BAB IX
DASAR-DASAR HUKUM
ISLAM
1.
Pengertian Hukum Islam
Sejak masuknya Agama Islam ke Indonesia , kehidupan masyarakat Indonesia
sedikit-banyak mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud bersangkutan dengan pergaulan hidup antar
sesama manusia dan dalam hal peribadatan
terhadap Tuhan.
Dalam hal pergaulan hidup antar sesama manusia,
syrariat (hukum) Islam sangat berpengaruh terhadap perubahan pandangan maupun
kehidupan nyata di masyarakat.
Oleh karena perkembangan Islam berlangsung dalam
waktu yang lama, maka syariatnya (hukum-hukumnya) tidak sekedar mempengaruhi,
tetapi juga sudah menentukan cara hidup masyarakat Indonesia sebagai pemeluk
agama Islam. Walaupun teori “Reseptio in
Complexu” (penerimaan keseluruhan) dari Van den berg tidak seluruhnya dapat
diterima, tetapi dalam kenyataannya bahwa bagian-bagian tertentu Hukum Islam
diresepsi oleh hukum adat. Dengan demikian hukum Islam (waris, perkawinan,
wakaf) yang telah mentradisi itu diambil sebagai sumber hukum material ke dalam hukum positif.
Materi hukum Islam tidak hanya hukum waris,
perkawinan dan wakaf saja, hukum Islam lebih luas dari itu, karena apabila
disistematisasikan secara modern, hukum Islam dapat dibedakan menjadi hukum
publik dan hukum privat. Hukum Waris, hukum perkawinan, wakaf adalah sebagian kecil dari hukum privat Isam
yang menjadi sumber hukum nasional.
Hukum Islam mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan (Alloh) yang disebut ibadah “mahdloh”,
dan hubungan antara sesama manusia dan lingkungannya yang disebut “ghoiru mahdloh” (muamalah) yang
dilandasi oleh/berdasarkan syariat Islam. Adapun yang dimaksud hukum Islam di
bab ini adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara sesama manusia (muamalah), diantaranya adalah
dasar-dasar hukum perkawinan Islam, waris Islam dan hukum wakaf.
2.
Sumber Hukum Islam
Sudah menjadi kesepakatan para ahli hukum
Islam, bahwa tiap-tiap peristiwa ada ketentuan hukumnya, baik berdasarkan nas
yang tegas atau nas yang kurang tegas (samar-samar/kabur) yang memerlukan
penafsiran (interpretasi) hukum, maupun yang tidak ada nas.
Sehubungan dengan hal tersebut timbul perbedaan
mengenai sumber-sumber hukum (Islam). Dari perbedaan itu, ada yang menyebut,
sumber hukum Islam itu dua (Al-Qur’an
dan Al-Hadits), ada yang menyebut empat (Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan
Qiyas). Selain itu ada yang menyatakan bahwa sumber hukum Islam lebih dari
sepuluh yang kemudian diringkas menjadi empat (Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, dan
Qiyas) kemudian diringkas lagi menjadi dua (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Menurut
pendapat yang menyatakan bahwa sumber hukum Islam ada sepuluh lebih adalah : (1).Al-Qur’an; (2) Al-Hadits, (3). Ijma’ (pendapat
fuqoha Mujtahid); (4). Qoul (pendapat sahabat), (5). Qiyas atau Argumentum analogi (mempersamakan hukum
suatu peristiwa/perkara yang belum ada hukumnya dengan hukum peristiwa/perkara
lain yang sejenis yang sudah ada hukumnya); (6). Istihsan (argumentum a
contrario); (7). Maslahat Mursalah; (8). Urf (kebiasaan baik); (9). Istishab
(terus menerus menetapkan apa yang telah ada dan meniadakan apa yang tadinya
tidak ada); (10). Saddudz dzoro’i (menetapkan hukum suatu perkara/peristiwa
dengan suatu hukum yang terdapat pada perkara/peristiwa yang dituju); (11).
Syariat umat Islam sebelumnya (sebelum kita).
Hukum
waris Islam, hukum perkawinan Islam, dan hukum wakaf merupakan bagian kecil hukum privat Islam
yang telah dipositipkan sebagai hukum nasional (ius positum/ius constitutum).
3.
Hukum Perkawinan
3.1
Definisi
Perkawinan adalah istilah
dari Bahasa Indonesia. Istilah Pekawinan dalam hukum Islam dinamakan
“Pernikahan” berasal dari kata “nikah”. Nikah, artinya adalah akad (perjanjian)
antara calon suami-isteri untuk mensahkan hubungan keduanya
sebagai suami-isteri dan untuk melanjutkan keturunan.
Jadi “perkawinan” (bahasa Arabnya “nikah”) adalah suatu perjanjian antara
mempelai lelaki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak,
dalam mana si wali menyatakan pemasrahannya (ijab) yang disusul oleh pernyataan penerimaan (qobul) dari bakal suami, penyataan mana disaksikan oleh
sedikit-dikitnya dua orang saksi.
3.2
Tujuan Perkawinan
Tujuan Perkawinan dalam Hukum Islam adalah :
1.
Untuk memenuhi Sunnah
Rosul, yakni merupakan salah satu bagian Ibadah/pengabdian hambanya kepada sang
pencipta (Alloh) untuk melanjutkan regenerasi kemanusiaan;
2.
Untuk memperoleh dan
melanjutkan keturunan yang sholeh dan sholichah (beraclaqul karimah/berbudi
pekerti luhur) yang sah menurut syariat (hukum);
3.
Untuk memenuhi
tuntutan naluriah kemanusiaan(yang sah menurut syariat/hukum);
4.
Untuk membentuk rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, warrohmah
(bahagia, sejahtera, kekal yang diridloi Alloh S.W.T) sebagai basis
masyarakat terkecil;
5.
Untuk terlaksananya
pergaulan antar umat manusia baik secara individu maupun kelompok yang saling
menghormati;
6.
Untuk menumbuhkan
aktifitas hidup dalam mencari rizki yang halal.
3.3
Asas-asas Perkawinan dalam Hukum Islam
Asas-asas perkawinan dalam hukum Islam antara
lain, yaitu:
a.
Adanya persetujan
secara sukarela (bukan dipaksa) antara calon suami isteri untuk melangsungkan pernikahan;
b.
Antara calon
suami-isteri tidak ada larangan untuk dilangsungkannya pernikahan (bukan
muhrim);
c.
Harus dipenuhi rukun
dan syarat Pernikahan;
d.
Dasar Tujuan
Pernikahan membentuk rumah tangga yang “sakinah,
mawaddah warohmah” (bahagia,
sejahtera, tenteram dan kekal) yang sah menurut syariat/hukum;
e.
Hak dan kewajiban
antara suami-isteri seimbang.
3.4
Syarat-syarat dan
Rukun Pernikahan menurut Islam
Hukum pelaksanaan pernikahan, harus dipenuhi “syarat” dan “rukun” yaitu:
1.
Ada
mempelai perempuan dan mempelai lelaki ( harus
bukan muhrim/ tidak haram dinikah).
Termasuk muhrim (haram dinikah) antara
lain karena :
a.
nasab ( ada pertalian
famili dalam garis ke atas atau ke bawah);
b.
musyaharoh (misalnya
anak kawin dengan ibu/ayah tiri);
c.
saudara satu susuan;
d.
wathi’ (bapak kawin
dengan anak);
e.
perbedaan agama;
2.
Ada
Wali.
3.
Ada Saksi (sedikitnya dua orang).
4.
Ada Ijab dan qobul.
Ad.1. Dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisa’ ayat 22 dan
23 disebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikahi oleh
seseorang atau yang dinamakan muhrim (mahram) terdiri dari :
Pertama : ibu
kandung, nenek perempuan.
Kedua : anak
kandung perempuan, dan anak keturunannya yang perempuan.
Ketiga : saudara
perempuan, baik saudara perempuan seibu-seayah, seayah saja atau seibu saja.
Keempat : saudara
perempuan dari ayah termasuk segala anak-anak perempuan dari nenek (kakek)
laki-laki.
Kelima : saudara
perempuan dari ibu, termasuk segala anak-anak perempuan dari nenek-nenek perempuan.
Keenam : anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki atau dari saudara perempuan.
Ketujuh : ibu
- ibu yang menyusukan (bukan ibu
kandung).
Kedelapan : saudara
se-susu-an
Kesembilan : mertua
perempuan.
Kesepuluh : anak
tiri yang ibunya dinikahinya.
Kesebelas : isteri
anak kandung (menantu) dan anak
keturunannya.
Keduabelas : saudara
kandung isteri, atau menikahi dua wanita bersaudara kandung sekaligus dalam
satu perkawinan.
Ad.2. Wali
a.
Bagi mempelai
perempuan, harus ada izin/persetujuan wali, bagi mempelai laki-laki izin ini
diperlukan selama belum dewasa. Untuk calon mempelai perempuan “janda” tidak
diharuskan adanya wali karena janda berhak untuk mengawinkan dirinya sendiri.
b.
Yang dapat bertindak
sebagai wali menurut tertibnya ialah:
1)
Bapak (ayah), Kakek
(ayahnya ayah) dan seterusnya keatas
2)
Saudara laki-laki
kandung (seibu-seayah)
3)
Saudara laki-laki
seayah
4)
Anak laki-laki saudara
lelaki kandung (seibu-seayah)
5)
Anak laki-laki saudara
lelaki seayah
6)
Paman ($audara
laki-laki ayah kandung)
7)
Paman (Saudara laki-laki
dari ayah yang seayah)
8)
Anak laki-laki dari
paman kandung (No.7)
9)
Anak laki-laki dari
paman seayah (No. 8)
Urutan ini menunjukkan pula prioritas pemberian
persetujuan perkawinan.
c.
Ada
berapa macam wali dalam hukum Islam, yaitu :
1)
Wali Nasab (wali kerabat) : adalah wali berasal dari
anggota keluarga laki-laki yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai
perempuan. Yang termasuk wali nasab ini adalah ayah, kakek, paman, saudara
laki-laki kandung dan seterusnya. Ada
dua macam wali nasab, yaitu pertama, wali “mujbir” ialah wali yang
berhak memaksa anak gadisnya atau
calon mempelai perempuan untuk menikah,
walaupun tanpa persetujuan si anak. Yang berhak menjadi wali mujbir, hanya
ayahnya atau kakeknya dan yang mempunyai hubungan keluarga sedarah ke atas. Kedua, wali “nasab biasa” yang tidak
mempunyai kekuasaan pemaksa untuk menikahkan calon mempelai perempuan, adalah
(a) saudara laki-laki kandung se ayah, saudara laki-laki se-ayah dan keturunan
laki-laki mereka; (b) paman atau saudara kandung laki-laki ayah, dan keturunan
laki-laki mereka; dan (c) saudara
laki-laki kandung sepupu, saudara sepupu laki-laki se-ayah (saudara se-kakek)
dan keturunan laki-laki mereka.
2)
Wali
hakim: yang menjadi wali hakim adalah wali yang ditunjuk dan diberikan
kuasa oleh Kepala Negara. Di Indonesia Kepala Negara adalah Presiden. Presiden
menunjuk atau memberi kuasa kepada Menteri Agama. Menteri Agama berdasarkan
peraturan-perundang-undangan menunjuk pegawai pencatat nikah atau penghulu sebagai
wali hakim. Jadi wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Kepala Negara
berdasarkan peraturan peru ndang-undangan
yang berlaku. Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak hadir atau tidak diketahui tempat tinggalnya, atau tidak berkehendak
menjadi wali nikah.
3)
Wali muhakam: wali yang ditunjuk atau dipilih atas
persetujuan kedua calon mempelai.
Syarat-syarat Wali nikah adalah : (a) laki-laki, (b) baligh (dewasa), (c)
muslim, (d) sehat akal/pikiran, (e) adil/jujur.
Ad.3. Saksi
Untuk dapat menjadi saksi harus dipenuhi
syarat-syarat: (a) muslim, (b) merdeka, (c) baligh (dewasa), (d) sehat
akal/pikiran, (e) adil/jujur.
Ad.4. Ijab-qobul
Wali dari calon mempelai Perempuan mengucapkan “ijab” (menawarkan diri) anak perempuannya
untuk dinikahkan kepada mempelai laki-laki, dan mempelai laki-laki menyatakan “qobul” (penerimaan atas pernyataan
penawaran wali perempuan, disertai pembayaran mas kawin (mahar).
3.5
Mas kawin (mahar)
Menurut Hukum Islam “mahar” adalah hak isteri.
Mahmud Junus memberikan definisi “mahar” atau mas kawin, menurut hukum Islam, adalah
sejumlah uang atau lainnya, yang dijanjikan oleh si suami untuk diserahkan
kepada isteri sebagai tanda terjadinya perkawinan. Adanya mahar atau mas kawin
bukanlah untuk menghargai atau menilai perempuan dengan uang atau harta,
melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sangat mencintai calon isterinya,
sehingga dengan sukarela mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada
isterinya sebagai tanda suci hati dan sebagai pendahuluan bahwa suami akan
terus menerus memberi nafkah kepada isterinya.[1]
Menurut Mahmud Junus (1964 : 108) akad nikah
dengan menyebutkan mas kawin (mahar)
hukumnya sunnah dan wajib dibayar. Dasar hukum keberadaan mas kawin (mahar) disebutkan dalam Al-Qur’an Surat
Al-Baqoroh ayat 236-237.
3.6
Larangan-larangan perkawinan
Larangan-larangan perkawinan menurut Hukum
Islam ada dua bagian:
a)
halangan muabbadah
b)
halangan perkawinan
ghoiru muabbadah
Ad. a) Halangan muabbadah dibagi dalam dua bagian:
1)
halangan muabbadah
yang di-ittifaqi, ialah hubungan perkawinan yang terus menerus berlaku, karena
adanya hubungan kekeluargaan, susuan dan perbesan.
2)
halangan muabbadah
yang di-ichtilafi, adalah misalnya halangan perkawinan karena terjadinya
perzinahan atau liaan.
Ad. b) Halangan perkawinan ghoiru muabbadah, yaitu
halangan perkawinan karena: keadaan sakit, keadaan iddah, terjadinya talaq
tiga, dan sebagainya.
Macam-macam halangan perkawinan
1.a) Muabbadah yang di-ittifaqi
Yang termasuk halangan perkawinan muabbadah
yang di-itifaqi antara lain adalah:
a)
Nasab
b)
Ridlaa
c)
Musyaharah
Ad.a) Halangan karena nasab, yaitu halangan
perkawinan karena hubungan tali kekeluargaan. Menurut hukum Islam dilarang bagi
kita untuk menikah dengan:
(1)
Ibu
(2)
Saudara
(3)
Anak perempuan
(4)
Anak saudara laki-laki
(5)
Anak saudara perempuan
Ad.b) Halangan karena ridlaa, yaitu halangan
perkawinan antara seorang laki-laki dengan ibu susuan, artinya ibu yang pernah
menyusuinya walaupun bukan ibunya sendiri.
Ad.c) Halangan karena musyaharoh, ialah halangan
perkawinan antara seorang laki-laki dengan:
-
anak tirinya
-
mertuanya
1.b) Muabbadah yang di-ichtilafi
Yang termasuk golongan halangan perkawinan
muabbadah yang di-ichtilafi, di antaranya ialah:
1)
Zinah
2)
Li’an
Ad.1) Halangan karena zinah
Yang dimaksud dengan halangan perkawinan karena
zinah, ialah halangan perkawinan antara seorang laki-laki dengan anaknya
sendiri yang dilahirkan di luar perkawinan.
Ad.2) Halangan karena li’an
Yang dimaksud dengan li’an, ialah tuduh-menuduh
(tentang perzinahan) antara suami-istri yang menyebabkan perceraian. Perceraian
yang disebabkan karena li’an dilarang rujuk kembali.
Li’an (pengutukkan dari salah satu pihak
(utamanya suami kepada istrinya)) merupakan perceraian dengan proses hukum.
Perceraian dengan pengutukkan dari kedua pihak
disebut juga dalam Al-Qur’an dan juga dikuatkan oleh sunnah Rasul.
Riwayat : seorang suami dari golongan Ansor
telah menuduh istrinya melakukan perzinahan. Rasul kemudian meminta kepada
kedua pihak untuk bersumpah, kemudian beliau memerintahkan keduanya bercerai.
Prosedur li’an seorang suami menuduh istriya
berzinah, tetapi tidak dapat membuktikannya. Dalam keadaan yang demikian, isteri berhak mengajukan permintaan cerai.
2) Ghoiru muabbadah
Yang termasuk golongan halangan perkawinan
ghoiru muabbadah, adalah:
a.
Halangan karena Jama’
ialah halangan perkawinan antara seorang
laki-laki dengan dua orang perempuan kakak-beradik yang dilakukan dalam satu
masa sekaligus.
b.
Halangan karena Ad’ad
ialah halangan perkawinan bagi seorang
laki-laki yang berpoligami lebih dari empat perempuan.
c.
Halangan karena Kufur
ialah halangan perkawinan antara seorang wanita
Islam dengan laki-laki yang bukan Islam, atau antara seorang laki-laki Islam
dengan wanita penyembah berhala (tidak berkitab).
d.
Halangan karena Riqo’
ialah halangan perkawinan antara seorang Muslim
dengan budak yang berkitab.
e.
Halangan karena Ihrom
ialah halangan perkawinan bagi seorang
laki-laki dengan wanita yang dipercayakan kepadanya pada waktu tertentu (ibadah
haji/ihrom); misalnya pada waktu berpakaian ihrom saat ibadah haji/ihrom, maka
pada muhrim tersebut dilarang menikahi wanita yang dipercayakan kepadanya.
Demikian juga dilarang menikahkan wanita itu dengan orang lain.
f.
Halangan karena Marodl
ialah halangan perkawinan antara seorang
laki-laki yang sedang dalam keadaan sakit keras dengan seorang perempuan.
g.
Halangan karena Iddah
ialah halangan perkawinan antara seorang
laki-laki dengan wanita yang sedang menjalankan ibadah.
h.
Halangan karena Zaudiyah
ialah halangan perkawinan antara seorang
laki-laki dengan wanita istri orang lain
i.
Halangan karena Talaq
ialah halangan perkawinan antara seorang
laki-laki dengan wanita bekas isterinya yang telah dijatuhi talak tiga.
Putusnya ikatan perkawinan
Sebab-sebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam,
karena:
1)
Talaq (perceraian)
Perkataan talaq (bahasa Inggris: repudiation), perkataan ini berasal dari
“tallaqo” yang berarti
melepaskan dari ikatannya, jadi
menceraikan seorang istri berarti juga membebaskan dari ikatan perkawinan.
Talaq menurut hukum Islam
ada tiga macam:
a.
Talaq baien (talaq
yang tidak memungkinkan rujuk)
b.
Talaq roj’ie (talaq
yang memungkinkan rujuk kembali)
c.
Talaq takliq
(pergantungan perceraian), yaitu talaq yang dijanjikan, misalnya istrinya boleh
menuntut diputuskan perkawinan, kalau suami tidak memenuhi atau berbuat sebagai
berikut:
1)
tidak memberi nafkah
selama sekian bulan
2)
menganiaya atau
menyiksa istrinya
3)
meninggalkan istrinya
dengan sengaja selama enam bulan perjalanan laut, atau satu tahun perjalanan
darat. Kecuali kalau ada alasan-alasan yang sah.
2)
Kematian
a)
Dengan kematian salah
satu pihak, maka putuslah perkawinan antara suami isteri.
b)
Bagi isteri yang
ditinggalkan suaminya, diwajibkan menjalankan iddah selama tiga bulan.
3)
Murtad
Apabila seorang laki-laki (suami) murtad, maka
putuslah hubungan perkawinan dengan istrinya, karena seorang wanita Islam hanya
diperbolehkan kawin dengan seorang laki-laki Islam.
4)
Khuluk (khulu’) atau
talak tebus
-
Pemutusan ikatan
perkawinan atas dasar persetujuan kedua pihak merupakan suatu keistimewaan dari
hukum Islam
-
Bilamana suami isteri
berselisih paham dan khawatir tidak mungkin dapat mentaati batas-batas yang
telah ditetapkan oleh hukum (yaitu, tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban
perkawinan yang dibebankan kepada mereka), si isteri dapat membebaskan dirinya
dari ikatan itu dengan jalan mengembalikan sejumlah harta dan sebagai
pertimbangan (atas pengembalian) itu, suami memberikan kepada isterinya suatu “Khulu’”.
-
Kedua syarat yang
harus dipenuhi:
a)
persetujuan dari suami
isteri
b)
pemberian ‘iwad
(pengembalian, penggantian) yang berasal dari si isteri dan diperuntukkan
kepada suami.
Jika hasrat untuk bercerai
berasal dari si isteri, maka ini dinamakan “khulu’”, tetapi jika
perceraian dilakukan dengan perasaan tidak senang (dan persetujuan) dari kedua
belah pihak ini dinamakan mubaro’ah.
5)
Fasach (Chiyar)
-
Perkataan Fasach
berarti mencabut atau membatalkan. Jadi Fasach ini memperlihatkan kekuasaan
seorang qadli Islam untuk membatalkan suatu perkawinan atas permintaan pihak
isteri. Fasach/chiyar merupakan
pembatalan perkawinan dengan keputusan pengadilan.
-
Hal-hal yang
memungkinkan seorang isteri menuntut perceraian dari suaminya, misal suami:
gila, cacat, impotent, melakukan penganiayaan/ kekejaman terhadap isterinya dan
sebagainya.
6)
Li’an
Perceraian yang terjadi karena suami/istri
menuduh istri/suami berbuat zina (untuk lebih jelasnya lihat pada penjelasan halangan
perkawinan karena li’an).
7)
Ila’ (lelaa)
Adalah suatu bentuk perceraian sebagai akibat
dari “hukum mulie” yang dijatuhkan
terhadap seorang suami terhadap isterinya, karena sumpahnya untuk tidak
menggauli istrinya selama empat bulan atau lebih.
8)
Zihar
Adalah bentuk perceraian sebagai akibat dari
perkataan suami terhadap isterinya, misalnya “kamu seperti punggung (pantat)
ibumu/ku”. Apabila suami berkata kepada isterinya seperti tersebut, maka ia
dijatuhi “hukum Zihar”, yaitu tidak
boleh mendekati/menggauli isterinya.
Suami dapat bebas dari hukum
Zihar dengan syarat : puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60
orang miskin.
4. Hukum Waris
Islam
Dalam hukum waris tersangkut tiga hal yaitu:
a.
Pewaris ialah orang
yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan.
b.
Ahli waris ialah
orang-orang yang masih hidup yang berhak akan harta warisan.
c.
Harta warisan ialah harta
benda yang ditinggalkan oleh Pewaris.
Di dalam hukum Islam, waris-mewarisi disebabkan
adanya:
a.
hubungan kekeluargaan
(darah) antara pewaris dengan ahli waris.
b.
hubungan perkawinan, dimana
suami atau isteri satu sama lain saling mewarisi.
c.
memerdekakan budak
belian, dimana orang yang telah memerdekakan budak menjadi ahli waris dari
bekas budak belian tersebut, jika tidak ada ahli waris lain.
d.
hubungan Islam,
apabila pewaris tidak mempunyai ahli waris, maka harta warisan diserahkan
kepada Baitul-mal untuk kepentingan seluruh umat Islam.
Dalam hukum Islam pewarisan di bagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Ab intestato
Warisan ab intestato adalah pemindahan hak
kebendaan dalam warisan menurut undang-undang.
Ab intestato mengutamakan:
a)
Selain dari jandanya
(suami atau isteri), juga mereka yang mempunyai hubungan darah, dan dinamakan “ashobah).
1)
ashobah dari pihak
laki-laki
-
anak laki-laki
-
cucu laki-laki dari
anak laki-laki
-
ayah dan kakek
-
saudara lak-laki serta
anak laki-lakinya
-
paman serta anak
laki-lakinya
2)
ashobah dari pihak
perempuan
-
anak perempuan
-
cucu perempuan dari
anak laki-laki
-
ibu dan nenek
b)
Mereka yang ditetapkan
dalam Al-qur’an sebagai orang yang berhak menerima pembagian warisan, dinamakan
“dzawul faroid” antara lain:
1.
kakek setelah ibu
2.
kakek dan nenek yang digugurkan
haknya untuk menerima warisan
3.
cucu dari anak
perempuan
4.
anak-anak perempuan
dari saudara perempuan
5.
anak-anak laki-laki
dari saudara seibu
6.
paman sebelah ibu
7.
anak-anak perempuan
dari paman dan seterusnya.
2. Testamenter
Pembagian warisan testamenter ialah pembagian
warisan yang dilakukan menurut wasiat dari pewaris (orang yang meninggalkan
warisan).
Dalam pembagian warisan testamenter ini yang
dapat menerima warisan tidak hanya terdiri dari para ahli waris saja, mungkin
juga orang lain sesuai yang diamanatkan dalam surat wasiat.
Selain hak-hak yang telah diberikan oleh hukum
kepada ahli waris untuk menerima pembagian harta warisan, hukum juga memberi
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh para ahli waris tersebut, antara
lain:
a.
mengubur mayat
alarhum, sesuai dengan syarat penguburan mayat;
b.
membayar hutang
almarhum, kalau hutang almarhum lebih besar daripada harta warisan, maka ahli
waris yang bertanggung jawab;
c.
melaksanakan wasiat
almarhum, maksimal sepertiga dari harta warisan.
d.
kewajiban yang
berhubungan dengan harta warisan, umpamanya zakat dan sewa;
e.
membagikan harta
pusaka kepada semua ahli waris menurut ketentuan hukum.
a.
status sebagai budak
belian. Hukum Islam telah menetapkan bahwa orang-orang yang setengah budak dan
setengah merdeka tidak saling mempusakai, tidak saling mewariskan;
b.
pembunuhan. Orang yang
membunuh keluarganya tidak mendapat warisan dari keluarganya yang dibunuh itu;
c.
murtad atau keluar
dari agama Islam;
d.
kafir atau tidak
memeluk agama Islam, atau perbedaan agama. Seorang muslim tidak boleh mengambil
warisan dari orang kafir
Yang dimaksud dengan “hijab” atau halangan (tidak hadir), ialah sebab-sebab seseorang
ahli waris terhalang untuk mendapatkan harta warisan karena ada keluarga yang
lebih dekat misalnya:
a.
kakek tidak
mendapatkan warisan dari cucunya yang meninggal dunia, karena “bapak/ayah” dari
yang meninggal dunia itu masih hidup. Dalam kasus ini kakek terhijab oleh Bapak/ayah
dari yang meninggal dunia;
b.
saudara (kakak atau
adik) terhijab oleh anak.
5.
Hukum Wakaf
5.1
Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa Aab
“Waqf” yang berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap
berdiri”.
Wakaf menurut syara’ adalah
menahan dzat (asal) benda dan mempergunakan hasilnya, yakni menahan benda dan
mempergunakan manfaatya di jalan Alloh (sabilillah).[2]
Menurut Ali bin Muhammad
Al-Jurjani, Wakaf adalah menahan dzat suatu benda dalam pemilikan si wakif dan
memanfaatkan (mempergunakan) manfaatnya.[3]
Wakaf itu suatu ibadah yang
disyariatkan dan telah menjadi lazim (telah berlaku) dengan sebutan lafadz,
walapun tidak diputuskan oleh hakim, dan lepas miliknya, walaupun barang itu
tetap ada ditangannya.[4]
Wakaf berarti penetapan yang
bersifat abadi untuk memungut hasil dari barang yang diwakafkan guna
kepentingan orang-orang atau yang bersifat keagamaan atau untuk tujuan amal.[5]
Menurut Anwar Haryono, wakaf
adalah pelepasan hak milik seorang muslim yang hanya manfaat atau hasilnya
(buahnya) dipergunakan untuk kepentingan umum. Penglepasan hak milik ini
dinilai sebagai shodaqoh jariyah (continue).[6]
Wakaf berarti menahan harta
yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang
mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah S.w.t..[7]
Wakaf adalah perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariat (Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004).
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa, wakaf adalah melepaskan atau menahan hak milik atas harta
benda untuk dimanfaatkan guna kepentingan ibadah (umum) yang diridloi Alloh
S.w.t.[8]
5.2
Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum keberadaan wakaf
tercantum di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad S.a.w. sebagai berikut :
Berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat
kebahagiaan/kemenangan (Al-Qur’an, Al-Hajj : 77).
Belanjakanlah sebagian hartamu dengan baik-baik
(Al-Qur’an, Al-Baqoroh : 267)
Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, kecuali
kamu belanjakan sebagian harta yang kamu cintai (Al-Qur’an, Al-Imron : 92).
Apabila anak Adam meninggal
dunia, putuslah amalnya, kecuali tiga perkara, yakni shodaqoh jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya (H.R. Abu Huroiroh
r.a.)
Menurut Muhammad Ismail
Al-Kahlani, menafsirkan Shodaqoh Jariyah dengan wakaf. Dan hadits tersebut
tercantum dalam bab wakaf.
Menurut Asy-Syaukani, bahwa para
ulama’ menafsirkan shodaqoh jariyah sama dengan wakaf.[9]
Yang dimaksud dengan shodaqoh
jariyah adalah wakaf.[10]
5.3
Unsur-Unsur Wakaf
Unsur-unsur
(rukun) wakaf ada lima
yakni :
a.
Wakif (orang yang
berwakaf);
b.
Mauquf (harta yang
diwakafkan/obyek wakaf);
c.
Mauquf alaih
(tujuan/peruntukan harta yang diwakafkan);
d.
Nadzir
(penerima/pengurus/pengelola wakaf);
e.
Aqad wakaf atau sighot
(pernyataan serah terima wakaf dari Wakif ke
Nadzir (Maukuf alaih).
5.4
Syarat-Syarat Wakaf
Untuk sahnya wakaf, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a.
Wakif harus mukallaf
(baligh), sebagai pemilik sendiri harta yang diwakafkan, dan sukarela atas
kehendak sendiri atau tidak dipaksa;
b.
Harta yang diwakafkan
harus milik wakif dan kekal atau tidak rusak
artinya dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan/pengunaan wakaf;
c.
Tujuan wakaf harus
jelas untuk kemaslahatan ummat, penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai ibadah atau syariat dan
tidak bertentangan dengan hukum atau kepentingan umum;
d.
Nadzir harus mukallaf
(baligh/dewasa), berakal sehat, jujur/adil, dan mampu/amanah dalam
mengurus/mengelola wakaf;
e.
Aqad (sighat) atau ikrar wakaf harus dinyatakan dengan
jelas dengan tulisan atau lisan kepada Nadzir termasuk peruntukan wakaf harus
dinyatakan dengan jelas;
f.
wakaf dilaksanakan
dengan tunai pada saat dilakukan ikrar wakaf, tidak boleh diangsur dan tidak
boleh khiyar.
5.5
Macam-Macam Wakaf
Menurut syariat Islam, wakaf ada dua macam.
yaitu:
1.
Wakaf ahli atau wakaf
dzurri (keluarga), yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan
keluarga/family/ wakif.
Menurut Pasal 7 dan Pasal 9
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Wakif dan Nadzir dapat
berupa (a) perorangan, (b) organisasi,
(c) badan hukum. Sedangkan harta benda (obyek) wakaf berupa benda bergerak dan
benda tidak bergerak (Pasal 16 Undang-Undang Wakaf).
Menurut Pasal 16 jo Pasal 17
ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 41 Taun 2004 Tentang Wakaf, yang dimaksud benda tidak
bergerak adalah hak-hak atas tanah yan sudah maupun yang belum terdaftar (hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, hak milik
atas rumah susun, dan hak atas benda tidak
bergerak lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah dan Peraturan
Perundang-undangan).
Menurut Pasal 15 jo Pasal 20
dan Pasal 21 sub (a) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, jenis benda bergerak obyek wakaf
dapat berupa uang, dan benda bergerak bukan uang (kapal, pesawat terbang,
kendaraan bermotor, mesin-mesin industry, logam dan batu mulia, saham,
obligasi, surat utang negara dan surat berharga lainnya yang dapat dinilai
dengan uang). Selain itu juga Hak Kekayaan Intelektual, hak sewa, hak pakai,
hak pakai hasil atas benda bergerak (Pasal 21 sub b dan sub c P.P. No. 42 Tahun 2006).
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 (Undang-Undang Wakaf) Ikrar Wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada
Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh
2 (dua) orang saksi. Ikrar wakaf yang dimaksudkan dapat dinyatakan secara lisan
dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW (Pasal 17
UUW). Kemudian dengan atas nama Nadzir,
PPAIW mendaftarkan harta benda
wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
akta ikrar wakaf ditandatangani (Pasal 32 UUW). Instansi yang berwenang
melakukan pendaftaran wakaf yang berupa benda tidak bergerak (tanah) yang
dimaksud adalah Badan Pertanahan Nasional. Adapun instansi yang berwenang
melakukan pendaftaran wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar
adalah “Badan Wakaf Indonesia ”
(penjelasan pasal 32 UUW).
Untuk wakaf uang, kehendak
wakif disampaikan secara tertulis kepada Lembaga Keuangan Sariah (Pasal 28
UUW). Oleh Lembaga Keuangan Syariah kemudian diterbitkan sertifikat wakaf
uang yang diberikan kepada Wakif dan
Nadzir (Pasal 29 UUW). Lembaga Keuangan Syariah atas nama Nadzir mendaftarkan
harta benda wakaf “uang” kepada Menteri
Agama (Pasal 30 UUW).
[1] Mahmud
Junus, 1964. Hukum Perkawinan Dalam Islam. PT. Mahmudiah. Jakarta . hlm. 82.
[2] Sayid
Sabiq, 197. Fiqih Sunnah. PT. Al_Ma’arif. Bandung . hlm. 378.
[4] Hasbi
Ashiddiqi. 1975. Pengantar Hukum Fiqh Islam. Bulan Bintang. Jakarta . hlm. 159.
[5]
Maulana Muhammad Ali. 1980. The Religion of
Islam (Penerjemah R. Kalang dan HM. Bachrun). PT. Ichtiar Baru. Jakarta . hlm. 467
[6]
Anwar Haryono. 1968. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Bulan
Bintang, Jakarta .
(Selanjutnya disebut DR. Anwar Haryono I). hlm. 148
[7]
Ahmad Azhar Basyir. 1987. Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah. PT.
Al-Ma’arif. Bandung . hlm. 5.
[8]
Umar Said Sugiharto, 1993. Efektifitas Pendaftaran Tanah di Kota
Malang Setelah
Berlakunya PP. No. 28 tahun 1977. (Thesis). hlm. 86
[9]
Suparman, Usman, op.cit. hlm. 29.
[10] Sayid
Sabiq, op.cit. hlm. 378
[11] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar