
h)             Menurut Satjipto Rahardjo,  politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.  Politik hukum  merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian itu, karena ia diarahkan kepada “iure constituendo”, hukum yang seharusnya berlaku. [31]
i)               Sunaryati Hartono di dalam bukunya “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional” tidak menjelaskan secara eksplisit pengertian politik hukum. Namun, itu tidak berarti mengabaikan  keberadaan politik hukum dari sisi praktisnya. Dalam hal ini, beliau  melihat politik hukum sebagai suatu sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki, dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.[32]
j)               Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan bahwa, Politik Hukum Nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik Hukum Nasional bisa meliputi : (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaharuan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.[33]
k)             Politik Hukum, menurut Urecht  adalah menyelidiki perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengan kenyataan social.[34]
l)               Politik Hukum  adalah suatu bidang studi hukum yang kegiatannya memilih atau menentukan hukum mana yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh masyarakat. Demikian Riduan Syahrani.[35]
m)           Soerjono Soekanto dan Otje Salman dalam karya ilmiahnya  tentang Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, menurutnya disiplin Hukum terdiri atas (Filsafat Hukum, Ilmu Hukum, Politik Hukum), tidak menjelaskan secara eksplisit pengertian Politik Hukum. Menurutnya bahwa Politik Hukum sebagai Disiplin Hukum khusus yang mencakup: Disiplin Tata Hukum dan Teknologi hukum yang terdiri dari: Teknik pembentukan hukum/undang-undang (rechtsvorming), teknik penemuan hukum (rechtsvinding), teknik peradilan, teknik pemerintahan, teknik kepolisian). Politik hukum merupakan bagian disiplin ilmu hukum (sebagai ajaran hukum) dalam arti khusus yang membumikan Filsafat Hukum dan Dogmatis Hukum ke dalam pelaksanaan hukum di masyarakat (hukum positip). [36]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Politik hukum merupakan policy atau kebijakan negara di bidang hukum yang sedang dan akan berlaku dalam suatu negara”. Dengan adanya politik hukum, negara dapat menentukan jenis-jenis atau macam-macam hukum, bentuk hukum, materi dan/atau sumber hukum  yang diberlakukan dalam suatu negara pada saat ini dan yang akan datang. Selain itu dapat diketahuinya lembaga-lembaga pembuat atau pencipta hukum (rechtsvorming), lembaga pelaksana dan penegak hukum, lembaga penemu atau penggali dan penafsir hukum (rechtsvinding) dalam suatu negara”.
Apabila dihubungkan dengan pengertian “Politik Hukum” dengan “Nasional”, maka Politik Hukum Nasional merupakan policy atau kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum nasional, baik yang sedang berlaku  (ius constitutum) maupun yang akan berlaku (ius constituendum) guna pencapaian tujuan bangsa dan negara yang diamanatkan oleh UUD 945.
Jika  seseorang ingin mengetahui politik hukum Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia pada masa kolonial, maka dapat diketahui bahwa politik Pemerintah Hindia Belanda masa kolonial diatur di dalam pasal 131 I.S.
Untuk mengetahui politik hukum negara Indonesia, maka harus melihat atau membaca lebih dahulu “Konsitusi Negara Indonesia” yaitu di dalam  UUD 1945. Pada kenyataannya di dalam UUD 1945  tidak dijumpai  pasal-pasal yang mengatur adanya “politik hukum” Negara Republik Indonesia.
Berlainan dengan UUDS 1950, yang dalam salah satu pasalnya memuat politik hukum negara Republik Indonesia, yang termuat dalam pasal 102 berbunyi:
“hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika pengundang-undang menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri”

Dari pasal 102 UUDS 1950, dapat diketahui adanya politik hukum negara (nasional) bahwa negara Republik Indonesia menghendaki dikodifikasikannya lapangan-lapangan hukum.
Pasal 102 UUDS ini dikenal sebagai pasal kodifikasi atau sebagai pasal yang memuat Politik Hukum Negara Republik Indonesia.
Walaupun di dalam UUD 1945 tidak ada pasal yang menentukan Politik Hukum Negara Republik Indonesia, tetapi dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dapat  diartikan sebagai penentuan adanya Politik Hukum Negara Republik Indonesia, meskipun sifatnya sementara sampai terbentuknya kodifikasi hukum yang bersifat nasional.
Dengan perantaraan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berarti memberikan dasar hukum untuk berlakunya hukum-hukum yang pernah berlaku di Indonesia pada zaman kolonial. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum, selama hukum-hukum tersebut tidak bertentangan dengan  UUD 1945.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 berlaku kembali, dan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tetap diartikan sebagai penentu adanya politik Hukum Negara Republik Indonesia, walaupun sifatnya sementara. Apakah berlakunya UUD 1945 berarti UUDS 1950 beserta ketentuan  pasal 102  menjadi tidak berlaku?.
Sejak tahun 1973 setelah ada ketetapan MPR No. IV tahun 1973,  dapat ditemukan  rumusan Politik Hukum (Nasional) Negara Republik Indonesia sebagai berikut (dalam GBHN):
I.             Pembangunan di bidang hukum dalam negara Hukum Indonesia adalah berdasar atas landasan Sumber Tertib Hukum Negara yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari Bangsa Indonesia yang dipadatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
II.          Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaraan hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan Pembina Kesatuan Bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan:
a.              peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dlam masyarakat;
b.             menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing;
c.              peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
III.       Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap pada pengusaha dan para pejabat pemerintah kearah penegak hukum, keadilan serta perlindungan terhadap Harkat dan Martabat Manusia, dan ketertiban serta kapasitas hukum sesuai dengan UUD 1945.
Dari pernyataan politik yang tertuang didalam Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 tentang GBHN tersebut, dapat disimpulkan adanya 2 (dua) tahap pembangunan hukum, yaitu:
1.             Tahap pembangunan hukum jangka panjang yang bertujuan mengganti tata hukum yang sekarang dengan tata hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di Indonesia yang sedang mengalami proses pembangunan di segala bidang. Pembangunan hukum disini harus mencakup segala lapangan hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat, baik lapangan hukum perdata, pidana, acara dan sebagainya.
2.             Tahap pembangunan hukum jangka pendek, pembangunan hukum pada tahap ini bersifat sektoral yaitu pembangunan yang menyangkut cabang hukum tertentu.
Sekarang dengan berlakunya UUD 1945 pasca amandemen, politik hukum nasional menjadi tidak jelas keberadaannya, karena di dalam UUD 1945 (hasil amademen) tidak mengatur tentang politik hukum negara (nasional). Selain itu  dengan tidak adanya GBHN sebagai penentu  dan penuntun pemerintah dalam melaksanakan tugas kewajibannya kepada rakyat di masa yang akan datang, maka pencapaian cita-cita bangsa  Indonesia (mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur) semakin jauh dari kenyataan (meskipun sudah ada propenas). Supaya negara Indonesia mempunyai politik hukum nasional yang  konstitusional, maka  perlu adanya amandemen UUD 1945 yang  mengatur tentang Politik hukum atau kebijakan negara tentang hukum di Indonesia.
Politik hukum nasional seyogyanya memuat: (1) pembentukan dan mengkodifikasi hukum nasional yang berwatak nasional untuk mengganti hukum warisan kolonal; (2) penataan hukum nasional yang menyeluruh, terpadu serta mengakui keberadaan hukum agama dan adat masing-masing; (3) menciptakan hukum yang responsif yang berkeadilan dan berkepastian hukum; (4) menciptakan proses peradilan yang cepat, tepat, mudah (sederhana), murah, terbuka, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); (5) mengembangkan dan menciptakan kesadaran hukum masyarakat yang demokratis dan menghormati serta menjunjung tinggi hak asasi manusia; (6) Menciptakan hukum yang mampu meningkatkan kesejahteran atau kemakuran untuk rakyat; (7) meningkatkan profesionalisme pembentuk atau pembuat dan  pelaksana/penegak hukum.
Idealnya Politik hukum nasional (hukum nasional) harus  ditekankan pada  pencapaian tujuan atau mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang adil dan makmur sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UU 1945 yakni :
a.              melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b.             memajukan kesejahteraan umum;
c.              mencerdaskan kehidupan bangsa;
d.             ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Politik Hukum Nasional bertujuan meletakkan dasar-dasar negara Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat) yang  demokratis  dan  berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta berke-Tuhanan Yang Maha Esa.


[1] Soediman Kartohadiprodjo. 1965. Pengantar Tata Hukum di Indonesia. Pembangunan. Jakarta. hlm. 39.
[2] Kusumadi Pudjosewojo. 1976.  Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Aksara Baru. Jakarta hlm.10.
[3] Achmad Sanusi. 1984. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Tarsito. Bandung. hlm. 4.
[4] Soedjono Dirdjosisworo. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali Pers. Jakarta. hlm.165.
[5] Ibid. hlm.163.
[6] Ibid. hlm.170.
[7] J. Valkhoff. Kamus ENSIE III. hlm. 423.
[8] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta.1999. Pengantar Ilmu Hukum. Alumni. Bandung. hlm.1.
[9] Ibid. hlm.1-4.
[10] Bruggink, J. J. H. 1996.  Refleksi Tentang Hukum. Terjemahan Arief Sidharta. Citra Aditya Bakti. Bandung. hlm.142.
[11] N.E. Algra, et al. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. Binacipta. Bandung. hlm. 2.
[12] Van Kan dan J.H. Beekhuis. 1972. Pengantar Ilmu Hukum. Pembangunan. Jakarta.hlm.13.
[13] E. Utrecht. 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta. (selanjutnya disebut E. Utrecht I) hlm. 55.
[14] Ibid.
[15] Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Dian Rakyat. Jakarta. (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro I). hlm. 1.
[16] ML. Tobing. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. hlm.10.
[17] Sudikno Mertokusumo. 1986. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty. Yogyakarta. hlm.38
[18] E. Utrecht I, op. cit. hlm. 3.
[19] JCT. Simorangkir dan Woerjono Sastroparanoto. 1962. Pelajaran Hukum Indonesia. Gunung Agung. Jakarta. hlm. 6.
[20] Soerojo Wignjodipuro. 1982. Pengantar Ilmu Hukum. Gunung Agung. Jakarta. (Selanjutnya di sebut Soerojo Wignjodipuro I). hlm.13.
[21] Achmad Sanusi, loc. cit.
[22] Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, op. cit. hlm.12.
[23] R. Subekti. 1977. Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa. Jakarta. hlm.11.
[24] Asis Safioedin. 1989. Beberapa hal tentang Burgerlijk Wetboek. Alumni. Bandung. hlm.3.
[25] Soedjono Dirdjosisworo, op.cit. hlm.199.
[26] Ibid. hlm.198.
[27] Sudiman Kartohariprodjo, op. cit. hlm. 32.
[28] Kusumadi Pudjosewojo, op. cit. hlm. 12.
[29] Soedarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. hlm. 151.
[30] Padmo Wahyono. 1986. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. hlm. 160.
[31] Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung.h. 334.
[32] Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni. Bandung.  hlm.1-4.
[33] Abdul Hakim Garuda Nusantara. 1985. Politik Hukum Nasional (Makalah Karya Latihan Hukum). YLBHI. Surabaya.
[34] E. Utrecht I, op.cit. hlm. 48.
[35] Riduan syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. hlm. 234.
[36] Soerjono Soekanto dan Otje Salman. 1985. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial. Rajawali Pers. Jakarta.hlm.20. 

3 komentar:

  1. waah lengkap blog nya pak
    semoga bermanfaat amin

    BalasHapus
  2. terima kasih Pak atas sharenya, semoga bermanfaat. amin

    BalasHapus
  3. terimah kasih atas ilmunya.
    saya mohonizin untuk menjadikan blog anda sebagai referensi blog baru sya .

    BalasHapus