BAB V
KEKUASAAN KEHAKIMAN
1.
Pengadilan dan
Peradilan
Setiap
negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat)
tentu mempunyai aparatur negara yang bertugas untuk mempertahankan tegaknya
negara dan hukum. Dalam menjalankan tugasnya aparatur negara itu (termasuk
aparat pemerintahan) diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Aparatur negara yang bertugas menjalankan penegakan hukum, salah satu diantaranya adalah para hakim di Pengadilan. Di Indonesia pengadilan merupakan
suatu badan/institusi yang menjalankan tugas ”Kekuasaan Kehakiman” (Pasal 10
UU. No. 14 Tahun 1970). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 pada tahun 1999
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 selanjutnya diubah
menjadi Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
selanjutnya disebut UUKK.
Menurut pasal 24
UUD 1945, Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Menurut pasal 1 UU. No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Yang dimaksud
dengan ”peradilan” adalah tugas yang
dibebankan kepada pengadilan. Tugas utama pengadilan adalah sebagai tempat
untuk mengadili atau memberikan putusan hukum dalam perkara-perkara yang
diajukan kepadanya. Tindakan khusus dari hakim (pengadilan) adalah memberikan
putusan atau vonis dan penetapan hakim.
Dalam
Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, dibedakan antara peradilan umum dan
peradilan khusus. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya yang
menyangkut perkara-perkara baik perdata maupun pidana yang diajukan ke
pengadilan. Adapun peradilan khusus adalah peradilan yang mengadili orang-orang
atau golongan rakyat tertentu misalnya, kasus sengketa perceraian bagi yang
beragama Islam menjadi wewenang Peradilan agama, tindak pidana militer menjadi
wewenang Peradilan militer, sengketa administrasi negara atau tata usaha negara
menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.
2.
Lingkungan Peradilan
Berdasarkan ketentuan
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 2 UU. No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
disebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Badan-badan
peradilan yang dimaksudkan terdiri dari 4 (empat) lingkungan badan peradilan
yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili dan meliputi badan
peradilan tingkat pertama, tingkat kedua (tingkat banding), dan yang berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat terakhir atau tingkat kasasi.
Keempat lingkungan badan peradilan yang dimaksudkan antara lain :
1.
Lingkungan Peradilan Umum;
2.
Lingkungan Peradilan Agama;
3.
Lingkungan Peradilan Militer;
4.
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Mahkamah Agung
sebagai lembaga peradilan tertinggi melakukan pengawasan tertinggi atas
peradilan-peradilan lain yang berada di bawahnya, yang meliputi: badan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara (Pasal 10 ayat 2 UU. No. 4 Tahun 2004) menurut ketentuan yang ditetapkan
oleh undang-undang. Kekuasaan Kehakiman yang dilakukan oleh Mahkaamah Agung
tersebut dalam perubahan UUKK diatur di dalam pasal 18 Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan Umum
adalah suatu peradilan bagi rakyat pada umumnya baik mengenai perkara perdata
maupun pidana atau perkara-perkara lain yang diajukan ke pengadilan. Sedangkan
peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara merupakan
peradilan khusus untuk mengadili perkara-perkara tertentu atau untuk mengadili
golongan-golongan tertentu.
3.
Lingkungan Peradilan Umum
Dasar hukum
keberadaan Peradilan umum adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 yang kemudian
diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum. Undang No.
8 tahun 2004 ini kemudian diubah menjadi
Undang-undang No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
Peradilan umum
adalah salah satu pelaksana Kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
pada umumnya (Pasal 2 UU. No. 8 Tahun 2004).
Kekuasaan
kehakiman dilingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri
sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai Pengadilan
tingkat banding dan berpuncak pada Mahkamah Agung sabagai pengadilan yang
tertinggi atau tingkat kasasi (Pasal 18 jo Pasal 20 ayat (1) UU. No. 48 Tahun
2009).
Mahkamah Agung
melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang berada di bawah
wewenangnya berdasarkan ketentuan undang-undang (Pasal 20 UU. No. 48 Tahun 2009).
Menurut pasal 5
UU. No. 8 Tahun 2004 sebagaimana diubah menjadi UU.No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum, bahwa pembinaan teknis
peradilan, organisasi, administrasi dan financial pengadilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Demikian pula menurut pasal 21 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa organisasi, administrasi, dan
finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Berdasarkan pasal 18 jo pasal 20 ayat (1) jo pasal 25
ayat (1) UU. No. 48 Tahun 2009 (UUKK) bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Lingkungan Peradilan Umum
dilaksanakan oleh :
a.
Pengadilan Negeri;
b.
Pengadilan Tinggi;
c.
Mahkamah Agung.
Ad.a. Pengadilan
Negeri.
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Peradilan Umum atau UU No. 2 Tahun1986 sebagaimana diubah dengan UU. No. 8
Tahun 2004, kemudian diubah lagi menjadi UU No. 49 Tahun 2009, Pengadilan
Negeri berkedudukan di Ibukota Kabupaten/ Kota, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kabupaten atau kota.
Pengadilan Negeri merupakan pengadilan tingkat pertama yang dibentuk dengan
keputusan Presiden. Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari pimpinan, hakim
anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita (Pasal 10 UU. No. 2 Tahun 1986
yang terakhir diubah menjadi UU. No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum).
Pimpinan Pengadilan Negeri terdiri dari seorang Ketua, dan seorang Wakil
Ketua (Pasal 11 UU. No. 2 Tahun 1986 jo UU No. 49 Tahun 2009).
Persyaratan menjadi hakim Pengadilan dan untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan
Wakil Ketua Pengadilan Negeri diatur dalam pasal 14 UU. No. 49 Tahun 2009.
Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara
atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung (Pasal 16 UU. No. 49 Tahun 2009).
Pengadilan Negeri di dalam memeriksa dan memutus perkara terdiri
sekurang-kurangnya 3 orang hakim, seorang bertindak sebagai Ketua, dan lainnya
sebagai hakim anggota sidang, dan dibantu oleh seorang panitera. Dalam perkara
pidana wajib hadir pula seorang Penuntut Umum, kecuali apabila ditentukan lain
oleh undang-undang.
Ketua Pengadilan mengadakan
pengawasan atas pelaksanaan tugas, dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris
dan juru sita di daerah hukumnya (Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 49
Tahun 2009).
Ketua Pengadilan Negeri juga melakukan pengawasan atas pekerjaan Notaris di
daerah hukumnya dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi,
Ketua Mahkamah Agung, dan Menteri Hukum dan HAM yang tugas dan tanggung jawabnya
meliputi jabatan Notaris (Pasal 54 UU. No. 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah
mejadi UU No. 49 Tahun 2009).
Ad.b.
Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding yang dibentuk dengan
Undang-undang. Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota Propinsi, yang daerah
hukumnya meliputi wilayah propinsi (pasal 4 ayat 2 UU. Nomor 2 Tahun 1986)
sebagaimana diubah oleh Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Umum.
Susunan Pengadilan Tinggi terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera,
dan sekretaris (Pasal 10 ayat (2) UU. No. 49 Tahun 2009). Pimpinan Pengadilan
Tinggi terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Hakim Pengadilan
Tinggi adalah Hakim Tinggi.
Untuk dapat diangkat menjadi hakim Pengadilan Tinggi dan Ketua serta wakil
Ketua Pengadilan Tinggi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
dalam pasal 15 dan 16 UU. No. 49 Tahun 2009.
Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan
perkara perdata serta perkara lainnya yang diberikan wewenang undang-undang
pada tingkat banding. Selain itu Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang
mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara
Pengadilan Negeri di daerah hukumnya (Pasal 51 UU. No. 49 Tahun 2009). Di
samping itu Ketua Pengadilan Tinggi di daerah hukumnya melakukan pengawasan
terhadap jalannya peradilan tingkat Pengadilan Negeri dan menjaga peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
Ad.c. Mahkamah Agung
Menurut Pasal 11 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Keakiman
(UUKK), Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Negara yang tertinggi
dari semua lingkungan Peradilan yang ada di Indonesia, atau merupakan puncak
dari semua peradilan yang ada di bawahnya, dan juga sebagai peradilan tingkat
terakhir (kasasi) bagi semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung.
Ketentuan mengenai Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004, kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang
Mahkamah Agung, selanjutnya disebut (UUMA).
Mahkamah Agung berkedudukan di
ibukota Negara Republik Indonesia (Pasal 3 UUMA).
Susunan Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim anggota, Panitera, dan
seorang Sekretaris Jenderal (Pasal 4 ayat 1 UUMA). Pimpinan Mahkamah Agung
terdiri dari seorang Ketua, dua orang
Wakil Ketua, dan beberapa orang Ketua Muda. Hakim Anggota Mahkamah Agung
adalah Hakim Agung (Pasal 5 ayat 1 UUMA). Wakil ketua Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas wakil Ketua bidang yudisial dan
Wakil Ketua bidang non-yudisial (Pasal 5 ayat (2) UUMA).
Wakil Ketua bidang yudisial membawahi Ketua Muda Perdata, Ketua Muda
Pidana, Ketua Muda Agama, Ketua Muda Militer, dan Ketua Muda Tata Usaha Negara.
Pada setiap pembidangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) Mahkamah Agung dapat melakukan pengkhususan bidang hukum tertentu
yang diketuai oleh Ketua Muda. Wakil Ketua bidang Non-yudisial membawahi Ketua
Muda Pembinaan dan Ketua Muda Pengawasan. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan
Ketua Muda Mahkamah Agung selama 5 tahun (Pasal 5 ayat (3-6) UUMA).
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah
Pejabat Negara yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman (Pasal 6 UUMA).
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Agung syarat-syaratnya ditentukan dalam
pasal 7 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UUMA).
Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seseorang harus memenuhi syarat
sebagai berikut : (a) warga Negara Indonesia; (b) bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa; (c) berijasah sarjana hukum dan magister hukum yang mempunyai
keahlian di bidang hukum; (d) berusia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
(e) sehat jasmani dan rokhani; (f) berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua
puluh) tahun menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun menjadi
hakim tinggi (Pasal 7 ayat (1) UUMA).
Apabila diperlukan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem
karier dengan syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Pada Mahkamah Agung
dapat pula diangkat hakim ad hoc yang diatur dalam undang-undang (Pasal 7 ayat
(2 dan 3) UUMA).
Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama
calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 8 ayat 1 UUMA). Calon
Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial (Pasal 8 ayat (2)UUMA).
Pemilihan calon Hakim Agung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari
sidang sejak nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 8 ayat (3)
UUMA).
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung dan
diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara. Diantara hakim agung yang diajukan
oleh Mahkamah Agung (Pasal 8 ayat 4)UUMA).
Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden diantara hakim agung yang
diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung (pasal 8 ayat (5). Keputusan Presiden
mengenai pengangkatan hakim agung, ketua dan wakil ketua, dan ketua muda
mahkamah agung sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 4, dan ayat 5, ditetapkan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak pengajuan calon
diterima presiden.
Sebelum memangku jabatannya hakim agung wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut agamanya (pasal 9 ayat (1). Ketua, wakil ketua, dan ketua muda Mahkamah
Agung mengucapkan sumpah atau janji dihadapan Presiden (Pasal 9 ayat (3). Hakim
anggota Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.
Sumpah atau janji hakim agung diatur dalam Pasal 9 ayat (2). Kekuasaan Mahkamah
Agung diatur dalam pasal 28 sampai dengan Pasal 39 UUMA.
Menurut Undang-undang Mahkamah Agung tersebut, Mahkamah Agung mempunyai
tugas dan wewenang untuk antara lain :
1. Memeriksa dan memutus perkara
(Pasal 28), yaitu :
a.
permohonan kasasi;
b.
sengketa tentang kewenangan mengadili;
c.
permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap.
2. Menguji secara material
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (Pasal 31 ayat 1)
UUMA).
3. Mahkamah Agung menyatakan
tidak sah semua perturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan
alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (Pasal 31 ayat (2).
Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat diambil (maksudnya: dilakukan) baik berhubungan dengan
pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada
Mahkamah Agung (Pasal 31 ayat (3). Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan
tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat 3 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat (Pasal 31 ayat (4). Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan. Permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan
langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara
tertulis dalam bahasa Indonesia (Pasal 31A UUMA).
4. Melakukan pengawasan tertinggi
terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman (Pasal 32), dan pengawasan terhadap:
a.
tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan pradilan dalam
menjalankan tugas;
b.
memberikan petunjuk, tegoran atau peringatan kepada Pengadilan di semua
lingkungan Peradilan di bawah Mahkamah Agung;
c.
Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang menyangkut masalah tugasnya dan
peradilan (Pasal 36 UUMA).
5. Mahkamah Agung memberikan
pertimbangan Hukum Kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi
(Pasal 35 UUMA).
6. Memberikan
pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada
Lembaga Tinggi Negara yang lain (Pasal 37 UUMA).
7. Dalam hal memutus permohonan
kasasi, Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan
Tingkat banding atau Tingkat terakhir dari semua lingkungan Peradilan (Pasal 29
UUMA). Di samping itu juga dalam memeriksa dan memutus sengketa tentang
kewenangan mengadili, Mahkamah agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir
semua sengketa tentang kewenangan mengadili:
a.
antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di
lingkungan peradilan yang lain;
b.
antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat
banding yang yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama;
c.
antara dua pengadilan tingkat banding dilingkungan peradilan yang sama atau
antara lingkungan peradilan yang berlainan (Pasal 33 ayat (1) UUMA).
Selain itu, Mahkamah Agung juga berwenang memutus dalam tingkat pertama dan
terakhir, semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatanya
oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal
33 ayat (2) UUMA).
Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang Hakim. Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
(Pasal 40 UUMA).
4.
Lingkungan Peradilan Agama
Peradilan Agama
merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, yang kemudian
diubah menjadi Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, selanjutnya
disebut (UUPAG).
Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 menyebutkan, kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan
Agama dilaksanakan oleh:
a.
Pengadilan Agama;
b.
Pengadilan Tinggi Agama;
c.
Mahkamah Agung.
Pengadilan Agama
berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dan daerah hukumnya yang meliputi
wilayah kabupaten/kota (Pasal 4 ayat (1) UUPAG).
Pengadilan Tinggi
Agama berkedudukan di ibukota Propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
Propinsi (Pasal 4 ayat (2) UUPAG. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan tingkat
pertama, dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan tingkat banding.
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden, dan Pengadilan Tinggi
Agama dibentuk dengan undang-undang (Pasal 7 dan pasal 8 UUPAG.).
Susunan Pengadilan
Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris dana Juru
sita. Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil
Ketua, susunan pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera dan sekretaris. Pimpinan Pengadilan tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dana seorang
Wakil Ketua. Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim Tinggi (Pasal 9
dan 10 UUPAG).
Pembinaan teknis
peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan bagi Pengadilan
Agama dan Pengadilan tinggi Agama dilakukan oleh Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat
(1) UUPAG). Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua
Mahkamah Agung (Pasal 12 ayat (1) UUPAG).
Hakim Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
diangkat dan berhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua
Mahkamah Agung, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung (Pasal 15 UUPAG).
Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang:
1.
Memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.
perkawinan;
b.
kewarisan;
c.
wasiat;
d.
hibah;
e.
wakaf;
f.
zakat;
g.
infaq, yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam;
h.
shodaqoh dan ekonomi syariah (Pasal 49 UU. No. 50 Tahun 2009).
2.
Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dapat memberikan keterangan, pertimbangan,
dan nasehat tentang Hukum Islam kepada instansi Permerintah di daerah hukumnya,
apabila diminta (Pasal 52 ayat (1).
Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang:
1.
Mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat
banding (Pasal 51 ayat (1);
2.
Mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili
antara Pengadilan Agama di daerah hukumnya (Pasal 51 ayat (2) UUPAG);
3.
Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang Hukum Islam kepada
Instansi Pemerintah di daerah hukumnya, apabia diminta (Pasal 52 ayat (1);
4.
Dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan
undang-undang (Pasal 52 ayat (2);
5.
Pengadilan Agama memberikan istibat
kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah
(Pasal 52A);
Selain tugas
tersebut, Ketua Pengadilan Agama/Tinggi Agama mempunyai tugas dan kewenangan
untuk mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim,
Panitera, Sekretaris dan Juru Sita di daerah hukumnya (Pasal 53 ayat (1).
Ketua Pengadilan
Tinggi Agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya
peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan
dengan seksama dan sewajarnya. Dalam melaksanakan pengawasan tersebut, Ketua
Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan yang dipandang
perlu.
Hukum Acara yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang tentang Peradilah Agama
(Pasal 54).
Atas penetapan dan
putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain (Pasal 61). Atas penetapan dan putusan Pengadilan
Tinggi Agama dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang
berperkara (Pasal 63).
Penetapan dan
putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaannya ditunda
demi hukum, kecuali apabila dalam amar putusannnya menyatakan penetapan atau
putusan dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding, atau
kasasi (Pasal 64).
Ketua Pengadilan
mempunyai kewenangan mengatur pembagian tugas para Hakim. Ketua Pengadilan
membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat lain yang berhubungan
dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan
(Pasal 92, dan Pasal 93). Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan
pelaksanaan penetapan atau putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (Pasal 95).
5.
Lingkungan Peradilan Militer
Dasar Hukum
Peradilan Militer awal mulanya adalah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1950. Di dalam
Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1950
ditentukan bahwa, Kekuasaan Kehakiman dalam Peradilan Militer dilakukan
oleh Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi dan Mahkamah Tentara Agung.
Berdasarkan
Keputusan bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima
ABRI pada tahun 1972 dan 1973, nama
Pengadilan Militer, diganti dengan Mahkamah Militer, Mahkamah Militer
Tinggi, dan Mahkamah Militer Agung.
Selanjutnya pada
tahun 1997, Pemerintah mengeluarkan UU. No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan
Militer. Dengan berlakunya UU No.
31 Tahun 1997 sekaligus mencabut dan
menyatakan tidak berlakunya UU. No. 5
Tahun 1950 Tentang Peradilan Militer.
Dengan berlakunya
UU.No. 31 Tahun 1997 maka susunan Pengadilan Militer terdiri dari :
a.
Pengadilan Militer;
b.
Pengadilan Militer Tinggi;
c.
Pengadilan Miiter Utama, dan
d.
Pengadilan Militer Pertempuran (Pasal 12).
Susunan organisasi
dan prosedur Pengadilan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 12 UU. No. 31
Tahun 1997 ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembinaan teknis
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pengadilan dalam
lingkunan Peradilan Militer merupakan pelaksana Kekuasaan kehakiman di
lingkungan Angkatan Bersenjata. Pelaksanaan Kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Militer berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi (Pasal 1 UU. No. 31 Tahun 1997 jo. Pasal 11 ayat (1) UU. No. 48 Tahun
2009 (UUKK).
Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer berwenang :
a)
mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah : (1) Prajurit militer; (2) yang berdasarkan
undang-undang dipersamakan dengan prajurit; (3) anggota sesuatu golongan atau
jawatan atau badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan
undang-undang; (4) seseorang yang oleh keputusan Panglima Militer yang disetjui
oleh Mahkamah Agung harus diadili oleh peradilan militer;
b)
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer/TNI;
c)
menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang
bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus
memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan (Pasal 9 UU.No. 31 Tahun
1997).
Pengadilan Militer
mempunyai kekuasaan memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana
yang terdakwanya adalah :
1.
prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
2.
orang-orang yang oleh undang-undang dipersamakan dengan prajurit militer
yang berpangkat kapten ke bawah;
3.
orang-orang yang oleh Keputusan Panglima TNI yang disetujui oleh Mahkamah Agung harus diadili berdasarkan
hukum militer (Pasal 40 UU.No. 31 Tahun 1997).
Pengadilan Militer
Tinggi mempunyai kewenangan sebagai berikut :
a.
Pengadilan Militer Tinggi tingkat pertama, memeriksa dan memutus perkara pidana
yang terdakwanya adalah :
1)
Prajurit atau salah satunya prajurit berpangkat Mayor ke atas;
2)
orang-orang yang oleh undang-undang dipersamakan dengan prajurit militer
yang berpangkat Mayor ke atas;
3)
orang-orang yang oleh Keputusan Panglima TNI yang disetujui oleh Mahkamah
Agung harus diadili di Pengadilan Militer Tinggi (Pasal 41 ayat (1);
b.
Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara
pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang
dimintakan banding (Pasal 41 ayat (2)
c.
Pengadilan Militer Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan militer dalam daerah hukum
Pengadilan Militer Tinggi (Pasal 41 ayat (3);
d.
Pengadilan Militer Tinggi mempunyai kewenangan memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer/TNI (Pasal 41 ayat (1) sub b. UU
No.31 Tahun 1997.
Kekuasaan
Pengadilan Militer Utama adalah memeriksa dan memutus pada tingkat banding
perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Militer/TNI yang telah diputus pada
tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding (Pasal
42 UU. No. 31 Tahun 1997).
Pengadilan Militer
Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang
mengadili :
a.
antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan
Militer Tinggi yang berlainan;
b.
antar Pengadilan Militer Tinggi;
c.
antara Pengailan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer (Pasal 43 ayat (1);
Pengadilan Militer
Tinggi juga berwenang memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah
perkara dan Oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum (Pasal 43 ayat (3).
Pengadilan Militer
Utama melakukan pengawasan terhadap :
1.
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya
masing-masing;
2.
tingkah laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya (Pasal 44
ayat (1)
Pengadilan Militer
Utama juga berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan
dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer
Pertempuran (Pasal 44 ayat(2).
Pengadilan Militer
Utama berwenang memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu
kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran
(Pasal 44 ayat (3).
Pengadilan Militer
Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi
kepada Mahkamah Agung (Pasal 44 ayat (5).
Tempat kedudukan
Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara R.I. yang daerah hukumnya
meliputi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengadilan Militer dan
Pengadilan Militer Tinggi apabila diperlukan dapat bersidang di luar tempat
kedudukannya; dan apabila diperlukan Pengadilan Militer dan Pngadilan Militer
Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya
atas izin Kepala Pengadilan Militer Tinggi (Pasal 24 UU. No. 31 Tahun 1997).
Pengadilan Militer
Pertempuran mempunyai kekuasaan memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan
terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh :
a.
Prajurit militer;
b.
Orang yang dipersamakan sebagai prajurit oleh undang-undang;
c.
Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan yang dipersamakan atau
dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang;
d.
Orang-orang yang berdasarkan keputusan Panglima TNI yang disetujui oleh
Mahkamah Agung harus diadili oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan militer
(Pasal 45). Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan
pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran (Pasal
46).
Berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1977, dan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 4 Tahun 1977, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutus
permohonan kasasi dari lingkungan Peradilan Militer.
6.
Lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara
Dasar Hukum
Peradilan Tata Usaha Negara adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
kemudian diubah dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Undang-undang ini kemudian diubah lagi menjadi Undang-undang No.
51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, selanjutnya disebut (UUPTUN).
Peradilan Tata
Usaha Negara adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara (Pasal 4 UU. No. 51 Tahun
2009).
Yang dimaksud
dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 butir 4 UUPTUN).
Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh:
a.
Pengadilan Tata Usaha Negara;
b.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara;
c.
Mahkamah Agung.
Tempat kedudukan
Peradilan Tata Usaha Negara di ibukota Kabupaten/Kota daerah hukumnya meliputi
wilayah Kabupaten/Kota (Pasal 6 ayat (1) UUPTUN).
Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Propinsi, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah Propinsi (Pasal 6 ayat (2) UUPTUN). Pembinaan teknis
Peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 7 UUPTUN).
Pembinaan dan
Pengawasan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus sengketa Tata Usaha Negara (Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 13 UUPTUN).
Kekuasaan Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata
Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Pertama, bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengkata Tata Usaha Negara di tingkat pertama (Pasal
50 UUPTUN).
Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan tingkat banding, bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.
Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha
Negara di daerah hukumnya.
Pengadilan Tingi
Tata Usaha Negara, juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana yang
dimaksud dlaam pasal 48 UUPTUN, yaitu dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu,
maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang dimaksud tersebut, jika seluruh
upaya administratif yang bersangkutan telah dilakukan atau digunakan.
Terhadap putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut dapat diajukan permohonan kasasi
ke Mahkamah Agung (Pasal 51 ayat (4) UUPTUN).
Selain tugas dan
wewenang, Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim, Panitera dan Sekretaris di daerah hukumnya. Selain tugas
tersebut, Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di daerah hukumya melakukan
pengawasan terhadap jalannya peradilan di Tingkat Pengadilan Tata Usaha negara
dan menjaga agar Peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya. Dalam melaksanakan pengawasan
tersebut, Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan
apabila dipandang perlu. Pengawasan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan
Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara.
7.
Mahkamah Konstitusi
Keberadaan Mahkamah
Konstitusi diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 pasca amandemen ke tiga.
Akibat adanya amendemen UUD 1945, maka Kekuasaan Kehakiman di Indonesia selain
dilakukan oleh Mahkamah Agung, juga
oleh Mahkamah Konstitusi.
Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dst......., dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945).
Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstiusi (UUMK).
a. Kedudukan dan Susunan
Mahkamah Konstitusi
Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C UUD 1945
jo. Pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 UUMK sebagai berikut :
1.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
2.
Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara R.I.;
3.
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden;
4.
Susunan MK terdiri dari seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil
Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh)
orang anggota hakim konstitusi;
5.
Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan
selama 3 (tiga) tahun;
6.
Sebelum Ketua dan Wakil Ketua MK terpilih, rapat pemilihan Ketua dan Wakil
Ketua MK dipimpin oleh hakim konstitusi
yang paling tua usianya;
7.
Ketentuan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK diatur oleh MK;
8.
Hakim Konstitusi adalah pejabat negara;
9.
Untuk kelancaran tugas dan kelancaran
wewenangnya, MK dibantu oleh sebuah Skretariat Jenderal dan Kepaniteraan.
b. Tugas dan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi
Menurut Pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal 10 UU. No. 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan sebagai berikut :
a.
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk : (1) menguji UU terhadap UUD 1945; (2) memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) memutus
pembubaran partai politik; dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
b.
MK wajib memberikan putuan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan atau/ tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar