Jumat, 04 Mei 2012

Pengantar Hukum Indonesia (Bab IX)


BAB IX
DASAR-DASAR HUKUM ISLAM


1.             Pengertian Hukum Islam
Sejak masuknya Agama Islam ke Indonesia, kehidupan masyarakat Indonesia sedikit-banyak mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud  bersangkutan dengan pergaulan hidup antar sesama manusia dan dalam hal peribadatan  terhadap Tuhan.
Dalam hal pergaulan hidup antar sesama manusia, syrariat (hukum) Islam sangat berpengaruh terhadap perubahan pandangan maupun kehidupan nyata di masyarakat.
Oleh karena perkembangan Islam berlangsung dalam waktu yang lama, maka syariatnya (hukum-hukumnya) tidak sekedar mempengaruhi, tetapi juga sudah menentukan cara hidup masyarakat Indonesia sebagai pemeluk agama Islam. Walaupun teori “Reseptio in Complexu” (penerimaan keseluruhan) dari Van den berg tidak seluruhnya dapat diterima, tetapi dalam kenyataannya bahwa bagian-bagian tertentu Hukum Islam diresepsi oleh hukum adat. Dengan demikian hukum Islam (waris, perkawinan, wakaf) yang telah mentradisi itu diambil sebagai  sumber hukum material ke dalam  hukum positif.
Materi hukum Islam tidak hanya hukum waris, perkawinan dan wakaf saja, hukum Islam lebih luas dari itu, karena apabila disistematisasikan secara modern, hukum Islam dapat dibedakan menjadi hukum publik dan hukum privat. Hukum Waris, hukum perkawinan, wakaf  adalah sebagian kecil dari hukum privat Isam yang menjadi sumber hukum nasional.
Hukum Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (Alloh) yang disebut ibadah “mahdloh”, dan hubungan antara sesama manusia dan lingkungannya yang disebut “ghoiru mahdloh” (muamalah) yang dilandasi oleh/berdasarkan syariat Islam. Adapun yang dimaksud hukum Islam di bab ini adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara sesama manusia (muamalah), diantaranya adalah dasar-dasar hukum perkawinan Islam, waris Islam dan hukum wakaf.
2.             Sumber Hukum Islam
Sudah menjadi kesepakatan para ahli hukum Islam, bahwa tiap-tiap peristiwa ada ketentuan hukumnya, baik berdasarkan nas yang tegas atau nas yang kurang tegas (samar-samar/kabur) yang memerlukan penafsiran (interpretasi) hukum, maupun yang tidak ada nas.
Sehubungan dengan hal tersebut timbul perbedaan mengenai sumber-sumber hukum (Islam). Dari perbedaan itu, ada yang menyebut, sumber hukum Islam  itu dua (Al-Qur’an dan Al-Hadits), ada yang menyebut empat (Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas). Selain itu ada yang menyatakan bahwa sumber hukum Islam lebih dari sepuluh yang kemudian diringkas menjadi empat (Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas) kemudian diringkas lagi menjadi dua (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Menurut pendapat yang menyatakan bahwa sumber hukum Islam ada sepuluh lebih adalah  : (1).Al-Qur’an; (2) Al-Hadits, (3). Ijma’ (pendapat fuqoha Mujtahid); (4). Qoul (pendapat sahabat), (5). Qiyas  atau Argumentum analogi (mempersamakan hukum suatu peristiwa/perkara yang belum ada hukumnya dengan hukum peristiwa/perkara lain yang sejenis yang sudah ada hukumnya); (6). Istihsan (argumentum a contrario); (7). Maslahat Mursalah; (8). Urf (kebiasaan baik); (9). Istishab (terus menerus menetapkan apa yang telah ada dan meniadakan apa yang tadinya tidak ada); (10). Saddudz dzoro’i (menetapkan hukum suatu perkara/peristiwa dengan suatu hukum yang terdapat pada perkara/peristiwa yang dituju); (11). Syariat umat Islam sebelumnya (sebelum kita).
 Hukum waris Islam, hukum perkawinan Islam, dan hukum wakaf   merupakan bagian kecil hukum privat Islam yang telah dipositipkan sebagai hukum nasional (ius positum/ius constitutum).

3.             Hukum Perkawinan
3.1         Definisi
Perkawinan adalah istilah dari Bahasa Indonesia. Istilah Pekawinan dalam hukum Islam dinamakan “Pernikahan” berasal dari kata “nikah”. Nikah, artinya adalah akad (perjanjian) antara calon suami-isteri untuk mensahkan hubungan  keduanya  sebagai suami-isteri dan untuk melanjutkan keturunan.
Jadi “perkawinan” (bahasa Arabnya “nikah”) adalah suatu perjanjian antara mempelai lelaki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak, dalam mana si wali menyatakan pemasrahannya (ijab) yang disusul oleh pernyataan penerimaan (qobul) dari bakal suami, penyataan mana disaksikan oleh sedikit-dikitnya dua orang saksi.

3.2         Tujuan Perkawinan
Tujuan Perkawinan  dalam Hukum Islam adalah :
1.             Untuk memenuhi Sunnah Rosul, yakni merupakan salah satu bagian Ibadah/pengabdian hambanya kepada sang pencipta (Alloh) untuk melanjutkan regenerasi kemanusiaan;
2.             Untuk memperoleh dan melanjutkan keturunan yang sholeh dan sholichah (beraclaqul karimah/berbudi pekerti luhur) yang sah menurut syariat (hukum);
3.             Untuk memenuhi tuntutan naluriah kemanusiaan(yang sah menurut syariat/hukum);
4.             Untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrohmah     (bahagia, sejahtera, kekal yang diridloi Alloh S.W.T) sebagai basis masyarakat terkecil;
5.             Untuk terlaksananya pergaulan antar umat manusia baik secara individu maupun kelompok yang saling menghormati;
6.             Untuk menumbuhkan aktifitas hidup dalam mencari rizki yang halal.

3.3         Asas-asas Perkawinan dalam Hukum Islam
Asas-asas perkawinan dalam hukum Islam antara lain, yaitu:
a.              Adanya persetujan secara sukarela (bukan dipaksa) antara calon suami isteri      untuk melangsungkan pernikahan;
b.             Antara calon suami-isteri tidak ada larangan untuk dilangsungkannya pernikahan (bukan muhrim);
c.              Harus dipenuhi rukun dan syarat  Pernikahan;
d.             Dasar Tujuan Pernikahan membentuk rumah tangga yang “sakinah, mawaddah warohmah” (bahagia, sejahtera, tenteram dan kekal) yang sah menurut syariat/hukum;
e.              Hak dan kewajiban antara suami-isteri seimbang.

3.4         Syarat-syarat  dan Rukun Pernikahan menurut Islam
Hukum pelaksanaan pernikahan, harus dipenuhi “syarat” dan “rukun” yaitu:
1.             Ada mempelai perempuan dan mempelai lelaki ( harus  bukan muhrim/ tidak haram dinikah).
Termasuk muhrim (haram dinikah)  antara lain  karena :
a.             nasab ( ada pertalian famili dalam garis ke atas atau ke bawah);
b.             musyaharoh (misalnya anak kawin dengan ibu/ayah tiri);
c.             saudara satu susuan;
d.            wathi’ (bapak kawin dengan anak);
e.             perbedaan agama;
2.             Ada Wali.
3.             Ada  Saksi (sedikitnya dua orang).
4.             Ada Ijab dan  qobul.

Ad.1.   Dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisa’ ayat 22 dan 23  disebutkan  perempuan-perempuan yang haram dinikahi oleh seseorang atau yang dinamakan muhrim (mahram) terdiri dari :
Pertama        :    ibu kandung, nenek perempuan.
Kedua           :    anak kandung perempuan, dan anak keturunannya yang perempuan.
Ketiga           :    saudara perempuan, baik saudara perempuan seibu-seayah, seayah saja atau seibu saja.
Keempat       :    saudara perempuan dari ayah termasuk segala anak-anak perempuan dari nenek (kakek) laki-laki.
Kelima          :    saudara perempuan dari ibu, termasuk segala anak-anak perempuan dari nenek-nenek perempuan.
Keenam        :    anak-anak perempuan dari saudara laki-laki atau dari saudara perempuan.
Ketujuh        :    ibu - ibu  yang menyusukan (bukan ibu kandung).
Kedelapan    :    saudara se-susu-an
Kesembilan   :    mertua perempuan.
Kesepuluh    :    anak tiri yang ibunya dinikahinya.
Kesebelas     :    isteri anak kandung (menantu) dan  anak keturunannya.
Keduabelas   :    saudara kandung isteri, atau menikahi dua wanita bersaudara kandung sekaligus dalam satu perkawinan.
Ad.2.   Wali
a.         Bagi mempelai perempuan, harus ada izin/persetujuan wali, bagi mempelai laki-laki izin ini diperlukan selama belum dewasa. Untuk calon mempelai perempuan “janda” tidak diharuskan adanya wali karena janda berhak untuk mengawinkan dirinya sendiri.
b.         Yang dapat bertindak sebagai wali menurut tertibnya ialah:
1)            Bapak (ayah), Kakek (ayahnya ayah) dan seterusnya keatas
2)            Saudara laki-laki kandung (seibu-seayah)
3)            Saudara laki-laki seayah
4)            Anak laki-laki saudara lelaki kandung (seibu-seayah)
5)            Anak laki-laki saudara lelaki seayah
6)            Paman ($audara laki-laki ayah kandung)
7)            Paman (Saudara laki-laki dari ayah yang seayah)
8)            Anak laki-laki dari paman kandung (No.7)
9)            Anak laki-laki dari paman seayah (No. 8)
Urutan ini menunjukkan pula prioritas pemberian persetujuan perkawinan.
c.         Ada berapa macam wali dalam hukum Islam, yaitu :
1)            Wali Nasab (wali kerabat) : adalah wali berasal  dari anggota keluarga laki-laki yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan. Yang termasuk wali nasab ini adalah ayah, kakek, paman, saudara laki-laki kandung dan seterusnya. Ada dua macam wali nasab, yaitu  pertama, wali “mujbir” ialah wali yang  berhak memaksa anak  gadisnya atau calon mempelai perempuan  untuk menikah, walaupun tanpa persetujuan si anak. Yang berhak menjadi wali mujbir, hanya ayahnya atau kakeknya dan yang mempunyai hubungan keluarga sedarah ke atas. Kedua, wali “nasab biasa” yang tidak mempunyai kekuasaan pemaksa untuk menikahkan calon mempelai perempuan, adalah (a) saudara laki-laki kandung se ayah, saudara laki-laki se-ayah dan keturunan laki-laki mereka; (b) paman atau saudara kandung laki-laki ayah, dan keturunan laki-laki mereka; dan (c)  saudara laki-laki kandung sepupu, saudara sepupu laki-laki se-ayah (saudara se-kakek) dan keturunan laki-laki mereka.
2)             Wali hakim: yang menjadi wali hakim adalah wali yang ditunjuk dan diberikan kuasa oleh Kepala Negara. Di Indonesia Kepala Negara adalah Presiden. Presiden menunjuk atau memberi kuasa kepada Menteri Agama. Menteri Agama berdasarkan peraturan-perundang-undangan menunjuk pegawai pencatat nikah atau penghulu sebagai wali hakim. Jadi wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Kepala Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak hadir atau tidak diketahui tempat tinggalnya, atau tidak berkehendak menjadi wali nikah.
3)            Wali muhakam:  wali yang ditunjuk atau dipilih atas persetujuan kedua calon mempelai.
Syarat-syarat Wali nikah adalah :  (a) laki-laki, (b) baligh (dewasa), (c) muslim, (d) sehat akal/pikiran, (e) adil/jujur.

Ad.3.   Saksi
Untuk dapat menjadi saksi harus dipenuhi syarat-syarat: (a) muslim, (b) merdeka, (c) baligh (dewasa), (d) sehat akal/pikiran, (e) adil/jujur.
Ad.4.   Ijab-qobul
Wali dari calon mempelai Perempuan mengucapkan “ijab” (menawarkan diri) anak perempuannya untuk dinikahkan kepada mempelai laki-laki, dan mempelai laki-laki menyatakan “qobul” (penerimaan atas pernyataan penawaran wali perempuan, disertai pembayaran mas kawin (mahar).
3.5         Mas kawin (mahar)
Menurut Hukum Islam “mahar” adalah hak isteri.
Mahmud Junus memberikan definisi “mahar” atau  mas kawin, menurut hukum Islam, adalah sejumlah uang atau lainnya, yang dijanjikan oleh si suami untuk diserahkan kepada isteri sebagai tanda terjadinya perkawinan. Adanya mahar atau mas kawin bukanlah untuk menghargai atau menilai perempuan dengan uang atau harta, melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sangat mencintai calon isterinya, sehingga dengan sukarela mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada isterinya sebagai tanda suci hati dan sebagai pendahuluan bahwa suami akan terus menerus memberi nafkah kepada isterinya.[1]
Menurut Mahmud Junus (1964 : 108) akad nikah dengan menyebutkan mas kawin (mahar) hukumnya sunnah dan wajib dibayar. Dasar hukum keberadaan mas kawin (mahar) disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh ayat 236-237.

3.6         Larangan-larangan perkawinan
Larangan-larangan perkawinan menurut Hukum Islam ada dua bagian:
a)             halangan muabbadah
b)             halangan perkawinan ghoiru muabbadah
Ad. a)  Halangan muabbadah dibagi dalam dua bagian:
1)        halangan muabbadah yang di-ittifaqi, ialah hubungan perkawinan yang terus menerus berlaku, karena adanya hubungan kekeluargaan, susuan dan perbesan.
2)        halangan muabbadah yang di-ichtilafi, adalah misalnya halangan perkawinan karena terjadinya perzinahan atau liaan.
Ad. b)  Halangan perkawinan ghoiru muabbadah, yaitu halangan perkawinan karena: keadaan sakit, keadaan iddah, terjadinya talaq tiga, dan sebagainya.
Macam-macam halangan perkawinan
1.a)   Muabbadah yang di-ittifaqi
Yang termasuk halangan perkawinan muabbadah yang di-itifaqi antara lain adalah:
a)             Nasab
b)             Ridlaa
c)             Musyaharah
Ad.a)      Halangan karena nasab, yaitu halangan perkawinan karena hubungan tali kekeluargaan. Menurut hukum Islam dilarang bagi kita untuk menikah dengan:
(1)          Ibu
(2)          Saudara
(3)          Anak perempuan
(4)          Anak saudara laki-laki
(5)          Anak saudara perempuan
Ad.b)      Halangan karena ridlaa, yaitu halangan perkawinan antara seorang laki-laki dengan ibu susuan, artinya ibu yang pernah menyusuinya walaupun bukan ibunya sendiri.
Ad.c)      Halangan karena musyaharoh, ialah halangan perkawinan antara seorang laki-laki dengan:
-                 anak tirinya
-                 mertuanya
1.b)   Muabbadah yang di-ichtilafi
Yang termasuk golongan halangan perkawinan muabbadah yang di-ichtilafi, di antaranya ialah:
1)              Zinah
2)              Li’an
Ad.1)   Halangan karena zinah
Yang dimaksud dengan halangan perkawinan karena zinah, ialah halangan perkawinan antara seorang laki-laki dengan anaknya sendiri yang dilahirkan di luar perkawinan.
Ad.2)   Halangan karena li’an
Yang dimaksud dengan li’an, ialah tuduh-menuduh (tentang perzinahan) antara suami-istri yang menyebabkan perceraian. Perceraian yang disebabkan karena li’an dilarang rujuk kembali.
Li’an (pengutukkan dari salah satu pihak (utamanya suami kepada istrinya)) merupakan perceraian dengan proses hukum.
Perceraian dengan pengutukkan dari kedua pihak disebut juga dalam Al-Qur’an dan juga dikuatkan oleh sunnah Rasul.
Riwayat : seorang suami dari golongan Ansor telah menuduh istrinya melakukan perzinahan. Rasul kemudian meminta kepada kedua pihak untuk bersumpah, kemudian beliau memerintahkan keduanya bercerai.
Prosedur li’an seorang suami menuduh istriya berzinah, tetapi tidak dapat membuktikannya. Dalam keadaan yang demikian,  isteri berhak mengajukan permintaan cerai.
2)      Ghoiru muabbadah
Yang termasuk golongan halangan perkawinan ghoiru muabbadah, adalah:
a.               Halangan karena Jama’
ialah halangan perkawinan antara seorang laki-laki dengan dua orang perempuan kakak-beradik yang dilakukan dalam satu masa sekaligus.
b.              Halangan karena Ad’ad
ialah halangan perkawinan bagi seorang laki-laki yang berpoligami lebih dari empat perempuan.
c.               Halangan karena Kufur
ialah halangan perkawinan antara seorang wanita Islam dengan laki-laki yang bukan Islam, atau antara seorang laki-laki Islam dengan wanita penyembah berhala (tidak berkitab).
d.              Halangan karena Riqo’
ialah halangan perkawinan antara seorang Muslim dengan budak yang berkitab.
e.               Halangan karena Ihrom
ialah halangan perkawinan bagi seorang laki-laki dengan wanita yang dipercayakan kepadanya pada waktu tertentu (ibadah haji/ihrom); misalnya pada waktu berpakaian ihrom saat ibadah haji/ihrom, maka pada muhrim tersebut dilarang menikahi wanita yang dipercayakan kepadanya. Demikian juga dilarang menikahkan wanita itu dengan  orang lain.
f.               Halangan karena Marodl
ialah halangan perkawinan antara seorang laki-laki yang sedang dalam keadaan sakit keras dengan seorang perempuan.
g.              Halangan karena Iddah
ialah halangan perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita yang sedang menjalankan ibadah.
h.              Halangan karena Zaudiyah
ialah halangan perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita istri orang lain
i.                Halangan karena Talaq
ialah halangan perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita bekas isterinya yang telah dijatuhi talak tiga.
                                       
Putusnya ikatan perkawinan
Sebab-sebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam, karena:
1)             Talaq (perceraian)
Perkataan talaq (bahasa Inggris: repudiation), perkataan ini berasal dari “tallaqo” yang berarti melepaskan  dari ikatannya, jadi menceraikan seorang istri berarti juga membebaskan dari ikatan perkawinan.
Talaq menurut hukum Islam ada tiga macam:
a.              Talaq baien (talaq yang tidak memungkinkan rujuk)
b.             Talaq roj’ie (talaq yang memungkinkan rujuk kembali)
c.              Talaq takliq (pergantungan perceraian), yaitu talaq yang dijanjikan, misalnya istrinya boleh menuntut diputuskan perkawinan, kalau suami tidak memenuhi atau berbuat sebagai berikut:
1)            tidak memberi nafkah selama sekian bulan
2)            menganiaya atau menyiksa istrinya
3)            meninggalkan istrinya dengan sengaja selama enam bulan perjalanan laut, atau satu tahun perjalanan darat. Kecuali kalau ada alasan-alasan yang sah.

2)             Kematian
a)             Dengan kematian salah satu pihak, maka putuslah perkawinan antara suami isteri.
b)             Bagi isteri yang ditinggalkan suaminya, diwajibkan menjalankan iddah selama tiga bulan.
3)             Murtad
Apabila seorang laki-laki (suami) murtad, maka putuslah hubungan perkawinan dengan istrinya, karena seorang wanita Islam hanya diperbolehkan kawin dengan seorang laki-laki Islam.
4)             Khuluk (khulu’) atau talak tebus
-                 Pemutusan ikatan perkawinan atas dasar persetujuan kedua pihak merupakan suatu keistimewaan dari hukum Islam
-                 Bilamana suami isteri berselisih paham dan khawatir tidak mungkin dapat mentaati batas-batas yang telah ditetapkan oleh hukum (yaitu, tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban perkawinan yang dibebankan kepada mereka), si isteri dapat membebaskan dirinya dari ikatan itu dengan jalan mengembalikan sejumlah harta dan sebagai pertimbangan (atas pengembalian) itu, suami memberikan kepada isterinya suatu “Khulu’”.
-                 Kedua syarat yang harus dipenuhi:
a)             persetujuan dari suami isteri
b)            pemberian ‘iwad (pengembalian, penggantian) yang berasal dari si isteri dan diperuntukkan kepada suami.
Jika hasrat untuk bercerai berasal dari si isteri, maka ini dinamakan “khulu’”, tetapi jika perceraian dilakukan dengan perasaan tidak senang (dan persetujuan) dari kedua belah pihak ini dinamakan mubaro’ah.
5)             Fasach (Chiyar)
-                 Perkataan Fasach berarti mencabut atau membatalkan. Jadi Fasach ini memperlihatkan kekuasaan seorang qadli Islam untuk membatalkan suatu perkawinan atas permintaan pihak isteri. Fasach/chiyar merupakan  pembatalan perkawinan dengan keputusan pengadilan.
-                 Hal-hal yang memungkinkan seorang isteri menuntut perceraian dari suaminya, misal suami: gila, cacat, impotent, melakukan penganiayaan/ kekejaman terhadap isterinya dan sebagainya.
6)             Li’an 
Perceraian yang terjadi karena suami/istri menuduh istri/suami berbuat zina (untuk lebih jelasnya lihat pada penjelasan halangan perkawinan karena li’an).
7)             Ila’ (lelaa)
Adalah suatu bentuk perceraian sebagai akibat dari “hukum mulie” yang dijatuhkan terhadap seorang suami terhadap isterinya, karena sumpahnya untuk tidak menggauli istrinya selama empat bulan atau lebih.
8)             Zihar
Adalah bentuk perceraian sebagai akibat dari perkataan suami terhadap isterinya, misalnya “kamu seperti punggung (pantat) ibumu/ku”. Apabila suami berkata kepada isterinya seperti tersebut, maka ia dijatuhi “hukum Zihar”, yaitu tidak boleh mendekati/menggauli isterinya.
Suami dapat bebas dari hukum Zihar dengan syarat : puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin.

4.       Hukum Waris Islam
Dalam hukum waris tersangkut tiga hal yaitu:
a.              Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan.
b.             Ahli waris ialah orang-orang yang masih hidup yang berhak akan harta warisan.
c.              Harta warisan ialah harta benda yang ditinggalkan oleh Pewaris.

Di dalam hukum Islam, waris-mewarisi disebabkan adanya:
a.              hubungan kekeluargaan (darah) antara pewaris dengan ahli waris.
b.             hubungan perkawinan, dimana suami atau isteri satu sama lain saling mewarisi.
c.              memerdekakan budak belian, dimana orang yang telah memerdekakan budak menjadi ahli waris dari bekas budak belian tersebut, jika tidak ada ahli waris lain.
d.             hubungan Islam, apabila pewaris tidak mempunyai ahli waris, maka harta warisan diserahkan kepada Baitul-mal untuk kepentingan seluruh umat Islam.

Dalam hukum Islam pewarisan di bagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.       Ab intestato
Warisan ab intestato adalah pemindahan hak kebendaan dalam warisan menurut undang-undang.
Ab intestato mengutamakan:
a)             Selain dari jandanya (suami atau isteri), juga mereka yang mempunyai hubungan darah, dan dinamakan “ashobah).
1)            ashobah dari pihak laki-laki
-                 anak laki-laki
-                 cucu laki-laki dari anak laki-laki
-                 ayah dan kakek
-                 saudara lak-laki serta anak laki-lakinya
-                 paman serta anak laki-lakinya
2)            ashobah dari pihak perempuan
-                 anak perempuan
-                 cucu perempuan dari anak laki-laki
-                 ibu dan nenek
b)             Mereka yang ditetapkan dalam Al-qur’an sebagai orang yang berhak menerima pembagian warisan, dinamakan “dzawul faroid” antara lain:
1.             kakek setelah ibu
2.             kakek dan nenek yang digugurkan haknya untuk menerima warisan
3.             cucu dari anak perempuan
4.             anak-anak perempuan dari saudara perempuan
5.             anak-anak laki-laki dari saudara seibu
6.             paman sebelah ibu
7.             anak-anak perempuan dari paman dan seterusnya.

2.       Testamenter
Pembagian warisan testamenter ialah pembagian warisan yang dilakukan menurut wasiat dari pewaris (orang yang meninggalkan warisan).
Dalam pembagian warisan testamenter ini yang dapat menerima warisan tidak hanya terdiri dari para ahli waris saja, mungkin juga orang lain sesuai yang diamanatkan dalam surat wasiat.
Selain hak-hak yang telah diberikan oleh hukum kepada ahli waris untuk menerima pembagian harta warisan, hukum juga memberi kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh para ahli waris tersebut, antara lain:
a.              mengubur mayat alarhum, sesuai dengan syarat penguburan mayat;
b.             membayar hutang almarhum, kalau hutang almarhum lebih besar daripada harta warisan, maka ahli waris yang bertanggung jawab;
c.              melaksanakan wasiat almarhum, maksimal sepertiga dari harta warisan.
d.             kewajiban yang berhubungan dengan harta warisan, umpamanya zakat dan sewa;
e.              membagikan harta pusaka kepada semua ahli waris menurut ketentuan hukum.
Ada beberapa orang/ahli waris yang kehilangan hak untuk menerima warisan, karena beberapa alasan:
a.              status sebagai budak belian. Hukum Islam telah menetapkan bahwa orang-orang yang setengah budak dan setengah merdeka tidak saling mempusakai, tidak saling mewariskan;
b.             pembunuhan. Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapat warisan dari keluarganya yang dibunuh itu;
c.              murtad atau keluar dari agama Islam;
d.             kafir atau tidak memeluk agama Islam, atau perbedaan agama. Seorang muslim tidak boleh mengambil warisan dari orang kafir
Yang dimaksud dengan “hijab” atau halangan (tidak hadir), ialah sebab-sebab seseorang ahli waris terhalang untuk mendapatkan harta warisan karena ada keluarga yang lebih dekat misalnya:
a.              kakek tidak mendapatkan warisan dari cucunya yang meninggal dunia, karena “bapak/ayah” dari yang meninggal dunia itu masih hidup. Dalam kasus ini kakek terhijab oleh Bapak/ayah dari yang meninggal dunia;
b.             saudara (kakak atau adik) terhijab oleh anak.

5.             Hukum Wakaf
5.1         Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa Aab “Waqf” yang berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”.
Wakaf menurut syara’ adalah menahan dzat (asal) benda dan mempergunakan hasilnya, yakni menahan benda dan mempergunakan manfaatya di jalan Alloh (sabilillah).[2]
Menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Wakaf adalah menahan dzat suatu benda dalam pemilikan si wakif dan memanfaatkan (mempergunakan) manfaatnya.[3]
Wakaf itu suatu ibadah yang disyariatkan dan telah menjadi lazim (telah berlaku) dengan sebutan lafadz, walapun tidak diputuskan oleh hakim, dan lepas miliknya, walaupun barang itu tetap ada ditangannya.[4]
Wakaf berarti penetapan yang bersifat abadi untuk memungut hasil dari barang yang diwakafkan guna kepentingan orang-orang atau yang bersifat keagamaan atau untuk tujuan amal.[5] 
Menurut Anwar Haryono, wakaf adalah pelepasan hak milik seorang muslim yang hanya manfaat atau hasilnya (buahnya) dipergunakan untuk kepentingan umum. Penglepasan hak milik ini dinilai sebagai shodaqoh jariyah (continue).[6]
Wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah S.w.t..[7]
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariat (Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, wakaf adalah melepaskan atau menahan hak milik atas harta benda untuk dimanfaatkan guna kepentingan ibadah (umum) yang diridloi Alloh S.w.t.[8]

5.2         Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum keberadaan wakaf tercantum di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad S.a.w. sebagai berikut :
Berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kebahagiaan/kemenangan (Al-Qur’an, Al-Hajj : 77).
Belanjakanlah sebagian hartamu dengan baik-baik (Al-Qur’an, Al-Baqoroh : 267)
Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, kecuali kamu belanjakan sebagian harta yang kamu cintai (Al-Qur’an, Al-Imron : 92).
Apabila anak Adam meninggal dunia, putuslah amalnya, kecuali tiga perkara, yakni shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya (H.R. Abu Huroiroh r.a.)
Menurut Muhammad Ismail Al-Kahlani, menafsirkan Shodaqoh Jariyah dengan wakaf. Dan hadits tersebut tercantum dalam bab wakaf.
Menurut Asy-Syaukani, bahwa para ulama’ menafsirkan shodaqoh jariyah sama dengan wakaf.[9]
Yang dimaksud dengan shodaqoh jariyah adalah wakaf.[10]

5.3         Unsur-Unsur Wakaf
Unsur-unsur  (rukun) wakaf ada lima yakni :
a.              Wakif (orang yang berwakaf);
b.             Mauquf (harta yang diwakafkan/obyek wakaf);
c.              Mauquf alaih (tujuan/peruntukan harta yang diwakafkan);
d.             Nadzir (penerima/pengurus/pengelola wakaf);
e.              Aqad wakaf atau sighot (pernyataan serah terima wakaf dari Wakif ke  Nadzir (Maukuf alaih).

5.4         Syarat-Syarat Wakaf
Untuk sahnya wakaf, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.              Wakif harus mukallaf (baligh), sebagai pemilik sendiri harta yang diwakafkan, dan sukarela atas kehendak sendiri atau  tidak dipaksa;
b.             Harta yang diwakafkan harus milik wakif dan kekal atau tidak rusak  artinya dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan/pengunaan wakaf;
c.              Tujuan wakaf harus jelas untuk kemaslahatan ummat, penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah atau syariat dan  tidak bertentangan dengan hukum atau kepentingan umum;
d.             Nadzir harus mukallaf (baligh/dewasa), berakal sehat, jujur/adil, dan mampu/amanah dalam mengurus/mengelola wakaf;
e.              Aqad (sighat)  atau ikrar wakaf harus dinyatakan dengan jelas dengan tulisan atau lisan kepada Nadzir termasuk peruntukan wakaf harus dinyatakan dengan jelas;
f.              wakaf dilaksanakan dengan tunai pada saat dilakukan ikrar wakaf, tidak boleh diangsur dan tidak boleh khiyar.

5.5         Macam-Macam Wakaf
Menurut syariat Islam, wakaf ada dua macam. yaitu:
1.             Wakaf ahli atau wakaf dzurri (keluarga), yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan keluarga/family/ wakif.
2.             Wakaf Khoiri (kebajikan) adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat umum. [11]
Menurut Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Wakif dan Nadzir dapat berupa  (a) perorangan, (b) organisasi, (c) badan hukum. Sedangkan harta benda (obyek) wakaf berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak (Pasal 16 Undang-Undang Wakaf).
Menurut Pasal 16 jo Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Taun 2004 Tentang Wakaf, yang dimaksud benda tidak bergerak adalah hak-hak atas tanah yan sudah maupun yang belum terdaftar (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, hak milik atas rumah susun, dan hak atas benda tidak  bergerak lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah dan Peraturan Perundang-undangan). 
Menurut Pasal 15 jo Pasal 20 dan Pasal 21 sub (a) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, jenis benda bergerak obyek wakaf dapat berupa uang, dan benda bergerak bukan uang (kapal, pesawat terbang, kendaraan bermotor, mesin-mesin industry, logam dan batu mulia, saham, obligasi, surat utang negara dan surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang). Selain itu juga Hak Kekayaan Intelektual, hak sewa, hak pakai, hak pakai hasil atas benda bergerak (Pasal 21 sub b dan sub c  P.P. No. 42 Tahun 2006).
 Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 (Undang-Undang Wakaf) Ikrar Wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. Ikrar wakaf yang dimaksudkan dapat dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW (Pasal 17 UUW). Kemudian dengan atas nama Nadzir,  PPAIW  mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani (Pasal 32 UUW). Instansi yang berwenang melakukan pendaftaran wakaf yang berupa benda tidak bergerak (tanah) yang dimaksud adalah Badan Pertanahan Nasional. Adapun instansi yang berwenang melakukan pendaftaran wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar adalah “Badan Wakaf Indonesia” (penjelasan pasal 32 UUW).
Untuk wakaf uang, kehendak wakif disampaikan secara tertulis kepada Lembaga Keuangan Sariah (Pasal 28 UUW). Oleh Lembaga Keuangan Syariah kemudian diterbitkan sertifikat wakaf uang  yang diberikan kepada Wakif dan Nadzir (Pasal 29 UUW). Lembaga Keuangan Syariah atas nama Nadzir mendaftarkan harta benda wakaf  “uang” kepada Menteri Agama (Pasal 30 UUW).


[1] Mahmud Junus, 1964. Hukum Perkawinan Dalam Islam. PT. Mahmudiah. Jakarta. hlm. 82.
[2] Sayid Sabiq, 197. Fiqih Sunnah. PT. Al_Ma’arif. Bandung. hlm. 378.
[3] Suparman, Usman. 2006. Hukum Perwakafan Indonesia.  Darul Ulum Perss. Jakarta. hlm. 27.
[4] Hasbi Ashiddiqi. 1975. Pengantar Hukum Fiqh Islam. Bulan Bintang. Jakarta. hlm. 159.
[5] Maulana Muhammad Ali. 1980. The Religion of  Islam (Penerjemah R. Kalang dan HM. Bachrun). PT. Ichtiar Baru. Jakarta. hlm. 467
[6] Anwar Haryono. 1968. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Bulan Bintang, Jakarta. (Selanjutnya disebut DR. Anwar Haryono I). hlm. 148
[7] Ahmad Azhar Basyir. 1987. Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah. PT. Al-Ma’arif. Bandung.  hlm. 5.
[8] Umar Said Sugiharto, 1993. Efektifitas Pendaftaran Tanah di Kota Malang Setelah Berlakunya PP. No. 28 tahun 1977. (Thesis). hlm. 86
[9] Suparman, Usman, op.cit. hlm. 29.
[10] Sayid Sabiq, op.cit. hlm. 378
[11] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar