BAB III
SUMBER-SUMBER
HUKUM
1.
Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum ialah “asal mulanya hukum” segala
sesuatu yang dapat menimbulkan aturan-aturan hukum sehingga mempunyai kekuatan
mengikat.
Yang dimaksud “segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
terhadap timbulnya hukum, dari mana hukum ditemukan atau dari mana berasalnya
isi norma hukum.
Sumber hukum pada hakekatnya dapat dibedakan
ada 2 (dua) macam, yakni sumber hukum material
dan sumber hukum formal (Algra), [1]
dan (Utrecht ),[2]
juga menurut Fockema Andreae dalam “Overzicht
van oud Nerdelansche rechtsbronnen”.
Menurut van Apeldoorn ada 4 (empat) macam
sumber hukum yakni (1). Sumber hukum
historis, (2) Sumber hukum sosiologis, (3) Sumber hukum filosofis, dan (4)
Sumber hukum formal.[3]
Oleh para ahli hukum terkemuka, sumber hukum historis, sumber hukum
sosiologis, dan sumber hukum filosofis sebagaimana pendapat van Apeldoorn
dikelompokkan sebagai sumber hukum
material, karena ketiga sumber hukum
(filosofis, sosilogis, dan historis) merupakan materi (isi) norma hukum dalam
kehidupan bermasyarakat.
2.
Sumber Hukum Material
Sumber
hukum material adalah faktor-faktor yang menentukan kaidah hukum”; atau tempat dari mana
berasalnya isi hukum; atau faktor-faktor yang menentukan isi hukum yang
berlaku. Faktor-faktor yang menentukan
isi hukum dapat dikelompokkan atas
“faktor ideal (filosofis),
faktor sejarah (historis) dan faktor kemasyarakatan (sosiologis)”. Faktor
ideal (filosofis) adalah pedoman-pedoman hidup yang tetap mengenai
nilai-nilai etika dan keadilan yang harus dipatuhi oleh para pembentuk
undang-undang ataupun oleh
lembaga-lembaga pelaksana hukum dalam
melaksanakan tugasnya. Faktor sejarah
(historis) tempat hukum dari sejarah kehidupan, tumbuh dan berkembangnya
suatu bangsa di masa lalu, misalnya : hukum dalam piagam-piagam, dokumen,
manuskrip kuno, code Napoleon, B.W., W.vK, Wv.S.
Faktor
kemasyarakatan (sosiologis), adalah
hal-hal yang nyata hidup dalam masyarakat yang tunduk pada aturan-aturan tata
kehidupan masyarakat. Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi
pembentukan hukum adalah:
a.
Kebiasaan atau adat
istiadat yang telah mentradisi dan terus berkembang dalam masyarakat yang
ditaati sebagai aturan tingkah laku tetap;
b.
Keyakinan tentang
agama/kepercaaan dan kesusilaan;
c.
Kesadaran hukum,
perasaan hukum dan keyakinan hukum dalam masyarakat;
d.
Tata hukum
negara-negara lain, misalnya materi hukum perdata, hukum dagang, hukum perdata
Internasional diambil dari negara-negara yang lebih maju;
e.
Sumber hukum formal,
yang sudah ada sekarang ini dapat dijadikan bahan untuk menentukan isi hukum
yang akan datang (ius constituendum).
Menurut Utrecht, sumber hukum material adalah
perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public opinion)
yang menjadi determinan material pembentuk hukum yang menentukan isi kaidah
hukum.[4]
1.
Sumber Hukum Formal
Sumber
hukum formal ialah tempat dari mana dapat
ditemukan atau diperoleh aturan-aturan hukum yang berlaku yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat
dan pemerintah sehingga ditaati.
Sumber hukum formal (van Apeldoorn) adalah dari
mana timbulnya hukum yang berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk).
Sumber hukum formal adalah yang menjadi
determinan formal membentuk hukum (formele
determinanten van de rechtsvorming), menentukan berlakunya hukum.[5]
Bentuk sumber-sumber hukum formal ialah:
a.
Undang-undang
b.
Kebiasaan/Adat
c.
Yurisprudensi
d.
Traktat (Treaty)
e.
Doktrin Hukum
(pendapat atau ajaran ahli hukum).
3.1
Undang-Undang
Undang-undang dapat dibedakan dalam dua
pengertian, yaitu Undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin) dan Undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin).
Undang-undang
dalam arti material (wet in materiele zin) adalah “setiap keputusan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa
yang berwenang yang isinya mengikat secara umum”; atau setiap “keputusan atau
ketetapan pemerintah atau penguasa yang berwenang yang memuat
ketentuan-ketentuan umum”; atau “peraturan-peraturan umum yang dibuat oleh
penguasa yang berwenang”.
Menurut Paul Laband (Jerman) “undang-undang
dalam arti material ialah “die
rechtsverbindliche Anordnung eines Rechtssatzes” (penetapan kaidah hukum
yang tegas), sehingga hukum itu menurut sifatnya dapat mengikat. Agar
undang-undang dalam arti material itu dapat mengikat, harus dipenuhinya unsur “Anordnung” dan “Rechtssatz”. “Anordnung”
yaitu “penetapan peraturan (kaidah) dengan tegas, sehingga menjadi hukum yang
mengikat; “Rechssatz” ialah
“peraturan” atau “kaidah hukum”.[6]
Selanjutnya Laband menyatakan, bahwa “Anordnung”
itu penetapan “resmi” suatu kaidah sehingga menjadi “hukum” yang bersifat
mengikat, suatu “Rechtssatz” saja
tanpa “Anordnung” masih merupakan peraturan (kaidah) hukum
kebiasaan saja. Anordnung dan Rechtssatz merupakan “Gesetzinhalt” yaitu isi undang-undang.
Oleh karena itu menurut Laband, agar undang-undang itu berlaku pada wilayah
negara pada umumnya harus ada perintah pengundang-undangan dan disahkan oleh Kepala Negara.
Pendapat Laband tersebut dipengaruhi oleh
aliran ajaran “legisme” yang sangat
sempit, bahwa undang-undang harus di buat atau disyahkan dan disetujui oleh
Kepala Negara.
Pendapat Laband tersebut kurang tepat, jika
yang dinamakan undang-undang dalam arti material itu harus disetujui dan disyahkan oleh Kepala Negara. Laband dalam hal ini
mengabaikan tentang “isi” atau “materi”
suatu peraturan yang dapat disebut sebagai “undang-undang dalam arti
material”; sebab tidak semua keputusan atau peraturan yang disetujui atau
disyahkan bahkan dibuat oleh Kepala
Negara mengikat langsung semua penduduk
dalam suatu wilayah. Apabila suatu keputusan atau peraturan yang dibuat atau
disyahkan Kepala Negara tidak mengikat secara langsung semua penduduk dalam
suatu wilayah/daerah atau negara, maka tidak dapat disebut sebagai
“undang-udang dalam arti material”.
Pengertian undang-undang dalam arti
material menurut Buys (begrip wet in materiele zin volgen Buys) adalah “setiap keputusan
pemerintah (penguasa/overhead) yang
menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk sesuatu daerah.[7]
Berdasarkan “Teori Buys” tersebut, maka
setiap keputusan pemerintah yang
menurut bentuknya bukan undang-undang, bukan suatu keputusan yang ditetapkan
oleh Presiden bersama-sama dengan DPR (Legislatif/parlemen) tetapi isinya
mengikat masing-masing penduduk suatu daerah, wilayah dapat dinamakan
“undang-undang” yaitu undang-undang alam arti material. Keputusan Pemerintah
semacam itu berupa misalnya, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Penetapan Presiden, Peraturan Daerah. Walaupun peraturan tersebut menurut
bentuknya bukan undang-undang, tetapi menurut “isinya” masih juga
“undang-undang” yakni undang-undang dalam ati material. Undang-undang dalam
arti material itu juga disebut “peraturan” dalam bahasa Belanda “regeling”.
Bilamana sesuatu keputusan pemerintah atau peraturan yang
isinya mengikat langsung semua penduduk, maka keputusan ini menjadi suatu peraturan,
yaitu undang-undang dalam arti material.[8]
Jadi undang-undang
dalam arti material adalah keputusan pemerintah atau peraturan yang
isinya mengikat langsung semua penduduk
atau mengikat secara umum. Undang-undang dalam arti material disebut juga sebagai undang-undang dalam arti luas.
Undang-undang
dalam arti “formal” (wet in formele zin), ialah “setiap keputusan pemerintah atau
penguasa yang berwenang yang karena prosedur terjadinya atau pembentukannya dan
bentuknya dinamakan “undang-undang”.
Undang-undang dalam arti formal, ialah
keputusan pemerintah yang memperoleh nama undang-undang karena bentuk, dalam
mana ia timbul.[9]
Undang-undang dalam arti formal ialah setiap
keputusan yang merupakan “undang-undang” karena cara terjadinya (wijze van
totstandkoming).[10]
Menurut N.E.
Algra, et.al. (1991 : 28), undang-undang dalam arti formal adalah
“undang-undang resmi” atau undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang
formal. Pembuat undang-undang formal atau resmi di Belanda adalah Raja dan DPR
(de Koning en de Staten General). [11]
Dengan demikian menurut Algra, Undang-undang
dalam arti formal adalah tiap keputusan yang terjadi dengan jalan kerjama antara Perintah (Firman
Raja) dan DPR (de Koning en de Staten
Generaal).
Menurut
Konstitusi negara Indonesia
(UUD 1945), yang membuat undang-undang adalah DPR bersama
Presiden sebagaimana ditentukan dalam pasal 20 UUD 1945. Di dalam pasal 20 ayat
(2) UUD 1945 ditentukan bahwa, “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Presiden mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang” (Pasal
20 ayat (4) UUD 1945).
Dari sisi pembuatannya atau terjadinya
(prosedurnya) oleh pembentuk resmi undang-undang (Presiden bersama DPR), juga
dari bentuknya atau bentuk luar (fisik) dinamakan “undang-undang”, maka
keputusan atau peraturan tersebut dinamakan
“undang-undang dalam arti formal”.
Dengan demikian undang-undang dalam arti formal
menurut UUD 1945, adalah setiap keputusan atau peraturan yang dibuat dan
disetujui bersama oleh DPR dengan Presiden. Apabila diabstraksikan, definisi
“undang-undang dalam arti formal” adalah setiap keputusan penguasa yang
berwenang yang karena prosedur pembuatannya atau pembentukannya dan bentuknya
dinamakan “undang-undang”. Undang-undang dalam arti formal disebut juga sebagai
undang-undang dalam arti sempit, karena isinya tidak mengikat masyarakat umum
atau luas.
Untuk
membedakan antara undang-undang dalam arti formal dengan undang-undang dalam
arti material adalah sebagai berikut : pertama, undang-undang dalam arti
formal namanya pasti “undang-undang” dan isinya tidak mengikat secara umum atau secara luas atau
tidak mengikat semua penduduk. Kedua, undang-undang dalam arti material
belum tentu bernama undang-undang, jika ada yang bernama “undang-undang”
atau Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, atau Peraturan Presiden
atau Peraturan Daerah “isi” atau materinya
harus mengikat secara umum atau luas, atau berlakunya undang-undang mengikat
semua penduduk dalam suatu wilayah.
Apabila ada undang-undang dalam arti fomal
(bernama “undang-undang”) tetapi isinya mengikat secara umum semua penduduk
dalam satu wilayah atau daerah, maka undang-undang ini disebut “undang-undang
dalam arti material”, misal KUHP, KUHAP, UUPA, B.W. WvK.
Sebagian besar undang-undang yang berlaku di Indonesia
merupakan undang-undang dalam arti material karena isinya mengatur atau
mengikat secara umum semua penduduk dalam suatu daerah atau wilayah.
Peraturan Daerah walaupun bentuknya dan namanya
bukan “undang-undang” tetapi karena isinya mengikat langsung penduduk secara
umum, disebut sebagai “undang-undang dalam arti material”. Sebaliknya Undang-undang
Naturalisasi atau Kewarganegaraan, undang-undang APBN bentuk fisiknya dan
namanya “undang-undang”, tetapi karena
isinya tidak mengatur atau tidak mengikat secara umum semua penduduk, maka Undang-undang
Naturalisasi atau Kewarganegaraan dan Undang-undang APBN disebut “undang-undang dalam arti formal” bukan
undang-undang dalam arti material.
Selain
itu, ada undang-undang dalam arti
material yang tidak berbentuk atau tidak bernama “undang-undang” misalnya Peraturan Daerah tentang larangan merokok di
tempat-tempat umum, Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Keputusan Presiden tentang: Pancasila, Penggunaan Bendera Negara, dan tentang Lagu Kebangasaan Indonesia Raya.
Syarat-syarat
berlakunya undang-undang
a.
Undang-undang terdiri
beberapa bagian, yaitu:
1)
Judul;
2)
Pembukaan memuat ( Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
Jabatan Pembentuk undang-undang; Konsideran; Dasar Hukum; dan Diktum). Konsideran diawali dengan kata-kata
“Menimbang” (berisi pokok-pokok pikiran latar belakang dan alasan pembuatan
Peraturan Perundang-undangan); Kemudian Dasar Hukum diawali dengan kata-kata
“Mengingat” (berisi dasar hukum kewenangan pembuatan Peraturan
Perundang-undangan dsb); Selanjutnya “Diktum” terdiri atas (kata Memutuskan,
Menetapkan, dan nama Peraturan Perundang-undangan);
3)
Batang Tubuh memuat
(Ketentuan Umum, Materi Pokok yang diatur; Ketentuan Pidana-jika perlu,
Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup);
4)
Penutup;
5)
Penjelasan
Pasal-pasal;
6)
Lampiran (jika perlu).
b.
Ketentuan peralihan, pada
umumnya setiap undang-undang mengatur ketentuan peralihan yang mempunyai fungsi
untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum)
dengan menghubungkan waktu yang lampau dengan waktu sekarang.
c.
Undang-undang diberi
nomor urut serta tahun di keluarkannya. Nomor urutnya tiap tahun dimulai dari nomor
satu.
d.
Agar setiap orang
mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan atau diumumkan
dengan menempatkannya dalam Lembaran
Negara (Pasal 45 UU. No.10 Tahun 2004). Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan dalam Lembaran Negara dilakukan oleh Menteri yang tugas dan
tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan (Menteri Hukum dan
HAM), dan yang menanda tangani Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang adalah Presiden (Pasal 48 UU No. 10 Tahun 2004 jo. Pasal 20 ayat
(4) UUD 1945).
e.
Dengan diundangkannya Undang-undang dalam Lembaran
Negara berarti mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensinya, sehingga
berlakulah “asas fictie” dalam hukum,
artinya bahwa “setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu
undang-undang” sehingga undang-undang tersebut tidak boleh digugat dengan bukti
yang melawannya (praesumptio iuris et de uire).
f.
Peraturan
Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan (Pasal 50 UU. No. 10 Tahun 2004).
Lembaran
Negara adalah suatu lembaran (kertas)
tempat mengundangkan (mengumumkan) semua peraturan-perundang-undangan Negara dan peraturan-peraturan pemerintah
agar berlakunya mempunyai kekuatan mengikat.
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan
di dalam Lembaran Negara R.I. meliputi ( Undang-Undang/Perpu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden mengenai Pengesahan Perjanjian Internasional dan
Penyataan keadaan bahaya, serta Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut
Peraturan Perundangan yang belaku harus diundangkan dalam Lembara Negara R.I.
(Pasal 46 UU. No. 10 Tahun 2004).
Penjelasan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara R.I. dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara
yang mempunyai nomor ber-urutan. Lembaran Negara diterbitkan oleh Menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan yakni Menteri
Hukum dan HAM.
Mulai berlakunya
dan berakhirnya undang-undang.
Ilmu hukum membedakan adanya 3 (tiga) hal
berlakunya suatu norma hukum. Berlakunya norma hukum disebut “gelding” (bahasa Belanda) atau “geltung” (bahasa Jerman). Berlakunya
hukum adalah sebagai berikut :
Pertama, berlaku secara “yuridis”,
apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen).
Menurut Kelsen, suatu undang-undang atau
peraturan berlakunya harus didasarkan pada norma dasar (grundnorm) yang lebih tinggi tingkatannya dan mendasar.[12]
Oleh Hans Nawiasky disebut “staatsfundamentalnorm”.[13]
Sedangkan oleh John Alder dikatakan bahwa, suatu undang-undang atau peraturan
mempunyai kekuatan yuridis harus
berdasarkan”basic principle” dan “general
political and moral value”.[14]
Kaidah hukum mempunyai kekuatan yuridis,
jikalau kaidah tersebut dibentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen). [15]
Kaidah hukum mengikat secara yuridis, apabila menunjukkan hubungan keharusan
antara suatu kondisi dengan akibatnya (J.H.A.
Logemann). [16]
Kedua, berlaku secara “sosiologis”
artinya bahwa efektifitas kaidah hukum didasarkan pada “kekuasaan/penguasa” (machtstheorie), atau berlakunya kaidah
hukum didasarkan adanya “pengakuan” atau diterima dan diakui dengan sendirinya
oleh masyarakat (anerkennungstheorie);
dan ketiga adalah berlaku secara ”filosofis” artinya sesuai dengan” rechts idea” atau cita-cita hukum
sebagai nilai positif yang tertinggi.[17]
Bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis,
kemungkinan besar kaidah hukum akan berhenti bahkan mati (dode regel); apabila kaidah hukum hanya berlaku secara sosiologis, kemungkinan kaidah hukum menjadi aturan yang memaksa (dwangmaatregel), atau diabaikan
masyarakat sehingga menimbulkan “anarchie”
atau “chaos”. Apabila kaidah hukum
hanya berlaku secara filosofis, kemungkinan hukum merupakan nilai-nilai moral
yang dicita-citakan (ius constituendum)
selamanya.
Menurut Hans Kelsen, selain berlakunya norma
atau kaidah hukum harus berdasarkan pada
“grundnorm”, juga harus memperhatikan
“lingkungan kuasa kaidah-kaidah”. Lingkungan kuasa berlakunya kaidah itu ada 4
(empat) hal, yakni (1) Temporal sphere
atau sphere of time (waktu “mulai dan
berakhirnya” kaidah berlaku); (2) Territorial
sphere (daerah berlakunya kaidah);
(3) Personal sphere (terhadap siapa
kaidah berlaku);dan (4) materiel sphere
( soal-soal apa yang diatur dalam kaidah).[18]
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka
berpendapat bahwa, lingkup berlakunya kaidah hukum ada 4 (empat) bidang yakni
(1) lingkup laku wilayah (ruimtegebied);
(2) lingkup laku pribadi (personengebied);
(3) lingkup laku masa (tijdsgebied); dan (4) lingkup laku
ihwal (zaaksgebied).[19]
Dari beberapa pendapat dan teori hukum yang
dikemukakan tersebut, maka di bawah ini dipaparkan mengenai waktu mulai dan
berakhirnya undang-undang atau peraturan hukum menurut hukum positip Indonesia .
Waktu berlakunya suatu undang-undang dapat
diketahui apabila ditentukan tanggal mulai berlakunya dalam undang-undang itu
sendiri, atau :
a.
Pada saat diundangkan
(Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2004);
b.
Pada tanggal tertentu;
c.
Ditentukan berlaku
surut (misalnya : Undang-undang No. 2 Tahun 1958 pasal VIII, Undang-undang
No. 62 tahun 1958 pasal 8, Perpu
No. 2 Tahun 2002).
Perpu No. 2 Tahun 2002
memberlakukan surut Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme tehadap peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002.
Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2
Tahun 2002 diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002, dan pasal 4 Undang-undang
No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
Pemberlakuan surut terhadap
undang-undang bertentangan dengan pasal
28 I UUD 1945 yang menentukan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
dst…...…., dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Selain itu juga bertentangan dengan asas hukum yang berlaku universal yakni
asas ”non retro active” (bahwa
undang-undang atau peraturan tidak berlaku surut) dan asas “legalitas” artinya suatu perbuatan tidak
dapat dihukum atau dipidana, apabila tidak diatur lebih dahulu di dalam undang-undang.
Pada dasarnya “undang-undang
tidak dapat berlaku surut”, karena dapat menimbulkan ketidak adilan dan
merugikan hak-hak hukum terhadap pihak yang terkena undang-undang atau
peraturan itu. Tetapi apabila peraturan perundang-undangan itu tidak melanggar
hak hukum dan tidak merugikan masyarakat, masih diperbolehkan adanya undang-undang
berlaku surut.
d.
Bahwa berlakunya undang-undang
akan ditentukan di kemudian atau ditentukan kemudian oleh peraturan pelaksanaannya (Pasal 50 UU
No. 10 Tahun 2004).
Berakhirnya Undang-Undang
dikarenakan :
a.
ditentukan sendiri
dalam undang-undang itu,
b.
dicabut secara tegas
oleh pembuat undang-undang atau oleh hakim,
c.
undang-undang yang
lama bertentangan dengan undang-undang yang baru; berlaku asas “lex posteriori derogat lex priori”,
d.
timbulnya hukum
kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang, sehingga undang-undang itu
tidak ditaati oleh masyarakat;
e.
bertentangan dengan
yurisprudensi tetap; atau
f.
suatu keadaan yang diatur oleh undang-undang
sudah tidak ada lagi (misalnya yang diatur dalam undang-undang darurat tentang
keadaan bahaya).
Asas-asas
Perundang-undangan
a.
Undang-undang tidak
berlaku surut;
b.
Undang-undang tidak
dapat diganggu gugat (onschendbaar);
c.
Undang-undang yang
lebih tinggi mengesampingkan
undang-undang yang lebih rendah;
d.
Undang-undang yang
bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum;
e.
Undang-undang yang
berlaku belakangan (baru) membatalkan undang-undang yang terdahulu (lama).
Ad. a.
Undang-undang tidak berlaku surut.
Asas ini semula tercantum
dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving (A.B.) yang menyatakan “De
wet verbindt alleen voor het toekomen de en heeft geen terugwerkende kracht”
artinya “undang-undang mengikat untuk masa yang akan datang dan tidak mempunyai
kekuatan berlaku surut”.
Asas ini dikenal dengan asas “non
retro active” (undang-undang tidak boleh berlaku surut), atau asas “legalitas” misal dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP.
Pasal 1 ayat (1) KUHP
menentukan “Tiada suatu perbuatan dapat
dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana yang diatur dalam
undang-undang lebih dahulu” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene
daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling). Artinya, tiada perbuatan dapat dipidana, kecuali atas
dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan yang mendahului.
Pasal 1 ayat 1 KUHP, dikenal
dengan asas “legalitas” dengan
adagium “nullum delictum noella poena
sine praevia lege poenale”
Adapun asas “non retro active” diatur di dalam Pasal
28 I UUD 1945 (pasca amandemen) dan
Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Di dalam pasal 28 I UUD 1945
ditentukan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dst………., dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Dalam pasal 4 UU HAM
dinyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dst…………., dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi
Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Asas “legalitas”
juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (UUKK) dan pasal 18 ayat (2) UU.No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
(UUHAM).
Tidak seorangpun dapat
dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh
undang-undang (Pasal 6 ayat (1) UUKK).
Setiap orang tidak boleh
dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan
(Pasal 18 ayat (2) UUHAM).
Ad. b.
Undang-undang tidak dapat diganggu gugat (onschendbaar).
Asas ini semula dicantumkan
dalam pasal 95 ayat 2 UUDS 1950 yang berbunyi “Undang-undang tidak dapat
diganggu gugat” artinya, bahwa undang-undang tidak dapat diuji atau dinilai
atau diteliti oleh siapapun apakah
isinya bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar.
Menurut Kamus Hukum Belanda-Indonesia
“Fockema Andreae” istilah istilah
“hak uji” atau toetsing” (Bhs.
Belanda) artinya pengujian atau penilaian terhadap suatu “perbuatan” apakah
bertentangan atau tidak dengan norma-norma yang lebih tinggi. Istilah “toetsingsrecht” adalah kependekan dari “rechtterlijk toetsingsrecht””
(Belanda) atau “judicial review” berarti hak menguji atau menilai
atau meneliti oleh hakim terhadap undang-undang, apakah bertetangan atau tidak
dengan undang-undang yang lebih tinggi atau dengan undang-undang dasar (grondwet).
Pengujian konstitusional atau “constitutional review” adalah hak menguji atau menilai undang-undang terhadap undang-undang dasar,
artinya kewenangan menguji undang-undang apakah isinya atau pembentukannya
bertentangan ataukah tidak dengan UUD. Pengujian konstitusional (constitutional review) yang berwenang
menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar selain dapat dilakukan
oleh hakim atau lembaga pengadilan (judiciary)
dapat pula dilakukan oleh lembaga lain yang diberikan kewenangan oleh UUD (Jimly
Asshiddiqie, 2006 : 3).
Dengan adanya asas
undang-undang tidak dapat diganggu gugat (onschendbaar),
melahirkan teori mengenai ”hak menguji undang-undang” (toetsingsrecht atau judicial
review atau constitutional review).
Menurut teori hukum, ada dua macam hak menguji
undang-undang yang dilakukan oleh hakim (toetsingsrecht
atau judicial review), yaitu pertama, hak menguji undang-undang secara formal (formele toetsingsrecht atau formal judicial review); kedua, hak menguji undang-undang secara
material (materiele toetsingsrecht atau
materiel judicial review).
Hak Uji Formal (formele toetsingsrecht) adalah
wewenang hakim untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti
undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (prosedur) sebagaimana telah
ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.[20]
Hak Uji Material (materiele toetsingsrecht) adalah suatu
wewenang hakim untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-udangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[21]
Definisi dari Sri Sumantri
tersebut dapat disimpulkan atau sebagai
pendapat penulis adalah :
Hak Uji Formal Undang-undang
(formele toetsingsrecht atau formal judicial review) adalah
kewenangan hakim untuk menguji atau menilai apakah suatu undang-undang prosedur
pembentukanya sudah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam uji formal yang diuji atau dinilai adalah kewenangan dan prosedur pembuatan atau
pembentukan serta tempat pengundangan peraturan perundang-undangan. Misalnya,
menurut UUD 1945 yang berwenang membentuk Undang-undang adalah DPR
(legislative) dengan persetujuan Presiden, apabila ada undang-undang dibuat
oleh Presiden tanpa persetujuan DPR, atau sebaliknya ada undang-undang yang dibentuk
oleh DPR tanpa persetujuan Presiden, maka pembentukan undang-undang tidak
memenuhi ketentuan UUD, berarti secara formal undang-undang itu bertentangan
dengan UUD.
Hak Uji Material
Undang-undang (materiele toetsingsrecht atau
materiel judicial review) adalah
kewenangan hakim untuk menguji atau
menilai undang-undang apakah isinya
bertentangan atau tidak dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam uji material yang diuji
adalah materi norma dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang, apakah
bertentangan atau tidak dengan peraturan-perundang-undangan yang lebih tinggi.
Para ahli hukum berpendapat
dan bersepakat, bahwa hakim mempunyai hak menguji undang-undang secara formal (formele toetsingsrecht atau formal judicial review).
Seperti dikemukakan oleh Soepomo, bahwa “Hakim menurut hukum tata negara
“Hindia Belanda” berhak dan berkewajiban menguji apakah pengundangan dari
undang-undang dan peraturan-praturan yang lain adalah sebagaimana patutnya (formele toetsingsrecht)”.[22]
Sedangkan Mohamad Isnaini menyatakan, bahwa
“Hakim mempunyai wewenang sepenuhnya, bahkan sebelum Hakim menerapkan suatu
peraturan, wajib mengetahui dengan pasti, apakah peraturan yang ia hadapi
sesuai dengan keadaan lahirya, telah diundangkan sebagaimana mestinya, apakah
sudah mulai berlaku atau masih mempunyai kekuatan berlaku”.[23]
Hak menguji
undang-undang menurut UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945
sebelum diamandemen tidak mengatur “hak uji”
undang-undang. Setelah amandemen tahap ketiga
Undang-Undang Dasar 1945 di dalam Pasal
24A dan Pasal 24C mengatur “hak uji” undang-undang. Hak uji undang-undang
menurut Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945 dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
Menurut Pasal 24A UUD 1945,
Mahkamah Agung selain berwenang mengadili di tingkat kasasi, juga berwenang
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
a.
Hak uji oleh Mahkamah Agung
Berdasarkan Pasal 24A UUD
1945, jo Pasal 11 ayat (2) sub b Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (UUKK) yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan Pasal
3 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UUMA) yang
juga diubah menjadi Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UUMA).
Pasal 11 ayat (2) huruf b.
UU Kekuasaan Kehakiman (UUKK) jo. Pasal
31 ayat (1) UU. No. 3 Tahun 2009 (UUMA) memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang.
Selanjutnya di dalam Pasal 31
ayat (2) UUMA disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24A UUD 1945 jo. Pasal 11 ayat (2) huruf b. UUKK jo. Pasal 31
ayat (1 dan 2) UU.No. 3 Tahun 2009
(UUMA) Mahkamah Agung R.I. mempunyai kewenangan menguji undang-undang baik hak “uji
material” maupun hak “uji formal” peraturan perundang-undangan
di bawah undang terhadap undang-undang.
Hak uji material (materiel judicial
review atau materiele toetsingsrect) oleh Mahkamah Agung adalah kewenangan Mahkamah Agung menguji atau
menilai materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Dengan kata lain adalah kewenangan Mahkamah Agung menguji
atau menilai peraturan peru ndang-undangan
di bawah undang-undang, apakah isinya
bertentangan atau tidak dengan undang-undang.
Dalam uji material yang diuji
atau dinilai adalah materi muatan norma dalam ayat, pasal, dan /atau bagian
peraturan peru ndang-undangan
yang dianggap secara keilmuan (ilmu hukum) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Hak uji formal (formal judicial
review atau formele toetsingsrecht) oleh Mahkamah Agung adalah kewenangan Mahkamah Agung menguji atau menilai prosedur dan kewenangan pembentukan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang apakah sudah memenuhi
atau tidak dengan ketentuan
pembentukan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan kata lain adalah kewenangan Mahkamah Agung menguji atau menilai
peraturan peru ndang-undangan di bawah
undang-undang, apakah pembentukannnya sesuai
atau tidak dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada uji formal yang diuji atau dinilai adalah kewenangan
dan prosedur pembuatan atau pembentukan serta pengundangan suatu peraturan peru ndang-undangan di bawah undang-undang apabila pembentukannya tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setelah putusan Mahkamah
Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan mempunyai kekuatan hukum
tetap, maka peraturan peru ndang-undangan
yang dinyatakan tidak sah dalam amar putusan Mahkamah Agung, tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat (Pasal 31 ayat (4) jo Pasal 40 ayat (2) UUMA). Keputusan MA ini harus ditaati oleh semua pihak termasuk masyarakat luas.
Putusan Mahkamah Agung tersebut wajib dimuat dalam Berita Negara Ind onesia
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal
31 ayat (5) UUMA).
Dari ur aian
di muka, dapat diketahui bahwa menurut
UUD 1945 dan undang-undang
pelaksanaannya (UUKK dan UUMA), Mahkamah Agung
R.I. mempunyai kewenangan
melakukan hak uji formal dan hak uji material peraturan peru ndang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
b.
Hak Uji oleh Mahkamah
Konstitusi
Selain hak uji dilakukan oleh
Mahkamah Agung , menurut Pasal 24 C UUD 1945 Mahkamah
Konsitusi juga mempunyai kewenangan hak uji undang-undang terhadap UUD 1945.
Kekuasaan Hak uji undang-undang oleh Mahkamah
Konstitusi diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 (setelah diamandemen), sebelum
diamandemen tidak ada lembaga Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 kemudian dikeluarkan
dan diberlakukan Undang-Undang-undang
No. 4 Tahun 2004 yang kemudian diubah
menjadi Undang-undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi (UUMK).
Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo.Pasal 12 ayat (1) huruf
a. UUKK jo Pasal 10 ayat (1)huruf a.
UUMK, Mahkamah Konsitusi mempunyai
kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional review).
Selanjutnya di dalam Pasl 51
ayat (3) jo. Pasal 56 ayat (3 dan
4), jo. Pasal 57 ayat (1 dan 2) UU. No.
24 Tahun 2004 (UUMK) ditentukan bahwa
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD
baik mengenai pembentukannya (uji formal)
maupun menguji materi muatan ayat, pasal
dan/atau bagian undang-undang yang bertentangan dengan UUD (uji material).
Degan demikian menurut hukum
positif Ind onesia
(UUD 1945, UUKK, dan UUMK), Mahkamah Konstitusi mempunyai hak uji undang-undang
baik formal maupun paterial terhadap
UUD atau menguji undang-undang apabila bertentangan dengan UUD
1945 (constitutional review).
Hak menguji undang-undang terhadap UUD oleh
hakim atau lembaga pengadilan dinamakan “pengujian konstitusional” atau “constitutional review”. Constitutional
review merupakan “judicial
review” apabila dilakukan oleh hakim atau “lembaga judicial” (judiciary). Pengujian konstitusional (constitutional review) yang tidak
dilakukan oleh hakim atau bukan oleh lembaga pengadilan berarti bukan “judicial
review”.
Hak Uji Formal undang-undang terhadap UUD (formal constitutional review)
adalah kewenangan Mahakamah Konsitusi menguji
atau menilai prosedur dan kewenangan
pembentukan atau pembuatan undang-undang apakah sudah memenuhi ataukah
tidak menurut ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD RI 1945.
Dengan kata lain adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji atau menilai
prosedur pembentukan undang-undang, apakah sudah memenuhi atau tidak menurut
ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan UUD RI 1945.
Hak Uji Material undang-undang terhadap UUD ( materiel constitutional review) adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji atau menilai
apakah materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Dengan kata lain adalah
kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji atau menilai undang-undang apakah isinya
bertentangan atau tidak dengan UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum
tetap, sah dan mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum (Pasal 28 ayat (5 dan 6) jo Pasal 47 UUMK).
Putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 57
ayat (3) UUMK).
Undang-undang yang diuji oleh
Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 58 UUMK).
Terhadap materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang yang telah diuji (uji material) tidak
dapat dimohonkan pengujian kembali. Hak uji material undang-undang terhadap UUD
berlaku sekali, karena itu tidak dapat dimohonkan hak uji lagi (Pasal 60 UUMK).
Menurut Jimly Asshiddiqie,
apabila norma yang diuji itu menggunakan “undang-undang”
sebagai alat pengukur, seperti hak uji yang dilakukan oleh Mahakamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, maka pengujian itu tidak disebut sebagai “constitutional review”, melainkan“judicial review on the legality of
regulation”. Jika yang diuji menggunakan menggunakan “konstitusi” sebagai alat
pengukur, maka pengujian semacam itu disebut sebagai “constitutional review” atau pengujian konstitusional, yaitu
pengujian mengenai konstitusionalitas
dari norma hukum yang diuji (judicial
review on the constitutional of law).[24]
Dari uraian di muka dapat diketahui
bahwa menurut hukum positif Indonesia (UUD 1945, Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi),
Mahkamah Agung berhak menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang. Hak uji peraturan perundang-undangan terhadap
undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung disebut
sebagai “judicial review” atau
”toetsingsrecht”. Kewenangan Mahkamah
Konstitusi menguji undang-undang
terhadap UUD disebut “constitutional review” atau “pengujian
konstitusional” (pengujian konstitusionalitas), artinya menguji undang-undang apakah materinya dan/atau
pembentukannya bertentangan ataukah tidak dengan konstitusi.
ad. c. Undang-undang
yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang lebih rendah.
Asas ini dikenal dengan
adagium “lex superiori derogat lex
inferiori” artinya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya mengesampingkan
undang-undang yang lebih rendah.
Menurut asas ini bahwa
peraturan-perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama.
Apabila ada dua peraturan perundang-undangan yang tidak sederajat mengatur
obyek yang sama dan saling bertentangan, maka Hakim harus menerapkan atau
menggunakan undang-undang yang lebih
tinggi sebagai dasar putusan hakim, dan menyatakan undang-undang yang lebih
rendah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Konsekuensi hukum “asas lex
superiori derogat lex inferiori” ialah :
a.
Undang-undang yang
dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yag lebih tinggi
pula;
b.
Undang-udang yang
lebih tinggi tidak dapat diubah atau dihapus/dicabut oleh undang-undang yang
lebih rendah kedudukannya;
c.
Undang-undang yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
Dengan keberadaan asas “lex superiori derogate lex inferiori”,
maka dapat diketahui hierarkhi tata urutan peraturan perundang-undangan Negara
Republik Indonesia di dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Menurut ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku saat ini (hukum Positif) adalah sebagai berikut :
a.
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti undang-undang;
c.
Peraturan Pemerintah
(PP);
d.
Peraturan Presiden
(Perpres);
e.
Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah yang
dimaksud adalah Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRD
Provinsi bersama dengan Gubenur; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh
DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota; Peraturan Desa/Peraturan
yang setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama
dengan Kepala Desa atau nama lainnya (Pasal 7 ayat (2).
Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut, diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat (4) UU.No. 10
Tahun 2004).
Adapun tata urutan perundang-undangan
Republik Indonesia
menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 (pasal 2) sebelum diberlakukannya UU.No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah :
1.
Undang-Undang Dasar
1945;
2.
Ketetapan MPR R.I;
3.
Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah
Pengganti undang-undang (Perpu);
5.
Peraturan Pemerintah;
6.
Keputusan Presiden;
7.
Peraturan Daerah.
Ketetapan MPR No
III/MPR/Tahun 2000 yang menempatkan Peraturan Pemerintah Pengganti
undang-undang (Perpu) di bawah Undang-Undang adalah tidak tepat dan bertentangan
dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, karena menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945
kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (Perpu) sederajat dengan
Undang-Undang. Oleh karena banyak kritikan dari para ahli hukum terhadap
Ketetapan MPR No. III Tahun 2000, kemudian Pemerintah bersama
DPR mengeluarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
ad. d. Undang-undang
yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum
Adagium asas ini adalah “lex specialis derogate lex generalis”
artinya undang-undang yang bersifat khusus
mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.
Menurut asas ini apabila ada
dua macam ketentuan peraturan perundangan yang setingkat atau kedudukannya sama
dan berlaku dalam waktu yang bersamaan serta saling bertentangan, maka hakim
harus menerapkan atau menggunakan yang khusus sebagai dasar hukum, dan
mengesampingkan yang umum. Contohnya dalam pasal 1 KUHD (W.v.K.) dalam
hubungannya dengan KUHPerdata (B.W.) sebagai berikut : “ketentuan B.W. berlaku
juga terhadap suatu hal yang diatur di dalam W.v.K. sekedar dalam W.v.K. tidak
mengatur secara khusus menyimpang”.
Di dalam KUHP pada pasal 1
ayat 2 sebagai berikut : “apabila terjadi perubahan pada undang-undang setelah
perbuatan pidana dilakukan, maka dikenakan ketentuan yang menguntungkan
terdakwa”.
Pasal 1 ayat (2) KUHP
merupakan ketentuan khusus, sedangkan pasal 1 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan
umum. Jadi pasal 1 ayat (2) KUHP mengesampingkan pasal 1 ayat (2) KUHP. Contoh
lain adalah ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Koperasi,
Undang-undang Yayasan, Undang-undang Pengangkutan di Laut, Darat, dan Udara
mengesampingkan ketentuan-ketentuan tentang perseroan perdata atau badan hukum
perdata dan pengangkutan yang diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
ad. e. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan
undang-undang yang yang terdahulu.
Asas ini dikenal dengan
adagium “lex posteriori derogate lex
priori” artinya “undang-undang yang baru itu mengesampingkan atau
membatalkan berlakunya undang-undang yang terdahulu (lama)”. Maksud asas ini
adalah undang-undang atau peraturan yang
terdahulu (lama) menjadi tidak berlaku
apabila penguasa yang berwenang memberlakukan undang-undang atau peraturan yang
baru dalam hal mengatur obyek yang sama, dan kedudukan undang-undang atau
peraturannya sederajat.
Keberadaan asas-asas hukum
atau perundang-undangan yang telah
dikemukakan bertujuan untuk pertama, pembentukan undang-undang; kedua pelaksanaan undang-undang guna
menyelesaikan konflik antara peraturan perundang-undangan atau dengan norma hukum
lainnya.
3.2
Kebiasaan
Kebiasaan ialah perbuatan manusia mengenai hal
tertentu yang tetap, dilakukan berulang-ulang dalam rangkaian perbuatan yang
sama dan dalam waktu yang lama. Apabila suatu kebiasaan dari perbuatan manusia
dilakukan secara tetap atau ajeg dan dilakukan berulang-ulang dalam waktu yang
lama karena menimbulkan hak dan keharusan, atau karena mengandung larangan dan
keharusan, atau diperbolehkan (perkenan), maka kebiasaan itu mempunyai kekuatan
mengikat secara normatif. Karena perbuatan dilakukan oleh orang banyak dan
diulang-ulang untuk melakukan perbuatan yang sama, maka akan menimbulkan
kesadaran atau keyakinan bahwa perbuatan itu memang patut yang seharusnya
dilakukan. Perbuatan yang dirasakan patut dan diulang-ulang dalam waktu yang
lama, itulah adat atau kebiasaan.
Patut
atau tidak patut itu bukan hanya pendapat seseorang saja tetapi pendapat
masyarakat atau umum. Apabila kebiasaan atau adat yang dipatuhi masyarakat
itu jika dilanggar menimbulkan perasaan
bersalah atau dirasakan sebagai pelanggaran perasaan tertentu atau
kaidah-kaidah yang diyakini masyarakat, maka timbullah suatu hukum kebiasaan.
Suatu adat atau kebiasaan tidak seluruhnya
dapat menjadi hukum, hanya kebiasaan tertentu saja yang dapat menjadi hukum
adat/kebiasaan. Untuk timbulnya Hukum kebiasaan diperlukan syarat-syarat
tertentu, yaitu :
1.
Syarat material, yakni
harus ada perbuatan-perbuatan tertentu atau tetap yang dilakukan
berulang-ulang dan terus menerus dalam
rangkaian perbuatan yang sama, dalam waktu yang lama dan diikuti oleh masyarakat.
2.
Syarat intelektual,
artinya kebiasaan itu menimbukan keyakinan umum pada masyarakat (opinio necessitatis) yang bersangkutan,
bahwa perbuatan itu sebagai kewajiban hukum. Keyakinan hukum dari masyarakat,
mempunyai 2 (dua) arti, yaitu :
a.
Keyakinan hukum dalam
arti material, artinya suatu keyakinan bahwa
suatu aturan itu memuat hukum yang baik;
b.
Keyakinan hukum dalam
arti formal, artinya orang yakin bahwa aturan itu harus diikuti dengan ketaatan, dengan tidak memperhatikan
akan nilai-nilai atas isi aturan
tersebut;
3.
Adanya akibat hukum
apabila hukum kebiasaan itu dilanggar.
Keberadaan adat/kebiasaan sebagai hukum diatur di
dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, jo pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK).
Di dalam pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan
bahwa, Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Demikian pula di dalam pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ditentukan bahwa,
Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukumdan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, ini sama dengan istilah “living
law” seperti yang dikemukakan oleh seorang tokoh aliran Sociological of jurisprudence yang
bernama Eugen Erlich yakni sebagai hukum yang hidup di masyarakat yang terdiri
atau berwujud hukum kebiasaan dan adat dari masyarakat itu sendiri.
Selain dalam pasal 28 (1), di dalam pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 (UUKK) ditentukan bahwa
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Dari pasal 28 dan pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004
(UUKK) tersebut dapat disimpulkan bahwa Hakim harus memeriksa dan memutuskan
suatu perkara sekalipun hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap. Hal ini
berarti, hakim tidak selalu terikat pada undang-undang, atau hakim bukan
sebagai suara undang-undang belaka, sehingga dalam hal pelaksanaan atau
penegakan hukum, hukum kebiasaan mempunyai peranan penting dalam mengisi kekosongan hukum dan dalam
pembentukan hukum nasional.
3.3
Yurisprudensi
Yurisprudensi, berasal dari kata “Jurisprudentia” (bahasa Latin) yang
berarti “Pengetahuan hukum” (Rechtsgeleerdheid),
dalam bahasa Inggris “Jurisprudence”
artinya ilmu hukum atau ajaran hukum
umum atau teori hukum umum (Algemene Rechtsleer atau General Theory of Law).
Yurisprudensi (Indonesia) berasal dari “Jurispurdentie” (bahasa Belanda), tidak
sama dengan “Jurisprudenz” (bahasa
Jerman) berarti “ilmu hukum dalam arti sempit”, misalnya dalam aliran-aliran
atau ajaran hukum (Begriff jurisprudenz, Interessen jurisprudenz).
Kata Yurisprudensi sebagai istilah teknis hukum
Indonesia, sama artinya dengan “Jurispudentie”
dalam bahasa Belanda dan “Jurisprudence”
dalam bahasa Perancis, yang berarti “Peradilan tetap” atau “Hukum Peradilan”.
Untuk pengertian Yurisprudensi (hukum
peradilan) di Inggris dipergunakan istilah “Case
Law” atau Judge made Law”.
Dengan demikian pengertian “Yurisprudensi” sebagai sumber hukum
formal adalah keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
yang diikuti atau dipergunakan oleh hakim berikutnya sebagai dasar hukum untuk
memutus perkara yang serupa atau sama.
Yurisprudensi merupakan sumber hukum formal,
karena didasarkan atas kenyataan bahwa sering terjadi dalam memutus perkara
yang diperiksa oleh Hakim tidak didasarkan atas peraturan hukum yang ada,
melainkan didasarkan pada hukum tidak
tertulis atau hukum yang hidup di dalam masyarakat, karena undang-undang yang
ada sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat
yang beradab.
Keberadaan yurisprudensi yang menciptakan hukum
(sebagai sumber hukum formal) didasarkan atas pasal 22 A.B. dan pasal 16 UU No.
4 Tahun 2004 (UUKK), yang menentukan
bahwa, “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. Dalam keadaan demikian,
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1) UUKK).
Berdasarkan pasal 16 dan pasal 28 ayat (1) jo
pasl 5 yat (1) UUKK, Hakim mempunyai kewajiban
menciptakan hukum sendiri terhadap perkara yang dihadapinya, karena
undang-undangnya tidak jelas atau tidak mengaturnya. Hukum yang diciptakan
hakim melalui putusannya itu mengikat pihak-pihak yang bersangkutan (in conreto). Meskipun putusan hakim
tersebut mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara, tetapi penting pula bagi masyarakat,
sebab kemungkinan putusan tersebut diikuti oleh hakim lainnya atau hakim bawahan dalam menghadapi perkara yang
sejenis. Oleh karena itu apabila putusan hakim yang terdahulu dipandang telah
memenuhi rasa keadilan terhadap perkara yang sama atau sejenis, maka putusan
hakim terdahulu dapat diberlakukan atau diikuti dalam putusan yang sama.
Apabila putusan hakim terdahulu itu diikuti
oleh hakim yang lain atau dibawahnya atau hakim yang kemudian, maka putusan
hakim terdahulu itu merupakan putusan peradilan tetap atau disebut “Jurisprudensi” yang menjadi sumber hukum
formal.
Hukum yang diciptakan oleh hakim dalam bentuk
keputusan disebut hukum “in concreto”
yang secara nyata menghasilkan hukum yang berlakunya terbatas mengikat
pihak-pihak tertentu yang berperkara. Sedangkan hukum yang diciptakan oleh
badan yang berwenang membentuk undang-undang disebut hukum “in abstracto” yang mengikat secara umum
(undang-undang).
Ada dua macam
yurisprudensi, yaitu:
1)
Yurisprudensi tetap,
yaitu putusan hakim yang terjadi karena rangkaian putusan yang serupa atau
sama, dan dijadikan dasar bagi pengadilan (standard
arresten) untuk memutuskan suatu
perkara.
Yurisprudensi tetap ini dapat diperbandingkan
dengan pendapat Hans Kelsen sebagai berikut.
“Hans Kelsen” dalam bukunya “General Theory of Law and State”
pada bab “Jurisprudensi” disebutkan
bahwa, yang dinamakan yurisprudensi sebagai sumber hukum, bukan keputusan hakim
yang merupakan penerapan norma umum dari hukum substantif, melainkan hakim itu
membuat norma hukum yang bukan bersumber dari undang-undang.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan
Yurisprudensi sebagai sumber hukum formal menurut Hans Kelsen, adalah keputusan
hakim yang menciptakan hukum, (yang mempunyai kekuatan hukum tetap), bukan
keputusan hakim yang menerapkan norma umum undang-undang material.
Dari pendapat Hans Kelsen dapat disimpukan,
bahwa yurisprudensi (keputusan Pengadilan) dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam yakni pertama, yurisprudensi
yang menerapkan undang-undang (hukum material); dan kedua, yurisprudensi yang menciptakan hukum baru.
Ada beberapa alasan mengapa hakim menciptakan
hukum Yurisprudensi (Yurisprudensi yang menciptakan hukum), pertama,
karena undang-undangnya tidak jelas atau kabur sehingga memerlukan penafsiran hukum yang komprehensip; kedua, undang-undang yang ada sudah
tertinggal dengan perkembangan masyarakat atau tidak sesuai dan bahkan
bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat saat ini; ketiga, undang-undangnya tidak mengatur
perbuatan hukum yang diajukan ke pengadilan.
2)
Yurisprudensi tidak tetap, yaitu putusan hakim
terdahulu yang tidak dijadikan dasar bagi pengadilan (bukan standard arresten).
Yurisprudensi tidak tetap ini pada umumnya yurisprudensi yang menerapkan undang-undang
(hukum material) yang tidak pernah dipergunakan sebagai sumber hukum oleh
hakim-hakim berikutnya atau di bawahnya.
Ada dua asas
yurisprudensi, yaitu:
1.
Asas Precedent,
artinya bahwa hakim terikat atau tidak boleh menyimpang dari putusan-putusan
hakim terdahulu atau hakim yang lebih tinggi atau yang sederajat tingkatnya
dalam perkara yang serupa. Hakim terikat pada “precedent” atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputus. Asas Precedent (Stare Decisis) ini dikenal dalam sistem hukum di negara-negara Anglo Saxon (Inggris, Amerika
Serikat). Menurut asas tersebut, keputusan pengadilan itu mempunyai kekuatan
mengikat bagi perkara-perkara serupa lainnya (rule of binding presedent atau stare decisis) atau yang dikenal
dengan asas “the binding force of precedent”.
2.
Asas bebas, merupakan
kebalikan dari asas precedent, artinya hakim tidak terikat pada putusan-putusan
hakim yang lebih tinggi maupun yang sederajat (jurisprudensi) tingkatannya. Asas bebas ini diikuti di
negara-negara Eropa continental (Eropa daratan) yang bersistem hukum sipil atau
“civil law system” yaitu negara
Belanda, Perancis, bekas jajahan Belanda dan Perancis, Indonesia dan
sebagainya.
3.4
Traktat
Traktat atau treaty atau perjanjian
internasional dipergunakan sebagai sumber hukum dalam arti formal, karena itu
harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat dinamakan perjanjian
internasional.
Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang
diadakan antara subyek hukum
internasional yang menimbulkan akibat hukum; atau perjanjian yang mengatur
hubungan antara negara dan atau lembaga internasional
yang bertujuan menimbulkan akibat hukum tertentu.
Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 menentukan, bahwa
“Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain.
Menurut Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, bahwa
perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR adalah perjanjian yang
dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang.
Traktat yang diperlukan adanya persetujuan dari
DPR adalah traktat yang mengandung materi sebagai berikut :
a)
soal-soal politik atau
soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, seperti
perjanjian persahabatan, perjanjian persekutuan, perjanjian tentang perubahan
wilayah;
b)
ikatan-ikatan yang
dapat mempengaruhi haluam politik luar negeri (perjanjian kerjasama ekonomi dan
teknis, atau pinjam uang);
c)
soal-soal yang menurut
UUD harus diatur dengan undang-undang; misal persoalan : kewarganegaraan, hukum
(ekstradisi).
Menurut bentuknya ada beberapa macam
perjanjian, yaitu: (a) traktat bilateral,adalah perjanjian internasional yang
diadakan oleh dua Negara; (b) traktat multilateral, adalah perjanjian
internasional yang diadakan oleh dua negara atau lebih; dan (c) traktat
kolektif, yaitu perjanjian internasional yang masih memungkinkan masuknya
negara-negara lain menjadi peserta, dengan syarat negara itu menyetujui isi
perjanjian yang sudah ada atau disebut perjanjian terbuka.
Perjanjian yang dibuat oleh negara-negara
tersebut berakibat mengikat pihak-pihak yang melakukan pejanjian. Hal ini
sesuai dengan asas perjanjian internasional, yaitu “Pacta Sunt Servanda” artinya bahwa, perjanjian mengikat keduabelah
pihak. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang yang harus ditaati oleh
pembuatnya. Selain itu juga asas “primat
hukum internasional”.
1.
Penetapan (sluiting), ialah penetapan isi perjanjian
oleh utusan atau delegasi pihak-pihak yang bersangkutan dalam pertemuan
resminya. Hasil penetapan ini disebut “Traktat konsep” atau konsep perjanjian
(conceptverdrag, concept overeenkomst atau sluitingsoorkonde);
2.
Persetujuan
masing-masing DPR (parlemen) dari pihak yang bersangkutan;
3.
Ratifikasi atau
pengesahan oleh masing-masing Kepala Negara;
Perjanjian intenasional baru mengikat atau
berlaku dalam suatu negara setelah diratifikasi oleh Kepala negara. Traktat
yang telah diratifikasi selanjutnya diundangkan dalam Lembaran Negara.
Pengundangan Traktat dalam Lembaran Negara
bukan merupakan syarat berlakunya traktat, melainkan bersifat formal saja
supaya rakyat mengetahuinya. Pengundangan
traktat tidak sama dengan pengumuman/ pengundangan pada undang-undang.
Jika suatu undang-undang belum
diundangkan dalam Lembaran Negara, maka undang-undang tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat; sedangkan traktat mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah
diratifikasi oleh Kepala negara walaupun tidak diumumkan atau diundangkan.
Karena Pengundangan Perjanjian Internasioal
(traktat) hanya bersifat formalitas, maka menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa perjanjian
internasional dapat diadakan melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi.
Selain itu ada perjanjian internasional diadakan dua tahap saja yakni “perundingan dan penandatanganan”. Apabila berkenaan persoalan yang penting dan
memerlukan persetujuan dari institusi/lembaga yang mempunyai hak untuk
mengadakan perjanjian (treaty making
power), maka perjanjian diadakan melalui tiga tahap. Apabila perjanjian
bersifat sederhana dan tidak begitu penting, berjangka pendek dan memerlukan waktu yang cepat, maka dipilih
perjanjian melalui dua tahap.[26]
3.5
Doktrin Hukum
Doktrin atau ajaran-ajaran atau pendapat para
ahli hukum/Sajana hukum terkemuka dan berpengaruh, besar pengaruhnya terhadap
hakim dalam mengambil putusan. Seringkali hakim dalam memutuskan perkara yang
diperiksa, menyebut-nyebut pendapat sarjana hukum tertentu sebagai dasar
pertimbangan.
Doktrin atau pendapat para ahli hukum yang
digunakan hakim untuk menentukan hukumnya dalam memutus suatu perkara, disebut
“doktrin hukum” yang telah menjadi “ius comminis opinio doctorum” sebagai sumber
hukum formal.
Doktrin dapat menjadi sumber hukum formal
setelah menjelma atau menjadi dasar putusan hakim. Doktrin atau ajaran atau pendapat
para ahli hukum tidak hanya mempengaruhi
hakim saja, tetapi juga mempengaruhi para aparat pelaksana atau penegak hukum yang lain.
Pendapat
sarjana hukum terkemuka dan berpengaruh atau “doktrin” bukan merupakan
sumber yang mengikat langsung terhadap suatu keputusan, melainkan membantu
hakim dalam mengambil keputusan sebagai sumber tambahan.[27]
2.
Konflik antara Sumber Hukum
Antara sumber-sumber hukum formal yang satu
dengan sumber hukum formal lainnya, tentunya tidak diharapkan terjadinya
konflik atau pertentangan, tetapi apabila konflik itu terjadi, maka harus
diselesaikan dengan asas-asas yang terdapat dalam sistemnya sendiri.
Konflik dapat terjadi diantara sumber
hukum formal, misalnya :
a.
Konflik antara
peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan
lainnya diselesaikan dengan asas-asas:
1)
Lex Specialis derogate lex generalis, yaitu apabila terjadi konflik antara undang-undang yang
bersifat khusus dengan undang-undang yang bersifat umum, maka undang-undang
yang bersifat umum harus dikesampingkan.
2)
Lex Superiori derogate lex inferiori, yaitu apabila ada dua undang-undang yang tidak sederajat
tingkatannya mengatur obyek yang sama dan saling bertentangan, maka
undang-undang yang tinggi tingkatannya mengesampingkan undang-undang yang
tingkatannya dibawahnya.
3)
Lex posteriori derogate lex priori, yaitu undang-undang atau peraturan yang berlaku
belakangan (baru) mengesampingkan undang-undang atau peraturan terdahulu
(lama).
b.
Konflik antara
undang-undang dengan kebiasaan.
Apabila terjadi konflik antara undang-undang
dengan kebiasaan, maka pada prinsipnya undang-undang yang harus diberlakukan
atau dipergunakan, terutama undang-undang yang bersifat memaksa. Sebaliknya
terhadap undang-undang yang bersifat pelengkap (accessoir), maka
undang-undang yang harus dikesampingkan.
c.
Konflik antara
undang-undang dengan putusan pengadilan.
Apabila terjadi konflik antara undang-undang
dengan putusan pengadilan dapat diselesaikan dengan asas “Res Judicata Pro Veritate
Habetur” artinya “Putusan hakim (pengadilan) adalah benar”.
Dengan adanya asas “Res Judicata Pro Veritate Habetur” maka
apabila ada konflik atau pertentangan antara putusan hakim (pengadilan) dengan
undang-undang, maka putusan hakim atau jurisprudensi yang dianggap benar dan
harus dilaksanakan.
Selain tersebut di muka, hakim dan hakim konstitusi mempunyai
kewajiban untuk menggali atau menemukan
hukum (rechtsvinding) yang
hidup di masyarakat (Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo pasal 5 ayat (1) UU. No. 48 Tahun 2009 (UUKK),
dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila isinya
bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat atau
bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
[1] N.E.
Algra, op.cit. hlm. 27-28.
[2] E. Utrecht I, op.cit. hlm. 84-85.
[3]
L.J. Van Apeldoorn. 1972. Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Oetarid
Sadino. Pradnya Paramita, Jakarta .
hlm. 87-90.
[4] E. Utrecht I, op. cit. hlm. 84
[5] Ibid.
hlm. 84-85.
[6] Ibid.
hlm. 86.
[7] Ibid.
hlm.87.
[8] Ibid.
hlm. 87-88.
[9] L.J. Van
Apeldoorn, op.cit. hlm. 92.
[10] E.
Utrecht I. op. cit. hlm. 88.
[11] N.E.
Algra, loc.cit.
[12]
Maria Farida Indrati Soeprapto. 1988. Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar
dan Pembentukannya. Kanisius. Yogyakarta .
hlm. 28-30.
[13]
Jimly Asshiddiqie, 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.
Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI .
Jakarta Pusat.
(Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I) hlm. 15.
[14] Ibid.
hlm. 13-15.
[15]
Soerjono Soekanto dan Otje Salman, op cit.hlm. 52.
[16] Ibid.
hlm. 11.
[17] Ibid.
[18] Hans
Kelsen. 1973. General Theory of Law
and State. Russel. New York .
hlm. 209-240.
[19]
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1986. Sendi-sendi Ilmu Hukum dan
Tata Hukum. Alumni. Bandung .
hlm. 11.
[21] Ibid.
hlm. 11.
[22] R.
Soepomo. 1983. Sistem Hukum di Indonesia sebelum Perang Dunia II.
Pradnya Paramita. Jakarta .
hlm. 49.
[23] Mohamad
Isnaini.1971. Hakim dan Undang-Undang. Cet, II. IKAHI Cabang Semarang. Semarang . hlm. 33.
[25] E. Utrecht I, op.cit. hlm. 120
[26]
Mochtar Kusumaatmadja. 1982. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta. Bandung . hlm. 85.
[27] Mochtar
Kusumaatmaja dan B. Arief Sidharta, op.cit. hlm. 72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar