BAB IV
BENTUK-BENTUK
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
1. Menurut
Undang-Undang Dasar 1945
Berdasarkan UUD 1945 (setelah amandemen)
bentuk-bentuk atau macam-macam Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
Pemerintah (Eksekutif), Legislative (DPR), dan MPR serta Pemerintah Daerah
adalah sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Dasar
(Pasal 3 UUD 1945)
Menurut Pasal 3 Undang-Undang
Dasar 1945, MPR mempunyai kekuasaan
menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar. Kekuasaan MPR ini menurut penulis
juga termasuk atau identik dengan membuat
Undang-Undang Dasar;
Undang-Undang Dasar adalah
Konstitusi negara yang tertulis, sebagai hukum dasar yang tertinggi dalam suatu
negara. Undang-Undang Dasar merupakan
hukum dasar yang tertinggi atau sebagai dasar hukum yang tertinggi bagi
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Dengan demikian peraturan
perundang-undangan dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar;
b.
Undang-undang (Pasal 5
ayat (1) jo Pasal 20 ayat (2) UUD 1945)
Undang-undang adalah
peraturan hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh Eksekutip (pemerintah)
bersama-sama dengan parlemen atau legislatif (DPR) untuk melaksanakan dan
menjabarkan aturan-aturan yang diatur dalam UUD. Undang-undang ini sebagai
pelaksana UUD.
c.
Peraturan Pemerintah
Pengganti undang-undang (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945);
Peraturan Pemerintah
Pengganti undang-undang (Perpu) adalah Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh
Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai pengganti
undang-undang. Kedudukan Perpu sederajat dengan UU. Perpu dibuat oleh Presiden
karena keadaan kegentingan yang memaksa yang memerlukan tindakan cepat dalam
waktu singkat, selain itu juga bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum
(undang-undang) misal : negara dalam keadaan darurat atau bahaya dan belum ada
undang-undang yang mengatur untuk mengatasi keadaan darurat tersebut.
Setelah keadaan darurat atau
kegentingan yang memaksa berakhir, Perpu
harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR. Apabila Perpu masih
dianggap perlu oleh DPR untuk kepentingan masyarakat, maka Perpu kemudian ditetapkan sebagai
undang-undang, tetapi apabila tidak diperlukan atau bertentangan dengan UUD
maka perpu dinyatakan tidak berlaku atau
harus dicabut oleh Presiden.
d.
Peraturan Pemerintah
(Pasal 5 ayat (2) UUD 1945)
Peraturan pemerintah adalah
peraturan hukum atau keputusan hukum
yang dibuat oleh Pemerintah (eksekutif) untuk melaksanakan undang-undang agar
berlaku secara riil dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat terhadap
masyarakat;
e.
Peraturan Daerah
(Pasal 18 ayat (6) UUD 1945)
Peraturan Daerah adalah
peraturan hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh Pemerintah Daerah bersama
dengan DPRD untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah. Peraturan
daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
2.
Menurut Ketetapan MPR
Walaupun lembaga MPR menurut UUD 1945 (sebelum
amandemen) tidak mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan
perundang-undangan (kecuali GBHN) tetapi dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia ,
MPRS/ MPR pernah membuat produk perundang-undangan dengan nama Ketetapan MPR,
diantaranya adalah Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.
Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 mengatur urut-urutan Peraturan
Perundang-undangan sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Dasar RI
1945
b.
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Tap.MPR);
c.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti undang-undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Keputusan Presiden;
f.
Peraturan-peraturan
pelaksana lainnya seperti:
-
peraturan menteri
-
instruksi menteri
-
dll
Tata urutan (hierarki) Peraturan Perundang-undangan
dalam Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 kedudukannya tidak dapat diubah. Tata
urutan tersebut menunjukkan tingkat kedudukan atau tinggi rendahnya peraturan
perundang-undangan, artinya peraturan-pearuran di bawahnya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sampai pada
tahun 1973 berlakunya tetap dipertahankan dengan ditetapkannya
Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan R.I.
Ketetapan MPR No. V/MPR/ 1973 keberlakuannya
masih dipertahankan oleh MPR dengan ditetapkannya menjadi Ketetapan MPR
No.IX/MPR/1978. Setelah tahun 2000 Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 dinyatakan
tidak berlaku atau dicabut dengan diberlakukannya Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000.
Setelah reformasi, maka pada tahun 2000, MPR menetapkan Ketetapan MPR
RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urut-urutan peraturan
perundang-undangan.
Menurut Pasal 2 Ketetapan MPR RI No.
III/MPR/2000 disebutkan bahwa, Tata Urut-urutan Peraturan Perundang-undangan RI
adalah sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Dasar RI
1945
b.
Ketetapan MPR-RI
c.
Undang-Undang
d.
Peraturan Pemerintah
Pengganti undang-undang (Perpu)
e.
Peraturan Pemerintah
f.
Keputusan Presiden
g.
Peraturan Daerah
Kelemahan Ketetapan MPR tersebut karena menempatkan Perpu di bawah undang-undang,
masalahnya menurut pasal 22 UUD 1945 Perpu adalah sebagai pengganti undang-undang
dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan
kedudukannya sederajat dengan Undang-undang.
3.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Karena kelemahan Ketetapan MPR No. III/MPR
RI/2000 yang menempatkan Perpu di bawah Undang-undang, kemudian pada tahun 2004
Pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Menurut pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004
jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Dasar
1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti undang-undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
d.
Peraturan Presiden;
e.
Peraturan Daerah;
Selanjutnya di dalam ayat (2) disebutkan,
Peraturan Daerah meliputi:
1)
Peraturan Daerah
Propinsi yang dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan Gubernur.
2)
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota.
3)
Peraturan Desa/Peraturan
yang setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama
dengan Kepala Desa/nama lainnya.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi (Pasal 7 ayat (4).
Menurut
Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang No. 10
Tahun 2004 bahwa, kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1).
2.
Hak Uji Undang-Undang
Istilah “hak
uji” menurut Kamus Hukum Belanda-Indonesia “Fockema Andreae”adalah “toetsing”
berarti “pengujian” atau “penilaian” atau artinya menguji atau menilai suatu perbuatan apakah
sesuai dengan norma norma yang lebih tinggi. Istilah “toetsingsrecht” (Belanda) adalah kependekan dari “rechterlijk toetsingsrecht” artinya
hak menguji atau hak menilai atau meneliti oleh hakim, apakah undang-undang bertentangan
atau tidak dengan undang-undang dasar (grondwet).
Keberadaan “hak uji undang-undang” oleh hakim terhadap undang-undang yang lebih tinggi atau toetsingsrecht (Belanda) atau judicial review (Inggris) ini berkaitan
dengan adanya asas “undang-undang tidak dapat diganggu gugat” (onschendbaar), artinya undang-undang
tidak boleh diuji atau dinilai oleh siapapun termasuk oleh hakim. Pengujian
oleh hakim diperbolehkan apabila diatur oleh undang-undang atau kostitusi.
Menurut teori hukum, ada dua macam hak menguji
undang-undang (toetsingsrecht atau
judicial review) oleh hakim, yaitu : pertama, hak menguji undang-undang secara formal (formele toetsingsrecht atau formal judicial
review); kedua, hak menguji
undang-undang secara material (materiele
toetsingsrecht atau materiel judicial
review).
Hak Uji Formal (formele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menilai, apakah
suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui
cara-cara (prosedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau tidak.[1]
Hak Uji Material (materiele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki
dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-udangan isinya sesuai
atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah
suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu
peraturan tertentu.[2]
Definisi dari Sri Sumantri tersebut dapat
disimpulkan atau sebagai pendapat penulis adalah :
Hak Uji Formal Undang-Undang (formele
toetsingsrecht atau formal judicial
review) adalah kewenangan hakim untuk menguji atau menilai apakah suatu
undang-undang prosedur pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan adalah mencakup
kewenangan yang membuat peraturan perundang-undangan, prosedur atau cara pembuatannya
dan pengundangannya.
Hak Uji Material Undang-Undang (materiele
toetsingsrecht atau materiel judicial
review) adalah kewengan hakim untuk menguji
atau menilai undang-undang apakah isinya
bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Isi suatu undang-undang mencakup materi norma dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang.
Soepomo dalam bukunya “Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II”
menyatakan, bahwa “Hakim menurut hukum tata negara “Hindia Belanda” berhak dan
berkewajiban menguji apakah pengundangan dari undang-undang dan
peraturan-praturan yang lain adalah sebagaimana patutnya (formele toetsingsrecht)”[3].
Menurut Mohamad Isnaini, bahwa “Hakim mempunyai wewenang sepenuhnya, bahkan
sebelum Hakim menerapkan suatu peraturan, wajib mengetahui dengan pasti, apakah
peraturan yang ia hadapi sesuai dengan keadaan lahirya, telah diundangkan
sebagaimana mestinya, apakah sudah mulai berlaku atau masih mempunyai kekuatan
berlaku”.[4]
a.
Hak Uji Undang-Undang oleh Mahkamah Agung
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum
diamandemen (diubah/direvisi) tidak mengatur hak uji peraturan-perundang-undangan. Tetapi setelah
UUD 1945 diamandemen, hak uji peraturan perundang-undangan diatur di dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD
1945.
Pasal 11 ayat (2) huruf b.
UUKK jo, Pasal 31 ayat (1) UUMA mengatur
kewenangan Mahkamah Agung melakukan “hak
uji” peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.
Selanjutnya dalam Pasal
31 ayat (2) UUMA ditentukan bahwa Mahkamah
Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Dari Pasal 31 ayat (2) UUMA
dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung
mempunyai kewenangan hak uji undang-undang (judicial review) baik hak uji
material maupun hak uji formal.
Hak uji material” peraturan
perundang-undangan oleh Mahkamah Agung adalah
kewenangan Mahkamah Agung menguji
atau menilai muatan materi dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang jika bertentangan dengan undang-undang. Dengan
kata lain “hak uji material” oleh
Mahkamah Agung, adalah kewenangan Mahkamah Agung menguji atau menilai peraturan
peraundang-undangan di bawah undang-undang apakah isinya bertentangan atau
tidak dengan undang-undang.
Selain melakukan hak uji
material, Mahkamah Agung berwenang pula
melakukan “hak uji formal” yaitu
kewenangan Mahkamah Agung menguji atau menilai prosedur dan kewenangan pembentukan
peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, apakah memenuhi atau
tidak dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan kata lain hak uji formal peraturan peru ndang-undangan
oleh Mahkamah Agung adalah kewenangan Mahkamah Agung menguji atau menilai
apakah pembentukan peraturan peru ndang-undangan
di bawah undang-undang bertentangan atau tidak dengan ketentuan yang berlaku.
Hak uji peraturan
perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dapat
dimohonkan atau diajukan pada tingkat
kasasi atau dengan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
Putusan mengenai tidak sahnya
peraturan peru ndang-undangan
sebagaimana yang dimaksud pada pasal 31 ayat (2) UUMA dapat diambil pada
pemeriksaan di tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada
Mahkamah Agung (Pasal 31 ayat (3) UUMA).
Peraturan peru ndang-undangan
yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (3) UUMA
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MA yang amar putusannya
menyatakan tidak sahnya suatu peraturan peru ndang-undangan
wajib dimuat dalam Berita Negara Ind onesia
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan
diucapkan (Pasal 31 ayat (5) UUMA).
b.
Hak Uji Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi
Sejak UUD 1945 diamandemen
ketiga, keberadaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24
ayat (2) jo Pasal 24C UUD 1945. Sebelum diamandemen, UUD 1945 tidak mengatur
hak uji undang-undang dan Mahkamah Konsitusi.
Di dalam Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 disebutkan bahwa Mahkamah
Konstitusi mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Pasal 24C UUD 1945 ini
kemudian diatur lebih lanjut di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a. Undang-undang
No. 4 Tahun 2004 yang kemudian diubah
menjadi Undang-undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK).
Selanjutnya di dalam Pasal 51
ayat (3) UUMK ditentukan bahwa pemohon hak uji wajib menguraikan dengan jelas
mengenai “pembentukan undang-undang”
yang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, dan “materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian” undang-undang yang
bertentangan dengan UUD RI 1945.
Selain diatur dalam Pasal 51
ayat (3), menurut Pasal 56 jo Pasal 57
ayat (1 dan 2) UUMK, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan melakukan hak uji
undang-undang terhadap UUD 1945, baik mengenai materi muatan ayat, pasal
dan/atau bagian undang-undang maupun
pembentukannya apabila bertentangan dengan UUD
RI 1945.
Dari ketentuan Pasal 24C UUD
1945, jo. Pasal 12 ayat (1) UUKK jo.
Pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 51 ayat (3) jo. Pasal 56 jo. Pasal 57 ayat (1 dan 2) UUMK tersebut
dapat diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan melakukan hak
uji undang-undang terhadap UUD 1945 atau yang dikenal dengan “pengujian konstitusional” (constitutional review).
Kewenangan uji
undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional review) oleh Mahkamah
Konstitusi, penulis membedakan ada 2 (dua)
macam yaitu hak uji material (materiel constitutional review) dan
hak uji formal (formal constitutional review).
Hak uji material (materiel constitutional review) oleh
Mahkamah Konstitusi, adalah kewenangan Mahkamah
Konsitusi menguji atau menilai materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang jika bertentangan
dengan UUD RI 1945. Dengan kata lain adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji atau menilai undang-undang,
apakah isinya bertentangan ataukah tidak dengan UUD RI 1945.
Ada pun hak uji formal (formal constitutional review),
artinya adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji atau menilai prosedur dan kewenangan pembentukan undang-undang, apakah memenuhi atau tidak
menurut ketentuan pembentukan berdasarkan UUD
RI 1945. Dengan kata lain adalah
kewenangan hakim Mahakamah Konstitusi menguji atau menilai, apakah pembuatan
atau pembentukan undang-undang sesuai
atau tidak dengan ketentuan UUD
RI 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap, sah dan mengikat sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 28 ayat (5 dan 6) jo Pasal 47
UUMK).
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh ) hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal 57 ayat (3) UUMK).
Undang-undang yang diuji
(material maupun formal) oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum
ada putusan yang menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD RI 1945 (Pasal 58 UUMK).
Dengan demikian menurut UUD
1945, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang Undang Mahkamah Konstitusi,
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan uji undang-undang terhadap UUD (constitutional
review).
Constitutional review
merupakan bagian “judicial review”
apabila dilakukan oleh hakim atau lembaga pengadilan atau “judicial” (judiciary).
Jika constitutional review tidak dilakukan oleh hakim atau lembaga judicial (judiciary), maka
constitutional review tidak dapat disebut “judicial review”.
Pengertian “judicial review” atau “toetsingsrecht”
lebih luas daripada “constitutional review”. Judicial Review atau “toetsingsrecht”
mencakup “constitutional review dan hak uji terhadap seluruh peraturan peru ndang-undangan yang bertentangan dengan peraturan peru ndang-undangan
yang lebih tinggi atau dengan UUD dengan
syarat hak uji dilakukan oleh hakim atau
lembaga pengadilan (judiciary).
Apabila hak uji peraturan peru ndang-undangan
tidak dilakukan oleh hakim atau lembaga pengadilan, maka tidak dapat disebut “judicial review”, bisa saja disebut “legislative review” apabila hak uji
dilakukan oleh lembaga legislative; atau disebut “executive review” apabila hak uji dilakukan oleh lembaga eksekutif.
Demikian pula jika
pengujian peraturan perundang-undangan bersifat
“a
priory”
misalnya pengujian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan yang sudah
disyahkan tetapi belum diundangkan, disebut “judicial preview”. Jika yang dimohonkan pengujian adalah rancangan undang-undang dan
bertentangan dengan UUD disebut “constitutional
preview”.
Mengenai istilah atau
pengertian hak uji atau “toetsingsrecht”
(bahasa Belanda) ini, oleh Jimly Asshiddiqie dibedakan antara “toetsingsrecht”, “judicial review”, “juicial
preview”, “legislative review”, “executive review”, “constitutional review”.
Menurut Jimly, hak atau kewenangan menguji atau hak menguji atau hak uji dalam bahasa
Belandanya disebut “toetsingsrecht”.
Jika hak uji (toetsingsrecht) itu
diberikan kepada hakim, maka namanya adalah “judicial review” atau
review oleh lembaga peradilan. Jika kewenangan menguji diberikan kepada lembaga
legislative, maka namanya bukan “judicial review” melainkan “legislative review”. Jika yang
melakukan pengujian itu adalah pemerintah, maka namanya tidak lain adalah “executive review”, bukan “judicial
review”.[5]
Jika pengujian dilakukan
terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms) secara “a posteriori”, maka pengujian dapat disebut sebagai “judicial review”, tetapi jika pengujian
itu bersifat “a priori” yaitu
terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi belum
diundangkan sebagaimana mestinya, maka namanya bukan “judicial review”,
melainkan “judicial preview”. Jika
ukuran pengujian itu dilakukan dengan menggunakan”konstitusi” sebagai alat
pengukur, maka pengujian semacam itu disebut seagai “constitutional review” atau pengujian konstitusional, yaitu
pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the constitutionality of
law).
Masih menurut Jimly
Asshiddiqie, apabila norma yang diuji itu menggunakan “undang-undang”
sebagai batu ujinya (maksudnya alat
pengukur), seperti hak uji yang dilakukan oleh Mahakamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka
pengujian itu tidak dapat disebut “constitutional
review”, melainkan“judicial review on
the legality of regulation”.[6]
Dari uraian di muka dapat disimpulkan bahwa menurut hukum positif
Ind onesia
(UUD 1945, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Mahakamah
Konstitusi, dan Undang-Undang Mahkamah Agung), Mahkamah Konstitusi berwenang
menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional
review), dan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang (judicial review atau
toetsingsrecht).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar